Di mata publik, I Made Johnny Wardhana adalah seorang pria sempurna. Ia tampan, tinggi-besar dengan tubuh berotot bagai binaragawan. Apalagi statusnya sebagai seorang konglomerat muda, Chief Executive Officer, Direktur Utama Wardhana Enterprises di usia tiga puluh tiga tahun. Suksesnya sebagai pewaris kerajaan bisnis membuat Johnny amat disegani, baik dalam dunia bisnis di Indonesia maupun mancanegara.
Hanya satu hal yang membuat semua wanita patah hati. Johnny sudah memiliki istri yang cantik dan bersahaja bernama Wenny Karina Wardhana, juga dua anak, Brandon dan Cynthia yang cerdas, sehat dan kuat.
Namun, di balik semua itu, Johnny sadar bahwa sesungguhnya dirinya adalah manusia biasa yang tak luput dari salah dan dosa. Sudah tak terhitung berapa banyak keputusannya yang salah, hingga merugikan orang-orang lain, keluarganya dan dirinya sendiri. Satu hal yang pasti, Johnny tak pernah sekalipun berusaha, bahkan berniat untuk menjegal para pesaing bisnisnya. Sebaliknya, ia berusaha menjalin sinergi dengan sesama pengusaha, menciptakan iklim persaingan yang sehat.
Jadi, wajar saja bila sewaktu-waktu Johnny menyempatkan diri untuk menggali makna kehidupan lebih dalam lewat rekreasi, ibadah dan meditasi. Jauh dari hiruk-pikuk dan hingar-bingar dunia. Dalam rangka itulah kini ia berada di Pura Besakih, tempat ibadah terbesar dan paling agung Agama Hindu di Bali. Karena ini bukan hari raya atau hari ibadah, suasana hening dan teduh di beberapa sisi kompleks pura yang dilarang bagi wisatawan sungguh sempurna untuk tempat meditasi.
Usai “pemandian jiwa”, Johnny menyempatkanb diri berkeliling halaman pura. Udara di rerimbunan pepohonan ini amat sejuk, meneduhkan jiwa. Tanpa sadar, Johnny tersenyum sendiri.
Seiring langkah-langkahnya, tiba-tiba Johnny mendengar suara-suara yang mengusik kedamaian. H-hah? Suara-suara pertarungan? Pikirnya. Ia lantas berlari menuju sumber suara.
Tiba di pepohonan yang jauh dari wisatawan dan orang banyak, Johnny menghentikan larinya. Matanya terbelalak. Rupanya suara-suara dahsyat itu berasal dari seorang pria tua bertampang sangar yang sedang berlaga melawan seorang gadis cantik. Si pria tampak kewalahan, menghindari dan menangkisi tendangan-tendangan wanita yang lebih lincah darinya ini.
Walau Johnny bukan pendekar, sepak-terjangnya sebagai “jawara bisnis” membuatnya berpikir untuk mengamati para petarung lebih dahulu sebelum berusaha melerai.
Tiba-tiba Johnny mengerutkan dahi. Hampir sekejap, gadis yang tadi tampak unggul jadi terdesak. Mungkin si gadis salah langkah, sehingga pertahanannya terbuka lebar.
Melihat kesempatan ini, pria tua bertubuh lebih besar dan lebih kekar dari Johnny itu memberondong lawan dengan rentetan tinjunya. Si gadis jadi bulan-bulanan dan berteriak kesakitan. Siapa kuat dan siapa lemah terpampang jelas kini.
Bagi Johnny, ini sudah keterlaluan. Untuk mencegah nyawa melayang, ia terpaksa turun-tangan. Ia menerjang maju, telapak tangannya mendorong sekuat tenaga ke arah… si pria tua. Tak siap, si pria tua terdorong mundur sambil mengaduh, “Aduh! Apa-apaan…!”
Si wanita lantas tersenyum, menghampiri Johnny seraya berkata, “Wah, terima kasih tuan…”
Dan Johnny menyambutnya dengan hantaman siku dan punggung tangan secara beruntun, tepat di wajah si wanita.
Tak ayal, wanita berambut hitam dan berpakaian serba merah marun bergaya pesenam aerobik itu tersuruk di tanah. Cepat pulih, ia bangkit dan memegangi wajahnya yang lebam. “Wajahku! Menyebalkaan!” rutuknya.
