ADILAGA
Genta murca berdentang, tanda dimulainya rentetan prahara.
Sebuah mobil minibus melaju dalam kegelapan malam, di jalanan yang sepi. Hanya ada pepohonan di kanan-kiri, tak tampak satupun rumah sejauh mata memandang. Tampak di sisi mobil minibus putih itu tulisan hitam “WARDHANA LOGISTICS”.
Seorang supir dan keneknya sedang berbincang-bincang di dalam mobil, berusaha menghalau rasa kantuk yang kerap menyapa. Sesekali mereka bercanda, melontarkan lelucon-lelucon yang tak senonoh, namun sukses mengocok perut.
“Haha, sudah ah, Bud!” celetuk si supir. “Kita sudah keluar dari jalan tol dan masuk daerah rumah bos, nih!”
“Wah, iya juga, Wan. Nggak terasa juga ya, setelah ngobrol sepanjang jalan dari Museum Nasional. Tapi kira-kira barang apa yang kita angkut di belakang itu, ya?” celoteh kenek bernama Budi itu.
Iwan mengangkat bahu. “Entahlah, aku juga tak tahu. Di surat jalan hanya tertulis serangkaian kode huruf dan angka saja. Tapi bukan rahasia lagi, bos kita memang peneliti kebudayaan dan artefak kuno yang cukup disegani. Yah, walaupun memang beliau lebih terkenal sebagai salah satu konglomerat muda tersukses di Indonesia.”
Budi, si kenek mengangguk. “Iya, ya. Keren sekali bos kita itu. Tapi, terus terang aku bingung, kenapa rumahnya di Jakarta ada di tempat jauh, gelap dan terpencil? Apalagi saat tengah malam buta seperti ini…”
“Itu karena rumah beliau amat luas, dan bos butuh udara segar, jauh dari polusi perkotaan agar bisa lebih leluasa dengan ‘riset-riset budaya’-nya itu.” Iwan menyikut rekannya itu. “Wah, wah, jangan bilang kamu takut kalau-kalau ada pocong atau kuntilanak tiba-tiba muncul dan menghadang di depan kita.”
“Hei, itu sama sekali nggak lucu, Wan!” sergah Budi sambil mendelik ke arah rekannya itu. “Amit-amit, sebaiknya kita jauh-jauh dari segala makhluk, bneda atau hal-hal gaib! Lebih baik tunaikan tugas dan pulang dengan selamat…”
Tiba-tiba Iwan memotong, “Ssh, Bud! Lihat di depan sana!” Ia menunjuk ke arah depan mobil
“Apaan sih? Sudah kubilang jangan bercan…” Budi berhenti bicara, mulutnya ternganga.
Tampak sosok serba putih berdiri tak terlalu jauh di depan mobil. Supaya tak menabrak sosok itu, Iwan injak rem mendadak. Tak memakai sabuk pengaman, kepala Budi terbentur kaca depan minibus. Namun marahpun ia tak sempat, wajahnya memucat seakan melihat hantu.
Betapa tidak, sosok putih itu mengenakan kain kafan putih kusam yang terikat tepat di atas kepalanya, dan ujung satunya dibiarkan menjuntai ke tanah hingga menyerupai rok panjang compang-camping. Walau demikian, Budi dan Iwan tetap mengenalinya sebagai sejenis mayat hidup atau zombie asal Indonesia, yang sebutannya adalah…
“… Pocong!” teriak Budi histeris. “Tancap gas, Wan! Lewati dia! Siapa tahu itu modus perampokan, menakut-nakuti kita dengan manusia berkostum pocong!”
Iwan terpaku, gemetaran. Ia mungkin merasakan penampakan gaib di depannya ini terlalu… nyata.
“Ayo, tancap gas!”
Kali ini Iwan menanggapinya dengan tergagap, “B-bagaimana kalau itu s-sungguhan? B-bagaimana kalau ia m-mengejar kita?”
“Tabrak saja! Mobil ini kuat, ‘kan?” Akal sederhana Budi cenderung memilih pemecahan paling mudah. “Kalau dia manusia, minimal dia bisa menghindar, ‘kan? Cepat Wan, sebelum kawanannya mengepung kita!” Dengan sigap ia mengeluarkan pistol, peralatan wajib bagi para kurir mobil berpengaman di perusahaan manapun.
Tanpa pikir panjang, Iwan mengangguk. Minibus mulai melaju, makin lama makin cepat. Gilanya, si pocong tetap bergeming. Apa dia memang tipe manusia nekad yang baru menghindar di saat-saat terakhir?
Semua pemikiran Budi dan Iwan itu keliru.
Alasannya? Saat berikutnya, tiba-tiba sosok si pocong berubah. Tubuhnya seakan membengkak, meraksasa dan tampak teramat kekar. Bahkan kain kafan yang ia kenakan terangkat hingga ujung-ujungnya sejajar dengan pusar.
Kedua insan dalam mobil berteriak-teriak bagai gila, namun Iwan tak melambatkan mobilnya sedikitpun. Harapannya, “makhluk” itu mati tertabrak.
Melalui sebuah pertunjukkan kekuatan yang melampaui batasan akal, si “pocong raksasa” mencengkeram kedua sisi “wajah” minibus itu, menahan lajunya. Kedua roda depan minibus masih berputar keras dan berdecit nyaring. Namun saat bagian depan mobil diangkat tinggi-tinggi, dua roda belakang mobil terhenti seketika.
Terhenti pulalah usaha kedua manusia itu untuk bertahan hidup. Mereka hanya bisa berteriak-teriak histeris, tanpa tahu apa ada yang cukup kuat, cukup berani untuk menyelamatkan jiwa mereka dari ancaman ini.
