Tiba di lereng Gunung Jalatunda, Bandung Bondowoso segera memulai pekerjaannya. Mengandalkan Pedang Himawari, prana es membekukan batu-batu gunung dan membuat lubang dengan prana yang berpusar bagai bor raksasa zaman modern.
Tak terlalu banyak batu yang terkikis di hari pertama. Jadi Bandung terus menggali dengan sabar, beristirahat sejenak bila lelah dan bermeditasi bila kehabisan prana. Beberapa prajurit Pengging di “lokasi proyek” hanya bertugas berjaga, memberi makanan, menaik-turunkan sang pangeran dengan tali dan menaikkan pecahan-pecahan batu dengan keranjang.
Dengan pola kerja itulah Bandung menggali siang-malam. Ia baru sadar, tugas ini ia lakukan karena cintanya pada rakyat Baka, bukan pada Jonggrang seorang. Ia ingin menjadi raja yang baik, bukan penjajah, apalagi penjarah. Rasa sukacita membuncah di hati Bandung, membuat kerjanya makin cepat, makin bertenaga.
Suatu malam, saat menggali, Bandung mendengar sayup-sayup suara aliran air dari bebatuan di bawahnya. Hatinya girang, itu berarti tugas ujian pertamanya bakal rampung malam ini juga. Dengan semangat Bandung menghimpun prana es dan memusatkannya di ujung pedangnya.
Mendadak, batu-batu tampak berjatuhan dari atas. Kewalahan, Bandung terpaksa mengayunkan pedangnya ke atas untuk memecahkan batu-batu itu menjadi serpihan-serpihan kecil. Beberapa saat kemudian, dinding sumur berguncang seakan ada gempa, disusul satu guncangan dan suara berdebum yang amat dahsyat.
Bandung mengarahkan bilah pedangnya yang berpendar bagai lampu ke atas sambil menegadah. Tak ada benda apapun yang jatuh selain kerikil-kerikil dan debu. Dirundung firasat buruk, ia mencoba melihat ke atas. Benar saja, baru saja terjadi bencana tanah longsor atau semacamnya, sehingga mulut sumur tertutup batu besar. Tak ada suara lagi di atas, jangan-jangan semua prajurit di sana gugur terlanda longsoran. Lebih gawat lagi, bila Bandung tak cepat keluar, ia akan mati kehabisan udara.
Otak sang pangeran berpikir keras. Serangan pamungkasnya memang mampu memecahkan zirah prana batu, namun ia butuh air yang banyak untuk mengikis batu sungguhan itu. Dari mana ia bisa mendapat air untuk memperkuat prana esnya dalam kondisi terkurung begini?
Tiba-tiba Bandung teringat satu hal yang amat penting dan menentukan. Tanpa buang waktu, ia mengarahkan pedangnya ke bawah, ke tempat persediaan air berada. Dengan sisa prananya, ia kembali menggali dan membor. Satu-satunya harapan, semoga pusaran air jenuh yang memadati ceruk perut gunung akan memberikan gaya dorong ke atas yang cukup kuat.
Saat akhirnya Bandung berhasil membuat lubang, tiba-tiba air bertekanan tinggi menyembur. Dengan satu hunjaman terakhir, Bandung membuat lubang itu jadi cukup besar, hingga semburan makin kuat dan makin tinggi, jauh ke atas… dan mendorong batu besar yang menutupi lubang sumur hingga jatuh menggelinding.
Tentu saja Bandung ikut keluar dari sumur itu dengan menjejakkan kaki pada semburan air sambil mengerahkan energi sejati. Akhirnya, udara bebas dihirupnya dalam-dalam. Dalam kelelahan yang sangat, Bandung berbaring dekat pancuran air, beristirahat.
Beberapa mayat prajurit Pengging tampak terkapar tak jauh dari tempat Bandung, membuat sang pemimpin melolong duka. Namun, ada yang aneh dari mayat-mayat itu. Posisi mereka tak seperti kena longsoran batu, terlalu dekat jatuhnya.
Yang lebih mencurigakan lagi, tak ada bekas longsor baru di gunung batu yang nyaris gundul itu. Jangan-jangan yang jatuh tadi hanya beberapa batu besar dan satu batu raksasa… seolah-olah “batu longsor” tadi benar-benar disengaja. Tapi, butuh setidaknya sepuluh orang yang amat kuat dan sakti untuk merontokkan dan menggelindingkan batu-batu itu.
Bandung baru sadar, ada satu orang di Kerajaan Baka yang mampu melakukannya… sendirian.
\==oOo==
“Mengaku sajalah kau, Ratu Roro Jonggrang!” seru Bandung Bondowoso sambil menodongkan Himawari ke arah tenggorokan wanita cantik nan licik itu sekembalinya di Keraton Baka. “Kau pasti menyembunyikan si penjahat perang, Patih Gupala di istana ini, lalu memerintahkannya agar mengurungku sampai mati di dasar Sumur Jalatunda!”
Roro Jonggrang terkejut bukan kepalang. “Apa!? Kau salah paham, Bandung! Sudah kubilang Gupala menghilang setelah perang, ‘kan? Aku sudah mendengar laporan tentang ‘bencana’ kemarin malam, Bandung, dan itu sama sekali bukan kejadian yang disengaja!”
“Bagaimana bisa batu-batu besar itu menggelinding sendiri dari atas gunung?”
