ch 19

Selama seminggu aku tidak bertemu Lucia, dia mengabarkan kalau masih di Yogya bersama keluarganya. Setiap hari dia menghubungiku hanya untuk bercerita kesehariannya. Aku kasihan padanya, tapi aku tidak bisa membantunya lebih banyak. Hanya bisa mendengarkan, menemani dan menyemangati agar dia tegar menghadapi cobaannya.

Hari ini dia memintaku menjemputnya di Bandara Juanda. Seperti biasanya dia selalu saja cantik dan menarik walaupun lingkar matanya sedikit hitam. Ingin aku memeluknya melihat kelelahan dan kesedihan di matanya.

"Hai…." Sapaku ramah, menjabat dan mencium tangannya. Aku tidak tahan untuk tidak memperlakukannya sedikit istimewa.

"Hai juga, Al. Kamu membuatku malu tau," protesnya dengan kelakuanku. Setidaknya aku sudah membuatnya tertawa.

"Kamu sehat Lucia?" Tanyaku selanjutnya, mengajaknya keluar Bandara.

"Ya seperti yang kamu lihat, katamu aku harus kuat kan? Dan inilah aku, siap menghadapi apapun…" jawabnya ringan.

"Mau makan? Jalan-jalan? Atau mau langsung pulang?" Aku tidak percaya aku bertingkah seolah aku yang sedang jatuh cinta padanya. Aku memang ingin memanjakannya sebagai bentuk kepedulian dengan petaka yang menimpa dirinya.

"Ayo makan, jalan-jalan, nonton dan apalagi Al? Aku sedang butuh banyak hiburan."

"Jadi aku tidak cukup menghibur ya?" Tanyaku pura-pura kesal.

"Aku tidak pernah bilang begitu kan? Kalau tidak ada kamu, aku tidak tau mau berkeluh kesah pada siapa. Orang tidak akan percaya dengan apa yang menimpaku, paling dianggap mengada-ada lah, cari simpati lah, cari pembenaran lah atau malah dianggap wanita tuna susila. Iya kan Al?" Wajahnya langsung ditekuk lagi.

Aku mengacak rambutnya, gemas dengan pemikirannya. "Jangan dengarkan penilaian orang Lucia, tidak semua orang melihat buruk dirimu."

"Itu kamu, Al. Hanya kamu yang tidak menghakimi aku. Mama aja masih sering tanya kok bisa, kok bisa dan kok bisa?"

"Mungkin sulit untuk menerima keadaan diluar logika, Lucia. Tapi aku yakin orang tuamu akan mengerti pada saatnya. Gimana kalau kita makan aja?"

Aku berbelok ke Surabaya town square dan mengajak Lucia turun. Menggandeng tangannya saat berjalan dan menawarkan semua makanan yang diinginkannya.

Lucia tertawa cekikikan dan meledekku, "kamu kayak Sales Promotion Boy sih, Al. Semua ditawarkan, bisa gendut aku nanti."

"Kan ada baby yang perlu makan juga, lagian gendut itu seksi kok. Apalagi gendutnya ibu hamil, terseksi di dunia menurutku."

"Kamu cuma coba menyenangkan aku aja, Al. Iya kan?"

"Aku serius. Wanita yang menerima kodratnya untuk menjadi gendut saat hamil dan memberikan makanan terbaik untuk bayinya saat masih dikandungan tanpa memikirkan tubuhnya akan jadi melar itu ibu yang hebat Lucia, aku pribadi akan mengapresiasinya."

Aku menatapnya dalam. Menjadi ibu muda mungkin tidak pernah terpikirkan bagi Lucia, usianya baru 20 tahun dan dia memutuskan untuk melahirkan anak tanpa bapaknya.

Aku? Membolehkan anaknya nanti memanggilku ayah. Mungkin aku akan jadi ayah angkatnya atau apa aku juga belum tau. Aku tidak bisa melihat air mata Lucia yang terus mengalir, aku membayangkan bagaimana jika itu terjadi pada Tiara? Karena aku yakin Lucia tidak pernah menginginkan hal seperti ini menimpa dirinya.

"Aku akan berusaha, Al. Sekarang pesankan aku makanan yang banyak, aku seminggu nggak enak makan."

"Good Mama!" Ujarku jahil yang dibalas dengan cubitan keras di lenganku.

"Terima kasih untuk semuanya, Al."

"Kemarin terima kasihnya ada kecupannya, kok sekarang nggak?" Aku tertawa menggodanya.

"Iiiihhh bikin malu aja. Tapi memang aneh, kamu tidak berubah jadi Damar dalam ingatanku, waktu kita ehm… ciuman di Lawu," ujarnya dengan wajah merah, mungkin gerah mengingat aku membalasnya tak kalah panas saat itu.

