Genta murca berdentang, tanda dimulainya rentetan prahara.
Sebuah mobil minibus melaju dalam kegelapan malam, di jalanan yang sepi. Hanya ada pepohonan di kanan-kiri, tak tampak satupun rumah sejauh mata memandang. Tampak di sisi mobil minibus putih itu tulisan hitam “WARDHANA LOGISTICS”.
Seorang supir dan keneknya sedang berbincang-bincang di dalam mobil, berusaha menghalau rasa kantuk yang kerap menyapa. Sesekali mereka bercanda, melontarkan lelucon-lelucon yang tak senonoh, namun sukses mengocok perut.
“Haha, sudah ah, Bud!” celetuk si supir. “Kita sudah keluar dari jalan tol dan masuk daerah rumah bos, nih!”
“Wah, iya juga, Wan. Nggak terasa juga ya, setelah ngobrol sepanjang jalan dari Museum Nasional. Tapi kira-kira barang apa yang kita angkut di belakang itu, ya?” celoteh kenek bernama Budi itu.
Iwan mengangkat bahu. “Entahlah, aku juga tak tahu. Di surat jalan hanya tertulis serangkaian kode huruf dan angka saja. Tapi bukan rahasia lagi, bos kita memang peneliti kebudayaan dan artefak kuno yang cukup disegani. Yah, walaupun memang beliau lebih terkenal sebagai salah satu konglomerat muda tersukses di Indonesia.”
Budi, si kenek mengangguk. “Iya, ya. Keren sekali bos kita itu. Tapi, terus terang aku bingung, kenapa rumahnya di Jakarta ada di tempat jauh, gelap dan terpencil? Apalagi saat tengah malam buta seperti ini…”
“Itu karena rumah beliau amat luas, dan bos butuh udara segar, jauh dari polusi perkotaan agar bisa lebih leluasa dengan ‘riset-riset budaya’-nya itu.” Iwan menyikut rekannya itu. “Wah, wah, jangan bilang kamu takut kalau-kalau ada pocong atau kuntilanak tiba-tiba muncul dan menghadang di depan kita.”
“Hei, itu sama sekali nggak lucu, Wan!” sergah Budi sambil mendelik ke arah rekannya itu. “Amit-amit, sebaiknya kita jauh-jauh dari segala makhluk, bneda atau hal-hal gaib! Lebih baik tunaikan tugas dan pulang dengan selamat…”
Tiba-tiba Iwan memotong, “Ssh, Bud! Lihat di depan sana!” Ia menunjuk ke arah depan mobil
“Apaan sih? Sudah kubilang jangan bercan…” Budi berhenti bicara, mulutnya ternganga.
Tampak sosok serba putih berdiri tak terlalu jauh di depan mobil. Supaya tak menabrak sosok itu, Iwan injak rem mendadak. Tak memakai sabuk pengaman, kepala Budi terbentur kaca depan minibus. Namun marahpun ia tak sempat, wajahnya memucat seakan melihat hantu.
Betapa tidak, sosok putih itu mengenakan kain kafan putih kusam yang terikat tepat di atas kepalanya, dan ujung satunya dibiarkan menjuntai ke tanah hingga menyerupai rok panjang compang-camping. Walau demikian, Budi dan Iwan tetap mengenalinya sebagai sejenis mayat hidup atau zombie asal Indonesia, yang sebutannya adalah…
“… Pocong!” teriak Budi histeris. “Tancap gas, Wan! Lewati dia! Siapa tahu itu modus perampokan, menakut-nakuti kita dengan manusia berkostum pocong!”
Iwan terpaku, gemetaran. Ia mungkin merasakan penampakan gaib di depannya ini terlalu… nyata.
“Ayo, tancap gas!”
Kali ini Iwan menanggapinya dengan tergagap, “B-bagaimana kalau itu s-sungguhan? B-bagaimana kalau ia m-mengejar kita?”
“Tabrak saja! Mobil ini kuat, ‘kan?” Akal sederhana Budi cenderung memilih pemecahan paling mudah. “Kalau dia manusia, minimal dia bisa menghindar, ‘kan? Cepat Wan, sebelum kawanannya mengepung kita!” Dengan sigap ia mengeluarkan pistol, peralatan wajib bagi para kurir mobil berpengaman di perusahaan manapun.
Tanpa pikir panjang, Iwan mengangguk. Minibus mulai melaju, makin lama makin cepat. Gilanya, si pocong tetap bergeming. Apa dia memang tipe manusia nekad yang baru menghindar di saat-saat terakhir?
Semua pemikiran Budi dan Iwan itu keliru.
Alasannya? Saat berikutnya, tiba-tiba sosok si pocong berubah. Tubuhnya seakan membengkak, meraksasa dan tampak teramat kekar. Bahkan kain kafan yang ia kenakan terangkat hingga ujung-ujungnya sejajar dengan pusar.
Kedua insan dalam mobil berteriak-teriak bagai gila, namun Iwan tak melambatkan mobilnya sedikitpun. Harapannya, “makhluk” itu mati tertabrak.
Melalui sebuah pertunjukkan kekuatan yang melampaui batasan akal, si “pocong raksasa” mencengkeram kedua sisi “wajah” minibus itu, menahan lajunya. Kedua roda depan minibus masih berputar keras dan berdecit nyaring. Namun saat bagian depan mobil diangkat tinggi-tinggi, dua roda belakang mobil terhenti seketika.
Terhenti pulalah usaha kedua manusia itu untuk bertahan hidup. Mereka hanya bisa berteriak-teriak histeris, tanpa tahu apa ada yang cukup kuat, cukup berani untuk menyelamatkan jiwa mereka dari ancaman ini.
Bagai semilir angin, sebuah suara wanita terdengar lirih, namun amat jelas. “Wah, wah, Gangren, jangan terlalu kasar pada kedua tamu kita ini.”
Seakan mematuhi si wanita, si pocong raksasa lantas membanting mobil ke bawah kuat-kuat. Sekali lagi, Budi terlonjak paling keras. Lukanya amat parah, kepala dan wajahnya berdarah-darah. Walau belum sekarat seperti rekannya, Iwan seakan tengah menatap dua malaikat maut yang hendak menjemput dirinya dan keneknya. Seakan segala warna tersaput dari wajahnya kini.
