Singabarong (Warok Digdaya) Design per Agustus 2019
Tiba-tiba, desing peluru terdengar. Disusul raungan kesakitan Barong, saat peluru itu menembus zirah dan menghunjam bahu kanannya. Barong menoleh ke arah datangnya tembakan. Tampak Rania berdiri di sana dengan sepasang pistol teracung, masih berasap. Peluru api kedua menembus paha kiri Barong yang tak terlindung zirah.
Reog yang hanya bisa mengamati gejala ini terkesiap. Setelah bertarung dengan lebih dari empat warok sebelum tiba di sini, Rania telah menghabiskan peluru-peluru terakhirnya pada Barong saat pertama kali masuk tadi. Jadi, yang kini ia tembakkan adalah prana tenaga dalam berunsur api gaib, yang dimampatkan menjadi peluru tajam.
Sambil kembali meraung bagai singa terluka, Barong berhasil mengelak peluru ketiga dan keempat. Ia berlari mengelilingi gua itu, mencari celah dan kesempatan untuk “menerkam” Rania. Saat posisinya membelakangi si wanita detektif, Barong menerjang maju. Namun lagi-lagi tinju gandanya meleset. Rupanya Rania melompat tinggi-tinggi, seakan meniru taktik Reog.
Bedanya, kini Rania malah melayang-layang di udara. Sekilas, batu mirah di Cincin Api Gaib Rania berpendar amat cerah. Aura api ungu seketika menyelimuti seluruh tubuh Rania, yang jadi tak terlihat oleh Reog sekalipun.
Saat berikutnya, Rania kembali tampil. Namun, kali ini penampilannya berubah. Ia mengenakan pakaian ketat dan semacam rok batik, semua berwarna serba ungu dipadu merah marun. Wajahnya kini juga disamarkan dengan topeng ungu pengganti kacamata.
Tak memberi kesempatan lawan menyerang, wujud gaib Rania Giselda menembakkan kedua pistolnya ke arah Barong. Anehnya, peluru yang keluar terpecah-pecah dan menyebar, tercurah bagai Hujan Api Neraka.
Barong pontang-panting menghindari dan menangkis serangan pamungkas ini. Namun, tanpa ampun tubuhnya diterjang berondongan peluru prana gaib bagai kehujanan. Raungan kesakitannya berkepanjangan, segala usaha untuk menghindar dan melindungi dirinya sendiri sia-sia belaka. Sebenarnya ia mampu meredam serangan Rania itu, namun tenaga murninya telah habis untuk mengalahkan Reog tadi.
Barong roboh, tubuhnya tampak kejang-kejang di posisi tengkurap di lantai gua. Walau masih hidup, luka-lukanya tampak lebih parah daripada Reog. Wujudnya kembali menjadi Johnny, bilur-bilur biru mirip memar bertebaran di sekujur tubuhnya.
“Nah, sekarang tinggal meringkus si penjahat dan membawa kembali Topeng Reog ke museum.”
Saat Rania hendak mengucapkan mantra tanpa suara untuk kembali ke penampilan detektifnya, tiba-tiba sebuah suara serak membahana dalam gua.
“Tunggu dulu! Bukan itu rencananya, Rangda!”
Reog yang sejak tadi sadar namun masih lemah terkejut mendengar perkembangan baru ini. Wujud gaib Rania ternyata bernama Rangda, dan sepertinya pria yang sedang bicara itu bersekongkol dengannya.
Suara serak itu sungguh tak asing bagi Reog. Sosok seorang pria tua berambut putih dan berkulit kemerahan yang berjalan dari pintu masuk memastikan kecurigaan Reog itu.
Warok Tua! Batinnya.
Anehnya, Rania alias Rangda mendelik tak mengerti, seakan ia tak kenal kakek tua “sok kenal sok dekat” ini. “Siapa kau? Apa maksudmu?” Lagi-lagi jari-jarinya siap memicu pelatuk sepasang pistolnya.
Ditanya seperti itu, Warok Tua malah mengamati wajah wanita yang mengenakan kostum Rangda itu dengan lebih seksama. Lantas ia mengelus janggutnya dan berkata, “Oh, jadi kau telah memilih pewaris lain lagi ya, hai Ratu Leak!?”