Dengan penuh keyakinan Jonggrang menepis bilah Himawari ke samping, lalu melangkah mendekati si pangeran tampan-sakti. Suaranyapun jadi amat merdu menggoda. “Wahai pangeran rupawan, ingatkah kalau aksimu yang dahsyat itu menimbulkan guncangan dan getaran terus-menerus pada permukaan gunung? Batu-batu besar yang jatuh itu terletak di sepanjang lereng gunung yang tak jauh di atas sumur. Jadi, getaran dahsyatlah yang menyebabkan batu-batu itu jatuh, membunuh para prajurit sekaligus menyumbat lubang sumur.”
Bandung terhenyak. Penjelasan Jonggrang tadi cukup masuk akal, walaupun mengandung beberapa kebetulan. Mungkin inilah kehendak Yang Maha Kuasa untuk menguji ketulusan hati Bandung lewat batu yang pas menutup mulut sumur itu. Lagipula, pendar di mata si jelita menyiratkan cinta yang baru terbit, mustahil Roro Jonggrang tega menipu calon pendamping hidupnya ini.
Namun, pelukan, apalagi ciuman mesra dari sang ratu jelita masih setindak juang jauhnya. “Nah, yang penting kini anda telah lulus dari ujian pertama, Raden Bandung Bondowoso. Tinggal satu tugas lagi yang harus anda tunaikan agar layak menjadi raja sejati untuk Baka… dan diriku.”
Jonggrang mengatakannya dengan gaya yang amat menggoda, membuat Bandung menelan ludah, prinsip tata-kramanya hampir goyah. Yang pasti, akal sehat Bandunglah yang mulai dibutakan oleh cinta mutlaknya pada Jonggrang.
“Mengenai ujian kedua…” lanjut Jonggrang. “Seperti yang anda lihat, rakyat Baka ini amat menderita. Saat ayahanda mempersiapkan perang, beliau menarik pajak amat tinggi dan merekrut tentara dari kalangan rakyat biasa. Negeri Baka jadi carut-marut, sampai-sampai rakyat melupakan agama dan kerohanian.”
Bandung terpana. Ia sempat melihat kondisi rakyat saat pertama kali tiba di Baka, namun sama sekali tak menduga “kerusakan” mereka separah ini.
“Banyak rakyat yang terpaksa mengemis dan jadi budak. Banyak yang jadi penjahat, bahkan banyak pula yang jadi kanibal.”
Bandung bertanya, “Lantas, apa Paduka sudah punya rencana untuk memperbaiki keadaan ini?”
“Ada beberapa rencana yang sudah matang setelah bermufakat dengan para penasihat dan sesepuh kerajaan. Namun semua itu bakal percuma saja tanpa memulihkan moral, akhlak dan kerohanian rakyat terlebih dahulu. Dan saya punya cara untuk memulihkkan keduanya sekaligus.”
“Apa itu?” Bandung mulai tertarik mengetahui pemikiran Jonggrang. Bila mereka berdua bersatu, bisa jadi Pengging-Baka bakal jadi negeri yang besar nan makmur.
“Negeri Baka butuh tempat ibadah yang agung, begitu agungnya hingga rakyat selalu ingat beribadah agar mendapat berkah.”
“Maksud Paduka, semacam candi yang amat unik, sulit disamai negeri manapun di dunia?”
“Persis.”
“Tapi, untuk membangun candi seperti itu butuh waktu bertahun-tahun dan biaya yang tidak sedikit.”
“Saya tahu. Karena itu inilah tugas ujian kedua untuk anda, Pangeran Bandung Bondowoso,” Roro Jonggrang bertitah. “Bangunlah seribu candi di satu tempat dalam waktu satu malam. Bila anda lulus ujian ini, kita akan menikah keesokan paginya.”
“Hanya dewa yang mampu menuntaskan tugas ini,” protes Bandung.
“Kalau begitu, hanya dewa yang pantas jadi pendampingku,” tanggap si jelita.
Bandung sudah ingin melabrak ratu tak tahu diri dan seenaknya ini, Jonggrang lanjut bicara, “Jangan marah dulu, pangeran yang terhormat. Saya yakin, orang yang menggali Sumur Jalatunda sendirian dalam waktu singkat pasti punya kesaktian dewa atau setaranya. Dengan kadar kesaktian yang sama, anda pasti mampu menuntaskan tugas ini pula.”
Salah. Kekuatan yang dibutuhkan untuk membangun seribu candi dalam semalam pasti seribu kali lebih besar daripada membangun satu sumur di gunung dalam seminggu. Bandung baru sadar, Jonggrang sengaja mengajukan syarat ini karena ia ingin mati. Bisa jadi ini taktik bunuh diri, memberi kesempatan pada pihak ketiga merebut takhta Baka bila Bandung menyerang dan membunuh Jonggrang. Andai Bandung berhasilpun Jonggrang bakal memilih bunuh diri daripada membiarkan si penjajah mendapatkan semua yang ia inginkan.
Jadi, demi cintanya pada Roro Jonggrang dan rakyat Baka, Bandung tak punya pilihan kecuali menjawab, “Baik, saya akan melaksanakan tugas ini.”
\==oOo==
Sepanjang siang, Bandung Bondowoso duduk bersila, berpikir keras sambil memandang hamparan bukit berbatu-batu yang amat luas di hadapannya.Benaknya berpacu keras.
Ini sungguh tugas yang mustahil. Kalaupun aku mengerahkan seluruh tentara Pengging berjumlah seribu orang dan menggunakan Pedang Himawari lagi, mustahil menyelesaikan tugas ini dalam semalam! Ini taktik busuk untuk menghabisi seluruh pasukanku, hingga Baka bisa menyerang balik Pengging, membalas dendam rajanya! Ini jebakan yang pasti menguntungkan Baka, apapun hasilnya! Andai aku tak terpikat pada Jonggrang! Andai aku bisa jadi kejam!
