RANGDA 2

Setelah menyerahkan urusan “pembersihan” pada kepolisian setempat, Gerry dan Rania kembali bermobil ke barat daya.

“Sayang, jenazah Devina tak kita temukan di tempat kejadian perkara,” ujar Rania sambil bertopang dagu. “Terpaksa sekarang kita mengikuti petunjuk orang gila itu.”

“Ya, begitulah.” Gerry sesekali menatap gadis cantik di sebelahnya sambil mengemudi dan kembali melihat ke depan. “Kepolisian setempat sudah menganggap ini kasus keracunan masal, dan para korban sudah dikuburkan tanpa otopsi.”

“Ck, dasar mereka tak mau repot berurusan dengan kekuatan supranatural, padahal bukti nyata ada di depan mata.”

“Ya sudahlah. Yang penting kita susul dulu si ‘Rangda’ ini. Kalau asumsi kita benar, kita akan tiba tepat waktu untuk menyelamatkan Devina – bila ia masih hidup.”

Rania mengangguk. “Jadi, gunung berapi baru di atas pulau itu adalah…”

“Aku tahu kok, kita ‘kan sedang ke sana. Firasatku berkata, ini akan jadi penggerebekan ‘terpanas’ yang pernah kita lakukan bersama,” ujar Gerry.

Untuk sesaat, Rania menangkap sekelumit kilauan di mata pasangan sekaligus mitranya itu. Biasanya itu sorot mata saat Gerry sedang penuh semangat menangani kasus penuh tantangan. Namun firasat Rania berkata, ada yang beda pada kilauan yang satu ini.

 

 

\==oOo==

 

 

Setelah perjalanan panjang dengan mobil ke Ujung Kulon, pasangan detektif polisi Rania dan Gerry menyewa speedboat dan mengarungi Selat Sunda.

“Lihat, itulah ‘gunung di atas pulau’,” kata Gerry sambil menunjuk ke arah dua pulau-gunung berapi jauh di depan. “Dan ‘gunung muda’ pasti artinya hanya satu, Gunung Anak Krakatau.”

Rania mengangguk. “Yap, pastikan dulu tempat yang kita tuju, lalu pastikan persenjataan dan sebagainya sudah siap. Tapi aku merasa tak enak, seperti ada yang mengganjal di perutku.”

“Lho, apa itu?”

“Si ‘Rangda’ dan pasukannya ini… apa mereka itu para leak sungguhan? Menilik hasil kerja mereka di Merak, kurasa kita juga butuh pasukan untuk menghadapi mereka.”

“Percuma saja,” jawab Gerry yang herannya tampak tenang-tenang saja. “Pasukan besar bukan jaminan. Justru kita perlu taktik yang tepat. Masuk diam-diam, lumpuhkan musuh satu-persatu tanpa mereka menyadarinya.”

“Yah, memang bukan cara yang terhormat, tapi demi keselamatan sandera, kurasa hanya inilah satu-satunya cara,” kata Rania akhirnya.

“Ya, begitulah,” kata Gerry tanpa menoleh.

Mengitari Gunung Anak Krakatau, kedua detektif memutuskan merapat di satu tepian itu. Sebelumnya mereka sudah melihat dengan teropong binoculars dan menemukan sebuah gua di dasar lereng gunung itu.

Dengan amat hati-hati Rania mengikuti Gerry mendaki lereng. Walau sempat memastikan lewat internet bahwa gunung berapi ini tidak sedang aktif, tetap saja hawa panas amat terasa. Rania jadi makin was-was, apakah memang alaminya memang seperti ini, atau ini akibat aktivitas abnormal di dalam sana?

Yang lebih aneh lagi, tak tampak siapapun sepanjang jalan, apalagi yang disebut “Pasukan Leak” dan para wanita korban penculikan. Makin jauh Rania dan Gerry melangkah di dalam gua, udara makin panas dan makin pengap. Hingga sampailah mereka dalam bagian gua yang paling luas dan paling panas di Gunung Anak Krakatau. Dengan langkah-langkah pelan, mereka mengendap-endap.

Tampak di ujung gua itu, seorang wanita berkostum dan bergaya rambut aneh tengah berdiri membelakangi para “tamu” dan menghadap sebuah kolam magma. Ia terkesan sedang sibuk dengan urusannya, sama sekali tak menyadari “ancaman” ini.

Saat Rania masuk jarak tembak pistol, tiba-tiba si sasaran berujar, “Tunggulah sebentar lagi. Lagipula kalian takkan mau menembakkan benda itu.”

“Tergantung jawabanmu,” kata Rania. “Katakan, kaukah yang disebut ‘Rangda’?”

“Ya, akulah dia. Tapi aku juga orang yang kalian cari,” ujar wanita itu sambil berbalik.