Dengan nekad nan ganas si wanita lari, menerjang Johnny si pria besar. Saat sudah dekat, Johnny sengaja berkelit ke satu sisi. Namun, tanpa diduganya, cakar kuku ungu si pendekar wanita menorehkan deretan luka di tubuhnya.
Meraung kesakitan, Johnny mencoba balik meninju dengan jab-jab yang kuat dan cepat, namun tinjunya hanya menerpa udara. Tak hanya itu, tubuhnya tiba-tiba terasa berat dan sulit digerakkan.
“Bagaimana? Enak ‘kan racun pelemas ototku?” Senyum licik si wanita mengembang. “Sekarang, rasakan yang lebih enak lagi, yaitu kukuku dalam jantungmu! Katakan pada penjaga akhirat, pembunuhmu adalah aku, Shinta Devi!”
Seberkas aura ungu muncul di ujung deretan kuku tajam itu, dan bagai tombak, Devi menghunjamkannya tepat ke arah jantung Johnny berada. Namun Johnny tak kehabisan akal. Ia nekad meninju tangan Devi, sehingga kuku-kuku lawan hanya menggores lengannya.
Melihat Devi goyah, Johnny mengambil kesempatan dengan melesatkan tinju dari tangan satunya lagi. Namun tiba-tiba gerakan Johnny terhenti. Lengannya terasa amat berat dan kepalanya pening. Reaksi racun Devi makin menggila, membuat otot-otot Johnny makin lemas.
“Haha! Inilah akibatnya kalau orang biasa berlagak jadi pendekar! Pikirkan lagi kesalahanmu itu di akhirat!” Sambil mengatakannya, Devi menghunjamklan cakar kedua yang terlalu cepat untuk ditangkis.
Kali ini, yang menyelamatkan nyawa Johnny adalah sebuah tendangan lurus, keras dan sarat tenaga dalam, menghantam telak pinggang Devi. Tubuh wanita itu terpental.
Johnny menoleh dan menatap penolongnya, yaitu si pria tua kekar. “Masih bisa bertarung?” tanya pak tua sambil menyalurkan hawa murni ke tubuh Johnny, memaksa racun keluar dalam wujud uap hitam. Serasa dapat kekuatan baru, Johnny mengangguk. “Ya!”
“Ayo kita tumpas perempuan licik itu!”
Di saat bersamaan, Shinta Devi bangkit sambil memegangi pinggangnya. Ringisan di wajahnya berubah jadi geraman. Beberapa langkah di depannya, Johnny dan pak tua berdiri kokoh dan siap menyerang. Rupanya penampilan kedua pria tinggi-besar-kekar itu serta semangat tarung mereka yang berkobar-kobar jadi ancaman nyata bagi wanita bertubuh langsing-semampai ini. Wajah Devi pucat-pasi seketika. Situasi tak berimbang ini sama sekali di luar perkiraannya.
“Huh! Awas kalian! Akan kubalaskan dendam ini seribu kali lipat!” Sambil mengatakannya, Devi melarikan diri.
Johnny juga lari mengejar, namun baru dua langkah, tubuhnya roboh bagai pohon tumbang. Melihat itu, pak tua perkasapun berhenti mengejar. Ia mengangkat tubuh Johnny ke posisi duduk bersila. Lantas, pak tuapun duduk bersila di belakang Johnny. Tampak sinar putih berpendar di kedua telapak tangannya. Dengan lembut ia meletakkan kedua telapaknya itu di punggung Johnny. “Jangan bergerak,” katanya.
Sesaat kemudian, Johnny merasakan hawa lembut nan hangat kembali mengaliri tubuhnya. Lambat tapi pasti, makin banyak racun dikeluarkan dari tubuhnya lewat keringat dan uap berwarna serba hitam. Johnny berangsur-angsur merasa nyaman dan ringan kembali.
Setelah racun bersih tuntas, Johnny menghembuskan napas lega. Pak tua menarik kedua tapaknay dan duduk bersila di hadapan “pasien”-nya. “Untung itu tadi racun pelemas otot saja, jadi kau bisa pulih dengan cepat. Kurasa tadi kau mendorongku untuk menghindarkanku dari kuku-kuku beracun Devi, bukan?” kata pak tua.