Dalam kekesalan yang memuncak, Bandung memalukan tinjunya keras-keras di tanah. Pedang Es Himawari yang tergeletak di tanah terlonjak dan berkelontang akibat guncangan dari kekuatan tinju itu. Lalu, tiba-tiba Bandung terperangah melihat pedang itu bergetar hebat.
Lebih ajaib lagi, Pedang Himawari yang panjang berubah bentuk dan bertambah besar, hingga menjadi sesosok manusia raksasa dengan seluruh raganya adalah kristal seputih es. Bandung ternganga melihat sosok ini untuk pertama kalinya. “Astaga…! Kau… wujud asli Pedang Himawari?”
“Tepat sekali, wahai majikanku yang cerdas,” sahut si raksasa kristal. “Akulah Himawari, jin es dari pegunungan bersalju di belahan lain dunia.”
“Seorang… jin? Kudengar kaum jin amat sakti, dengan kekuatan gaib yang nyaris setara dewata. Mengapa kau malah berbentuk pedang?”
“Itu karena Yang Maha Kuasa menyeimbangkan kekuatan besarku dengan kutukan, terkurung dalam atau berganti wujud sebagai benda mati. Kalau tidak, setiap kali kekuatanku dilepas, keseimbangan alam terganggu.”
“Ah, rupanya itulah maksud guruku, Oonakh Dhuryan saat beliau berkata, ‘Bila keseimbangan alam terganggu dan kau menemui jalan buntu, wujud sejati Himawari akan tampil dan memperbaikinya seperti semula.’ Lalu ia mewariskan pedang es padaku.”
Jin Himawari mengangguk. “Kau ingat pesan gurumu, sungguh murid yang baik. Nah, aku sudah tahu tentang kesulitan yang sedang kauhadapi ini, dan aku bersedia membantumu.”
Senyum Bandung mengembang. “Terima kasih sebelumnya, wahai kawan setia. Sekarang, mari kita menyusun rencana…”
Saat matahari terbenam di balik cakrawala dan bulan sabit mulai merambati langit, Bandung Bondowoso dan Jin Himawari mulai bekerja. Pertama-tama, Himawari menggunakan kekuatan gaib untuk menggandakan dirinya sendiri hingga berjumlah seratus jin es kembar. Berikutnya, lima puluh jin es mulai membangun candi-candi, menyusun dan memahat batu demi batu dengan kecepatan yang mencengangkan.
Sadar kekuarangan bahan bangunan, Bandung Bondowoso bersama kelima puluh jin kembar sisanya melesat ke Sumur Jalatunda. Mereka mengangkati batu-batu besar bekas longsoran dan bekas galian sumur, bahkan mengikis bebatuan gunung yang mungkin bakal jatuh bila terjadi tanah longsor lagi di kemudian hari. Semua batu itu lantas diterbangkan ke lokasi pembangunan candi. Perlu waktu enam jam untuk terbang bolak-balik hingga semua batu yang ada tuntas dipindahkan dan bahan bangunan cukup sudah, bahkan berlebih untuk persediaan.
Kembali di “lokasi proyek”, Bandung Bondowoso melihat sepertiga dari jumlah seribu candi telah rampung, berjajar rapi mengelilingi candi-candi tempat ibadah utama yang masih setengah rampung. Masih ada enam jam hingga fajar tiba. Kini, dengan semua tenaga kerja yang ada, pekerjaan bisa rampung lebih cepat.
Dibantu para jin, Bandung lantas tak hanya bertindak sebagai mandor saja. Berbekal ilmu Tapak Es Himawari ajaran gurunya, Bandung membantu memotong batu-batu besar hingga menjadi balok-balok yang ukurannya persis sama. Rasa cintanya yang meluap-luap juga mempengaruhi seratus Himawari kembar, hingga hasil kerja merekapun jadi lebih indah, kokoh dan sempurna.
Tanpa terasa, tinggal kurang dari sejam sebelum fajar. Tampak sembilan ratus sembilan puluh sembilan candi telah berjajar teratur, membentuk formasi yang teramat apik. Anehnya, bahan-bahan batu malah habis sama sekali, dan delapan puluh jin sudah terbang pergi mengumpulkan batu. Bagaimana bisa begitu? Apakah Bandung atau Himawari salah perhitungan?”
“Tenang saja, tuanku,” kata Himawari asli dengan napas memburu. “Kita pasti mampu menyelesaikan candi terakhir tepat waktu.”
Bandung hanya mengangguk. Ia bermandi peluh, dan sekujur tubuhnya terasa nyeri dan pegal.
Tiba-tiba terdengar suara ayam berkokok dari kejauhan. Tak hanya seekor, seakan semua ayam jantan di Kerajaan Baka bersahut-sahutan menyambut fajar.
“Astaga, bukankah fajar masih satu jam lagi?” seru Bandung Bondowoso, tak percaya pendengarannya.
“Ya, benar! Perhitungan waktuku tak mungkin meleset!” tanggap Himawari. “Ini belum genap dua belas jam sejak matahari terbenam! Lihat, walau sudah ada secercah sinar dari ufuk timur, matahari jelas belum terbit!”
Tiba-tiba, para mata-mata Ratu Baka yang bertugas mengawasi Bandung bermunculan. Salah seorang dari mereka berseru, “Fajar sudah tiba! Ini titah Sri Ratu! Bandung Bondowoso, candi keseribu belum rampung, kau gagal menyelesaikan tugas dan tak lulus ujian!”