Betapa terkejutnya Rania melihat wajah cantik yang dikenalnya melalui foto itu. “K-kau… Devina Mananta?” tanyanya.

Si wanita aneh memiringkan kepalanya seraya berkata, “Hmm, aku ingat dulu selalu dipanggil dengan nama itu. Tapi namaku kini Shinta Devi, pewaris Sang Ratu Leak, Penguasa Api, Racun dan Arwah Gelap, Rangda.”

Rania terpaku. Bibir dan seluruh badannya bergetar hebat. Benaknya berkelebat, merangkai potongan-potongan fakta menjadi satu kesimpulan. “J-jadi, k-kau membiarkan dirimu diculik sebagai alibi, dibawa ke Merak lalu bersama pasukanmu membantai seluruh anggota geng pedagang manusia, juga para sandera dan orang-orang tak berdosa?”

Nada bicara Shinta Devi malah amat santai. “Oh ya, tentu saja. Kami tak mau ada saksi mata, ‘kan? Lagipula, nampaknya Pasukan Leak tak ada di sini untuk bermain-main dengan kalian. Hmph, dasar wanita-wanita tak berguna, mungkin mereka tak betah dengan Anak Krakatau yang panas dan sering aktif ini.”

“T-tapi… aku tak mengerti, mengapa kau bisa sekeji itu pada sesama manusia? Bukankah jauh lebih mudah kau ‘menghilang’ begitu saja dan pergi ke tempat ini, menyelesaikan urusanmu di sini?”

“Memang lebih mudah begitu. Tapi masih ada satu yang kurang dari ‘ritual’ ini, yaitu ‘darah perawan’ untuk bahan penempaan ulang keris. Para sandera… tak seorangpun dari mereka yang masih perawan, demikian pula aku. Jadi, satu-satunya cara mendapatkan darah segar adalah memancing seorang gadis yang masih perawan ke tempat ini, dan dia adalah…”

“… A-aku?” Rania menunjuk ke dirinya sendiri.

“Benar, mitraku yang cerdas.” Sambil mengatakannya, Gerry menghantamkan gagang pistolnya di tengkuk Rania. Gadis itu roboh di tanah, namun tak sampai pingsan. Kacamatanyapun jatuh. “Menyingkirkan satu geng yang sudah tak berguna sekaligus memancingmu ke tempat ini, sekali merengkuh dayung, dua-tiga pulau terlampaui sudah.”

Rania mengerang kesakitan, apalagi saat Gerry menendang pistol di tangannya jauh-jauh. Itulah tanda pengkhianatan dari pria yang telah memperdayainya dengan cinta. Rasa nyeri saat Shinta Devi menyayat pangkal lengannya dengan sebuah belati bilah ulir yang disebut kerispun tak sesakit luka hati Rania saat ini.

“Nah, darah perawan suci sudah melumuri bilah Keris Mpu Gandring. Tinggal merendamnya dalam kawah ini, dan penempaan kembali rampung sudah.”

Rania memaksa diri mendongak dan bicara, “A-apa!? Keris Mpu Gandring? Bukankah seharusnya pusaka peninggalan… Kerajaan Singosari… dan Ken Arok itu ada di museum… atau semacamnya? Astaga… jangan-jangan… itu pusaka yang dicuri dari mobil naas Wardhana Logistics?”

“Apa maksudmu, Rania?” Gerry bermain lagak. “Tentu saja ya! Coba pikir, menurutmu siapa yang mengatur segala sesuatunya sampai sekarang? Aku! Gerry Kusnandar! Aku, yang seharusnya sudah naik pangkat dua tingkat kalau bukan karena mitraku, si detektif cemerlang Rania Giselda!”

Ingin rasanya Rania melabrak kedua penjebaknya ini, namun rasa nyeri bagai tertusuk pasak tenda dari tengkorak hingga tengkuknya menghabiskan tenaganya. Berdiripun ia tak sanggup.

Gerry melanjutkan, “Nah, dengan tamatnya riwayat si ‘polisi sempurna’, aku takkan kesulitan menutup-nutupi kasus Wardhana, penculikan Devina, pembantaian di Merak dan banyak lainnya. Yang penting imbalannya sepadan, jauh lebih baik daripada naik pangkat dan ‘makan gaji’ saja.”

Rania sudah tak mau mendengar penjelasan apapun lagi. Ia hanya berusaha menyimpan tenaga, mencari celah untuk bertindak. Matanya tertuju terus pada citra kabur Shinta Devi. Pewaris Rangda itu sedang menggerakkan Keris Mpu Gandring dengan sihir pelayang benda, telekinesis.  Keris itu melayang turun ke dalam magma panas yang menggelegak, sambil si perapal menggumamkan mantra-mantra.