Si “pasien” menanggapinya dengan mengangguk. “Ah ya, aku jadi lupa sopan santun. Namaku Johnny, aku dari Denpasar.”
Pak tua menanggapinya, “Namaku I Ketut Suprana. Aku adalah mantan pendekar yang kini hidup bertapa.”
Johnny ternganga. Tak pernah ia menyangka akan bertemu seorang pendekar, apalagi di tempat suci macam Pura Besakih ini.
Suprana kembali bicara, “Nah, nampaknya kau bukan pendekar, Bli Johnny. Tapi tubuhmu kekar, tenaga dalam dan gerakan tarungmu tadi cukup bagus. Dari mana kau mempelajarinya?”
“Kebetulan aku suka mempelajari kitab dan artefak kuno, khususnya dari negeri sendiri,” jawab Johnny. “Salah satunya adalah ‘Sutra Kanuragan’, ilmu pengolahan tenaga dalam. Ditambah lagi aku sempat mendalami cabang olahraga tinju bertahun-tahun silam.”
“Wah, pantas saja.” Suprana mengangguk sambil mengelus kumis putihnya yang panjang melewati dagu. “Namun kekuatanmu itu masih harus dikendalikan. Sebagai tanda terima kasihku karena kau telah menolongku tadi, aku akan mengajarkan beberapa jurus padamu. Yah, dengan kata lain aku mengangkatmu menjadi muridku.”
Wajah Johnny berseri-seri seketika. Ia lantas menghaturkan hormat dengan berlutut. “Terimalah hormat dariku, guru.”
“Tapi berjanjilah, kau akan menggunakan jurus-jurus ini untuk kebaikan, bukan untuk keuntungan pribadi.”
“Ya guru, aku berjanji.”
“Haha, bagus, bagus.” Tawa kedua pria itu berderai lepas, layaknya dua sahabat lama yang baru bertemu setelah sekian lama.
Sambil keduanya berjalan kembali ke arah pura, Johnny bertanya, “Oh ya, boleh tahu mengapa Shinta Devi menyerang guru tadi?”
“Entahlah. Tiba-tiba saja ia muncul dan berseru, ‘Serahkan kalung itu!’” Suprana menunjuk ke arah bulatan sebesar kepalan tangan yang tampak menonjol di tengah dada, di balik baju t-shirt ketatnya. “Aku tahu, yang diincarnya pasti kalung pusakaku ini. Tentu saja aku menolak, dan kami bertarung.”
“Ah, aku baru paham sekarang,” tanggap Johnny.
Suprana lantas menepuk bahu murid barunya itu seraya bicara akrab, “Nah, yang penting bahaya telah lewat. Ayo, kita makan Bebek Bengil untuk merayakan pertemuan kita!”
“Hahaha! Mari, mari!”
Suprana dan Johnny terus berbincang-bincang. Namun satu pikiran membuat sang murid baru itu tertegun. Ada baiknya aku sering menemui guru. Firasatku berkata, Shinta Devi akan menyerang beliau lagi. Mungkin ia akan lebih nekad, lebih kuat daripada sebelumnya.
==oOo==
Selama beberapa minggu berikutnya, Johnny lebih sering bepergian ke Pura Besakih. Kadangkala ia bahkan menginap beberapa hari untuk menguasai jurus-jurus Kanuragan yang menuntut latihan dan konsentrasi penuh.
Namun, semuanya itu tentu harus diseimbangkan dnegan kegiatan-kegiatan lainnya, apalagi yang menyangkut Wardhana Enterprises. Walaupun memiliki jajaran Direksi yang dapat diandalkan, sebagai CEO Johnny mengemban tanggungjawab terberat dalam pengelolaan bisnisnya ini.
Karena itulah, mulai minggu ketiga sejak berlatih Ilmu Kanuragan, Johnny kini lebih banyak di Denpasar, ibukota Propinsi Bali.
Tepat jam delapan pagi, Johnny yang berpakaian kemeja-jas-dasi turun dari mobilnya, sosoknya yang melangkah ke pintu gerbang utama gedung kantornya tampak amat gagah dan berwibawa.
Alih-alih berbentuk pencakar langit seperti umumnya, gedung Kantor Pusat Wardhana Enterprises ini menempati areal seluas empat blok perumahan real estate. Untuk mematuhi tradisi di Bali, puncak tertinggi atap dan menara kompleks gedung bergaya gabungan arsitektur tradisional Bali dan modern-kontemporer ini tak lebih tinggi dari pohon-pohon kelapa yang sengaja ditanam di sekitarnya. Kompleks ini terdiri dari gedung utama di tengah, dan gedung kedua yang mengelilinginya.