“Yang bicara ini aku, mewakili Rangda.”
“Benarkah? Jadi Rangda membiarkanmu pegang kendali? Pantas saja kau hebat, membiarkan kedua ‘orang sakti’ itu saling menguras tenaga, saling melukai. Dan kau tinggal memetik hasilnya.”
Rangda tersenyum. “Kau juga hebat, Warok Tua. Mempengaruhi bahkan mengendalikan pikiran Barong yang amat kuat dan berpendirian teguh itu. Bahkan kau memperalatnya untuk mencuri Topeng Reog di Museum Nasional dan jadi algojomu untuk melenyapkan Reog. Aku sungguh salut.”
Warok Tua tertawa terbahak-bahak, kerut-kerut keriputnya membuat wajahnya tampak makin mengerikan. “Hoho, justru aku dan para waroklah yang melakukan pencurian itu, baru datang dan mempengaruhi Johnny.”
“Dari mana kau tahu Johnny adalah Barong?”
“Tentu dari para anak buahmu, pasukan leak. Sejak kau menghilang, mereka kini bekerja pada pimpinan kita.”
Rania terkesiap. Ingatan Rangda memberitahunya siapa “si pemimpin” itu, namun ia memutuskan untuk tak menyebut namanya.
Melihat gelagat itu, Reog berusaha untuk bangkit, tapi lagi-lagi terkapar. Dengan kondisi seperti ini, mustahil ia bisa bertahan menghadapi dua pendekar super sekaligus. Sekilas pandang, tampak Johnny masih terkapar pingsan.
Terdengarlah suara Rangda lagi. “Jadi, apa yang akan kaulakukan dengan Reog?”
“Aku akan menyerap seluruh kekuatannya. Dengan begitu, roh Reog takkan bisa kembali ke dalam topeng dan jadi hantu penasaran. Jadi, sekaranglah saatnya menuntaskan dendam lama.”
Warok Tua maju dengan kuku-kuku panjangnya, siap menghunjam tubuh Reog dan melaksanakan niatnya itu. Tiba-tiba peluru prana melesat. Ia menangkis dengan telapak tangan, akibatnya tiga kukunya patah.
“Untung aku siaga,” ujar Warok Tua sambil menyurut mundur. “Tapi kenapa, Rangda? Bukankah kita ini sekutu alami?”
Rangda menjawab, “Ya, sebelum salah seorang dari kalian mengkhianatiku. Nah, setelah memperoleh pengakuanmu agar keadilan dapat membelenggumu, Warok Tua!”
Warok Tua menggeleng. “Ck, ck, dasar anak muda. Biar kuberi kau pelajaran dari berabad-abad pengalaman hidupku. Coba, apa kau bisa melumpuhkanku setelah kukerahkan kekuatan sejatiku?” Ia lantas Mengentakkan tenaga dalamnya. Aura yang terpancar begitu dahsyat dan menyilaukan, Rangda terpaksa menutup mata dengan lengannya.
Samar-samar Reog melihat tubuh kurus-ringkih Warok Tua seakan membengkak. Otot-otot seakan menyembul dari tangan, kaki dan dadanya. Tulang-tulangnya kembali menguat, sehingga postur tubuhnya yang semula agak membungkuk kini tegak, dan tingginya setara dengan Johnny. Kulit wajahnya kembali kencang, gigi-gigi yang tanggal kembali tumbuh, berderet rapi membentuk seringai.
Hasil akhirnya adalah sesosok pria perkasa yang tampak berusia empat puluhan, berkulit merah darah, berambut dan berkumis putih nan lebat. “Hahaha! ‘Kekuatan baru’ ini membuatku kembali ke masa namaku disebut ‘Warok Digdaya’!”
Reog tak habis pikir, “kekuatan baru” apa yang ia maksud? Setahunya, tak ada mantra, jurus maupun ritual dalam ilmu warok yang membuat seseorang kembali muda.
“Wah, bagus sekali! Sasaranku jadi lebih besar!” sesumbar Rangda sambil memberondong Warok Digdaya dengan tembakan.
