Masa Raja-Raja Nusantara.
Birunya langit mulai meredup di atas hutan di perbatasan Kerajaan Kediri. Para unggas siang beterbangan kembali ke peraduan mereka di pohon-pohon rindang.
Mendadak, burung-burung itu malah berpencaran ke langit lepas. Ada apa gerangan?
Melihat gelagat itu, seorang punggawa berkulit kehitaman, berwajah bulat dan bertubuh kecil-kekar menoleh ke arah iring-iringan di belakangnya seraya berseru, “Baginda Suwandhana, hati-hati! Firasatku berkata, ada musuh yang mendekat ke arah kita!”
Klana Suwandhana, Raja Negeri Wengker Bandarangin, cikal-bakal Kota Ponorogo ini berwajah amat tampan, berambut putih panjang, mengenakan jubah putih-emas dan menunggang kuda putih di tengah rombongan. Baginda menanggapi dengan tenang, “Benar katamu, Bujang Anom! Posisi siap tempur, semuanya! Aku tahu, ‘dia’ pasti akan menghadang kita di hutan lebat ini!”
Seorang pria berkulit merah darah dan berjanggut dan berambut putih di samping raja angkat bicara, “Mohon Baginda perintahkan para pengawal menjaga ‘barang-barang syarat’ di barisan belakang. Biar aku dan para warok menghadang musuh di depan.”
Walau kata-kata tadi terdengar lancang, Raja Klana mengangguk. “Silakan, sesepuh Warok Tua.”
Dengan satu isyarat tangan, Warok Tua melesat maju, sepasukan warok berkulit merah yang semuanya pria melangkah secepat kilat mengikutinya.
Tak lama kemudian, suara-suara langkah kaki mengiringi gemersik di kejauhan. Sosok-sosok siluman aneh berbondong-bondong masuk jarak pandang.
Raja Klana tak terlalu terkejut melihatnya. Bentuk tubuh para siluman pria menyerupai harimau yang berbulu penuh loreng. Para siluman wanita tampak seperti manusia-burung merak, dengan ekor merak warna-warni mengembang indah bagai kipas di pundak mereka.
Seketika terjadilah bentrokan sengit antara para warok dan pasukan siluman. Mendayagunakan kesaktiannya yang mumpuni, si Warok Tua membuka jalan bagi rekan-rekannya. Pria kurus itu menumbangkan tiga siluman dengan satu jurus kuku runcing-hitamnya. Pasukan warok tampak di atas angin.
Tiba-tiba, sesosok pria tinggi-besar menyeruak, menerobos di antara para warok dan siluman yang tengah berlaga. Satu tinju dahsyatnya bahkan menghantam si Warok Tua hingga terlontar ke dalam semak-belukar.
Pria itu lantas berhenti melangkah dan berdiri tegap di hadapan Raja Klana. Penampilannya amat mencolok, bulu jingga berloreng-loreng hitam memenuhi seluruh tubuh hingga ke wajah manusianya. Rambut jingga kehitamannya berkibar-kibar liar seperti surai singa.
“Raja Singabarong dari Lodaya!” seru Klana pada manusia siluman itu. “Sudah kuduga, kau pasti menghalalkan segala cara, menghadang kami di sini. Percuma! Raja Kediri sudah mengetahui niat curangmu, dan beliau takkan pernah menikahkan Putri Ragil Kuning denganmu!”
“Jangan terlalu yakin, Raja Klana!” Senyum sinis Singabarong mengembang. “Utusanmu ke Kediri telah kubunuh. Jadi, aku akan membunuh kalian semua, merebut keseratus empat puluh empat kuda kembar syarat sayembara, mempersunting Putri Ragil dan menjadi raja baru Kediri!”
Bujang Anom maju dan membentak, “Negeri Kediri tak sudi diperintah raja siluman bengis yang suka menyiksa dan memperbudak rakyatnya sepertimu! Pulang saja kau ke Lodaya! Jadilah arif bijaksana seperti junjunganku, Raja Klana, baru kita bisa merundingkan kerjasama!”
“Kurang ajar! Beraninya kau mengkritikku, hei punggawa kerdil! Cukup sudah, saatnya kalian semua mati!” Teriring raungan membahana, Singabarong menerjang maju bagai harimau hendak menerkam sekawanan mangsa.