“Sebentar lagi aku akan mendapatkan hadiah utamanya,” ujar Gerry sambil menghampiri Rania. “Dan aku ingin kau jadi saksi puncak kejayaanku sebelum  kau berangkat ke neraka, ‘sayang’.”

Satu tendangan keras Gerry mendarat di pinggang Rania, hampir mematahkan tulang rusuk gadis itu. Gerry lantas memungut kacamata Rania yang kacanya retak di tanah dan memasangkannya dengan kasar di depan mata Rania. “Biar kau lihat jelas sosok malaikat pencabut nyawamu.”

Dengan pandangan lebih jernih kini, Rania melihat Devi menarik keluar Keris Mpu Gandring dari dalam kolam magma. Bentuk keris itu kini amat berbeda setelah ditempa dengan sihir, bilahnya berwarna merah darah dengan semacam permata berwarna jingga berbentuk seperti kilat menghiasi bagian tengahnya. Walau demikian, luk-luk atau ulir-ulir pada bilah keris itu tak berubah, tak berkurang sedikitpun.

Karena masih berpendar dan amat panas, Devi terus melayangkan ‘keris baru’ itu hingga mendarat mulus di tanah. Rangda-Devi tersenyum, puas dengan hasil karyanya ini.

Setelah yakin senjata itu sudah cukup mendingin, Gerry memungut Keris Mpu Gandring dan mengangkatnya sejajar matanya, seolah ingin memamerkannya pada Rania. “Hahaha! Akhirnya! Keris Mpu Gandring mendapatkan kembali kesaktiannya, Prana Halilintar Merah, gabungan unsur api dan petir yang dipadukan dan dilipatgandakan kekuatannya dengan darah “korban”-nya, termasuk darah perawan dan raja-raja.”

“Kekuatan keris ini sempat padam selama berabad-abad,” tambah Devi. “Baru-baru ini seseorang mengusulkan penggunaan magma gunung berapi mewakili unsur api dan darah perawan menggantikan darah raja. Kekuatan gaib keris bangkit, tapi belum sempurna. Tinggal satu unsur lagi yang kurang, yaitu listrik yang mewakili petir.”

Gerry mengangguk. “Ya, ya, urusan ‘pelistrikan’ bakal mudah, serahkan saja padaku.”

Rangda-Devi mendekati pria itu sambil berkata, “Bagus sekali, tuan kita pasti akan sangat senang. Selain imbalan berlimpah, ia juga akan mengampuni kegagalanku yang lalu.”

“Tentu saja. Sayangnya, aku punya rencana lain.” Dengan gerakan amat mendadak dan secepat kilat, Gerry menghampiri Shinta Devi dan membenamkan Keris Mpu Gandring ke bagian perut wanita itu yang tak terlindung zirah.

“Ahhk, G-Gerry, kau…?” Mata Devi terbelalak, tak percaya bahwa pukulan paling mematikan yang ia derita ini berasal dari pengkhianatan rekan sendiri.

“Pertama, aku tak mau berbagi jasa dengan pendekar pecundang sepertimu,” jawab Gerry, wajahnya biasa-biasa saja seakan membunuh adalah pekerjaan santai sehari-hari. “Aku telah membuat seluruh Pasukan Leak membelot darimu dan pergi jauh sebelum aku datang.

Dan kedua, aku akan menggunakan keris ini untuk malang-melintang di dunia hitam, bukan hanya untuk menyenangkan seorang tuan semata.”

“Dasar keparat rendah!” Rangda-Devi mengibaskan cakar beracunnya, namun Gerry sudah mencabut keris dan menghindar, membuyarkan satu-satunya kesempatan Devi untuk menyeretnya bersama-sama ke neraka.

Saat kehidupan makin deras merembes keluar dari raganya, Devi melakukan satu usaha terakhir. Ia melepaskan Cincin Rangda, mustika berbatu permata mirah berbentuk mata dari jari manisnya, lalu melemparkannya ke arah Rania sambil berseru, “Pakai ini! Balaskan dendamku, Raniaa!”

“Jangan harap!” Gerry menerjang, ingin menangkap cincin yang melambung ke arah lain. Namun seseorang telah mendahuluinya, menendangnya ke satu sisi.

Itu Rania! Dia mempertaruhkan segenap tenaga yang telah ia kumpulkan tanpa mempedulikan rasa sakit dari cederanya. Gadis itu melompat dan menangkap Cincin Rangda di udara.

