ch 18

Mom mengajak membahas keris lanang bernama Damar Jati yang belum terdeteksi keberadaannya. Mom bilang aku mungkin bisa melacaknya dengan membuka gerbang dan menjelajahi alamnya.

Tapi tentu saja dengan resiko yang sangat besar, apalagi aku sama sekali belum mengenali energinya. Aku menunda pilihan itu karena melihat Mom sangat khawatir dan takut aku akan tersesat, sehingga kami menerima opsi dari Papa Lucia.

Hari ini dengan ditemani Om Candra, kami mengunjungi pembelinya di Magelang. Semoga saja pusaka itu masih ada di sana. Rumahnya tidak jauh dari kawasan Candi Borobudur.

Perasaanku sedikit tak enak tentang pemegang keris itu. Jika hanya dipegang orang biasa seharusnya Damar sudah bertemu Asih di salah satu gunung tempat mereka membuat janji. Karena kemungkinan Damar akan melakukan apa yang seperti Asih lakukan yaitu memanfaatkan tubuh orang. Seharusnya Damar juga melakukan pendakian.

Buruknya keris itu sudah jatuh pada orang yang mengerti pusaka dan dimanfaatkan untuk kepentingan pribadinya. Sehingga Asih kesulitan menemukan Damar. Mereka berpisah lebih dari 1 bulan dan Damar menghilang begitu saja.

"Anu Can, aku nggak bermaksud mengecewakanmu, tapi keris itu sudah aku jual ke orang lain," kata teman Om Candra yang bernama Pak Heri.

"Siapa yang beli Her?"

"Aku juga nggak kenal Can, aku mengirimkannya pada teman dan dia menjualnya pada orang lain lagi, dan terus seperti itu."

Gawat, Damar berpindah tempat dengan cepat. Apa ini cara Damar mencari istrinya? Metode yang dipakainya tidak sesuai dengan janjinya.

"Kenapa bisa seperti itu? Itu bukan ciri khas kolektor." Om Candra bertanya menyelidik. Hal seperti itu harusnya tidak terjadi kecuali ada alasan kuat dibaliknya.

"Aku tidak kuat, Can. Semenjak keris itu ada di sini setiap malam aku mimpi buruk. Sedangkan temanku setiap malam mendengar seperti ada sebuah pertarungan di rumahnya, bising dan mengganggu. Lain cerita dengan pemegang berikutnya bilang keris itu sering berpindah tempat dengan sendirinya, yang terakhir aku dengar pemegangnya kerasukan. Itu bukan barang sembarangan ya Can? Kenapa kamu menanyakannya lagi?" Terang teman Om Candra dengan mata diliputi rasa ngeri dan penasaran.

"Aku ingin membelinya kembali. Aku minta tolong untuk membantuku melacak keberadaannya," pinta Om Candra pada akhirnya.

"Pasti Can, pasti… aku akan menghubungi temanku. Aku akan segera mengabarimu jika sudah ada informasi mengenai itu."

"Oke, aku tunggu kabar baik darimu, Her. Aku masih akan di Yogya beberapa waktu sebelum pindah ke Surabaya, kamu bisa mampir kalau pas ke Yogya. Aku pamit, Her. Terima kasih informasinya."

"Jangan sungkan gitu Can kayak sama siapa kamu ini," ujar Pak Heri menepuk bahu Om Candra ketika kami meninggalkan rumahnya.

Kami langsung pulang ke Yogya lagi dengan perasaan yang tidak karuan. Meskipun Lucia sudah aman, tetap saja kami harus menemukan Damar, pasangannya.

"Gimana ini Din?" Tanya Om Candra pada Mom.

"Aku belum tau Can, tapi aku akan berusaha mencarinya. Kamu tau kan betapa berbahaya pusaka itu, apalagi jika berada di tangan yang salah." Jawab Mom dengan pandangan menerawang jauh.

"Ohya aku mau menginformasikan hal ini. Lucia bilang dia kehilangan keris yang dibawanya ke Surabaya."

Tentu saja, kerisnya sekarang ada padaku. Tapi aku diam saja, karena memang lebih baik begitu.

"Awalnya bagaimana anakmu bisa terlibat dengan keris itu?"

"Aku mendapatkannya tidak sengaja dari seorang kenalan, saat akan menjual rumah dan isinya aku memilah-milah semua koleksi yang ditinggalkan Mama dan juga koleksiku sendiri. Aku menjual hampir setengah koleksi kami. Entah mengapa aku sangat tidak tertarik dengan keris hitam itu, aku merasakan hawa aneh menguar dari sana sehingga aku putuskan untuk menjualnya saja.

Lucia senang sekali dengan keris warna kuning, dia bilang tidak seperti keris sungguhan sehingga ketika dia membawanya ke kamarnya aku biarkan, dia bilang ingin menyimpannya. Aku tidak tau kalau akan terjadi petaka padanya, semua ini terjadi karena aku tidak peka terhadap benda pusaka."

"Semua sudah terlanjur terjadi Can, tidak ada lagi yang bisa kita lakukan kecuali memberikan semangat pada Lucia, dia pasti terguncang dan sulit menerima keadaan ini."

"Aku akan melelang semua koleksiku setelah ini, Din. Termasuk barang-barang yang kamu berikan beberapa Minggu lalu."

"Jika itu memang yang terbaik untuk putrimu, Can!"

"Maafkan Lucia Din, aku pastikan Al tidak harus bertanggung jawab. Al tidak perlu menikahi Lucia. Biarkan Lucia menemukan jalannya sendiri, aku akan mengurusnya." Tegas Om Candra pada Mom.

