Tok...tok...tok...
Terdengar suara ketukan pintu,"Masuk..." ucap seorang remaja yang baru terbangun.
Terlihat Ren masuk seperti biasa, membawa sebuah nampan lengkap dengan buah-buahan, susu, serta sereal gandum.
"Sereal lagi!?" Jeny menatap jenuh.
"Sttt ... makan ya!? Aku akan memberi nona hadiah..." Ren menunjukkan sekotak coklat di bawah nampannya.
"Bagaimana kamu bisa beli!? Bukannya uang jajanmu sedikit ya!?" Jeny mengenyitkan keningnya.
"Aku menabung!!" Ren mengalihkan pandangannya dengan wajah bersemu merah.
"Makan sereal nya ya!!" lanjutannya kembali menyodorkan mangkuk yang dibawanya.
"Boleh, kalau kamu menyuapiku..." ucap Jeny tersenyum cerah.
Mati-matian Ren menahan perasaan aneh dalam dirinya. Mulai menyuapi Jeny,"Nona, makanlah yang banyak..." ucapnya penuh senyuman, tertawa kecil.
***
Beberapa puluh menit berlalu, pasangan pelayan dan majikannya itu terlihat memarkirkan sepedanya.
"Aku ke kelas duluan!! Belikan aku minuman..." Jeny menyodorkan selembar uang kertas sepuluh ribu rupiah.
Ren menghela nafasnya, sembari tersenyum,"Baik nona..."
"Ice chocolate dengan toping meses coklat," Jeny berucap penuh senyuman.
"Teh susu!!" Ren berucap tegas.
"Susu!? Kamu fikir aku anak kecil apa?" Jeny membentak kesal.
"Teh susu hangat atau aku tidak bersedia mengantar nona ke sekolah lagi!?" Ren kali ini mengenyitkan keningnya, berucap tegas.
"Kenapa tidak boleh!?" Jeny meninggikan nada bicaranya.
"Nanti nona bertambah gemuk dan aku jadi sulit membonceng nona!!" Ren membentak, memarkirkan sepedanya asal terlihat kesal, berjalan cepat menuju kantin.
"Minuman dingin tidak boleh dimakan pagi hari, nona bodoh...Aku hanya tidak ingin kamu sakit." Ucap Ren dalam hatinya berjalan meninggalkan nonanya.
"Jika dia marah ternyata lumayan menyeramkan," Jeny berdidik ngeri.
Langkah kaki Ren perlahan memasuki kelas, menghebuskan nafas berat. Terlihat seorang gadis di dekati beberapa remaja yang seusia dengan mereka.
"Aku hanya seorang pelayan, Jeny adalah nona mudaku..." Ren berucap dalam hati, mengepalkan tangan kirinya menahan rasa geram. Sedangkan tangan kanannya, membawa minuman untuk Jeny.
"Ren datang, ayo cemburulah!! cemburulah!! lalu katakan kamu menyukaiku..." batin Jeny menatap kedatangan Ren, berbicara lebih akrab lagi dengan teman-teman pria di kelas mereka. Seolah tidak mempedulikan makhluk kaku yang baru datang.
"Ini nona, minuman dan kembaliannya..." Ren berucap memaksakan dirinya untuk tersenyum, menyodorkan teh susu hangat, berserta kembalian Jeny. Kemudian mulai mengambil beberapa buku di tasnya.
"Dasar kaku!!" Jeny mengumpat dengan suara kecil. Bersamaan dengan kedatangan guru pelajaran mereka, serta bubarnya para siswa laki-laki yang mengobrol dengan Jeny.
"Ren, menyebalkan!!" Jeny kembali mengumpat.
"Ren, kamu tidak tertarik mempunyai pacar!?" Jeny berbisik, bertanya pada makhluk yang duduk di sampingnya, penuh rasa penasaran.
"Tidak, sebagain besar cinta pertama akan dilupakan setelah sekian tahun. Aku masih berusia 14 tahun, tidak akan bisa menjaga orang yang aku sukai dengan baik." Ren menghela nafasnya.
"Pemikiran yang dewasa, tapi jika orang yang kamu sukai direbut bagaimana!?" Jeny mengenyitkan keningnya.
"Asalkan dia bahagia itu sudah cukup..." Ren tersenyum mengacak-acak rambut Jeny gemas.
"Sudahlah, kita harus kembali belajar..." lanjutannya, sedangkan Jeny hanya tertegun menatap remaja yang lebih pendek dan berkacamata itu.