Tanpa pikir panjang, Rania menyematkan cincin itu di jari manis tangan kirinya. Tiba-tiba sinar ungu terpancar dari cincin itu dan menyelimuti seluruh tubuh gadis itu. Saat itulah ia merasakan penampilannya berubah. Pakaian dan segala sesuatu yang ia kenakan seakan lenyap, berganti menjadi kostum yang persis seperti yang tadi dikenakan Shinta Devi. Gaun paduan ungu-merah marun yang mirip pakaian tradisional penari Tari Pendet dari Bali, tanpa hiasan kepala, tentunya. Kacamata Rania yang retak berganti semacam topeng kacamata berlensa merah. Ajaibnya, yang Rania lihat melaluinya adalah warna-warna alamiah, bahkan lebih jernih daripada dengan kacamata biasa. Seluruh proses itu terjadi dalam waktu satu detik saja.

Tiba-tiba sebuah suara terngiang di benak si polisi wanita. Akulah Rangda, Ratu Api Ungu, Penguasa Kegelapan. Untuk kali ini, percayakanlah ragamu padaku dan pelajarilah aksiku!

Rania membatin, Silakan, guru!

Tepat saat itu pula Gerry sudah bangkit dan menembakkan pistolnya tepat ke arah Rangda. Dengan sangat gesit si pendekar wanita super berkelit bagai bayangan, jelas lebih waspada daripada sebelum ia memegang kendali penuh raga “inang lama”-nya.

“Wah, bagus sekali,” sindir Gerry, pura-pura terkejut. “Aku tak pernah menyangka kau begini lincah menghindari peluru.”

Rangda tak menjawab. Ia hanya terus bergerak cepat tanpa henti, hingga tangannya menyambar benda yang sejak tadi ia incar, pistol Rania. Rangda menembakkan senjata zaman modern itu berkali-kali dengan amat cepat, membalas Gerry tadi. Pria berambut pendek itu pontang-panting menghindar, hingga satu peluru sempat menyerempet pundaknya.

Kesakitan, Gerry cepat-cepat mundur, darah bercucuran dari luka barunya. Pria itu lantas kembali menembak. Walau daya tampung peluru pistolnya lebih banyak daripada pistol ringan Rania, tembakannya yang lebih banyak mengakibatkan Gerry lebih dahulu kehabisan peluru daripada lawannya. Sebagai sosok oportunis, Rangda memanfaatkan ini dan menyarangkan peluru terakhir di pistol Gerry, melontarkan satu-satunya perlawanan jarak jauh pria itu jauh-jauh.

“Cih!” Gerry mengumpat. “Pistolku! Tapi tak apa, aku masih punya senjata terakhir. Keris Mpu Gandring, pinjami aku kekuatanmu, agar kau bisa mereguk darah sebanyak-banyaknya dalam ‘pesta akbar’ ini!

Seakan setuju dengan ambisi pemilik barunya ini, Keris Mpu Gandring memancarkan kekuatan gaibnya yang baru dibangkitkan dari kristal di bilahnya. Pancaran itu seakan melumuri seluruh tubuh Gerry dengan darah.

Yang lebih mengerikan, segala kekuatan itu membentuk zirah baru bagi Gerry. Selaput merah-jingga yang kuat namun fleksibel menutupi tubuhnya, dari leher hingga ke ujung kaki. Tak hanya itu, bagian-bagian tubuh seperti dada, ulu hati, leher, lengan bawah, alat vital serta tulang kering dan telapak kaki terlindungi pelat-pelat logam yang dibentuk sedemikian rupa, mengikuti bentuk tubuh pemiliknya.

Melengkapi “samaran”, rambut Gerry jadi memanjang, kemerah-merahan dan selalu tampak seperti kobaran api. Sebentuk topeng tersemat erat bagai kacamata, dengan mata merah menyala.

Melihat penampakan sang lawan, Rangda menghardik, “Siapa kau? Ratu Leak menuntutmu bicara!”

Sosok itu berkacak pinggang dengan arogan, mengacungkan Keris Mpu Gandring wujud baru ke arah Rangda. “Aku dijuluki Cakra, si Halilintar Merah. Aku pendekar bebas, tak sudi diperintah siapapun!”

Ratu Api Ungu mengacungkan pistolnya lurus-lurus ke arah Cakra. “Lancang! Jadi kau tak membedakan baik-buruk, hitam-putih, benar-salah?”

“Ya! Aku bertindak sesuka hati, siapapun yang mewarisi kekuatanku pasti akan kubela – atau kujatuhkan bilamana perlu.” Jelas yang bicara itu adalah roh dari keris yang kini juga merasuki tubuh Gerry, walau kedengarannya seperti suara Gerry sendiri. “Bukankah sama saja denganmu, Rangda?”

“Oh, aku sudah bosan dikhianati, bahkan oleh rekan dan pasukanku sendiri. Dan aku sudah bosan hampir selalu kalah dari musuh abadiku, Barong. Mungkin dengan berubah haluan, peruntunganku akan berubah pula. Dan tugas pertamaku adalah membasmi pemantik kekacauan sepertimu!”

 

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!