Tentu saja Bandung tak terima dengan putusan itu. “Tunggu dulu, matahari belum terbit! Hanya karena satu ayam salah berkokok dan ayam-ayam lain mengikutinya, tak berarti pagi benar-benar sudah tiba! Ayo Himawari, kita masih bisa merampungkan candi terakhir ini!”
“Tunggu! Lancang sekali kau menyanggah titahku, pangeran!” Seruan seorang wanita membuat Bandung menoleh, melihat Roro Jonggrang duduk dengan agungnya di kereta kencana. “Kokok ayam itu pertanda alam yang tak tergantung hitungan waktu, dan fajar bisa saja tiba sebelum matahari terbit!”
Bandung merasa sungguh geram. Seharusnya ia lebih teliti dan membawa persediaan bahan lebih banyak lagi agar pekerjaannya selesai satu jam lebih awal. Kini ia telah kalah. Pupuslah harapannya untuk mempersunting Roro Jonggrang dan menunjukkan wibawanya sebagai penguasa baru Baka. Jadi, terpaksa tinggal satu hal yang harus Bandung lakukan. “Ayo, Himawari! Kita tumpas Ratu Roro Jonggrang pembangkang ini!”
“Baik, tuanku!” Dengan sigap, Himawari dan para kembarannya yang sudah semuanya kembali ke lokasi pembangunan menyerbu maju. Tiba-tiba, satu alunan lagu membuat mereka semua terhenti udara.
Ternyata Roro Jonggrang turun dari kereta kencana dan memetik alat musik saktinya, Kecapi Jangkar Sukma, mengerahkan kesaktiannya di saat yang amat tepat. Ternyata alunan musik kecapi itu mampu memperdaya makhluk setangguh Jin Himawari. Inilah kejutan yang sungguh tak terjangkau pikiran tergila Bandung.
“Memuja Mawar, Mengentak Hati!” Roro Jonggrang mendadak mengubah irama dan melodi petikan kecapinya. Para Himawari di udara seperti tersambar petir, semuanya menutup sepasang telinga lancip masing-masing.
Bandungpun terpaksa menutup telinganya sambil menahan tegangan yang amat menyakitkan di sekujur tubuhnya. Ia melihat ke arah Jonggrang, tampak para mata-mata menempatkan diri di belakang sang ratu, semuanya menutup telinga. Dari sikap mereka yang tenang, rupanya mereka tak banyak terpengaruh lagu penyiksa ini.
Apalagi kini “kembaran-kembaran” Himawari berletupan dan menguap lenyap, menyisakan tubuh asli si jin yang masih terus bertahan. Para prajurit Pengging di barak jauh dari tempat Bandung mungkin tengah bertempur dengan tentara Baka sekarang. Nada-nada aneh Roro Jonggrang terus mengalun, siksaan sukma yang takkan berhenti sampai para musuh tumbang.
Dari hasil “pengamatan”-nya, satu gagasan terbit dalam benak Bandung Bondowoso. Sambil terus menahan sakit, pemuda itu berjalan terus, selangkah demi selangkah ke arah Roro Jonggrang. Setelah merasa cukup dekat, tiba-tiba Bandung berlari. Nyeri di tubuh makin menusuuk-nusuknya, namun lari laki-laki yang bertubuh prima penuh prana itu tak surut sedikitpun.
Menyadari bahaya, permainan kecapi Jonggrang makin cepat, mengirimkan lebih banyak gelombang kejut. Namun, Bandung makin dan makin dekat.
Di puncak rasa sakitnya, si pangeran Pengging meloncat sekuat tenaga, bahkan tangan di telingapun terulur ke depan. Sebelum Jonggrang sempat menghindar, Bandung Bondowoso telah merengkuh senar kecapinya dengan satu tangan, dan mencekal gadis jelita itu dengan tangan yang lain hingga tak bisa memetik senar.
“Buang kecapimu, ratu, atau nyawamu melayang,” ancam Bandung, cepat-cepat bergeser dan menodong tenggorokan Jonggrang dengan keris yang selalu ia bawa, lambang kebesaran seorang pangeran.
“Silakan, goroklah leherku, aku lebih baik mati daripada menikah atau takluk padamu, cih!” ancam Roro Jonggrang sambil meludah, menunjukkan watak aslinya.
Jin Himawari yang baru terbebas dari sihir bersiap-siap hendak menghabisi para mata-mata. Namun sesuatu membuatnya tersadar. “Roro Jonggrang! Lagu tadi… ternyata kau memiliki ilmu gaib yang mampu mengendalikan pikiran! Jangan-jangan… kau sengaja membuat ayam-ayam berkokok, hingga semua makhluk mengira fajar datang sejam lebih awal daripada seharusnya!”
“Astaga, bisa jadi, Himawari! Cepat, mengaku saja kau, Jonggrang!” timpal Bandung.
Keris masih mengancam tenggorokan, Jonggrang malah tertawa lepas. “Hahaha! Kalau memang demikian, kalian mau apa? Membunuhku? Memang itu mauku, bukan? Apapun caranya, kalian takkan bisa mendapatkan Baka dan Bandung takkan pernah mendapatkan hatiku!”
Bandung terhenyak. “Jadi, selama ini kau tak pernah mencintaiku sedikitpun, Roro Jonggrang? Semua kata-kata dan sikap manismu selama ini ternyata palsu? Aku hanya diperalat dan dijadikan sasaran balas dendammu saja?”