"Maksudnya?"

"Biasanya ketika perempuan itu menguasaiku, ingatanku akan Damar Jati begitu kuat. Siapapun pria yang bersamaku aku akan merasa itu seperti Damar, hanya pada saat pria itu kamu ingatan tentang damar silih berganti dengan wajah aslimu itu. Hipnotisnya padamu juga cepat lepas."

"Oh jadi kamu maunya yang lama gitu?" Aku terkekeh geli melihat ekspresi lucunya.

"Eh… itu bukan aku kali." Tukasnya bersungut-sungut.

"Jadi bagaimana rupa Damar dalam ingatanmu?"

"Sangat tampan Al, dengan pakaian pengantin Jawa kurasa dia seperti model untuk peragaan busana adat. Kulitnya bersih, tegap dan sorot matanya sayu menggoda. Wanita tidak akan berpaling jika melihatnya. Kalau saja dia nyata kurasa akan jadi idola. "

"Wow, sepertinya sempurna. Cocok sama istrinya yang cantik itu ya? Sama-sama penggoda pula."

"Kamu juga menggoda, Al."

Aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya. "Aku tidak tampan, Lucia, juga tidak bermata sayu."

"Kamu hanya kurus dan berpenampilan asal. Mapala banget. Coba kalau kamu jadi cowok metroseksual, kurasa daftar penggemarmu akan sangat panjang, Al! Aku tidak suka cowok bermata sayu sih, aku suka mata seperti milikmu. Tajam."

"Apa Damar Jati punya ciri khusus di wajahnya atau di tubuhnya yang mudah dikenali?"

"Aku lupa, tapi ada bekas luka di dahi kirinya kurasa. Tertutup rambut, jadi kadang nggak kentara."

"Apa dia selalu membawa senjata, Lucia? Kerisnya?"

"Ingatanku tentangnya hanya hal romantis dan erotis saja, saat dia menggoda dan mencumbu istrinya, misalnya. Aku tidak pernah melihat dia membawa keris," terang Lucia tersipu salah tingkah, seperti orang yang kepergok sedang melihat adegan mesum.

Ya setidaknya aku sedikit punya gambaran tentang wajah Damar, untuk mengetahui energinya aku harus menemui istrinya. Artinya aku akan mengganggu acara bertapanya. Siapa tau istrinya berbaik hati mau memberitahu kelemahan suaminya, jadi aku tidak harus repot-repot saat mengalahkannya.

"Ehm… apa yang kamu rasakan saat ehm… melakukan itu dengan pria yang ehm… Damar?" Aku bertanya dengan kikuk. Aku juga kan penasaran apa yang dirasakan Lucia sebagai manusia. Aku hanya nyengir ketika Lucia menatapku tidak percaya.

Akhirnya dia malah tertawa melihatku salah tingkah menunggu jawabannya. "Kenapa memangnya, Al? Penasaran?"

"Iya," jawabku cuek pada akhirnya.

"Secara emosi aku tidak merasakan apa-apa. Semua hasratku milik perempuan itu, dia merasa puas setelah menyalurkan birahinya juga aku tidak ikut merasakannya. Aku hanya merasa sangat lelah setelahnya, fisik dan juga mental. Kalau kamu Al?, apa yang kamu rasa ketika sesaat bersama perempuan itu?" Lucia balik bertanya.

"Aku laki-laki normal Lucia, aku pikir kamu sengaja mengundangku, aku tidak melihat Asih Jati saat itu. Aku hanya melihat matamu berkilat merah menyihirku, dan selanjutnya aku tidak bisa menahan diriku untuk mengikuti permainanmu. Waktu kamu menyebut nama Damar, saat itu aku kecewa tapi disitulah aku sadar kalau kamu bukan Lucia."

"Jadi kamu sebenarnya tertarik padaku?"

"Sulit menghindari wanita cantik, Lucia." Aku mengakuinya.

"Sayangnya aku penuh noda, iya kan Al?" Wajahnya kembali murung dan matanya berkaca-kaca.

"Tidak ada manusia yang sempurna, Lucia!" Kataku lirih menggenggam erat tangannya. "Percayalah, noda itu akan hilang dengan sendirinya."

Lucia mengangguk, menahan isakan "aku percaya kata-katamu, Al!"

"Jangan menangis lagi, Lucia." Kali ini aku mengusap air matanya yang sudah entah keberapa kali membasahi pipi mulusnya.

***

Terpopuler

Comments

Ass Yfa

Ass Yfa

Alaric... Andric bngt yajk...

2024-04-25

0

AbiSatya

AbiSatya

jd inget Harry Potter 🤔

2023-06-24

0

Hasnah Siti

Hasnah Siti

haishhhhh ......🔥🔥🔥🔥🔥

2022-05-30

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!