Si wanita misterius muncul dan bergerak ke arah mobil. Gerakannya amat aneh, melayang tanpa melangkah atau menjejak tanah. Rambut dan gaunnya amat panjang, putih dan terurai. Yang paling mengerikan, seluruh kulit wajah dan tubuhnya tampak amat pucat-kebiruan. Ditambah pula warna hitam-legam sekitar mata, alis dan bibir tampak bagai kosmetik yang amat tebal.
Secara keseluruhan, wanita itu tampak seperti hantu wanita, kuntilanak.
Lantas, si “kuntilanak hidup” masuk begitu saja dari jendela mobil yang pecah-berantakan, darah hitam yang menetes dari luka-luka goresan pecahan kaca tak dihiraukannya. Toh luka-luka itu bakal merapat kembali dengan cepat.
Iwan yang masih terpaku dan terhimpit dalam mobil ringsek itu hanya bisa menatap wajah cantik namun menyeramkan itu dekat sekali di hadapannya.
Si kuntilanak lantas bicara dengan halus namun dibuat-buat seperti tadi, “Nah, perkenalkan. Namaku Okkult dan temanku yang pemalu itu Gangren.”
Walau sejak tadi tak bicara, Gangren si pocong raksasa sama sekali tak terkesan pemalu. Ia lantas berjalan ke belakang mobil, lalu mencabut pintu belakang dengan mudahnya seolah-olah merobek kardus.
Okkult si kuntilanak hidup melanjutkan, “Kami hanya ingin mengambil satu benda saja dari dalam mobil kalian. Tentunya kalian mau memberikannya dengan senang hati, ‘kan?”
Budi yang sekarat tak mampu bicara. Hanya Iwan yang mengangguk-angguk seperti orang dungu. “Eh, i-iya, mbak. Silakan, ambillah semua yang mbak mau, tapi kumohon jangan bunuh kami! Nanti anak-istri kami…”
“Tat, tat, tat!” Dengan gaya kebarat-baratan, Okkult menggoyangkan telunjuknya yang teracung di depan Iwan. “Aku tahu, kalian pasti meminta hal itu. Tapi tadi kami tak menjanjikan apa-apa, ‘kan?”
Wajah Iwan jadi hampir sepucat Okkult. Apalagi saat satu kuku jari kuntilanak yang hitam dan panjang itu menembus sampai ke nadi tangan Iwan seperti jarum suntik raksasa.
“Nah, satu lagi untuk rekanmu ini.” Okkult juga “menyuntik” Budi, mengakhiri nasib si kenek sekarat itu. Rupanya kuku wanita berkekuatan hantu mistis itu mengandung racun. Tanpa tenaga dalam yang disebut prana yang memadai, kematian adalah harga mati, akhir yang pasti.
“K… Kejam kalian…” ujar Iwan terbata-bata sambil menitikkan air mata. Terbayang olehnya istri dan anaknya yang pasti bakal hidup menderita sepeninggal sang kepala keluarga, sumber utama nafkah mereka. Wajahnya mulai membiru seiring racun yang mulai bereaksi, mengaliri seluruh tubuhnya.
Namun Okkult tetap nampak santai, dan terkesan agak bosan. “Yah, apa mau dikata. Tuntutan utama profesi kami ini adalah pantang ada saksi. Jari-jari kami tak bersidik, darahpun takkan memberi petunjuk sama sekali. Sudahlah, terima saja nasib kalian, pergilah ke akhirat atau jadi arwah penasaran! Nah, Gangren sudah mendapatkan barangnya.”
Dengan sisa tenaga terakhirnya, Iwan menoleh. Dilihatnya si pocong raksasa membawa sebuah kotak besi tahan api berlabel “SANGAT RAHASIA”.
Hanya demi kotak kecil itukah Iwan dan Budi kehilangan nyawa? Sebegitu berhargakah isinya, hingga butuh dua pendekar super sakti untuk merebutnya? Mungkin saja jawaban kedua pertanyaan itu adalah “ya”, menilik pakaian dan tubuh Gangren yang menghitam seperti hangus, seakan baru saja tersambar rentetan petir maha dahsyat.
Bagi Iwan, kini semua percuma. Semua ini telah terjadi, tak mungkin ia hindari lagi.
Beberapa saat sebelum racun menjalari jantungnya, Iwan sempat melihat Gangren dan Okkult, si pocong dan si kuntilanak beraga manusia hidup itu berbalik, melenggang pergi membawa hasil jarahan mereka. Langkah-langkah mereka pelan dan santai, sosok-sosok mereka seakan berangsur-angsur menghilang ditelan kegelapan malam.
Suara yang terakhir Iwan dengar adalah Okkult yang melantunkan tembang bernada lirih dalam Bahasa Jawa yang tak dimengertinya.
Tembang pengantar arwah.
Di mata publik, I Made Johnny Wardhana adalah seorang pria sempurna. Ia tampan, tinggi-besar dengan tubuh berotot bagai binaragawan. Apalagi statusnya sebagai seorang konglomerat muda, Chief Executive Officer, Direktur Utama Wardhana Enterprises di usia tiga puluh tiga tahun. Suksesnya sebagai pewaris kerajaan bisnis membuat Johnny amat disegani, baik dalam dunia bisnis di Indonesia maupun mancanegara.
Hanya satu hal yang membuat semua wanita patah hati. Johnny sudah memiliki istri yang cantik dan bersahaja bernama Wenny Karina Wardhana, juga dua anak, Brandon dan Cynthia yang cerdas, sehat dan kuat.
Namun, di balik semua itu, Johnny sadar bahwa sesungguhnya dirinya adalah manusia biasa yang tak luput dari salah dan dosa. Sudah tak terhitung berapa banyak keputusannya yang salah, hingga merugikan orang-orang lain, keluarganya dan dirinya sendiri. Satu hal yang pasti, Johnny tak pernah sekalipun berusaha, bahkan berniat untuk menjegal para pesaing bisnisnya. Sebaliknya, ia berusaha menjalin sinergi dengan sesama pengusaha, menciptakan iklim persaingan yang sehat.