Aku hanya diam, lega karena aku tidak harus menikah sekarang. Tapi sejujurnya iba dengan keadaan Lucia, aku akan membantunya melewati kesulitannya.

Prioritasku sekarang adalah mencari Damar Jati yang sudah berpindah tangan beberapa kali, ini akan banyak menguras waktu dan tenaga. Mungkin aku harus menemui Asih Jati istrinya, untuk mempelajari energinya, agar aku lebih mudah mendeteksi keberadaannya.

***

"Aku Lanjaran ke-20 Cah bagus, dulu dikenal dan biasa dipanggil dengan sebutan Kaji Idris," terang pria paruh baya yang wajahnya sangat berkharisma. Badannya kekar layaknya pendekar, dengan setelan hitam Beliau tampak sangat garang. "Aku adalah kakek dari Kakungmu, aku akan mengajakmu menjelajahi jagad lelembut, siapkan dirimu dan tombakmu, Cah bagus!"

"Sendiko dawuh, Kakek!" Jawabku sembari merapatkan kedua tangan.

"Panggil aku Kaji Idris, Cah bagus!"

Aku mengangguk hormat dan menelan ludah, perintahnya dalam setiap kata seperti sebuah tekanan dan siksaan yang harus aku turuti. Aku bersiap dengan tombak di tangan kanan.

"Ayo!"

"Hah?" Aku mencari Kaji Idris yang mendadak menghilang dari pandangan.

"Buka mata batinmu Cah bagus dan segera ikuti aku!"

Aku menajamkan mata dan telinga, mengejar Beliau yang berkelebat laksana angin. Serupa bayangan hitam yang sulit sekali kukejar. Kadang terlihat karena dia sengaja menunggu tapi langsung lenyap begitu aku mendekat.

"Buka mata hatimu sekarang!" Perintahnya dengan keras.

Sulit, sangat sulit mengikuti pergerakan Kaji Idris. Dengan mata hati aku selalu bisa melihatnya tapi aku tidak mampu menyusulnya.

"Jika kamu tidak bisa melampaui kecepatanku, maka kamu tidak akan bisa mengejar si Penganten Lanang." Sindirannya menjadi pecut untuk semangatku.

Nafasku hampir putus hanya berlari mengejar Kakek dari Kakung itu. Kakiku sudah lemas, badanku panas karena mencapai batas maksimal kekuatanku, aku kehilangan keseimbangan dan terperosok dalam lubang.

"Kamu tidak akan berhasil menangkap Damar Jati jika hanya mengandalkan kaki payahmu itu, Cah bagus! Kamu tau, Damar itu sangat cepat dan kuat." Kata Kaji Idris, dia menarik tanganku dan mengajakku duduk di pendopo untuk beristirahat. Memberikan wejangan tentang siapa Damar Jati di waktu dahulu.

"Hari ini cukup, Cah bagus. Sampai ketemu besok!"

Aku bertemu Kaji Idris selama 7 malam berturut-turut untuk mengasah kecepatan, itupun hanya mengalami sedikit peningkatan. Latihan dan latihan, tegasnya dalam setiap kesempatan.

"Pinjam tombakmu, Cah bagus!"

Aku mengulurkan tombak yang sudah beberapa waktu menemaniku. Aku menyukainya, senjata itu sepertinya cocok denganku.

"Kamu tau apa keistimewaan tombakmu ini?"

"Menggetarkan bumi jika ditancapkan, Kaji."

"Jika kamu sudah mengenali energi musuhmu, dia tidak akan bisa bersembunyi di dalam bumi karena kamu akan dengan mudah mendeteksinya dengan tombak ini.

Tapi bukan itu yang ingin aku beritahu, aku ingin mengenalkan ruh pusaka yang mendiami tombak ini padamu!"

Aku melihat Kaji Idris mengetuk pangkal tombak yang berbentuk kepala naga itu. Asap kuning mengepul dari mata naga dan terbentuklah naga hitam yang amat besar dengan mata kuning emas menunduk di depanku.

"Aku akan mengajarimu menungganginya, ayo Cah bagus kita akan terbang dan mengejar kecepatan Damar Jati dengan ini. Namanya Turonggo Jagad."

Kaji Idris menyentak tanganku dan menempatkanku untuk duduk di depannya, di belakang kepala sang naga. Aku memegang erat tombak di tangan kanan dan mengendalikan Turonggo Jagad dengan tangan kiri dan teriakan. Kami terbang dengan kecepatan angin juga pada akhirnya.

"Begitu cara memanggilnya keluar, Cah bagus!" Ujar Kaji Idris puas karena aku langsung bisa memanggil dan mengendarai tunggangan gaibku setelah 7 malam tidak berhasil mengungguli kecepatannya.

"Kenapa nggak langsung belajar terbang saja dari kemarin, Kaji?" Tanyaku dengan nada protes dan terpincang-pincang karena kakiku yang kram. Bahkan aku terbangun dari meditasi dengan berteriak karena saking sakitnya, membuat Mom panik dikira aku kenapa-kenapa.

Mom memijat kakiku dengan minyak aromaterapi, dan aku langsung lelap dengan nyenyaknya.

***

Terpopuler

Comments

indah aca

indah aca

berasa ikut didalam cerita..bner2 pinter ngegambarin alurnya,deskripsi tentang semuanya ngena banget

2024-01-29

0

AbiSatya

AbiSatya

wkwkwk... dikerjain kaji Idris😂

2023-06-24

0

Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman

Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman

brasa lgi dengerin drama kolosal

2022-10-17

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!