Para prajurit serta Bujang Anom menyerang serentak. Namun, dengan mudahnya si raja siluman melayangkan tinju-tinju dahsyatnya, merobohkan para prajurit Bandarangin tanpa ampun.
Bahkan Bujang Anom yang saktipun tak mampu menangkis, apalagi menghindar. Satu tinju lawan membuatnya muntah darah.
“Anom!” teriak Klana sambil turun dari kudanya dan menghampiri sahabat sekaligus orang kepercayaannya itu. Namun tiba-tiba sosok Singabarong menghadang amat dekat di depan Raja Klana, hingga tampak bagai meraksasa.
Singabarong melepaskan tinjunya, dan dengan gesit Klana berhasil menghindarinya. Namun, rupanya tinju tak hanya pembuka serangan. Dengan tenaga penuh si raja siluman menggebrakkan kedua tinjunya di tanah. Seketika, bebatuan dan tanah seakan terangkat, menghantam kaki dan bagian bawah tubuh Klana. Ditambah daya tenaga dalam lawan, tubuh Raja Klana terlontar ke atas, hilang kendali. Tak ayal Klana berteriak karena rasa sakit tak tertahankan dan muntah darah.
Entah demi menjaga wibawa atau baru menunjukkan kekuatan sebenarnya, Klana Suwandhana memaksa diri kembali tegak, aura putih bagai cahaya mentari berpendar di sekujur tubuhnya. Cambuk Matahari Terik bernama lain Samandiman di tangannya berlecutan bagai hujan deras.
Seperti panas matahari menyengat, ujung Cambuk Samandiman yang mengandung tenaga dalam itu mendarat di beberapa bagian permukaan tubuh lawan. Merasa mendapat kesempatan, Klana melompat tinggi-tinggi untuk melancarkan lecutan terakhir bertenaga penuh, yang konon mampu memenggal kepala sasaran.
Tiba-tiba, satu tangan Singabarong mencegat dan mencengkeram tubuh Raja Klana di udara. “Dasar bodoh! Cambuk saktimu hanya membuat kulitku gatal saja!” serunya.
Air muka Klana berubah pucat. Baru ia sadar bahwa Singabarong memiliki ajian Raga Naga Watu yang membuat kulit di sekujur tubuhnya amat keras bagai batu karang. Namun terlambat sudah. Dengan amat brutal Singabarong membanting tubuh Klana di tanah dan menjepitnya dengan kedua paha.
Dan itu bukan akhirnya.
“Biar kau mati dengan wajah rusak dan tubuh remuk!” Singabarong mendaratkan tinjunya berkali-kali ke tubuh dan terutama wajah saingannya itu. Wajah tampan Raja Klana jadi biru-biru lebam. Orang biasa pasti sudah tewas didera pukulan-pukulan berat yang mengandung tenaga dalam itu.
Kenyataannya, Klana bukan orang biasa. Dengan prana cahaya matahari yang dimilikinya, disertai tekad kuat dan ketulusan hati untuk memberikan yang terbaik bagi Ragil, pujaan hatinya, Klana terus mempertahankan nyawanya.
Menanti kesempatan untuk menyerang balik.
Namun, Singabarong menutup peluang lawan rapat-rapat. Ia menghimpun seluruh tenaganya pada satu tinju terakhir. Kali ini, Kepala Klana Suwandhana pasti bakal luluh-lantak.
Sebagai upaya terakhir, Klana mengangkat siku lengannya untuk menangkis seadanya. Sesaat kemudian, tampak oleh Klana sebuah tendangan menghantam lengan Singabarong. Tinju maut meleset dari sasaran. Kehilangan keseimbangan, Singabarong menjejakkan kakinya kuat-kuat di tanah sehingga ia tetap berdiri.
Klana terperangah. Jurus serangan tadi bukan milik Bujang Anom, Warok Tua, para warok, atau para gemblak, prajurit khusus Bandarangin yang rata-rata berwajah tampan dan berusia belia.
Untuk menegaskannya, sesosok manusia misterius berjubah dan bertudung berdiri memunggungi Klana sambil berkata, “Cepat lari, Paduka! Biar kuhadapi harimau jadi-jadian itu!”