Jadi, wajar saja bila sewaktu-waktu Johnny menyempatkan diri untuk menggali makna kehidupan lebih dalam lewat rekreasi, ibadah dan meditasi. Jauh dari hiruk-pikuk dan hingar-bingar dunia. Dalam rangka itulah kini ia berada di Pura Besakih, tempat ibadah terbesar dan paling agung Agama Hindu di Bali. Karena ini bukan hari raya atau hari ibadah, suasana hening dan teduh di beberapa sisi kompleks pura yang dilarang bagi wisatawan sungguh sempurna untuk tempat meditasi.
Usai “pemandian jiwa”, Johnny menyempatkanb diri berkeliling halaman pura. Udara di rerimbunan pepohonan ini amat sejuk, meneduhkan jiwa. Tanpa sadar, Johnny tersenyum sendiri.
Seiring langkah-langkahnya, tiba-tiba Johnny mendengar suara-suara yang mengusik kedamaian. H-hah? Suara-suara pertarungan? Pikirnya. Ia lantas berlari menuju sumber suara.
Tiba di pepohonan yang jauh dari wisatawan dan orang banyak, Johnny menghentikan larinya. Matanya terbelalak. Rupanya suara-suara dahsyat itu berasal dari seorang pria tua bertampang sangar yang sedang berlaga melawan seorang gadis cantik. Si pria tampak kewalahan, menghindari dan menangkisi tendangan-tendangan wanita yang lebih lincah darinya ini.
Walau Johnny bukan pendekar, sepak-terjangnya sebagai “jawara bisnis” membuatnya berpikir untuk mengamati para petarung lebih dahulu sebelum berusaha melerai.
Tiba-tiba Johnny mengerutkan dahi. Hampir sekejap, gadis yang tadi tampak unggul jadi terdesak. Mungkin si gadis salah langkah, sehingga pertahanannya terbuka lebar.
Melihat kesempatan ini, pria tua bertubuh lebih besar dan lebih kekar dari Johnny itu memberondong lawan dengan rentetan tinjunya. Si gadis jadi bulan-bulanan dan berteriak kesakitan. Siapa kuat dan siapa lemah terpampang jelas kini.
Bagi Johnny, ini sudah keterlaluan. Untuk mencegah nyawa melayang, ia terpaksa turun-tangan. Ia menerjang maju, telapak tangannya mendorong sekuat tenaga ke arah… si pria tua. Tak siap, si pria tua terdorong mundur sambil mengaduh, “Aduh! Apa-apaan…!”
Si wanita lantas tersenyum, menghampiri Johnny seraya berkata, “Wah, terima kasih tuan…”
Dan Johnny menyambutnya dengan hantaman siku dan punggung tangan secara beruntun, tepat di wajah si wanita.
Tak ayal, wanita berambut hitam dan berpakaian serba merah marun bergaya pesenam aerobik itu tersuruk di tanah. Cepat pulih, ia bangkit dan memegangi wajahnya yang lebam. “Wajahku! Menyebalkaan!” rutuknya.
Dengan nekad nan ganas si wanita lari, menerjang Johnny si pria besar. Saat sudah dekat, Johnny sengaja berkelit ke satu sisi. Namun, tanpa diduganya, cakar kuku ungu si pendekar wanita menorehkan deretan luka di tubuhnya.
Meraung kesakitan, Johnny mencoba balik meninju dengan jab-jab yang kuat dan cepat, namun tinjunya hanya menerpa udara. Tak hanya itu, tubuhnya tiba-tiba terasa berat dan sulit digerakkan.
“Bagaimana? Enak ‘kan racun pelemas ototku?” Senyum licik si wanita mengembang. “Sekarang, rasakan yang lebih enak lagi, yaitu kukuku dalam jantungmu! Katakan pada penjaga akhirat, pembunuhmu adalah aku, Shinta Devi!”
Seberkas aura ungu muncul di ujung deretan kuku tajam itu, dan bagai tombak, Devi menghunjamkannya tepat ke arah jantung Johnny berada. Namun Johnny tak kehabisan akal. Ia nekad meninju tangan Devi, sehingga kuku-kuku lawan hanya menggores lengannya.
Melihat Devi goyah, Johnny mengambil kesempatan dengan melesatkan tinju dari tangan satunya lagi. Namun tiba-tiba gerakan Johnny terhenti. Lengannya terasa amat berat dan kepalanya pening. Reaksi racun Devi makin menggila, membuat otot-otot Johnny makin lemas.
“Haha! Inilah akibatnya kalau orang biasa berlagak jadi pendekar! Pikirkan lagi kesalahanmu itu di akhirat!” Sambil mengatakannya, Devi menghunjamklan cakar kedua yang terlalu cepat untuk ditangkis.
Kali ini, yang menyelamatkan nyawa Johnny adalah sebuah tendangan lurus, keras dan sarat tenaga dalam, menghantam telak pinggang Devi. Tubuh wanita itu terpental.
Johnny menoleh dan menatap penolongnya, yaitu si pria tua kekar. “Masih bisa bertarung?” tanya pak tua sambil menyalurkan hawa murni ke tubuh Johnny, memaksa racun keluar dalam wujud uap hitam. Serasa dapat kekuatan baru, Johnny mengangguk. “Ya!”
“Ayo kita tumpas perempuan licik itu!”
Di saat bersamaan, Shinta Devi bangkit sambil memegangi pinggangnya. Ringisan di wajahnya berubah jadi geraman. Beberapa langkah di depannya, Johnny dan pak tua berdiri kokoh dan siap menyerang. Rupanya penampilan kedua pria tinggi-besar-kekar itu serta semangat tarung mereka yang berkobar-kobar jadi ancaman nyata bagi wanita bertubuh langsing-semampai ini. Wajah Devi pucat-pasi seketika. Situasi tak berimbang ini sama sekali di luar perkiraannya.