"Aku bertambah menyukainya, tapi apa benar cinta pertama tidak akan berhasil hingga akhir. Tidak apa-apa, hanya Ren cinta pertama dan terakhirku. Itulah ambisi seorang Jeny..." batin Jeny diam-diam tersenyum, menatap teman sebangkunya.
***
Hari berlalu, setiap hari bersama dan saling menyayangi, walaupun sesekali bertengkar karena hal kecil. Malam itu udara cukup dingin keduanya berkutat dengan tugasnya di gazebo halaman belakang yang cukup sepi, Jeny belum juga selesai mengerjakan tugasnya, menatap wajah Ren yang tengah konsentrasi menulis.
"Nona, apa nona sudah selesai!?" tanya Ren.
"Belum," Jeny menggelengkan kepalanya.
"Kenapa tidak dikerjakan!?" Ren mengenyitkan keningnya.
"A...aku menyukaimu!!" ucapnya dengan keras, sambil memejamkan matanya. Perlahan sedikit mengintip ingin mengetahui jawaban remaja di hadapannya.
Ren terdiam membisu tidak tau harus berkata apa, menutup bukunya dengan raut wajah tertegun menahan debaran hatinya.
"Kamu tidak menjawab!? Apa tidak menyukaiku!? Dasar Ren jahat!!" Jeny membentak, dengan segala keberanian yang dikumpulkan mengungkapkan perasaannya. Namun tidak mendapatkan respon sama sekali.
Ren menarik tangan Jeny, mendorongnya hingga tersudut di salah satu tiang penyangga. Perlahan berjinjit mencium bibir Jeny yang lebih tinggi darinya, hanya kecupan sekilas namun berkali-kali."Aku menyukai nona," ucapnya tersenyum hangat.
Tanpa diduga Jeny kembali mendekatkan bibirnya mencium Ren. Kali ini mata keduanya terpejam, saling membuka mulut, entah siapa yang memulai, lidah mereka saling bertaut, memilin berpadu.
"Pacarku yang pendek..." Jeny tertawa kecil dengan nafas tidak teratur, perlahan tangannya mengacak-acak rambut Ren.
"Tidak boleh seperti ini, aku adalah pacarmu. Kenapa aku masih menjadi kaum tertindas!?" Ren berucap dengan suara cemprengnya.
"Karena aku nona sekaligus pacarmu," Jeny kembali tersenyum.
"Nona, apa tidak sebaiknya kita berteman saja!? Saat lulus SMU beberapa tahun lagi nanti baru..." ucapan Ren terhenti, Jeny mengecup bibirnya sekilas.
"Apa yang kamu khawatirkan!? Kita hanya pacaran memperjelas hubungan. Bukan berbuat yang tidak tidak!!" Jeny menyentil dahi Ren.
"Ya Tuhan, kenapa diusiaku yang semuda ini aku bisa menyukai makhluk penindas sepertinya..." batin Ren menghela nafasnya dalam-dalam.
"Tapi kalau kamu mau janji, akan dapat merebut peringkat pertama di kelas semester ini," Ren mengenyitkan keningnya.
"Janji... tapi ada imbalannya setiap hari minggu, kamu harus menciumku!!" jawabnya acuh.
"Deal!!" Ren penuh senyuman, mulai mengajari pacar sekaligus nonanya.
"Akhirnya kami resmi pacaran, mimpi apa aku semalam!? Hatiku mau meledak... Aku akan melawan kalian para buku!! Demi ciuman setiap minggu dari Renku..." tekadnya dalam hati mulai membuka tumpukan buku, untuk pertama kalinya.
***
Hari demi hari berlalu, Jeny merupakan siswa yang cukup cerdas sebenarnya. Dapat dikatakan jenius. Namun, terkadang malas, dengan tekat yang menggebu-gebu untuk mendapatkan hadiah dari Ren setiap minggunya. Dalam tiga bulan, bahkan Jeny mendapatkan kepercayaan mengikuti olimpiade matematika oleh sekolahnya.
Hingga sampai memenangkan ke tingkat nasional, namun menolak untuk jadi perwakilan pergi ke luar negeri. Apalagi alasannya jika bukan tidak ingin berpisah dengan cinta pertamanya.
Hingga, prestasi Jeny terdengar di telinga kakeknya yang tinggal di Australia. Cucu kebanggaannya Nana yang menginjak bangku SMU menjadi harapan untuk mewarisi usahanya malah terkena kasus narkotika.
