DAHLIA 2

Fan Art "Dahlia" oleh Anjar Purpito Suryoraningrat

Semakin dalam Julia melangkah menuruni tangga, semakin gelap pula keadaan sekitarnya. Sebagai penyelidik situs-situs legendaris, tentunya ia sudah menyiapkan peralatan penting dalam ranselnya. Salah satunya adalah senter, yang kini ia nyalakan untuk menerangi lorong di depannya. Walau demikian, tetap gadis mungil itu melangkah hati-hati, jangan sampai tergelincir. Senternya menyorot ke pelbagai arah, waspada terhadap kejutan-kejutan tak terduga yang mengintai di setiap sudut, setiap saat.

Julia terus berjalan hingga melihat cahaya yang  menyeruak dari ujung lorong. Walau didorong rasa penasaran, kakinya tak melangkah lebih cepat. Kesabarannya berbuah pemandangan menakjubkan di ujung lorong.

Inilah pemandangan sebuah candi yang tidak terlalu tinggi, namun seakan menyangga lantai hingga langit-langit gua bawah tanah. Bentuknyapun tak biasa, seperti seorang wanita yang sedang bersimpuh, memanjatkan doa. Tak salah lagi, inilah candi keseribu, perlambang Roro Jonggrang sendiri.

Tuntas sudah. Candi keseribu telah ditemukan. Seharusnya kini Julia tinggal menunggu Gilang menyusul saja. Tiba-tiba, suara wanita yang merdu terngiang. “Ah, akhirnya ada pengunjung, setelah sekian lama…”

Ada orang lain di sini? Julia menoleh ke kanan-kiri, tak ada siapa-siapa. “Siapa itu?” Julia berseru.

“Masuklah ke dalam candi, gadis muda, dan kau akan tahu.”

Makin banyak suara itu berkata-kata, makin kuat pula perasaan akrab yang merasuki relung hati Julia. Tanpa pikir terlalu panjang, kaki-kakinya seolah menyeret tubuhnya memasuki pintu candi yang seukuran pintu berdaun satu setinggi kurang lebih dua meter.

Di dalam candi keseribu itulah rasa takjub dan heran Julia mencapai puncaknya. Betapa tidak, di ruangan yang hampir seluas lapangan bulutangkis inilah sumber cahaya terik dalam gua itu berada. Sumber itu adalah sebongkah kristal es yang satu setengah kali lebih besar dari rata-rata tubuh wanita dewasa. Sinar matahari yang masih menyelusup lewat lubang-lubang di langit-langit gua dipusatkan dan dipantulkan pada permukaan kristal, membuatnya terkesan sebagai sumber cahaya itu sendiri.

Samar-samar, dari jauh Julia melihat ada sesosok wanita sedang merentangkan tangan dalam “peti mati kristal” itu. Saat gadis berambut kepang dua itu mendekat, baru terlihat jelas pakaian dan hiasan-hiasannya yang bergaya Jawa Kuno. Apalagi saat melihat wajah jelita tanpa tandingan yang tersenyum dengan matanya yang terpejam dengan damai. Semua ciri dan informasi yang ia dapat ini memastikan identitas wanita dalam kristal es itu sebagai…

“Roro Jonggrang,” bisik Julia sambil menutup mulutnya dengan dua tangan.

“Ah, rupanya kau mengenaliku. Siapa namamu, gadis muda?” tutur Jonggrang, padahal bibir pada raga dalam es itu tak bergerak sedikitpun.

“Namaku  Julia, Paduka Ratu,” ujar Julia, memilah kata-katanya dengan sangat hati-hati.

“Panggil aku Rara saja. Kini aku bukan ratu atau apapun, hanya sukma terkutuk yang terjebak berabad-abad bersama raga nan beku.”

Sungguh nasib yang lebih mengenaskan dari kematian. Prihatin dengan itu, Julia berkata, “Rara, apa yang bisa kulakukan untuk membebaskanmu dari penjara ini?”