Namun Klana hanya bangkit terduduk. “Tak bisa! Segala syarat yang telah dikumpulkan para warok dan gemblak dengan susah-payah mustahil kuserahkan begitu saja pada Singabarong! Apalagi Putri Ragil Kuning dan Kerajaan Kediri yang damai dan tenteram…”
“Baik, hamba mengerti. Silakan Paduka pulihkan diri lebih dahulu,” tanggap si pria bertudung sambil membungkuk penuh hormat.
Tiba-tiba suara lantang Singabarong membahana, “Hei, siapa kau? Beraninya ikut campur, mengganggu acaraku!”
Dengan sekali kibas, si pria misterius menanggalkan jubah bertudungnya. Ekspresi Klana tak berubah melihat sosok asli orang itu. Tubuhnya bagai terbalut pakaian ketat berwarna hijau dari leher ke ujung kaki. Rambutnya panjang, hitam dan terurai berantakan. Yang paling aneh dari penampilannya adalah topeng hijau dengan motif urat-urat dan matahari hitam di tengahnya.
“Namaku Reog. Aku diam-diam membuntuti iring-iringan Raja Klana Suwandhana, baru turun tangan dalam keadaan gawat seperti saat ini.”
Singabarong tertawa keras-keras. “Rupanya hanya budak rendahan. Biar kubasmi kau bersama Klana seperti serangga!” Lantas ia maju menerjang.
Walau diremehkan lawan, Reog tetap berdiri siaga. Baru saat tinju Singabarong tinggal beberapa jengkal dari kepalanya, Reog berbalik dengan bertumpu pada satu kaki dan mendaratkan tendangan telak di pinggang lawan.
“Heh, percuma!” Bukan kesakitan, Singabarong malah melayangkan sikutnya dan menghantam Reog hingga terpental.
Daripada diam bertahan jadi sasaran berikutnya, Raja Klana bertindak. Prana mentari gaibnya mengeraskan Cambuk Samandiman menjadi semacam lembing, memusatkan seluruh daya di satu titik, yaitu ujung runcing “lembing-cambuk” itu. Klana lantas menusukkannya tepat ke arah tenggorokan Singabarong.
Kali ini, Singabarong mengulurkan kedua kepalan tinjunya yang saling mengatup. Serangan pamungkas Klana ini tak bisa diremehkan, jadi sang raja Lodayapun memusatkan tenaga terkuat untuk menangkisnya.
Kedua kekuatan pamungkas beradu, wajah kedua raja tampak basah oleh cucuran keringat. Mereka saling menekan dan tampak seimbang. Nampaknya, menang atau kalah akan ditentukan dari siapa yang pertama kehabisan tenaga. Berarti, keuntungan ada pada Singabarong yang nyaris tak mengalami luka berarti.
Gigi Klana gemeletak. Ingin rasanya ia memaksa tubuhnya di luar batas ketahanannya dnegan meledakkan seluruh tenaga dalamnya. Namun, andai pertahanan berlapis-lapis lawan tak tertembus, prana Klana bakal habis lebih dahulu dan habis pula riwayatnya.
Rupanya, Klana tak perlu bertaruh sejauh itu. Itu karena mendadak seberkas tenaga angin yang berpusar amat kuat seperti bor menerjang, menghantam tepat di tengkuk Singabarong.
“Rasakan Pusaran Badai Darah Hitam-ku!” Si penyerang ternyata adalah Reog.
Untuk pertama kalinya, Singabarong meraung kesakitan. Betapa tidak, tengkuk yang tertutup rambut tebalnya ternyata adalah titik lemah zirah prana Raga Naga Watu. Ia tak bisa menangkis atau berkelit karena tekanan serangan Klana dari depan. Nyawanya kini di ujung tanduk.
“Sial, tak rela aku dikeroyok seperti ini!” Terpaksa, dengan satu raungan membahana, Singabarong meledakkan tenaga dalamnya. Raja Klana yang luka-luka kembali terpental dan tersuruk, kehabisan tenaga.
Sebaliknya, Reog yang lebih sigap cepat-cepat menjauh. Walaupun ledakan prana tadi membuatnya terluka, si Pendekar Darah Hitam menyisakan tenaga untuk satu serangan terakhir. Ia bersalto dan mencangkulkan tumitnya tepat di tengkuk Singabarong. Alhasil, si raja siluman jatuh terkapar di tanah.