“Huh! Awas kalian! Akan kubalaskan dendam ini seribu kali lipat!” Sambil mengatakannya, Devi melarikan diri.
Johnny juga lari mengejar, namun baru dua langkah, tubuhnya roboh bagai pohon tumbang. Melihat itu, pak tua perkasapun berhenti mengejar. Ia mengangkat tubuh Johnny ke posisi duduk bersila. Lantas, pak tuapun duduk bersila di belakang Johnny. Tampak sinar putih berpendar di kedua telapak tangannya. Dengan lembut ia meletakkan kedua telapaknya itu di punggung Johnny. “Jangan bergerak,” katanya.
Sesaat kemudian, Johnny merasakan hawa lembut nan hangat kembali mengaliri tubuhnya. Lambat tapi pasti, makin banyak racun dikeluarkan dari tubuhnya lewat keringat dan uap berwarna serba hitam. Johnny berangsur-angsur merasa nyaman dan ringan kembali.
Setelah racun bersih tuntas, Johnny menghembuskan napas lega. Pak tua menarik kedua tapaknay dan duduk bersila di hadapan “pasien”-nya. “Untung itu tadi racun pelemas otot saja, jadi kau bisa pulih dengan cepat. Kurasa tadi kau mendorongku untuk menghindarkanku dari kuku-kuku beracun Devi, bukan?” kata pak tua.
Si “pasien” menanggapinya dengan mengangguk. “Ah ya, aku jadi lupa sopan santun. Namaku Johnny, aku dari Denpasar.”
Pak tua menanggapinya, “Namaku I Ketut Suprana. Aku adalah mantan pendekar yang kini hidup bertapa.”
Johnny ternganga. Tak pernah ia menyangka akan bertemu seorang pendekar, apalagi di tempat suci macam Pura Besakih ini.
Suprana kembali bicara, “Nah, nampaknya kau bukan pendekar, Bli Johnny. Tapi tubuhmu kekar, tenaga dalam dan gerakan tarungmu tadi cukup bagus. Dari mana kau mempelajarinya?”
“Kebetulan aku suka mempelajari kitab dan artefak kuno, khususnya dari negeri sendiri,” jawab Johnny. “Salah satunya adalah ‘Sutra Kanuragan’, ilmu pengolahan tenaga dalam. Ditambah lagi aku sempat mendalami cabang olahraga tinju bertahun-tahun silam.”
“Wah, pantas saja.” Suprana mengangguk sambil mengelus kumis putihnya yang panjang melewati dagu. “Namun kekuatanmu itu masih harus dikendalikan. Sebagai tanda terima kasihku karena kau telah menolongku tadi, aku akan mengajarkan beberapa jurus padamu. Yah, dengan kata lain aku mengangkatmu menjadi muridku.”
Wajah Johnny berseri-seri seketika. Ia lantas menghaturkan hormat dengan berlutut. “Terimalah hormat dariku, guru.”
“Tapi berjanjilah, kau akan menggunakan jurus-jurus ini untuk kebaikan, bukan untuk keuntungan pribadi.”
“Ya guru, aku berjanji.”
“Haha, bagus, bagus.” Tawa kedua pria itu berderai lepas, layaknya dua sahabat lama yang baru bertemu setelah sekian lama.
Sambil keduanya berjalan kembali ke arah pura, Johnny bertanya, “Oh ya, boleh tahu mengapa Shinta Devi menyerang guru tadi?”
“Entahlah. Tiba-tiba saja ia muncul dan berseru, ‘Serahkan kalung itu!’” Suprana menunjuk ke arah bulatan sebesar kepalan tangan yang tampak menonjol di tengah dada, di balik baju t-shirt ketatnya. “Aku tahu, yang diincarnya pasti kalung pusakaku ini. Tentu saja aku menolak, dan kami bertarung.”
“Ah, aku baru paham sekarang,” tanggap Johnny.
Suprana lantas menepuk bahu murid barunya itu seraya bicara akrab, “Nah, yang penting bahaya telah lewat. Ayo, kita makan Bebek Bengil untuk merayakan pertemuan kita!”
“Hahaha! Mari, mari!”
Suprana dan Johnny terus berbincang-bincang. Namun satu pikiran membuat sang murid baru itu tertegun. Ada baiknya aku sering menemui guru. Firasatku berkata, Shinta Devi akan menyerang beliau lagi. Mungkin ia akan lebih nekad, lebih kuat daripada sebelumnya.
==oOo==
Selama beberapa minggu berikutnya, Johnny lebih sering bepergian ke Pura Besakih. Kadangkala ia bahkan menginap beberapa hari untuk menguasai jurus-jurus Kanuragan yang menuntut latihan dan konsentrasi penuh.
Namun, semuanya itu tentu harus diseimbangkan dnegan kegiatan-kegiatan lainnya, apalagi yang menyangkut Wardhana Enterprises. Walaupun memiliki jajaran Direksi yang dapat diandalkan, sebagai CEO Johnny mengemban tanggungjawab terberat dalam pengelolaan bisnisnya ini.
Karena itulah, mulai minggu ketiga sejak berlatih Ilmu Kanuragan, Johnny kini lebih banyak di Denpasar, ibukota Propinsi Bali.
Tepat jam delapan pagi, Johnny yang berpakaian kemeja-jas-dasi turun dari mobilnya, sosoknya yang melangkah ke pintu gerbang utama gedung kantornya tampak amat gagah dan berwibawa.
Alih-alih berbentuk pencakar langit seperti umumnya, gedung Kantor Pusat Wardhana Enterprises ini menempati areal seluas empat blok perumahan real estate. Untuk mematuhi tradisi di Bali, puncak tertinggi atap dan menara kompleks gedung bergaya gabungan arsitektur tradisional Bali dan modern-kontemporer ini tak lebih tinggi dari pohon-pohon kelapa yang sengaja ditanam di sekitarnya. Kompleks ini terdiri dari gedung utama di tengah, dan gedung kedua yang mengelilinginya.