Perlu waktu kira-kira sepuluh menit jalan kaki hingga Johnny tiba di depan ruang kantornya, yang terletak di lantai dua gedung utama. Para karyawan dan jajaran manajemen tampak berbaris sepanjang jalur dari lift sampai pintu ruang kerja CEO. Mereka membungkuk dan tersenyum penuh hormat seraya menyapa, “Selamat pagi, Pak Johnny.”
Yang lebih menarik, Johnny menjawab sapaan mereka dengan ramah dan tulus, “Pagi juga. Wah, saya senang kalian semua mematuhi disiplin waktu.”
Jelas, ada sesuatu yang menggugah para karyawan Wardhana Enterprises untuk tiba sejam lebih awal dari waktu mulai kerja, jam sembilan pagi. Yang pasti, sesuatu itu adalah karena “para bos” juga terbiasa datang lebih awal, mirip etos kerja di negara-negara maju.
Saat Johnny memasuki ruang kerjanya, seorang wanita ikut masuk dengan tergesa-gesa.
Johnny menegur, “Ya, Myrna!? Ada apa?”
Myrna, Sekretaris Perusahaan, seorang wanita berusia empat puluhan dengan sorot mata sarat ketrampilan dan pengalaman menjawab, “Ada kabar amat mendesak, Pak Johnny! Saya sudah menaruh rinciannya di meja bapak, sekaligus data-data laporan analisis pasar yang sudah rampung.”
“Baik, terima kasih.” Tanpa buang waktu lagi, Johnny membuka jasnya, duduk di kursi meja kerjanya. Ia lantas meraba-raba dan menekan-nekan meja itu. Ada apa gerangan? Rupanya permukaan meja Johnny adalah sebuah layar sentuh komputer. Segala data yang dimaksud Myrna sudah terpampang di layar, jadi hanya sedikit kertas dan berkas kerja di meja canggih ini.
Tiba-tiba mata Johnny terbelalak. Ia segera menyentuh satu sisi layar mejanya dan berseru, “Myrna! Kumpulkan Dewan Direksi untuk meeting sekarang juga! URGENT!” Amat mendesak.
Suara Myrna di interkom menyahut, “Baik, pak!”
==oOo==
Beberapa menit kemudian, bagai sepasukan prajurit berdisiplin tinggi, seluruh jajaran Direksi Wardhana Enterprises telah menempati kursi mereka masing-masing dalam ruang rapat.
Johnny Wardhana berdiri di sisi sebuah layar sentuh besar yang tergantung di dinding, yang terhubung langsung dnegan komputer meja di ruangannya. Tanpa basa-basi, Johnny langsung membahas masalah pokok. “Menurut laporan ini, salah satu pesaing kita, SS Corporation tengah menggerogoti pangsa pasar Wardhana Enterprises.”
Para anggota Direksi langsung kasak-kusuk satu sama lain. Tentu Johnny tak tinggal diam. Ia melanjutkan, “Kalau hanya itu masalahnya, kita bisa berusaha bertahan dengan meningkatkan kinerja, pelayanan dan promosi pemasaran yang gencar. Namun, kabarnya SS Corporation menggunakan cara-cara seperti intimidasi, promosi negatif dan semacamnya untuk merebut para klien dan konsumen produk-produk kita! Mereka bahkan memasarkan produk-produk yang, kecuali bentuk dan kemasannya, amat mirip dengan produk kita! Ini jelas pembajakan terang-terangan!”
Pernyataan Johnny itu menyulut reaksi dari pamannya, I Wayan Ngurah Wardhana yang menjabat sebagai Wakil Direktur Utama Wardhana Enterprises. Dengan senyum sinis dan sorot mata tak percaya, pria tua yang agak gemuk dengan rambut setengah botak disepuh hitam itu mendebat, “Ah, mustahil itu! Bila terbukti SS Corporation melanggar kode etik bisnis, Kamar Dagang dan Industri pasti akan menjatuhkan sanksi padanya, dan kita bisa menuntutnya secara hukum!”