Tiba-tiba, sunyi. Jantung Julia berdebar-debar, mungkin Jonggrang tak senang dengan tawarannya yang terlalu cepat ini. Terlalu lancang. Saat gadis itu hendak berbalik dan meninggalkan Candi Jonggrang saja, suara batin Rara kembali bergema, “Mungkin ada yang bisa kaulakukan, mungkin tidak. Tapi sebelumnya, jawablah pertanyaanku ini.”

Julia memperhatikan penuh minat, namun jantungnya tetap berdebar keras. Rara melanjutkan, “Menurutmu, salah siapakah hingga aku dikutuk begini rupa, tak bisa bertemu lagi dengan Bandung di alam baka, setelah ia tiada? Salah Bandungkah? Jin Himawarikah? Atau salahku sendiri?”

Sambil mengingat-ingat kisah Roro Jonggrang tuturan Gilang, Julia mencoba memandang semua ini dengan mata hatinya. Akhirnya, gadis itu menjawab, “Bukan salah dua manusia yang sebenarnya bisa dipersatukan dengan cinta, namun malah saling serang karena dikelabui rasa benci dan dendam. Bukan salah Himawari pula yang murka saat merasa harga diri dan kehormatannya dilecehkan. Kalaupun ada yang salah, pastilah dia Patih Gupala yang telah mengadu-domba kalian semua demi memenuhi ambisi pribadinya.”

Lagi-lagi hening. Lalu terdengar sayup-sayup isak tangis. Sebelum Julia menanyakan tentang semua itu, suara Rara bergetar, bercampur tangis bahagia. “Aih, setelah berabad-abad dalam penjara beku nan sunyi, akhirnya Yang Maha Kuasa berkenan mengirimkan seorang penolong yang mau mengerti diriku. Nah, Nak Julia, ulurkanlah tanganmu. Raihlah ke dalam kristal es ini, lepaskan dan ambil Lencana Puspa Kirana dari tubuhku.”

“A-apa?” sanggah Julia. “T-tapi itu kristal es yang amat padat! Mustahil tanganku bisa menembusnya!”

“Anggaplah ini ujian terakhir. Kalau kau memang penolongku, kau pasti bisa melakukan ini. Andai Bandung Bondowoso bisa menembus es ini dengan kesaktiannya, aku pasti sudah terbebas sejak awal.”

Kata-kata Jonggrang itu sungguh tak masuk akal, membuat dahi Julia berkerut. Beberapa saat kemudian, ia bergerak maju dan menempelkan telapak tangan kanannya di permukaan peti es kristal.

Lantas, gadis itu mulai menekan, namun telapak tangannya tak kunjung masuk. “Maaf, Rara. Kurasa aku memang bukan si pembebas.”

“Yah, sayang sekali… Tapi tunggu dulu, Julia. Saat memegang es itu tadi, apa kau merasakan sesuatu?”

Julia juga tersentak. Ia baru sadar bahwa es bila dipegang pasti rasanya amat dingin. Namun ia menggeleng sambil berkata, “Rasanya sedikit dingin seperti menyentuh batu pualam, itu saja.”

“Benarkah? Cobalah sekali lagi, Julia. Kali ini, pusatkan segala perhatianmu hanya untuk meraih lencana itu.”

Julia melaksanakan saran Jonggrang. Matanya terus terpaku pada Lencana Puspa Kirana berpahatan lambang bunga dahlia itu, apalagi permata zamrud bulat yang berpendar tepat di tengahnya.

Lalu, tanpa terasa, tangan Julia menembus permukaan es dan terus masuk, hingga menyentuh zamrud itu.

“Bagus sekali. Nah, tariklah keluar.”

Dengan lembut Julia melepaskan lencana bros itu dari pakaian Roro Jonggrang, perlahan-lahan menarik tangannya hingga keluar sepenuhnya dari peti es. Lencana kini dalam genggaman, namun mengapa bukan tubuh wanita secantik bidadari itu saja yang terbebas dari peti?

Jawaban untuk Julia datang seketika, kali ini suaranya berasal dari bros. “Sebenarnya tubuhku sudah mati saat kekuatan dahsyat Gupala menghantamku. Segala kesaktianku, kekuatan gaibku serta rohku berpindah ke lencana ini, jimat saktiku. Karena medan gaib pelindung dari jimat ini tembus, jadilah ini tempat pelarianku, penjara dalam penjaraku.”