Saat Singabarong mencoba menegakkan kepalanya untuk bangkit, cakar-cakar darah hitam dari kelima jari Reog sudah mengancam, menempel di tengkuknya.
“Jangan coba-coba, Raja Singabarong,” ancam Reog tanpa basa-basi. “Perintahkan seluruh pasukanmu mundur dan jangan pernah kau mengganggu Baginda Suwandhana lagi. Kalau tidak, tiada ampun bagi nyawamu dan seluruh pasukanmu.”
Singabarong tak menjawab. Dari ekspresi wajahnya, ia sedang berpikir keras untuk meloloskan diri dari situasi ini.
Melihat ini, Reog membenamkan ujung kukunya ke permukaan kulit si siluman seraya berkata, “Tiap detik kau menunda, kukuku akan terbenam makin dalam, dalam…”
“Sudah, lakukan saja! Tunggu apa lagi, Reog?”
Tiba-tiba Reog menarik cakarnya, lalu berdiri tegak dan berujar, “Aku tak membunuh lawan yang tak berdaya. Pergi!”
“Habisi aku!”
“Pergi, sebelum aku berubah pikiran!”
Senyum Singabarong mengembang. Ia lalu bangkit dan berseru, “Seluruh pasukan, mundur!” Ia lalu menoleh pada Klana yang dipapah Bujang Anom, punggawa setianya. “Kau menang, Klana Suwandhana! Kau layak mempersunting Putri Ragil dari Kediri! Sampai jumpa lagi!” Larilah ia bersama sisa pasukannya.
Tiba-tiba Warok Tua berseru, “Kejar! Habisi mereka!”
“Tapi kita sudah berjanji…!”
Protes Reog itu terlambat. Serta-merta seluruh pasukan warok mengejar, meninggalkan si pemimpin bersama Raja Klana Suwandhana, Punggawa Bujang Anom dan dirinya.
“Daulat Baginda, kini kita bisa meneruskan perjalanan,” ujar Warok Tua sambil berlutut di sisi Reog dan Anom.
“Bagus, bagus! Kalian warok memang pantas diandalkan,” ujar Klana dengan penuh wibawa. “Terutama kau, Reog, yang mengalahkan Prabu Singabarong. Kau pantas mendapatkan anugerah tertinggi!”
Warok Tua menyela, “Ampun Baginda, tapi aku merasa ada pengkhianat di antara kita.”
“Benarkah? Siapa?” tanya Klana, terperanjat.
“Dia!”
Secepat kilat, Warok Tua menyarangkan cakar hitamnya di punggung hingga menembus jantung si pengkhianat. Tak siap, Reog hanya bisa berkata lirih, “A-apa… salahku, guru?”
“Pura-pura tak tahu?” hardik Warok Tua. “Musuh jelas takluk, tapi kau tak menghabisinya, malah melepaskannya! Melangkahi wibawa junjungan kita pula! Entah kau bersekongkol dengan musuh, atau kau sudah lupa aturan utama warok, tiada ampun! Karena itu, tiada ampun pula bagimu!”
Mendengar itu, Reog malah tertawa sekeras-kerasnya.
“Inikah harga sebuah kesaktian?” serunya. “Terjebak dalam aturan yang mengabaikan nurani, welas asih dan kemanusiaan? Apa bedanya kalian dengan Singabarong kalau begitu? Puih! Aku tahu, kalian hanya iri pada kekuatan warok murniku dan mengincar sumbernya, yaitu topeng saktiku ini! Jadi dengar! Siapapun yang memakai topengku pasti mati mengenaskan! Hanya orang pilihankulah yang berhak mewarisinya! Hahahaha!”
Seiring tawa terakhirnya, Reog meledakkan sisa tenaga dalamnya hingga mementalkan Warok Tua. Raga Reog luluh jadi debu, menyisakan topeng yang tergeletak di jalan setapak.
Dengan tubuh bergetar, Warok Tua memungut topeng hijau bercorak matahari hitam di tengahnya itu. Ia terdiam di tempat. Kerut-kerutan di dahinya tampak makin banyak teriring gemeletak giginya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Tias Wiliamno
reog, mangsthabbh!
2020-04-27
4