“Lebih besar memang, tapi jelas jauh lebih lincah!” Si lelaki merah bergerak kesana-kemari, menghindari peluru gaib yang seakan tak ada habisnya.
Saat posisinya sudah cukup dekat dengan lawan, Warok Digdaya menerjang sambil mengayunkan tinjunya dari bawah ke atas, bagai serudukan cula badak.
Sebelum Rangda sempat membalas, tinju itu telak menghantam ulu hatinya. Tubuh ringan gadis itu terpelanting ke atas dan roboh di lantai.
Melihat ketiga lawannya kini terkapar seakan tanpa daya, Warok Digdaya tertawa puas, keras dan sejadi-jadinya. “Hahaha! Lihat, tiga pendekar legendaris kini terkapar di bawah kakiku! Inilah hari kejayaanku!”
Lalu, si pria merah melangkah ke arah Reog. “Nah, sampai di mana kita tadi,” ujarnya. Cakar-cakar hitamnya tampak jadi sepanjang pedang, siap menyerap kekuatan warok murni Reog sampai habis.
Mati-matian Reog berusaha bangkit, namun sia-sia. Tubuhnya masih lemah dan gemetaran akibat “guncangan gempa” Barong tadi. Sungguh Reog tak rela musnah begitu saja, setelah ratusan tahun menanti dalam sunyi. Ia terus memaksa diri, menusukkan cakarnya ke arah Warok Digdaya walau tahu itu percuma saja.
Namun, satu tinju dahsyat menerpa wajah merah si warok, membuatnya tersuruk ke samping. “Apaa?” seru Warok Digdaya.
Saat itu pula Reog melihat penyelamatnya, yaitu Johnny yang telah kembali menjadi Barong.
Warok Digdaya lebih heran lagi. “Bagaimana bisa? Pamungkas Rangda seharusnya mampu menghabisi pendekar kuat seperti kau!”
Barong rupanya tak pelit kata. “Rangda tahu tadi aku di bawah pengaruh seseorang, jadi ia hanya menggunakan separuh tenaganya. Itupun cukup untuk membuatku pingsan sejenak. Saat sadar, barulah aku mengenali kau, pria tua yang pura-pura menolongku dan malah memancingku ke dalam jebakan ini.”
“Yah, mau bilang apa lagi,” aku Warok Digdaya sambil mengangkat bahu. “Ternyata memang tak mudah membungkammu, membuat si singa putih menjadi kambing hitam. Terpaksa, untuk melayani Barong, pendekar legenda terkuat, aku harus menggunakan kekuatan rahasia yang setanding. Lihatlah, inilah pencabut nyawamu!”
Mendadak, Warok Digdaya mengangkat kedua lengannya tinggi-tinggi, memperlihatkan sepasang gelang yang berkilauan jingga. Lantas, seluruh tubuhnya terbungkus sebentuk aura berwarna jingga kecoklatan, bukan merah gelap seperti aura warok pada umumnya.
Betapa terkejutnya Reog melihat Warok Digdaya juga memiliki prana warok unik seperti dirinya. Namun lebih terkejut lagi ia saat melihat sebentuk zirah dan pakaian jingga-coklat yang tersandang, rambut putih berubah jingga, apalagi sebuah topeng loreng-loreng di wajahnya. Seluruh penampilan itu membuat ia teringat pada orang yang pernah ia lawan…
Raja Singabarong!
Barong berseru heran, “Astaga, mirip sekali! Mustahil kau kembaranku dari sumber yang sama.”
Singabarong menggeleng. “Jelas bukan. Kekuatan yang kurampas dari Prabu Singabarong dari Lodaya ini, ditambah kekuatan Warok Digdaya takkan pernah bisa kautandingi.”
“Ayo kita jajal untuk membuktikannya!” Suara lantang Barong mengiringi entakan kakinya yang menggetarkan bumi. Wujud sejati Barong yaitu singa putih suci raksasa terpancar sebagai bentuk aura yang melingkupi tubuhnya.
Tak mau kalah, Singabarongpun unjuk kekuatan dengan Mengentakkan tenaga dalamnya. Auranya berbentuk hewan siluman raksasa, yaitu harimau dan merak di satu tubuh.