“Ya! Satu-satunya tempat aku akan mencintaimu adalah di neraka! Huh, semula aku ingin membuatmu menyerah karena aku tahu kesaktianmu takkan cukup untuk ujian kedua ini. Tapi sayang, kau curang dengan memanfaatkan bantuan jin dengan kesaktian bagai dewa. Jadi, wajar saja aku membalasnya dengan kekuatan gaib pula, bukan?”
Bandung Bondowoso dan Himawari terdiam mendengarnya. Begitu pula para mata-mata dan prajurit Baka yang jadi saksi semua ini. Dalam sebuah ujian tanpa syarat-syarat yang jelas, seharusnya tindakan Bandung yang dibantu sosok berkekuatan setara dewata untuk mengatasi kemustahilan itu wajar saja. Seharusnya Jonggrang menerima kenyataan dengan lapang dada, namun ternyata ia menghalalkan segala cara agar Bandung kehilangan wibawa. Walau tindakan Jonggrang juga tak bisa dipersalahkan, jelas ini menyulut kemarahan banyak pihak, terutama makhluk berderajat tinggi macam Jin Himawari.
“Ternyata kau sungguh burung gagak berbulu merak, Roro Jonggrang!” labrak Himawari dengan mata menyala-nyala. “Asal kau tahu, kemarin tuanku, Bandung sempat berkata andai ia kalah, ia rela melepaskanmu dan seluruh Negeri Baka dan pulang ke Pengging dengan tangan kosong. Tentu asal kau bersumpah takkan menyerang Pengging seumur hidupmu! Tapi kau malah mempermalukan tuanku, dan lebih parah lagi, aku! Jadi aku, Himawari, akan mengganjarmu dengan hukuman mati!”
“Silakan, aku toh tak peduli lagi. Bandung tinggal mengiriskan kerisnya saja!” tantang Jonggrang.
“Tak hanya itu saja!” lanjut sang jin. “Aku juga akan membinasakan seluruh rakyat Baka dan menjadikan kotanya hanya dihuni hantu gentayangan. Semua semua orang yang melihat ini tahu, jangan coba-coba dengan Jin Himawari!”
“Tunggu, Hima!” sergah Bandung tiba-tiba. “Jangan hukum seluruh negeri atas dosa ratu mereka seorang! Sudahlah, biarkan saja Baka menjaga diri sendiri! Kita pulang ke Pengging!”
Bagi Himawari, kata-kata sang majikan itu bagai sekam dilempar ke dalam api. “A-apa tuanku juga memihak mereka sekarang? I-ini tak bisa kuterima! Mengapa? Mengapa?”
“Karena aku mencintai Roro Jonggrang dan rakyat Negeri Baka dengan setulus hati, itu saja.”
Cinta yang tulus berarti bila tak bisa memiliki, seseorang harus bisa dan berani melepaskan. Jin macam Himawari takkan bisa memahami pemikiran Bandung ini.
Kemurkaan Himawari memuncak, hingga seluruh tubuhnya berpendar amat menyilaukan. “Kalau begitu, kau juga harus kulenyapkan, tuanku yang lembek dan bodoh! Kalau kau ingin mengemban kekuatan dewa, kau harus berani bersikap kejam!”
“Wow, wow, rupanya ada yang memulai pesta tanpa mengundangku ya?” seru sebuah suara berat yang tiba-tiba terdengar. Semua mata menoleh pada si pembicara. Bandung mengenalinya sebagai si pria tinggi besar bagai raksasa, berwajah seperti gorila bercambang tebal bernama…
“Paman Patih Gupala!” teriak Roro Jonggrang, tak tahu harus senang atau was-was. Waktu kedatangan sang pelindung negeri ini agak… tak beres.
Seolah menjawab firasat Jonggrang, Gupala terus bicara, “Untunglah aku memutuskan muncul saja sebelum jin besar berakal pendek itu merusak acara. Rencanaku adalah untuk menguasai Negeri Baka sendiri, bukan menghancurkannya.”
Bandung Bondowoso terkesiap mendengarnya. “Rencana? Jadi semua ujian akal-akalan Roro Jonggrang itu… buah pikiranmu?”
“Ya, aku bahkan ikut beraksi diam-diam untuk memastikan kau gagal. Batu longsor di Jalatunda, sabotase di kompleks seribu cantdi agar kau kekuarangan bahan bangunan, itu semua buah tanganku. Roro Jonggrang bahkan kubujuk untuk membalas ‘kecurangan’-mu dengan merekayasa fajar palsu.”
Bandung melepaskan cekalannya, dengan tangan terkepal ia menoleh pada Jonggrang. Tatapan matanya bagai serigala ganas yang terpojok. “Benarkah itu, Sri Ratu? Sedalam itukah rasa bencimu padaku, hingga kau membiarkan, bahkan membantu pamanmu melakukan kecurangan itu?”
“Ya, tak salah lagi!” seru Ratu Jonggrang. “Paman Gupala telah menceritakan bahwa kau telah membunuh ayah dengan keji saat beliau sudah tak berdaya. Pasukan Baka kaukejar dan kauhabisi. Tambahan pula, dalam perjalananmu ke keraton ini, pasukanmu telah menghancurkan desa-desa dan membantai seluruh penduduknya. Bahkan anak-anak dan kaum lanjut usiapun tak kauampuni!”