Perlu waktu kira-kira sepuluh menit jalan kaki hingga Johnny tiba di depan ruang kantornya, yang terletak di lantai dua gedung utama. Para karyawan dan jajaran manajemen tampak berbaris sepanjang jalur dari lift sampai pintu ruang kerja CEO. Mereka membungkuk dan tersenyum penuh hormat seraya menyapa, “Selamat pagi, Pak Johnny.”
Yang lebih menarik, Johnny menjawab sapaan mereka dengan ramah dan tulus, “Pagi juga. Wah, saya senang kalian semua mematuhi disiplin waktu.”
Jelas, ada sesuatu yang menggugah para karyawan Wardhana Enterprises untuk tiba sejam lebih awal dari waktu mulai kerja, jam sembilan pagi. Yang pasti, sesuatu itu adalah karena “para bos” juga terbiasa datang lebih awal, mirip etos kerja di negara-negara maju.
Saat Johnny memasuki ruang kerjanya, seorang wanita ikut masuk dengan tergesa-gesa.
Johnny menegur, “Ya, Myrna!? Ada apa?”
Myrna, Sekretaris Perusahaan, seorang wanita berusia empat puluhan dengan sorot mata sarat ketrampilan dan pengalaman menjawab, “Ada kabar amat mendesak, Pak Johnny! Saya sudah menaruh rinciannya di meja bapak, sekaligus data-data laporan analisis pasar yang sudah rampung.”
“Baik, terima kasih.” Tanpa buang waktu lagi, Johnny membuka jasnya, duduk di kursi meja kerjanya. Ia lantas meraba-raba dan menekan-nekan meja itu. Ada apa gerangan? Rupanya permukaan meja Johnny adalah sebuah layar sentuh komputer. Segala data yang dimaksud Myrna sudah terpampang di layar, jadi hanya sedikit kertas dan berkas kerja di meja canggih ini.
Tiba-tiba mata Johnny terbelalak. Ia segera menyentuh satu sisi layar mejanya dan berseru, “Myrna! Kumpulkan Dewan Direksi untuk meeting sekarang juga! URGENT!” Amat mendesak.
Suara Myrna di interkom menyahut, “Baik, pak!”
==oOo==
Beberapa menit kemudian, bagai sepasukan prajurit berdisiplin tinggi, seluruh jajaran Direksi Wardhana Enterprises telah menempati kursi mereka masing-masing dalam ruang rapat.
Johnny Wardhana berdiri di sisi sebuah layar sentuh besar yang tergantung di dinding, yang terhubung langsung dnegan komputer meja di ruangannya. Tanpa basa-basi, Johnny langsung membahas masalah pokok. “Menurut laporan ini, salah satu pesaing kita, SS Corporation tengah menggerogoti pangsa pasar Wardhana Enterprises.”
Para anggota Direksi langsung kasak-kusuk satu sama lain. Tentu Johnny tak tinggal diam. Ia melanjutkan, “Kalau hanya itu masalahnya, kita bisa berusaha bertahan dengan meningkatkan kinerja, pelayanan dan promosi pemasaran yang gencar. Namun, kabarnya SS Corporation menggunakan cara-cara seperti intimidasi, promosi negatif dan semacamnya untuk merebut para klien dan konsumen produk-produk kita! Mereka bahkan memasarkan produk-produk yang, kecuali bentuk dan kemasannya, amat mirip dengan produk kita! Ini jelas pembajakan terang-terangan!”
Pernyataan Johnny itu menyulut reaksi dari pamannya, I Wayan Ngurah Wardhana yang menjabat sebagai Wakil Direktur Utama Wardhana Enterprises. Dengan senyum sinis dan sorot mata tak percaya, pria tua yang agak gemuk dengan rambut setengah botak disepuh hitam itu mendebat, “Ah, mustahil itu! Bila terbukti SS Corporation melanggar kode etik bisnis, Kamar Dagang dan Industri pasti akan menjatuhkan sanksi padanya, dan kita bisa menuntutnya secara hukum!”
Yang menyanggahnya malah seorang pria langsing berusia tiga puluhan. Ia adalah Direktur Pemasaran bernama Harun Tirtakusuma. “Tapi itu benar-benar terjadi, Pak Ngurah!” serunya. “SS menuduh produk makanan kita beracun. Padahal banyak produk kita bahkan ditiru dan disusupi bahan-bahan berbahaya!”
“Belum tentu begitu. Kalau kita memperketat quality control…”
Kata-kata Ngurah tadi lagi-lagi memicu interupsi dan argumen dari para anggota dewan lainnya. Ada yang terkesan membela diri, menyanggah atau mengemukakan usul-usul pribadi. Suara-suara mereka terdengar tumpang-tindih, sulit menentukan siapa berkata apa.
Untunglah Johnny meluruskan kekusutan ini dengan kata-kata tegas. “Tenang, semua! Daripada berdebat, lebih baik bertindak!”
Lantas, sang Direktur Utama berpaling pada Direktur Pemasaran dan berkata, “Harun, kumpulkan bukti-bukti produk-produk palsu itu, cari tahu sumbernya! Setelah bukti lengkap, serahkan ke Bagian Legal agar bisa menuntut biang keladinya secara hukum dan terbuka!”
“Baik, pak!” jawab Harun tegas.
“Bagian Hubungan Masyarakat, umumkan di media massa bukti bahwa semua produk Wardhana aman dikonsumsi dan digunakan! Ekspos keberadaan produk-produk palsu dan perbedaannya dengan yang asli!”
Dengan tegas namun terkesan tenang dan berwibawa, Johnny menyampaikan instruksi-instruksi lain pada para Direktur dan Kepala Bagian lainnya. Berbekal wawasan luas dan pengalaman menghadapi krisis, tak seorangpun dari mereka, bahkan sang paman sendiri mempertanyakan, apalagi mendebat sang pemimpin muda.
Setelah membahas beberapa hal penting lainnya, rapat selesai.
Beberapa menit setelahnya, diam-diam Johnny memanggil Direktur Pemasaran ke ruang Direktur Utama. “Bapak memanggil saya?” Harun berbasa-basi sopan.
“Ya, Harun. Duduklah,” jawab Johnny. “Saya ingin membicarakan sesuatu yang amat rahasia.”