"George (George Michael, paman Jeny) urus putrimu dengan baik!!" Sam (kakek Jeny) membentak, melepaskan syalnya setelah datang dari pusat rehabilitasi ketergantungan obat-obatan.
"Maaf ayah!!" ucapnya tertunduk.
"Kakak harusnya bisa mempunyai anak seperti putriku, beberapa hari ini dia diliput media asing. Peringat pertama olimpiade matematika di Indonesia," Dea (ibu Jeny) membanggakan putri yang hanya dikiriminya uang.
Sam mulai duduk memijit pelipisnya, kemudian menghembuskan nafas kasar."Kamu terlalu santai sebagai seorang ibu, setelah Nana (sepupu Jeny) terkena kasus penyalahgunaan narkotika, hanya Jeny yang sesuai mewarisi perusahaan kita. Lebih baik kamu pulang dan jaga Jeny baik-baik jangan sampai dia mempunyai kelemahan atau aib sedikitpun."
"Baik ayah..." ucapnya penuh senyuman.
"Akhirnya Jeny yang biasa-biasa saja menunjukkan kemampuannya. Ayah, akan aku pastikan Jeny akan menjadi ahli waris yang sesuai..." Dea bergumam dalam hatinya.
***
Tidak ada yang terjadi hanya sekedar berciuman penuh tawa. Terhanyut dalam perasaan mereka...
"Jeny hentikan!!" Ren tertawa, tubuhnya digelitiki gadis itu.
Dengan cepat Ren mengambil kesempatan membalik posisi mereka, mengecup bibir Jeny sekilas.
Seperti biasa, Jeny hanya dapat terpaku tidak melawan."Aku menyukaimu," ucap Ren penuh tawa.
"Aku juga..." Jeny menjawab.
Seorang wanita memasuki rumah menanyakan keberadaan putri tunggalnya. Seorang pelayan mengantarkan nyonya itu ke halaman belakang. Tidak disangka pemandangan tidak diinginkan dilihatnya.
Sepasang remaja yang tengah berciuman. Wajah wanita itu pucat, tangannya mengepal, menyadari satu satunya ahli waris yang tidak pernah diawasinya memiliki kelemahan.
Perlahan menghela nafasnya, berpura-pura tidak mengetahui hubungan pelayan dan nonanya itu. Merebut perhatian anaknya adalah prioritasnya saat ini.
"Jeny!!" Dea berteriak memanggil putrinya seolah tidak tau apapun.
"Ibu!?" Jeny mengenyitkan keningnya, hubungannya dengan ibunya memang tidak begitu dekat. Pasalnya Dea lebih sibuk dan mementingkan bisnisnya. Sedari kecil yang menemani Jeny hanya ayahnya dan Ren.
"Ibu membawakan kalian oleh-oleh," ucapnya tersenyum ramah.
"Ini untuk Jeny, sebaiknya coba dulu di kamarmu," Dea menyodorkan dua buah paper bag besar berisikan pakaian.
"Ada angin apa ibu jadi sebaik ini!? apa pakaiannya ditaburi bubuk gatal..." fikir Jeny menepuk nepuk pakaian baru itu.
"Kamu sedang apa!?" Dea mengenyitkan keningnya.
"Menghilangkan bubuk gatal, Ren sebaiknya kamu juga periksa milikmu..." Jeny menatap jengkel.
"Anak kurang ajar!! bagaimana Dony (almarhum ayah Jeny) mendidiknya!? Hingga berani kurang ajar begini kepada ibunya," batin Dea berusaha tetap tersenyum.
"Jeny ibu tidak mungkin..." ucapan Dea terpotong.
"Obat pencahar di kopi paman!?" Jeny mengenyitkan keningnya.
"Itu karena berani menentang Dea dalam rapat keluarga besar... Aku memang hebat..." Dea bangga dalam hatinya.
"Dia diare karena terlalu banyak makan berserat, makan makanan berserat baik untuk tubuh. Tapi bisa juga berdampak buruk jika terlalu banyak." Dea menghela nafasnya sembari tersenyum.
"Obat tidur di minuman ayah!?" Jeny berucap, menatap tajam.
"Ayahmu mau dinas ke luar kota, lebih baik dia turun pangkat karena terlambatkan!? Supaya ada yang mengawasimu, saat ibu mengurus perusahaan," fikir Dea mengenyitkan keningnya, kemudian menghela nafasnya.
"Dia tidak sengaja minum obat milik ibu..." Dea tersenyum cerah.
"Sudahlah, aku dan Ren harus belajar lagi..." Jeny meletakkan paper bag, kembali menyelesaikan soal yang diberikan Ren. Konsentrasi belajar bersama, sembari sesekali tertawa dalam senyumannya.