“Tapi, bukankah lencana ini sudah lepas dari kungkungan es? Bukankah seharusnya kau sudah bebas?”

“Entah, aku sendiri tak mengerti. Aih, andai ada yang bisa memberiku petunjuk…”

Tiba-tiba, suara seorang pria terdengar. “Kau tak perlu jauh mencari, Rara, karena aku sudah  di sini.”

Julia terperanjat dan bergegas keluar dari candi. Benar saja, suara itu berasal dari orang yang ia kenal… Gilang! “Apa maksudmu, Gilang? Bicaramu seolah-olah Roro Jonggrang adalah kekasihmu!” bentaknya.

Anehnya, Gilang seolah tak mempedulikan lawan bicaranya. Tatapannya tetap tertuju pada bros di genggaman tangan Julia. Lalu, seolah ingin meyakinkan Jonggrang, kalung kristal di dada Gilang memancarkan cahaya bagai hologram, menampilkan citra seorang pria tampan yang mengenakan pakaian bergaya Jawa Kuno sekitar Abad Kedelapan Masehi.

Bros Lencana Puspa Kiranapun bereaksi, memancarkan citra seorang gadis muda nan jelita dengan pakaian senada dengan si pemuda, rupanya persis sama dengan raga beku di dalam candi. Roro Jonggrang terkesiap dan berkata, “Kau… Bandung?”

“Ya, ini aku, pria yang telah bersumpah, rela menanggung kutukan yang sama denganmu. Setelah berabad-abad, akhirnya aku menemukan pewarisku, Gilang Kandaka. Dan kini, kau juga berjodoh dan dibebaskan dari es oleh Julia.”

“Aku belum bebas,” tanggap Roro Jonggrang.

“Ya, kau lihat ‘kan, begitu pula aku. Jadi, sambutlah tanganku, Rara. Mari kita kembali bersatu, bebas dari kutukan kita ini dan hidup bahagia di alam baka.” Sukma Bandung Bondowoso maju dan mengulurkan tangannya, namun Rara tak serta-merta menyambutnya. Gadis itu mengerutkan dahi dan malah menyurut mundur.

“Lho, mengapa?” tanya Bandung, wajahnya tampak keheranan. “Bukankah ini yang kauinginkan selama ini?”

“Ya, selama ini… aku menginginkan kebebasan… sampai beberapa saat yang lalu. Namun saat ini, aku tak yakin… Ada hal yang masih mengganjal di hatiku… tapi aku tak tahu apa itu.”

Tiba-tiba satu suara lain, suara yang berat dan seakan menggelegar terdengar. “Hei Bandung! Kalau gadismu masih ragu, biar kuyakinkan dia dengan ini!” Sukma Bandung mendadak bagai tersengat listrik, seluruh citra tubuhnya mengejang hebat.

Di sela teriakan kesakitannya, Bandung berseru, “H-Hima! Bukankah a-aku… telah menekanmu selama ini?”

Jin Himawari lantas menunjukkan citranya, raksasa bertubuh serba kristal dengan posisi sedang menekan, menyiksa sukma Bandung. “Benar! Tapi daripada berontak, selama ini aku pura-pura takluk dan menyimpan tenaga. Tujuannya? Supaya aku bisa memusnahkan kau dan Jonggrang sekaligus, membunuh dua lalat sekali tepuk! Memisahkan kalian selama-lamanya!”

Jonggrang jadi histeris. “Tidaak! Bandung…! Hentikan itu Hima, atau…!”

“Atau kau mau apa? Membuat semua ayam berkokok lagi? Membuat semua wanita bangun dan menumbuk padi, padahal matahari belum terbit?” sindir Himawari. “Atau seperti Bandung, mencegahku balas dendam pada orang yang telah mempermalukanku? Ohoho, tidak, itu takkan terjadi lagi. Semua akan selesai hari ini! Dan aku akan kembali merajalela dengan puas di dunia ini bersama tuan – bukan – budak baruku, Gilang!”