“BOHONG! Itu fitnah!” sergah Bandung, emosi darah mudanya tumpah tak terbendung. “Ayahmu gugur secara ksatria di medan laga, dan aku bertekad memenuhi amanat beliau semula karena rasa kagum dan hormatku padanya! Andai aku tak peduli, aku pasti sudah di Pengging sejak lama! Andai aku kejam, Keraton Baka pasti sudah kuratakan dengan tanah saat pertama kakiku menapakinya! Coba, renungkan masak-masak! Untuk apa aku di sini bila bukan karena rasa kagum yang berubah jadi cinta?”
“Jangan mau percaya serigala berbulu kambing itu, Paduka!” hasut Gupala. “Baik hati atau tidak, penjajah adalah penjajah! Justru inilah kesempatan emas yang telah kuraup sepuasnya! Pasukan Baka telah menghancurkan pasukan Bandung di sini! Tinggal habisi pemimpinnya, lalu Baka akan menyerbu Negeri Pengging lagi dengan seribu tentara!”
“Apa!?” Benak Jonggrang bereaksi cepat. “Bukankah paman berkata pasukan serbu Baka telah dihabisi Bandung? Bagaimana bisa kita merekrut dan melatih pasukan sebanyak itu dalam waktu singkat?”
Lidah Gupala kelu, ia telah kelepasan bicara. Saat berikutnya, nada suara dan ekspresi wajahnya berubah garang. “Segala yang kulakukan ini hanya demi kebangkitan dan kejayaan Negeri Baka. Segala cara telah kuhalalkan, tapi sayang, keponakanku tersayang rupanya telah terpikat ketampanan, kesaktian dan hati welas asih Bandung Bondowoso. Tidak! Negeri Baka tak boleh diperintah raja asing dan pembunuh kakakku!”
Kali ini, Roro Jonggrang malah menggeleng. “Tidak. Sejak Negeri Baka berdiri, rakyat selalu menderita di bawah tirani. Saat ayah melirik negeri tetangga karena iri, seluruh sumber daya dihabiskan untuk membangun tentara, dan rakyat kelaparan karena pajak tinggi! Aku, ratu baru Baka bertekad mengubah semua ini dan percaya Bandung dapat membantuku dengan pengalamannya. Tapi tidak, paman menipuku dengan berkata ia sekejam ayah. Kini kebenaran terungkap sudah, mana mungkin aku percaya pada paman lagi?”
“Itukah keputusan akhirmu, ratu?”
“Ya.” Jonggrang mengangguk mantap.
“Baiklah, kalau begitu kalian tak memberiku pilihan selain melakukan ini!”
Dengan gerakan yang amat cepat dan mendadak, Patih Gupala meloncat tinggi-tinggi ke udara. Ia lantas menyentuh pungguh Jin Himawari yang ternyata masih amat lemah dan belum pulih akibat serangan Jonggrang tadi.
“Kau menyerap energi esku!” Himawari mengerang kesakitan, sejumlah besar energi sejatinya disedot keluar oleh si manusia raksasa. Seluruh kulit wajah dan tubuh Gupala berubah biru, dan rambutnya jadi seluruhnya seputih salju. Tubuhnya yang amat kekar makin membesar dan mengembang, membuat seluruh pakaian kainnya koyak.
Sebaliknya, Himawari semakin lemah hingga tubuhnya menyusut dan berubah ke wujud pedang lagi. Dengan cekatan, Bandung Bondowoso meraih pedang jatuh itu. Namun ia tak berani gegabah dan langsung bergerak mundur. Ia belum bisa memperkirakan sekuata apa Gupala setelah menyerap prana es Himawari, juga apakah si pedang masih mau menuruti tuannya.
“Hahaha! Prana dahsyat nan langka ini kini milikku, milikku seutuhnya! Tak apa aku tak berkuasa, akan kuhancurkan Baka dan Pengging, dan kubangun negeri baru tempat aku jadi rajanya! Lalu dari sana, akan kupersatukan seluruh Nusantara!”
Semua orang yang menyaksikan ini tahu, Gupala sudah gila. Namun tak seorangpun dari mereka, bahkan Bandung Bondowoso sendiri tahu cara jitu untuk menghentikan si makhluk digdaya.
Tiba-tiba Roro Jonggrang mendekati Bandung Bondowoso dan membisikkan rencananya. Mendengarnya, Bandung terkejut dan protes, “Jangan, Rara! Biar aku saja yang melakukannya! Kau ratu negeri ini, jangan berkorban sia-sia!”
Walau Bandung jadi lancang dengan menyebut nama kecilnya, Rara menggeleng sambil menghadapkan senyum termanisnya pada pemuda itu. “Tetap saja, hanya kaulah yang punya kekuatan yang sesuai untuk menuntaskan pertaruhan ini. Bila gagal, kita masih bisa bersatu di alam baka.”
Bandung tersenyum getir menanggapi ide menarik ini. Lagipula, tak ada waktu lagi berdebat. Gupala kini melayang di udara, menghimpun gabungan prana es dan tanah, berambisi menghancurkan daerah sekitarnya seluas mungkin sekali serang.
“Baik, ayo kita lakukan ini!” Bandung menempatkan diri tak jauh di belakang Jonggrang, memusatkan prana es untuk menutup telinganya dan memulihkan energi pada Pedang Himawari. “Hati-hati, Rara…” bisiknya. Sementara semua prajurit dan mata-mata di tempat itu telah lari tanpa dikomando, mundur sejauh-jauhnya takut terkena imbas pertarungan dahsyat.
Berdiri paling depan, Jonggrang menatap langsung pamanannya. Menatap sepasang mata yang menyala putih terik itu, keraguan di wajahnya berubah menjadi tekad membara.