***
Hari berganti sore, Ren mulai berjalan membawa sebuah nampan ke kamar nona mudanya. Langkahnya di hentikan sepasang kaki majikannya.
"Aku ingin bicara denganmu..." ucapnya.
Ren menghela nafasnya, bagaikan sudah menebak hal yang akan terjadi,"Maaf..." ucapnya tertunduk.
"Saya menyayangi nona ingin nona menjadi lebih baik. Karena itu saya..." ucapannya di sela.
"Kamu sadar menjadi penghalang dan kelemahan Jeny. Aku sudah mendengar semuanya, bahkan Jeny membatalkan pergi ke luar negeri untukmu," Dea menghela nafas menatap jengkel pada anak yang diadopsi oleh almarhum suaminya itu.
"Saya sadar..." Ren tertunduk, dengan status dan kerasnya hidup yang dijalinnya fikirannya memang lebih dewasa dari anak seusianya.
"Tinggalkan rumah ini, atau aku akan bertindak." Dea pergi berlalu, meninggalkan Ren yang tertunduk.
Remaja itu menghembuskan nafas kasar, mengetuk pintu kamar nonanya.
"Nona..." panggilnya.
"Masuk!!" terdengar suara seseorang dari dalam sana.
Ren segera masuk berucap penuh senyuman,"Sate ayam tanpa kecap manis, lengkap dengan irisan bawang," ucapnya seakan tidak memiliki beban.
"Kamu selalu tau seleraku!!" Jeny buru-buru mengambil sepiring sate lengkap dengan nasinya itu. Memakannya dengan rakus.
"Pelan-pelan," Ren menyodorkan segelas air.
"Terimakasih..." Jeny berucap penuh senyuman, meraih segelas air putih itu kemudian meminumnya.
"Jeny..." Ren menatap ke arah jendela yang terbuka.
"Apa!?" Jeny dengan mulut penuh.
"Pernah tidak kamu berfikir jika hubungan kita hanya kekasih masa kecil," ucapnya.
"Magsudnya!?" Jeny tidak mengerti menghentikan aktivitas makannya.
"Suatu hari nanti ketika dewasa kamu harus menikah dengan orang yang sederajat. Tidak boleh mengingatku lagi..." jawabnya berusaha untuk tersenyum.
"Tidak mau!! Jangan berkata hal yang bodoh!!" Jeny mengenyitkan keningnya kesal.
"Tapi jika seandainya ada waktu seperti itu. Berjanjilah suatu hari nanti jika kamu menikah, sayangilah suamimu seperti kamu menyayangiku..." ucapnya tersenyum lembut.
"Tidak, dari kecil kita bersama, besar, tua, mati juga harus bersama!!" Jeny menangis merajuk.
"Berjanjilah!!" Ren hanya terdiam dengan raut wajah tegas.
"Tidak mau!!" Jeny mengalihkan pandangannya.
"Aku tidak akan mau mencium mu lagi, kalau kamu tidak mau berjanji..." Ren menatap ke arah lain.
Jeny membulatkan matanya, mulai berfikir. "Ren tidak serius kan!? Tenang Jeny, Ren berkata 'Jika' kan!? Berarti tidak akan terjadi."
"Aku berjanji!!" Jeny menghela nafasnya dalam-dalam berucap dengan suara keras.
"Bagus..." Ren tersenyum hangat, menarik bagian belakang kepala Jeny untuk mendekat, merasakan bibir gadis yang dicintainya, menjelajahi celah demi celah sudut bibir Jeny. Jeny memejamkan mata, menikmati setiap sentuhan di bibirnya. Tanpa menyadari air mata mengalir di pipi Ren.
"Rasanya seperti sate..." Ren tertawa kecil.
"Kamu menangis!?" Jeny mengenyitkan keningnya.
"Karena terlalu bahagia, nona sangat mencintaiku," ucapnya tersenyum lembut.
"Aku tidak dapat meninggalkan nona, aku tidak tau apa yang akan nyonya lakukan. Namun, jika itu demi kebaikan nona, aku tidak akan merasa keberatan," batin sang remaja.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 164 Episodes
Comments
ahjuma80
buktikan diri ya ren lampaui jenny
2024-07-24
0
Arima Nur
cinta datang dan tumbuh karena terbiasa
2024-05-01
0
Sulaiman Efendy
KASIAN SI REN... DEA EGOIS SBAGAI IBU..
2024-01-23
0