Hampir bersamaan, kedua petarung maju menerjang. Dalam hitungan detik, tak terhitung berapa banyak pukulan dan tendangan sekaligus variasinya berdentuman, berledakan.
Bahkan Reog sendiri tak ayal berdecak kagum melihatnya. Tak ada gerakan berkelit untuk membelakangi lawan, tak ada jurus-jurus indah penuh muslihat. Hanya ada adu kuat, adu ketangguhan, stamina dan daya tahan tubuh. Hampir segala hantaman ditahan dengan tangkisan tangan, baju zirah atau langsung diterima tubuh.
Hingga di “titik didih”, Singabarong dan Barong sama-sama mengumpulkan, memusatkan segala energi satwa dan tanah di tinju masing-masing. Lalu sama-sama mereka melesat dan adu tinju. Suara dentuman akibat pertumbukan kedua kekuatan itu sungguh memekakkan telinga. Bahkan Reog dan Rangda yang belum pulihpun menutup telinga dan meringis kesakitan.
Sekilas kedua petarung itu tampak sama kuat, dengan tinju saling menempel, saling menekan. Satu hal, Barong adalah singa suci yang telah sehati dengan pewarisnya, Johnny. Tekad keduanya untuk melindungi rekan-rekan, warisan budaya dan orang banyak dari kejahatan Warok Tua andai ia berhasil mendapatkan kekuatan Reog mewujud menjadi sebentuk kekuatan. Walau kekuatan tambahan itu memberi keunggulan yang setipis kertas, itu cukup membuat Singabarong terpelanting.
Melihat lawan masih berdiri walau goyah, Barong maju dan mengerahkan sisa tenaga, siap memberondong Singabarong dengan tinju pamungkas yang merobohkan Reog tadi, Bumi Berguncang Langit Gempar.
“Heh, dasar naif,” ujar Singabarong sambil menyeringai. Tiba-tiba kuku-kuku hitam mencuat dari kesepuluh jari tangan siluman itu. Lantas ia menunjuk tepat ke dahi lawan. Langkah Barong terhenti seketika, seakan ditahan oleh sebuah kekuatan tak kasat mata. Lagi-lagi Singabarong mengendalikan pikiran Barong.
“Aku masih bisa menggunakan ilmu pengendali pikiran Warok Tua. Nah, kini cicipilah cakar-cakar raksasa Warok Digdaya!”
Sabetan cakar Singabarong bertubi-tubi mendera tubuh Barong yang terpaku. Setelah puas “membongkar” segala pelindung dan prana pertahanan Barong, baru cakar tajam dihunjamkan ke arah jantung.
Riwayat Barong pasti tamat andai tak ada sepasang lengan yang urat-urat darah hitamnya menyembul dan mengeras bagai perisai, menangkis cakar pencabut nyawa itu.
Rupanya Reog berhasil memulihkan sebagian besar tenaganya, lalu mengerahkannya dalam keadaan darurat demi menyelamatkan nyawa sesama pendekar super. Kontak batin antara Singabarong dan Barong putus seketika, dan si pendekar singa putih roboh kehabisan tenaga.
“Hngh, rupanya dendam di antara kita ini memang harus dituntaskan lewat tanding ulang seperti di Hutan Kediri,” sergah Singabarong sambil mengambil jarak dari lawan barunya.
“Kau salah dalam dua hal.” Reog mengacungkan dua jarinya. “Pertama, kau bukan Singabarong, melainkan Warok Tua yang merampas kesaktiannya demi menguasai ilmu kembali muda.”
“Terserah kau mau sebut aku apa, toh kekuatan Singabarong telah menyatu dalam diriku.”
Reog menggoyang-goyang jarinya. “Lihat saja kenyataannya nanti. Lagipula kedua, aku sudah tak mendendam lagi padamu, pada Panji Anom, Prabu Klana Suwandhana serta kaum warok dan gemblak.”
“Wah, wah. Lantas, kau bertarung untuk apa?”
“Untuk saat ini, bertahan hidup dan meraih kebebasan. Aku sudah muak ‘dipenjara’ olehmu, sementara kau menikmati hidup berabad-abad dari hasil keserakahanmu.”