Dengan wajah penuh tanda-tanya, Harun duduk.
Johnny mengambil napas sejenak, lalu bicara, “Tentang produk palsu, saya curiga ada orang dalam di perusahaan ini yang membocorkan formula produk-produk kita pada SS Corporation.”
Harun terperanjat. “Astaga! Bisa jadi! Mereka bisa menggunakan formula itu untuk membuat produk-produk baru, sekaligus menjatuhkan merk kita! Pantas saja SS berkembang luar biasa cepat!”
“Ya, itulah alasan paling masuk akal sepak terjang mereka yang terlalu ‘ajaib’!”
“Tapi, siapa yang sekeji itu, menjatuhkan nama baik perusahaan tempatnya bernaung? Bukankah bapak memperlakukan semua karyawan dengan baik?”
“Setidaknya saya sudah mengusahakannya.” Ekspresi Johnny tak berubah. “Tapi ada saja orang-orang yang tak puas hanya mendapatkan ‘perlakuan baik’ saja.”
Lalu, Johnny bangkit dari tempat duduknya, menepuk bahu Harun seraya tersenyum. “Saya tahu, dari seluruh Direksi hanya kamulah yang masih bergaya hidup sederhana. Jadi saya hanya percaya padamu saja… untuk sekarang.”
Mata Harun yang membulat seakan berbinar penuh semangat mendengarnya.
Johnny melanjutkan, “Jadi, ayo kita bekerjasama, menghentikan ulah SS Corporation demi persaingan bisnis yang sehat. Tapi ingat baik-baik, Harun. Kau harus sangat hati-hati. Menilik cara kerja SS, kurasa mereka takkan ragu-ragu mencelakakan siapapun yang mencoba menyelidiki mereka.”
“Baik, saya akan selalu ingat pesan bapak.”
Dua hari kemudian…
Johnny sedang duduk di kursi meja makan di rumahnya di Nusa Dua, Bali. Pagi itu, sesaat sebelum berangkat ke kantor, tak lupa ia membuka-buka halaman surat kabar sambil menyeruput kopi hangat.
Tiba-tiba, kopinya tumpah dan cangkirnya jatuh, pecah di meja. Mata Johnny terbelalak, menatap halaman surat kabar yang dipegangnya seolah tengah melihat hantu.
Pemicunya jelas dua artikel lengkap dengan foto-fotonya di halaman yang sama ini.
MOBIL MASUK SUNGAI
1 Tewas, Korban Diduga Bunuh Diri
Denpasar, 14 Mei 20xx
Diduga stres berat, seorang pria bernama Harun Tirtakusuma, karyawan perusahaan swasta di Denpasar menenggak sianida…
Ini, dan satu berita lagi.
KEBAKARAN BESAR
Di Pabrik Milik Wardhana Enterprises
Denpasar, 14 Mei 20xx
Diduga karena arus pendek listrik, sebuah kompleks pabrik makanan dalam kemasan milik Wardhana Enterprises terbakar kemarin malam. Tidak ada korban jiwa, kerugian diperkirakan mencapai…
Tinju Johnny menggebrak meja makan yang terbuat dari kayu jati itu. Seluruh tubuhnya bergetar hebat, giginya gemeletak dan air matanya membuncah, tak tertahan lagi.
Aku salah langkah! Rutuk Johnny dalam hati. Maafkan aku, Harun… Seharusnya aku tak membiarkanmu bergerak sendirian! Tak kusangka, SS Corporation mampu melakukan teror sekeji ini! Air matanya menetes tepat di atas foto wajah Harun pada kabar duka ini.
Ini semua salahku!
Belum reda getaran di tubuh Johnny, istrinya, Wenny Karina Wardhana, seorang wanita cantik berambut sebahu yang masih mengenakan pakaian olahraga memasuki ruang makan dengan amat tergesa-gesa.
“Papa!” seru Wenny. “Ada orang gila mencoret-coret dinding gerbang depan rumah kita dengan tulisan besar-besar! Mama takut!”
Dirundung dua musibah sekaligus, Johnny baru akan buka mulut untuk menegur sang istri yang meributkan “hal kecil”. Namun, firasat buruk kembali merasukinya. Johnny urung bicara dan langsung bergegas bersama Wenny ke tempat yang dimaksud.
Benar saja, tampak sebagian dinding gerbang depan rumah Johnny yang amat luas dipenuhi grafiti besar-besar berwarna merah darah. Itu adalah tulisan “YOU ARE NEXT” serta lambang tengkorak dan dua tulang bersilangan.
Johnny terpaku di tempat dan tertunduk.
“Papa, kok serius sekali? Ini ‘kan hanya ulah orang iseng saja?!” tegur Wenny sambil menyentuh bahu suaminya.
“Coret-coretan itu ada hubungannya dengan ini,” tanggap Johnny sambil menyodorkan lembaran surat kabar yang baru dibacanya pada mantan aktris dan model itu.
Saat membacanya, wajah pucat pasi Wenny jelas bukan akting, bukan pula dibuat-buat. “J-jadi, keluarga kita sedang… diancam?”
Johnny mengangguk, lalu menyampaikan keputusan cepat. “Wenny, jemput anak-anak dari sekolah sekarang! Siapkan paspor, kalian mengungsilah ke Hong Kong!”
“Papa sendiri bagaimana?”
“Aku harus tetap di Indonesia untuk mengatasi ini semua, menyelamatkan para karyawan dan perusahaan kita! Situasinya sudah jauh lebih gawat daripada perkiraan tergilaku!”
“Jangan-jangan… ada orang-orang jahat yang ingin membuat kekacauan dan mengeruk keuntungan dari itu!?”
“Benar, dan amat kuat pula,” jawab Johnny sambil membelai lembut rambut istrinya. “Tindakan-tindakan teror mereka yang ekstrim ini harus dihentikan dengan cara yang ekstrim pula. Dan aku tahu di mana aku bisa mendapatkan bantuan untuk itu, di samping pihak Kepolisian, tentunya.”