“Enak saja kau Hima, memperbudak manusia!” Yang kali ini protes adalah Julia. “Ayo Roro Jonggrang, kita satukan kekuatan! Kita tunjukkan pada jin tinggi hati ini kekuatan hati dan kasih sayang manusia!”

Kali ini, tanpa ragu Jonggrang menanggapinya, “Baik! Kuwariskan seluruh kekuatan gaibku padamu, Julia!” Kata-kata itu diwujudkan seketika dalam tindakan. Citra Jonggrang kembali masuk dalam bros. Lalu bros itu memancarkan cahaya terik yang menyelimuti seluruh tubuh Julia.

Julia merasakan penampilannya berubah. Ia bukan mengenakan pakaian Jawa Kuno seperti Roro Jonggrang, melainkan sejenis kostum modern. Bentuknya baju ketat tak berlengan dengan lekuk-lekuk yang menawan, ditambah rok pendek yang tampak bagai jalinan dedaunan besar. Rupanya kekuatan gaib lencana sudah menyesuaikan kostum itu dengan tipe pakaian kesukaan Julia. Apalagi bentuk tutup kepala yang menyatu dengan topengnya itu pas sekali dengan gaya rambut kepang dua gadis itu, membuatnya tampak lebih manis dan bisa bergerak lebih leluasa.

Maka, saat cahaya silau akhirnya sirna, tampaklah sosok gadis yang sama sekali beda, berkostum paduan warna pink dan hijau.

Melihat itu, Jin Himawari malah mengejek, “Apa-apaan ini, Jonggrang? Tak bisakah kau memilih pakaian kematian yang lebih ‘agung’ daripada ini?”

“Oh, maaf kalau ini tak sesuai dengan selera anda, wahai jin berzirah kaku,” ujar Roro Jonggrang tanpa menggerakkan bibir Julia. “Lagipula aku masih punya satu kelengkapan lagi untuk ‘pakaian kehidupan’ ini.”

Hampir seketika, seberkas sinar hijau berbentuk kecapi mewujud di genggaman tangan Julia. Lantas kecapi itu berubah wujud menjadi satu-satunya alat musik yang Julia kuasai, yaitu biola dan tongkat penggeseknya.

Melihat sosok Bandung Bondowoso serta Gilang yang tengah bertahan mati-matian, kejang-kejang menahan kekuatan Hima, Julia melangkah maju dalam geram. Tapi ia tak tahu cara menggunakan kekuatan gaib Jonggrang ini. Apa harus menggunakan ilmu kung-fu? Apa harus memukul lawan dengan biola?

Petunjuk Jonggrang terngiang seketika. Akan kutanamkan beberapa tembang untuk kauingat. Mainkan dengan biola untuk menyerang, bertahan dan mempengaruhi benak lawan.

Tiba-tiba, nada demi nada berkelebat di benak Julia. Hampir bersamaan, ia menggesek biolanya untuk memainkan lagu itu. Nada-nada yang dihasilkan biola itu sama persis dengan yang dinyanyikan Jonggrang sebagai contoh, baik suara maupun iramanya.

Roh Hima yang berkonsentrasi dengan aksinya tersentak seketika. Saat tekanan mengendur, roh Bandung Bondowoso memanfaatkan kesempatan ini dengan melenyapkan diri. Kini, giliran benak Hima yang tersiksa.

Ya, bagus, Julia. Inilah sihir pembuka, Nada Penenang Jiwa. Lawan yang terkena sihir ini akan kehilangan semangat tarung dan nafsu membunuh. Semoga saja kali ini Hima terpengaruh. Dari nada suara batin Jonggrang, nampaknya sihir ini memang belum pernah dicobakan pada Hima.

Bayangan Hima menutup telinga, lupa bahwa gelombang suara dapat dengan mudah menembus wujud bayangan dan langsung mempengaruhi rohnya. Baru beberapa saat kemudian ia tersentak dan berseru, “Lagi-lagi lagu sihir menyebalkan! Aku butuh… raga! Ah, aku tahu!”

 

 

Terpopuler

Comments

Martin 05

Martin 05

Xtraordinary!

2020-01-26

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!