“Demi kelestarian ilmu sakti warok, aku rela menghalalkan segala cara,” tanggap Singabarong gamblang. “Termasuk mencegah ‘makhluk aneh’ sepertimu menodai merahnya warok dengan warna hijaumuyang menjijikkan.”
Akhirnya Warok Tua mengungkapkan alasan sebenarnya ia menyingkirkan Reog. Ia mengungkapkan rasa sakit hatinya saat Raja Klana menamai pertunjukkan sendratari yang ia ciptakan sepanjang jalan ke Kediri itu “Reog”.
Warok Tua lalu pergi ke Lodaya, membunuh Prabu Singabarong yang masih lemah akibat bertarung dan merampas pusakanya, yaitu Gelang Raja Siluman. Walau punya kekuatan berlapis-lapis, ia tak mampu menghancurkan Topeng Reog. Bahkan dengan menceburkannya ke kawah Merapi, gunung berapi aktif yang sering meletus sekalipun.
Jadi, agar tak bisa memilih pewaris, roh Reog yang rupanya memasuki Topeng Reog dipenjarakan di gua markas rahasia warok, terlupakan oleh semua…
“Hingga suatu hari, kakek buyut Bondan yang adalah seorang warok mencuri Topeng Reog lalu menghilang, karena ia ingin hidup normal dan punya keturunan, dan tentunya aku menolak permohonannya itu.” Kesadaran Bondan menjerit mendengarnya. Berarti selama ini sang kakek buyut berbohong dan sembunyi demi melindungi keluarganya dari para warok lainnya.
Singabarong melanjutkan, “Nah, kini setelah seluruh kebenaran terungkap, aku bisa lebih tenang membunuhmu, hei pendekar tanpa dendam. Kau tadi telah memberiku kesempatan menghimpun prana, jadi bersiaplah pergi ke neraka!”
Sebaliknya, Reog tak terpengaruh gertak sambal lawan. “Kaulah yang terlalu sibuk bicara, hingga tak sadar aku juga menghimpun prana. Sudahlah, cukup bicaranya. Ayo kita adu nyawa.”
“Mari!” Singabarong Mengentak lantai dan menerjang maju. Telapak tangan kanannya menembakkan prana penghancur dahsyat bagai segerombolan harimau menerkam mangsa. Sementara telapak tangan kirinya mengibas-ngibas, memancarkan larik-larik sinar tajam dengan gerakan segemulai tarian burung merak.
Seperti dugaan Reog, jurus pamungkas Singabarong ini, Murka Merak Harimau Dewata amat berbeda dengan yang dikerahkannya di Kediri dahulu. Ia sengaja mengambil jeda sedetik untuk menghindar dan “membaca” jurus lawan.
Justru saat menyerang balik, Reog bergerak luar biasa cepat hingga seakan hilang dari pandangan mata lawan. Lalu, cakarnya berkelebat, menggores tubuh Singabarong dari segala arah, secara acak dan tak terduga. Inilah pamungkas Reog, Gerhana Menelan Cahaya.
Kewalahan, Singabarong memukul-mukul ke jarak dekat seperti ekor sapi mengusir kerumunan lalat.
Hingga akhirnya, cakar maut Reog menghunjam titik kelemahan Singabarong, yaitu pangkal tengkuknya. Sedikitpun Warok tua tak menduga, mewarisi kekuatan Singabarong berarti mewarisi kelemahannya pula. Ia lalai melindungi titik lemah itu.
Singabarong kehilangan keseimbangan tubuh dan ambruk di lantai. Mempertegas kekalahannya, tubuh kekar Singabarong perlahan berubah bentuk, menyusut menjadi tubuh tua berkulit merah darah, wujud asli Warok Tua.
Panik, Warok Tua mencoba Mengentakkan tenaga dalamnya. Namun tak ada reaksi sama sekali dari Gelang Raja Siluman. Warna gelang emas itu tampak kusam, seperti barang murahan.
Karena Reog masih berdiri setelah mengerahkan pamungkas, ditambah Rangda yang kembali bangkit setelah pulih dari pukulan keras tadi, tak ada pilihan lain bagi Singabarong kecuali secepatnya angkat kaki.