\==oOo==
Hari itu juga Johnny bertindak. Ia sendiri bahkan mengendalikan mobilnya, namun bukan menuju kantor.
Jelas, Johnny hendak minta bantuan si pertapa sakti, I Ketut Suprana. Kalaupun pak tua itu menolak turun tangan, setidaknya Johnny bisa mempelajari jurus pamungkas Ilmu Kanuragan.
Sesampainya di Pura Besakih, Johnny langsung menemui juru kunci alias kepala pura. Selain minta izin, seperti biasa pula ia menanyakan apakah Bli Suprana ada di tempat.
“Ah, kebetulan ada pesan untuk Bli Wardhana, dari Bli Suprana. Beliau sedang bersemedi di Pura Tanah Lot. Bli bisa temui beliau kapan saja di sana,” jawab sang juru kunci, seorang pria berusia enam puluh tahunan yang mengenakan pakaian, topi dan sarung khas Bali.
Tak lupa menghaturkan terima kasih, Johnny segera bergegas ke Tanah Lot, tepatnya daerah pura yang dibangun di atas pulau karang tengah pantai, dan adalah salah satu tempat wisata paling terkenal di Bali.
Sudah lewat tengah hari saat Johnny tiba di Pantai Tanah Lot. Tampak banyak wisatawan sedang berkumpul di sana, menantikan saat matahari terbenam yang bakal membuat pemandangan dua pura di tebing dan tengah pantai itu tampak sangat indah.
Sebenarnya, untuk bersemedi dan bersembahyang dalam pura ini, seseorang dapat memilih untuk mendaki tangga batu ke rangkaian gedung yang diselingi pepohonan lebat. Atau, entah diizinkan atau tidak, ke tempat yang lebih suci lagi di gua batu karang di bawah pura, yang jalan masuknya ditandai dengan dua payung besar.
Namun, pendekar pertapa macam I Ketut Suprana dilarang semedi dalam pura. Begitu tahu tentang ini, Johnny lantas berjalan menyusuri pantai, mencari gurunya.
Di tempat yang sepi dan terlindung pepohonan rindang tak jauh dari pura, barulah Johnny mengenali sosok pria berambut, beralis dan berkumis serba putih, bertubuh amat kekar dan bertelanjang dada itu.
Johnny menghampiri sang guru. Namun ia tak berani kurang ajar dan memanggil langsung, mengganggu semedinya. Beberapa saat kemudian, Bli Suprana yang rupanya sudah menyadari kehadiran Johnny membuka mata dan bicara, “Ada sesuatu yang amat mengganggu pikiranmu, Johnny. Dan kau tergesa-gesa kemari untuk belajar jurus pamungkas.”
“Ya,” jawab Johnny. “Aku tak berniat menyembunyikan itu dari guru.”
“Tapi masalahnya, kau belum siap menerimanya. Kalaupun siap, jiwamu juga tidak tenteram. Kalau kau memaksakan diri dengan kondisi seperti itu, aku kuatir jurus itu malah akan merusakmu, bahkan membunuhmu.”
“Sayangnya, tanpa itu nyawaku juga di ujung tanduk.”
“Oh ya? Bagaimana bisa?”
Johnny lantas memaparkan segala sesuatunya. Tentang SS Corporation yang menebar teror dan ancaman bagi keluarganya dan Wardhana Enterprises, karena Johnny berusaha menghentikan praktik bisnis SS yang tak sehat itu.
“Ah, situasimu sungguh gawat, muridku,” ujar Suprana. “Tapi maaf, aku tetap belum bisa mengajarkan jurus pamungkas padamu. Tenaga dalammu masih belum mencapai tingkat yang disyaratkan. Kau masih harus latihan beberapa bulan lagi, mengingat kau amat berbakat.”
Johnny tak patah semangat. “Apakah tak ada cara lain untuk menguasai pamungkas dengan segera, guru?”
Suprana menghela napas. “Sebenarnya ada. Tapi kau harus ‘meminjam’ kekuatan Barong, Sang Singa Suci Dewata dengan menjadi pewarisnya lewat ini.” Ia menunjuk ke kalung medali yang tergantung antara perbatasan dada dan ulu hatinya.
Johnny sangat mengenali kalung bergambar wajah Barong yang mirip seperti boneka singa besar dalam Tari Barong. Namun wajah pria itu tampak amat kebingungan. “A-apa maksud guru?”
“Barong, satwa dewata terkuat di Nusantara masih ada. Rohnya mendiami kalung ini, dan ia memberi kekuatan hanya pada pewaris sejati yang berjodoh dengannya. Untuk sekarang, akulah sang pewaris pilihan Barong itu.”
Johnny mengerutkan dahi. Semua ini sulit dipercaya oleh pengusaha yang tak pernah menjejaki ranah gaib ini. Namun ia dapat menyerap arti yang tersirat dari kata-kata gurunya tadi – untuk saat ini, Barong belum berniat untuk menunjuk pewaris baru. Tapi tak apa, Johnny mungkin akan menempuh “jalur biasa”, menenangkan jiwa dan ikut Suprana hingga jurus pamungkas dikuasainya.
Saat Johnny hendak meminta bantuan Suprana agar turun tangan secara pribadi, tiba-tiba sebuah suara wanita bergema, “Wah, wah, tak sia-sia aku membuntuti Johnny seharian. Sekali tepuk dapat dua lalat, rupanya Suprana bersembunyi di sini!”
Johnny dan Suprana menoleh dan mengenali si pembicara. “Shinta Devi!” seru Johnny.
Disambut dengan nada tak senang seperti itu, Devi malah menempelkan jari telunjuk di depan bibirnya dengan penuh gaya. “Nah tuan-tuan yang budiman, karena Suprana sudah menyatakan kalung itu memang warisan Barong, serahkan padaku tanpa banyak ribut. Mungkin aku akan membiarkan kalian mati dengan raga utuh!”
“Enak saja!” Darah mudanya menggelegak, Johnny langsung melabrak ke arah musuh. Namun tiba-tiba tangan sang guru menahannya. “Tunggu!”