Bagai semilir angin, sebuah suara wanita terdengar lirih, namun amat jelas. “Wah, wah, Gangren, jangan terlalu kasar pada kedua tamu kita ini.”
Seakan mematuhi si wanita, si pocong raksasa lantas membanting mobil ke bawah kuat-kuat. Sekali lagi, Budi terlonjak paling keras. Lukanya amat parah, kepala dan wajahnya berdarah-darah. Walau belum sekarat seperti rekannya, Iwan seakan tengah menatap dua malaikat maut yang hendak menjemput dirinya dan keneknya. Seakan segala warna tersaput dari wajahnya kini.
Si wanita misterius muncul dan bergerak ke arah mobil. Gerakannya amat aneh, melayang tanpa melangkah atau menjejak tanah. Rambut dan gaunnya amat panjang, putih dan terurai. Yang paling mengerikan, seluruh kulit wajah dan tubuhnya tampak amat pucat-kebiruan. Ditambah pula warna hitam-legam sekitar mata, alis dan bibir tampak bagai kosmetik yang amat tebal.
Secara keseluruhan, wanita itu tampak seperti hantu wanita, kuntilanak.
Lantas, si “kuntilanak hidup” masuk begitu saja dari jendela mobil yang pecah-berantakan, darah hitam yang menetes dari luka-luka goresan pecahan kaca tak dihiraukannya. Toh luka-luka itu bakal merapat kembali dengan cepat.
Iwan yang masih terpaku dan terhimpit dalam mobil ringsek itu hanya bisa menatap wajah cantik namun menyeramkan itu dekat sekali di hadapannya.
Si kuntilanak lantas bicara dengan halus namun dibuat-buat seperti tadi, “Nah, perkenalkan. Namaku Okkult dan temanku yang pemalu itu Gangren.”
Walau sejak tadi tak bicara, Gangren si pocong raksasa sama sekali tak terkesan pemalu. Ia lantas berjalan ke belakang mobil, lalu mencabut pintu belakang dengan mudahnya seolah-olah merobek kardus.
Okkult si kuntilanak hidup melanjutkan, “Kami hanya ingin mengambil satu benda saja dari dalam mobil kalian. Tentunya kalian mau memberikannya dengan senang hati, ‘kan?”
Budi yang sekarat tak mampu bicara. Hanya Iwan yang mengangguk-angguk seperti orang dungu. “Eh, i-iya, mbak. Silakan, ambillah semua yang mbak mau, tapi kumohon jangan bunuh kami! Nanti anak-istri kami…”
“Tat, tat, tat!” Dengan gaya kebarat-baratan, Okkult menggoyangkan telunjuknya yang teracung di depan Iwan. “Aku tahu, kalian pasti meminta hal itu. Tapi tadi kami tak menjanjikan apa-apa, ‘kan?”
Wajah Iwan jadi hampir sepucat Okkult. Apalagi saat satu kuku jari kuntilanak yang hitam dan panjang itu menembus sampai ke nadi tangan Iwan seperti jarum suntik raksasa.
“Nah, satu lagi untuk rekanmu ini.” Okkult juga “menyuntik” Budi, mengakhiri nasib si kenek sekarat itu. Rupanya kuku wanita berkekuatan hantu mistis itu mengandung racun. Tanpa tenaga dalam yang disebut prana yang memadai, kematian adalah harga mati, akhir yang pasti.
“K… Kejam kalian…” ujar Iwan terbata-bata sambil menitikkan air mata. Terbayang olehnya istri dan anaknya yang pasti bakal hidup menderita sepeninggal sang kepala keluarga, sumber utama nafkah mereka. Wajahnya mulai membiru seiring racun yang mulai bereaksi, mengaliri seluruh tubuhnya.
Namun Okkult tetap nampak santai, dan terkesan agak bosan. “Yah, apa mau dikata. Tuntutan utama profesi kami ini adalah pantang ada saksi. Jari-jari kami tak bersidik, darahpun takkan memberi petunjuk sama sekali. Sudahlah, terima saja nasib kalian, pergilah ke akhirat atau jadi arwah penasaran! Nah, Gangren sudah mendapatkan barangnya.”
Dengan sisa tenaga terakhirnya, Iwan menoleh. Dilihatnya si pocong raksasa membawa sebuah kotak besi tahan api berlabel “SANGAT RAHASIA”.
Hanya demi kotak kecil itukah Iwan dan Budi kehilangan nyawa? Sebegitu berhargakah isinya, hingga butuh dua pendekar super sakti untuk merebutnya? Mungkin saja jawaban kedua pertanyaan itu adalah “ya”, menilik pakaian dan tubuh Gangren yang menghitam seperti hangus, seakan baru saja tersambar rentetan petir maha dahsyat.
Bagi Iwan, kini semua percuma. Semua ini telah terjadi, tak mungkin ia hindari lagi.
Beberapa saat sebelum racun menjalari jantungnya, Iwan sempat melihat Gangren dan Okkult, si pocong dan si kuntilanak beraga manusia hidup itu berbalik, melenggang pergi membawa hasil jarahan mereka. Langkah-langkah mereka pelan dan santai, sosok-sosok mereka seakan berangsur-angsur menghilang ditelan kegelapan malam.
Suara yang terakhir Iwan dengar adalah Okkult yang melantunkan tembang bernada lirih dalam Bahasa Jawa yang tak dimengertinya.
Tembang pengantar arwah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Yamazakura
saingan berat nih,
salam dari RAWARONTEK
2020-12-20
0
RAtulip
Keren.
2020-01-16
2
muhammad saryono29
mantap
2019-12-26
3