“Awas kalian! Akan kutagih dendam ini lain kali!” Dengan tenaga yang tersisa, Warok Tua pontang-panting lari menuju pintu keluar rahasia.
“Jangan harap!” Rangda yang sudah kembali berdiri menembakkan beberapa peluru energi api dengan amat cepat. Lima di antaranya bersarang di kulit Warok yang kebal, dan tak satupun mengenali kepalanya.
Reog kembali bergerak untuk mengejar Warok Tua, mencegah bahaya besar di kemudian hari. Namun tubuh, tangan dan kakinya terasa amat berat. Ia kehilangan keseimbangan dan terjatuh tanpa daya. Tangan Reog hanya menggapai ke arah Warok Tua yang berlari makin jauh, hingga hilang dari pandangan. Topeng Reog terlepas dari wajahnya, dan ia kembali menjadi si pemuda gimbal, Bondan Prasetyo.
Pandangan Bondan makin lamur. Hal terakhir yang ia lihat adalah sosok Rania Giselda yang tak lagi mengenakan kostum Rangda, kembali ke penampilan detektifnya. Wanita cantik itu berlutut, memungut Topeng Reog sambil tersenyum puas.
“Nah, kini aku tahu apa yang harus kulakukan dengan topeng ini,” ujar Rania. “Dengan bantuan Johnny, tentunya.”
Bondan mencoba bicara untuk protes, namun lidah dan bibirnya terasa kaku, tak bisa digerakkan.
Lebih parah lagi, suara roh Reog terngiang dalam benak Bondan. Tenang saja, Bondan. Kini aku ada dalam dirimu, begitu pula separuh kekuatanku. Rania dan Johnny tak akan menghancurkan topengku. Sebaliknya, mereka akan memberi kita peluang untuk beraksi di dunia luas, sekaligus memburu kembali musuh bebuyutan kita, si Warok Tua.
Benak Bondan berteriak, Tidak! Tidak! Enak saja! Aku ini orang bebas yang ingin hidup normal! Pasti ada cara lain, pewaris lain yang lebih tepat dariku! Takkan kubiarkan kau memperbudakku! Aku tak su…”
Makin keras benak Bondan berontak, pandangan matanya malah makin lamur.
Lalu, segalanya jadi gelap.
\==oOo==
Beberapa minggu kemudian…
Sesosok pria ceking berambut gimbal sedang berdiri di puncak gedung, beratapkan bulan purnama dan langit malam. Dialah Bondan. Matanya menatap ke kejauhan. Wajah tirusnya tampak muram, seolah tengah menanggung beban pikiran yang berat.
Tiba-tiba ponsel Bondan berbunyi. Bondan melihat nama si penelpon di layarnya. “Rangda”. Ia menghela napas, mendekatkan ponsel di telinganya dan berucap malas, “Ya.”
“Aha. Tugas baru? Rinciannya? Baik. Anggaplah tuntas. Ya.”
Bondan menatap dan menekan-nekan tombol ponselnya sejenak, lalu dimasukkannya kembali ke saku celananya. Ia lalu meraih ke balik jaketnya dan menatap topeng di tangannya. Topeng yang persis sama dengan replikanya yang kini tersimpan aman di Museum Nasional. Replika itu buatan Johnny, dan Rania Giselda “mengembalikannya” ke tempat asalnya.
“Saatnya beraksi lagi,” ujar Bondan.
Lalu Bondan mendekatkan topeng itu ke wajahnya. Dalam hitungan detik, akar-akar hijau membelit seluruh tubuhnya, mengubah wajahnya menjadi si manusia pohon. Ditatapnya bulan, lalu ia melolong keras-keras, meratapi takdir yang menyertai kesaktiannya ini. Ya, inilah sosok yang disebut penjahat, pengkhianat kaumnya, sang terkutuk.Tak seorangpun bisa menduga apa tindakan dia sebentar lagi. Saat ini, hanya satu hal yang pasti.Seorang pendekar super telah bangkit kembali.
REOG.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Kyota Hamzah
ternyata merinding saat membaca ini, terasa sekali aksinya antara reog dan barong :O
2019-08-27
6