Johnny mendelik tak percaya ke arah Suprana. Apakah si pewaris Barong ini berniat menyerah atau membelot pada musuh? “Jangan gegabah dulu. Lihat.” Suprana menunjuk ke satu arah. Mata Johnny seketika tertuju ke arah yang ditunjuk.
Tampak sosok-sosok manusia, semuanya wanita, berdiri berjajar. Johnny melayangkan pandangan sekeliling, tahulah ia bahwa sosok-sosok itu telah mengepung mereka berdua sejak tadi. Semua wanita itu mengenakan seragam garis-garis merah-hitam yang ketat, hampir mirip pakaian Devi. Bedanya, mereka mengenakan topeng merah. Topeng-topeng itu tampak seperti wajah nenek sihir bermata tiga, dengan deretan gigi-gigi runcing yang mencuat, mengerikan.
Suprana berseru tertahan, “Astaga, apakah mereka ini… leak!?”
Johnny juga mendelik. Sepengetahuannya, sosok leak yang telah masuk dunia kematian dalam mitologi Bali jauh lebih mengerikan daripada mereka, yang pastilah masih berada dalam wujud duniawi sebagai manusia.
“Ya, inilah pasukanku. Masing-masing mereka memiliki kekuatan leak, Setan Kepala Api di dunia mistis Pulau Dewata ini,” jawab Devi.
“Pasukanmu, katamu?” Suprana terkesiap. “Jangan-jangan kau ini… ratu para leak?”
“Tepat sekali,” ujar Shinta Devi sambil bertepuk tangan. “Akulah pewaris Rangda, Sang Ratu Api Ungu. Keinginanku yang terdalam adalah membalaskan dendamnya pada Barong, musuh bebuyutannya.”
“Oh, pantas saja. Tapi kurasa aksimu ini bukan hanya untuk balas dendam saja, ‘kan?” tanggap Johnny penuh selidik.
“Ya. SS Corporation dengan murah hati meminjamiku pasukan untuk dirasuki leak. Kini, tugasku di Bali adalah membasmi pendekar-pendekar pewaris legenda, dimulai dari KAU, Barong!”
“Hmph, dasar pengeroyok miskin nurani!” hardik Johnny. “Ayo guru, kita basmi mereka dengan kekuatan sejati!”
Tanpa basa-basi lagi Johnny dan Suprana menyerbu ke arah si pemimpin, Shinta Devi. Taktik mereka ini jelas terbaca. Maka si pewaris Rangda berkelit dengan lincah, teriring seruannya, “Pasukan Leak, serbu!”
Pertarungan dua lawan dua puluh satu pecahlah. Andai Pasukan Leak seluruhnya adalah pendekar biasa, kekuatan gabungan dua pria perkasa, guru dan murid ini cukup untuk merobohkan semuanya dalam hitungan menit saja.
Kenyataannya, lima menit sudah berlalu, Johnny dan Suprana baru merobohkan lima “wanita leak” saja. Sisanya memberondong kedua lawan dengan semburan api dari telapak-telapak tangan mereka, memaksa mereka terpisah satu sama lain.
Keroyokan jarak jauh dan dekat membuat Johnny dan Suprana pontang-panting. Tiap gebrakan dan tembakan para leak cukup akurat. Kalaupun tak mengenai sasaran, tak satupun tembakan mengenai kawan mereka sendiri.
Dua larik api mengenai dan menyerempet tubuh Johnny, punggungnya serasa tertusuk belati panas. Keseimbangan si pria besar itu goyah sesaat, posisinya rentan, tak sempat bertahan.
Memanfaatkan kesempatan ini, dua pendekar leak menjadikan Johnny bulan-bulanan berondongan cakar dan tendangan. Gerakan jurus tangan-kaki Johnny jadi tak beraturan, hanya bisa menangkis dan bertahan sekenanya.
Pelan tapi pasti, Johnny mulai melemah.
Dalam keputusasaan, Johnny menoleh pada gurunya. Gawatnya, kondisi Suprana lebih parah lagi. Mungkin karena usia tua, gerakan suprana untuk bertahan, apalagi balas melawan lebih lamban daripada muridnya, apalagi daripada para lawannya. Guratan-guratan luka mewarnai tubuh sang pertapa yang bertelanjang dada, semuanya mengarah ke kalung medali yang masih tergantung di lehernya.
Sudah mustahil menyimpan tenaga. Devi dan para leak tak boleh dibiarkan merebut pusaka tanpa perlawanan terkuat. Pikiran itulah yang mendorong Suprana berseru keras-keras, “Johnny! Perhatikan tiap gerakanku, pelajari sebisamu!”
Mati-matian Johnny berusaha menghampiri gurunya di bawah gempuran musuh yang unggul jumlah. Jantungnya berdebar keras, nampaknya “ajaran” sang guru ini akan menjadi yang terakhir baginya, dan bagi siapapun juga.
“Semua, serang Suprana!” perintah Devi dengan wajah panik. Tekanan pada Johnny reda seketika, namun luka-luka dan sebuah firasat mencegah si pria muda mendekat.
“Pinjami aku kekuatanmu sekali lagi, BARONG, wahai Singa Suci Dewata!” Dengan satu raungan memekakkan telinga, I Ketut Suprana Mengentakkan prananya. Para pengepung yang terlalu dekat dengannya terpental ke segala arah seperti cipratan air yang terpukul. Bahkan Devi tersuruk mundur lima langkah. Perlu banyak tenaga agar wanita berjuluk “Ratu Leak” itu tetap berdiri.
Dari dalam pancaran cahaya berwarna emas itu, tampak wujud manusia Suprana membesar, meringkuk bagai hewan berkaki empat. Tak hanya itu, rambutnya yang pendek jadi amat panjang, bahkan mengembang menutupi telinga hingga ke punggung.
Sebentuk topeng muncul dan terpasang di wajah siluman singa raksasa berbulu serba putih keemasan itu. Dari mata topeng yang bulat dan kuning menyala, taring-taring besar panjang yang mencuat dari mulut dan beralaskan wajah semerah darah, seluruh dunia seketika mengenalnya sebagai…
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!