Kegilaan Gupala mustahil diatasi dengan lagu sihir pemanipulasi benak. Lagipula, kulit si manusia raksasa yang menjadi lebih keras dari gabungan zirah batu dan kristal es belum tentu dapat ditembus senjata apapun. Dan serangan yang bakal dihasilkan dari pertunjukkan kekuatan dewata ini belum tentu dapat ditangkis oleh perisai atau prana sekuat apapun juga.
Menyadari semua ini, Rara menoleh sekilas pada Bandung di belakangnya, menyunggingkan senyum tercantiknya. “Andai ada kesempatan dan waktu setelah ini, aku ingin menghabiskannya dalam dekapan cintamu, Bandung Bondowoso!”
Hampir bersamaan, kedua petarung sakti mengerahkan serangan terkuat masing-masing. Patih Gupala menembakkan selarik sinar es besar, kekuatannya dilipatgandakan dengan rentetan prana batu-tanah yang semuanya menyatu seperti komet bertenaga beku.
Di sisi lain, Roro Jonggrang memetik kecapinya sambil mengibaskan jari-jemarinya. Prana gelombang suara pamungkas terpancar sebagai tujuh larik warna-warni bagai pelangi. Lantas ketujuh larik Pelangi Nada Hujan Halilintar itu menyatu, terpusat sebagai satu larik yang menyasar ke arah komet tadi. Akibatnya, kedua kekuatan itu berbenturan dan menebarkan gelombang kejut ke segala arah. Para prajurit yang terlalu dekat pusat benturan terlempar bagai tersapu badai. Hanya mereka yang berprana kuat termasuk Bandung Bondowoso yang masih menjejak tanah.
Semula, laju Komet Es Kristal Beku Gupala terhambat, bahkan terdorong balik oleh prana pamungkas Jonggrang. Namun beberapa saat kemudian, prana komet mulai menekan balik ke arah lawan.
Kalah tenaga, Jonggrang bertahan mati-matian dengan gigi gemeletak dan keringat bercucuran. Namun apa daya, tekanan komet batu-es yang makin berlipat ganda malah memecahkan prana pelangi, memutuskan semua senar kecapi dan melukai jari-jemari sang ratu.
Lebih parah lagi, tubuh Roro Jonggrang yang kini hanya terlindungi prana terpapar seluruhnya oleh komet es yang pecah pula menjadi badai. Raga gadis itu tak hanucr melainkan terbungkus es yang terhimpun, membentuk semacam peti mati kristal raksasa yang tegak seperti tugu di permukaan tanah. Rupanya, Roro Jonggrang memang berniat menjadikan tubuhnya perisai. Kini sang ratu jelita berdiri tegak dengan kedua tangan terentang, tersenyum damai menyambut ajal yang menjemputnya.
“Jonggrang!” Bandung Bondowoso tak kuasa menahan derai air matanya melihat sang belahan jiwa mengorbankan nyawa.
“Hahaha! Bagus! Aku bahkan masih punya cukup tenaga untuk menghabisi Bandung Bondowoso dan semua saksi!” Gupala tergelak. “Sekali lagi! Komet Es Kristal Beku!”
“Enak saja kau, Gupala, pembunuh keponakan sendiri! Rasakan ini!” Sebelum si pria besar berkulit biru sempat mengerahkan pamungkasnya lagi, Bandung lebih dahulu menghunjamkan Pedang Himawari ke perutnya. Karena kulit Gupala amat tebal, hanya setitik ujung pedang yang menembus ke dalam tubuh.
Dan itu saja sudah cukup.
“Heh, yang benar saja, tusukan jarum kecil macam ini takkan bisa membunuhku! Mau mati bersama kekasihmu, Bandung? Biar kululuskan keinginanmu!” Gupala mengubah jurusnya dengan memusatkan prana ke kedua kepalan tangannya yang diangkatnya tinggi-tinggi, siap meremukkan kepala dan tubuh Bandung yang tingginya hanya sampai sedada si raksasa saat berdiri tegak.
“Keliru!” Bandung seketika membuktikan ucapannya dengan mengerahkan lebih banyak tenaga, berusaha membenamkan pedang lebih dalam lagi. Tak hanya itu, ia “menyuntikkan” prana es dari pedang dan tubuhnya, yang ia himpun saat Jonggrang menghadapi Gupala tadi.
Apa Bandung sudah gila? Bukankah dengan prana yang senada, Gupala jadi malah makin perkasa? “Haha, apa kau akhirnya memutuskan takluk padaku, ingin membantuku mempersatukan Nusantara? Hei bung, tahu dirilah! Aku ini dewa, tak butuh bantuanmu, apalagi tambahan energi yang hanya sesuap ini!”
“Oh ya? Bagaimana kalau sebesar INI?” Bandung Mengentakkan tenaga, mengirim sejumlah besar prana ke dalam perut si raksasa. Prana itu langsung merasuki pusat pengolahannya di ulu hati. Kejutan itu membuat prana lain, yaitu prana tanah dalam diri Gupala bereaksi melawan prana es. Benturan-benturan tenaga dalam ini menimbulkan reaksi berantai yang menyebar ke seluruh tubuh dalam hitungan detik saja. Rasa sakitnya tak terkira.
“Aagh! Laknat kau, Bandung! Biar kusalurkan kembali padamu!” Kedua tinju Gupala meleset, rupanya Bandung sudah sigap mencabut pedangnya dan berlari sejauh-jauhnya. “Aaagh… aku… tertipu… Musnahlah… segala impianku!”