Yang menyanggahnya malah seorang pria langsing berusia tiga puluhan. Ia adalah Direktur Pemasaran bernama Harun Tirtakusuma. “Tapi itu benar-benar terjadi, Pak Ngurah!” serunya. “SS menuduh produk makanan kita beracun. Padahal banyak produk kita bahkan ditiru dan disusupi bahan-bahan berbahaya!”
“Belum tentu begitu. Kalau kita memperketat quality control…”
Kata-kata Ngurah tadi lagi-lagi memicu interupsi dan argumen dari para anggota dewan lainnya. Ada yang terkesan membela diri, menyanggah atau mengemukakan usul-usul pribadi. Suara-suara mereka terdengar tumpang-tindih, sulit menentukan siapa berkata apa.
Untunglah Johnny meluruskan kekusutan ini dengan kata-kata tegas. “Tenang, semua! Daripada berdebat, lebih baik bertindak!”
Lantas, sang Direktur Utama berpaling pada Direktur Pemasaran dan berkata, “Harun, kumpulkan bukti-bukti produk-produk palsu itu, cari tahu sumbernya! Setelah bukti lengkap, serahkan ke Bagian Legal agar bisa menuntut biang keladinya secara hukum dan terbuka!”
“Baik, pak!” jawab Harun tegas.
“Bagian Hubungan Masyarakat, umumkan di media massa bukti bahwa semua produk Wardhana aman dikonsumsi dan digunakan! Ekspos keberadaan produk-produk palsu dan perbedaannya dengan yang asli!”
Dengan tegas namun terkesan tenang dan berwibawa, Johnny menyampaikan instruksi-instruksi lain pada para Direktur dan Kepala Bagian lainnya. Berbekal wawasan luas dan pengalaman menghadapi krisis, tak seorangpun dari mereka, bahkan sang paman sendiri mempertanyakan, apalagi mendebat sang pemimpin muda.
Setelah membahas beberapa hal penting lainnya, rapat selesai.
Beberapa menit setelahnya, diam-diam Johnny memanggil Direktur Pemasaran ke ruang Direktur Utama. “Bapak memanggil saya?” Harun berbasa-basi sopan.
“Ya, Harun. Duduklah,” jawab Johnny. “Saya ingin membicarakan sesuatu yang amat rahasia.”
Dengan wajah penuh tanda-tanya, Harun duduk.
Johnny mengambil napas sejenak, lalu bicara, “Tentang produk palsu, saya curiga ada orang dalam di perusahaan ini yang membocorkan formula produk-produk kita pada SS Corporation.”
Harun terperanjat. “Astaga! Bisa jadi! Mereka bisa menggunakan formula itu untuk membuat produk-produk baru, sekaligus menjatuhkan merk kita! Pantas saja SS berkembang luar biasa cepat!”
“Ya, itulah alasan paling masuk akal sepak terjang mereka yang terlalu ‘ajaib’!”
“Tapi, siapa yang sekeji itu, menjatuhkan nama baik perusahaan tempatnya bernaung? Bukankah bapak memperlakukan semua karyawan dengan baik?”
“Setidaknya saya sudah mengusahakannya.” Ekspresi Johnny tak berubah. “Tapi ada saja orang-orang yang tak puas hanya mendapatkan ‘perlakuan baik’ saja.”
Lalu, Johnny bangkit dari tempat duduknya, menepuk bahu Harun seraya tersenyum. “Saya tahu, dari seluruh Direksi hanya kamulah yang masih bergaya hidup sederhana. Jadi saya hanya percaya padamu saja… untuk sekarang.”
Mata Harun yang membulat seakan berbinar penuh semangat mendengarnya.
Johnny melanjutkan, “Jadi, ayo kita bekerjasama, menghentikan ulah SS Corporation demi persaingan bisnis yang sehat. Tapi ingat baik-baik, Harun. Kau harus sangat hati-hati. Menilik cara kerja SS, kurasa mereka takkan ragu-ragu mencelakakan siapapun yang mencoba menyelidiki mereka.”
“Baik, saya akan selalu ingat pesan bapak.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Jufan Rizky
go mas andry!!
2020-06-25
7
Ayu Bening Fayola
I LIKE THIS A LOT❤
2019-10-23
1
NMarianna
suka ceritanya pak trs sama ilustrasinya bikin sendiri?
2019-10-13
5