Pertumbukan dua prana makin mengembang hingga mencapai titik jenuh. Akibatnya, seluruh tubuh si raksasa berledakan. Begitu dahsyat dan besarnya energi yang dilepaskan, ratusan candi yang terdekat dengan pusat ledakan luluh-lantak, tak utuh lagi.
Bandung Bondowoso bahkan mengerahkan seluruh sisa prananya untuk melindungi diri serta “peti mati” Roro Jonggrang di belakangnya. Akhirnya, raga raksasa Patih Gupala mengabu sampai ke tulang, sama sekali tak bersisa. Sumber prahara bagi Negeri Baka, Pengging dan Nusantara sudah tumpas, namun kerusakan yang ia buat telah menyisakan luka mendalam. Kehilangan raja, ratu dan patih, tanpa ada calon sah untuk menggantikan mereka, Negeri Baka terancam anarki, kerusuhan, kekacauan dan akhirnya… keruntuhan.
Bandung Bondowoso tak peduli lagi dengan semua itu. Ia hanya jatuh berlutut, kedua tangannya menyentuh permukaan es abadi yang memisahkannya selamanya dengan sang belahan jiwa di dalamnya. Bahkan, air mata pria itu jatuh seperti serpihan-serpihan es di tanah.
Saat ini, tiada insan yang lebih hancur luluh daripada Bandung Bondowoso. Ingin ia mati saja menyusul Roro Jonggrang, namun bagaimana dengan ayahnya di Pengging? Bagaimana pula dengan rakyat Baka? Bukankah mereka akan terseret olehnya ke dalam kehancuran pula?
Tiba-tiba Bandung terkesiap, lalu menatap Roro Jonggrang dengan amat heran. Pasalnya, sebuah bros bulat dari besi bermotif bunga dahlia yang tersemat di tengah pakaian sang ratu berpendar bagai pelangi, penuh warna nan indah. Lalu, dari bros itu tujuh warna pelangi terpancar, membentuk citra Roro Jonggrang seperti hologram di zaman modern. Tentu saja, citra itu adalah roh sang gadis jelita.
Roh Roro Jonggrang berkata-kata dengan amat lembut, “Bandung, maafkan aku karena telah memperdayaimu selama ini.”
“Tak apa, Rara, tak apa…” Bandung sungguh kehabisan kata-kata. “Kau tak perlu minta maaf. Ini bukan salahmu. Salahkanlah nasib karena menempatkan kita di dua negeri yang bermusuhan. Kau berhak membela negerimu, begitu pula ayah dan pamanmu. Yang penting kini rakyat Baka terhindar dari prahara, namun bagaimana nanti nasib mereka?”
“Karena itu tolonglah, Bandung. Tolong pimpin dan jagai rakyat kami, gabungkanlah dengan Pengging bila perlu, jangan sampai Negeri Baka hancur.”
“Tenanglah, Rara. Demi cintaku padamu dan pada rakyatmu, aku bersumpah akan melestarikan Negeri Baka selama aku masih berada di dunia ini.”
“Ah, tenanglah ahtiku. Terima kasih, Bandung Bondowoso, pangeranku. Kau sungguh pujaan hatiku. Selamat tinggal, andai aku bisa… mendampingimu sebagai permaisurimu…” Teriring kata-kata terakhirnya, citra sukma Roro Jonggrang perlahan lenyap dari pandangan.
Walau masih berurai air mata, Bandung Bondowoso **** senyum sambil terus menatap wajah Jonggrang dan berbisik, “Sekarangpun kau adalah permaisuriku…”
\==oOo==
Memenuhi amanat Roro Jonggrang, Bandung Bondowoso menjadi raja baru di Baka, lalu menggabungkannya dengan Pengging setelah Prabu Damar Maya mangkat. Walau Bandung memiliki keturunan dan putra mahkota dari selirnya, ia tetap menganggap Jonggrang sebagai permaisuri yang tak tergantikan oleh siapapun juga.
Candi-candi yang rusak akibat pertarungan dipugar dan ditata kembali dengan tangan-tangan manusia. Lalu hasilnya dinamai Candi Sewu, Kompleks Seribu Candi.
Candi keseribu akhirnya dibangun, namun bukan di dalam kompleks Candi Sewu. Letaknya tersembunyi entah di mana, dan sangat mungkin candi itu adalah tempat makam Roro Jonggrang yang asli. Di Candi Prambanan ada arca Dewi Durga yang dipercaya adalah penjelmaan Roro Jonggrang yang lama membeku dan jadi batu, namun tak seorangpun bisa membuktikan kebenaran hal itu.
Tiada seorangpun selain Bandung Bondowoso tahu, sukma sang ratu masih terpenjara dalam bros bermotif bunga dahlia beserta segala ilmu dan kekuatan gaibnya.
Bagaimana dengan Pedang Himawari? Segera setelah jin penunggunya mengamuk dan menunjukkan sifat aslinya saat pertarungan melawan Jonggrang, Bandung Bondowoso memutuskan untuk menyembunyikan pedang es yang amat berbahaya itu di Gunung Semeru.
Maka, terkuburlah satu-satunya senjata sakti berunsur es di Nusantara itu di bawah sebuah bongkahan batu besar di lereng gunung tertinggi di Pulau Jawa itu. Bersama Bros Dahlia alias Lencana Puspa Kirana, mereka menunggu datangnya pewaris baru yang akan membuka kunci kutukan mereka.
Kutukan seribu tahun Himawari dan Roro Jonggrang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments