REOG 4

Namun, kesempatan itu tak kunjung tiba.

Setelah terburu-buru pergi dari rumah kakek Bondan yang terbakar, keduanya menumpang mobil angkutan pedesaan agar tiba di tempat yang mereka tuju. Mereka hanya makan dan minum seadanya, sambil menanyakan arah pada supir dan kenek.

Lagipula, mustahil membicarakan rahasia saat ada lebih dari empat mata di satu tempat.

Menjelang senja, langkah-langkah Bondan baru menapaki lereng perbukitan di barat daya Kota Ponorogo. Sesekali langkahnya terhenti. Bondan melayangkan pandangannya ke hamparan pepohonan dan pemukiman di sekitar, menghirup udara segar yang mengisi kembali semangatnya. Peluhnya bercucuran, membasahi seluruh tubuh, wajah dan rambutnya.

Ini sungguh hari yang amat-sangat panjang bagi Bondan.

“Ayo cari terus, Bondan! Jangan berhenti sekarang! Kita harus menemukan gua itu sebelum gelap!” tegur Rania. Wanita yang mengenakan sepatu bot itu menyisiri sisi bukit dengan gerakan yang masih lincah, penuh semangat.

Wajah Bondan ditekuk seribu. “Iya mbak, iya!” ujarnya. “Hmm, rasanya ini bukit yang benar, tapi kok guanya tak kelihatan?”

“Cari lebih teliti!”

“Duuh… mbak sih sudah terlatih, lha aku? Jangankan pencak silat, jogging saja aku ja… aaah!”

Tiba-tiba Bondan terperosok ke dalam sebuah lubang. Tubuhnya terus meluncur ke bawah seperti main luncuran. Lantas ia terpelanting, jatuh tengkurap di tanah datar.

“Awwww…”

Sambil meringis Bondan menegadah, melihat gua yang cukup lebar berpenerangan deretan obor di sisi-sisi dindingnya. Tumpukan bebatuan di jalur serupa koridor itu menunjukkan bahwa jalan masuk utamanya telah diruntuhkan. Mustahil siapapun, termasuk kakek buyut Bondan tahu “jalan luncur” tadi, kecuali dia tak sengaja menemukannya atau dia adalah seorang…

… warok.

Sebelum Bondan sempat berpikir lebih jauh, tiba-tiba sesuatu yang amat berat menimpa punggungnya. Bondan mengerang. Si “beban” diam sejenak, lalu bangkit dan berlutut di depan si gimbal. Rania.

“Wah, maaf. Aku juga terperosok tadi. Kau baik-baik saja, ‘kan?”

Suara Bondan lirih. “Rasanya… tadi ada… tulang… yang bergeser…”

“Sini!” Dengan cekatan Rania menarik dan mendudukkan “pasien”-nya. Lalu ia memijati tubuh Bondan layaknya ahli pijat refleksi. Lelaki itu berteriak-teriak kesakitan lagi. Beberapa saat kemudian, sesi “pijat siksaan” itu selesai.

“Bagaimana, sudah lebih baik?” tanya Rania.

“Ehhh… l-lumayan…”

“Bagus! Ayo jalan!” Dengan cekatan wanita itu bangkit dan mulai berjalan. Bondan terburu-buru bangun dan menyusul, nyeri-nyeri di badannya masih amat terasa. Ingat-ingat, pikirnya. Bila Rania buka praktek pijat refleksi, jangan pernah datang ke sana.

Belum sampai lima menit menyusuri gua itu, tiba-tiba Rania berseru, “Awas!” Ia “pasang badan” di depan mitranya ini dan menyiagakan kedua pistolnya.

Menyadari maksud tindakan Rania, Bondan menatap ke depan. Empat pria muncul di kejauhan, menghadang di lorong gua itu. Wajah mereka merah-hitam dan beringas. Bondan mengenali salah satunya sebagai si preman punk yang menyerangnya belum lama ini.

Si warok punk menyerukan perintahnya, “Habisi mereka!”

Bagai hewan buas, para warok menyerbu bersamaan.

Suara tembakan bergema. Satu timah panas bersarang di dahi salah satu warok, menewaskannya seketika. Tiga lainnya lantas mengincar Rania.

Saat itu pula Rania berseru, “Bondan, terobos mereka!”

“Tapi, mbak…!” ujar si gimbal panik.

“Cepat! Aku bisa mengatasi mereka sendirian!”

Sesaat Bondan ragu apa seorang wanita benar-benar mampu mengatasi tiga warok sakti, ditambah rasa ingin tahunya tentang kekuatan Rania yang sebenarnya.

Namun saat berikutnya, satu cakar hitam yang nyaris menyobek dada Bondan memaksanya bertindak. Ia menyeruak maju, melewati ketiga warok itu.

“Hati-hati, Rania!” Tak peduli apakah Rania mendengarkannya atau tidak, Bondan terus berlari. Suara-suara tembakan, teriakan dan baku-hantam di belakangnya makin sayup-sayup…

Bondan menyusuri lorong-lorong gua yang bercabang-cabang bagai labirin. Tak henti ia menoleh ke kanan-kiri, jangan-jangan ada sergapan warok lagi.

Tak lama kemudian, kaki Bondan melangkah dalam ruangan yang cukup luas. Sekilas pandang, menurut perkiraan dan perhitungan si gimbal, daya tampung ruangan ini tiga ratus orang.

Pandangan mata Bondan lantas terpusat pada sebuah prasasti batu tepat di tengah ruangan itu. Ada benda hijau tergeletak di atasnya. Topeng Reog. Rupanya pusaka itu telah dikembalikan ke tempat asalnya.

Saat Bondan menghampiri prasasti itu, tiba-tiba sesosok pria bertubuh kekar bak binaragawan menghadangnya.

“Eit, jangan coba-coba sentuh topeng ini!” hardik pria itu.

Refleks, Bondan melangkah mundur. Saat nyala obor membuatnya melihat sosok pria itu lebih jelas, matanya terbelalak. “Astaga! K-kau… Johnny!”

I Made Johnny Wardhana juga tak kalah terkejut. “Bondan! Jadi kau pencuri Topeng Reog? Sungguh mudah ditebak!”

“Wow, wow, tunggu dulu, pak. Jangan pura-pura tak tahu. Menurut hasil penyelidikan, pelaku bertubuh amat kuat hingga mampu memecahkan kaca tanpa meninggalkan bekas, bahkan jejak darah sedikitpun. Postur tubuhmulah yang paling cocok dengan itu!”

Memang, saat itu Johnny sedang mengenakan kaus singlet putih, hingga otot-otot kekarnya tampak amat jelas.

“Mustahil! Manusia berkekuatan dahsyat tak harus berotot kawat!” Johnny mengibaskan tangannya. “Tak lama setelah kasus itu tayang di berita televisi, seorang kakek tak dikenal mendatangi rumahku di Jakarta. Agar tak ditangkap polisi, aku ikut dia ke Ponorogo ini untuk menjebak pelaku aslinya. Sudah banyak warok yang kutumbangkan tadi hingga aku mencapai tempat ini. Aku lalu sembunyi, menunggu munculnya si pemimpin, yaitu kau! Jadi menyerah sajalah kau, Bondan, atau aku terpaksa akan menggunakan kekerasan!”

Bondan terkesiap. Johnny tampak jelas lebih kuat darinya. Kalaupun benar Johnny pelakunya, melawannya sama saja dengan telur menabrak batu. Harus bagaimana ini?

Tiba-tiba sebuah suara merasuki benak Bondan. Topengnya, Bondan. Kenakan topengnya.

Bondan tersentak, ekspresi wajahnya berubah kosong seakan kerasukan makhluk halus. Menyadari gelagat itu, Johnny berseru, “Kau baik-baik saja, Bondan?”

Baru dua langkah Johnny menghampiri Bonan, sebuah suara menghentikannya. Maju selangkah lagi, timah panasku akan menembus jantungmu, seperti warok-warok tadi.”

Johnny menoleh dan melihat Rania Giselda berdiri tegap, siap menembakkan kedua pistolnya. “Oh, rupanya kau datang juga, Detektif Rania. Lihat baik-baik, si pencuri Topeng Reog kini berdiri di dekat barang curiannya. Ayo bantu aku meringkusnya, dan sisa uang jasamu akan kulunasi segera.” Sekali dengarpun Bondan bisa mengambil kesimpulan bahwa orang yang menyewa jasa Rania adalah Johnny. Gawat, bagaimana kalau mereka malah meringkus Bondan?

Namun Rania bergeming. Laras pistolnya tetap terarah ke Johnny. “Justru kaulah yang harus menyerahkan diri, Johnny. Tak kusangka, konglomerat muda kaya-raya sepertimu, klien yang menyewa jasaku menangani kasus ini sendirilah otak di balik aksi para warok!”

“Apa maksudmu, Rania!? Kau juga menuduhku sebagai pencuri?”

“Pasti. Bondanlah yang selama ini membantu penyelidikanku. Aku yakin dia bukan pelakunya, jadi tersangka utama yang tersisa tinggal satu, yaitu kau.”

Giliran wajah Johnny memucat. Jarak bidikan Rania terlalu dekat ke arahnya. Segesit apapun dirinya, mustahil ia mengelak.

Kecuali…

Johnny meraung keras, Mengentakkan tenaga dalamnya. Alhasil, sebentuk aura emas berkilauan melingkupi tubuhnya. Saat itu, hanya Rania yang bisa melihat aura itu. Jadi wanita itu bereaksi , sepasang pistolnya menyalak.

Dengan amat lincah, Johnny melompat kesana-kemari menghindari berondongan peluru. Saat bunyi tembakan mereda, ia maju secepat kilat dan menghantamkan tinju dahsyat di tubuh Rania. Akibatnya wanita itu terlontar, membentur dinding gua dan jatuh pingsan di lantai berbatu-batu.

Melihat keperkasaan Johnny itu, Bondan gemetar. Tanpa sadar ia bergerak mundur hingga bersandar di prasasti topeng itu. Bisikan misterius tadi terngiang lagi. Aku telah memilihmu sebagai pewarisku, tak usah tanyakan mengapa. Tunggu apa lagi? Ayo, kenakan topengnya.

Saat bersamaan, Johnny sudah berbalik cepat untuk meringkus Bondan. Namun terlambat, tangan Bondan terlanjur mengangkat topeng itu dari prasastinya.

Terpaksa Johnny berhenti melangkah lalu berkata, “Sadarlah, Bondan! Baik, taruh kembali topeng itu di tempatnya dan tinggalkan gua ini. Aku takkan mengejarmu.”

Dia bohong, Bondan. Kenakan topengnya dan kau akan bisa mengalahkan orang sakti itu.

Bondan menggeleng pada Johnny. “Kau bohong! A-aku akan memakainya!” Tatapan matanya tetap kosong.

“Sadarlah!” teriak Johnny.

Kenakan!

Seakan ada suatu kekuatan menggerakkan tangan Bondan, menempelkan topeng itu di wajahnya.

Tiba-tiba Bondan merasa nyeri luar biasa. Seakan ada sulur-sulur akar menjalar di seluruh tubuh dan leher, kecuali rambutnya. Kuku-kuku kesepuluh jari tangannya memanjang dan menghitam. Ia beralihrupa menjadi manusia pohon bertubuh hijau.

Si manusia pohon memiringkan kepala berambut gimbalnya ke samping, menatap tajam ke Johnny sambil bicara, “Akhirnya… Setelah menanti berabad-abad aku, Reog kembali utuh seperti sediakala, dengan tubuh baru yang serasi denganku, pewaris pilihan yang telah dipersiapkan selama beberapa generasi.”

Johnny lantas bertanya, “Oh, jadi rupanya rohmu telah menghuni topeng itu, Reog. Tentunya kau tahu siapa yang ‘mencuri’-mu, bukan?”

“Ya, pelakunya adalah para warok. Pemimpin mereka adalah Warok Tua, yang selama ini selalu gagal menghancurkanku.”

Saat nama “Warok Tua” disebut, tiba-tiba Johnny meraung, memegangi kepalanya. Ia merobek bagian depan kausnya, memperlihatkan sebentuk kalung berliontin kepala singa putih di dadanya.

Seketika, liontin itu berpendar cerah, membesar dan membentuk sebuah zirah emas dan baju-celana putih yang amat ketat. Kostum aneh itu membungkus tubuh Johnny sepenuhnya.

Sebentuk topeng emas menutupi wajah Johnny, rambut panjang hitamnya berubah putih, terurai dan mengembang bagai surai singa. Lalu wujud baru Johnny itu bicara dengan nada datar namun keras, “Barong… patuh. Barong… bunuh semua.”

Reog tersentak sesaat. Barong… Mustahil ini Raja Singabarong yang pernah ia lawan di Kediri dulu. Apakah Johnny adalah pewaris baru Singabarong, yang berubah wujud menjadi singa putih?

Tinju Barong menerpa bagai gunung runtuh ke arah lawan. Memanfaatkan kelincahan sebagai modal alaminya, Reog berkelit ke samping, luput sepenuhnya dari serangan.

Sebagai balasan, cakar-cakar darah hitam Reog berhasil menorehkan luka-luka di tubuh Barong. Namun siluman itu tak tampak melemah. Tiga tinju Barong malah menghantam lawan hingga terpelanting dan jatuh terduduk.

Melihat kesempatan, Barong meluncurkan tinju berkekuatan unsur tanah lagi. Namun lagi-lagi ia hanya menghantam udara kosong. Refleks, Barong menegadah, Reog sudah melompat tinggi di atasnya. Cakar pamungkas Reog terjun bagai angin puyuh hitam, mendera punggung lawan dengan kekuatan berlipat ganda. Itulah salah satu jurus andalan Reog, Pusaran Badai Hitam.

Kali ini Barong bertekuk lutut.

“Singabarong atau bukan, kali ini takkan kulepaskan nyawamu!” seru Reog sambil menerjang maju, kuku-kukunya berpendar kehijauan.

Di luar dugaan, tiba-tiba Barong bangkit amat cepat, kembali berdiri kokoh. Kedua tinjunya memalu tanah, menimbulkan gempa yang membuat pijakan Reog goyah. Serentetan tinju Barong memberondong tubuh lawannya bagai hantaman ribuan palu godam.

Baru saat deraan reda, Reog tumbang, terkapar tak berdaya di lantai gua. Manusia biasa macam Bondan pasti sudah tewas oleh jurus pamungkas Barong, Bumi Berguncang, Langit Gempar tadi. Di sela kesakitan yang nyaris separah tikaman yang dulu membunuhnya, Reog baru sadar bahwa Barong bukan Singabarong, penguasa kekuatan satwa dan siluman.

“Bunuh dia, cabut topengnya? Baik.” Barong seakan melaksanakan perintah seseorang yang tengah mempengaruhi dan mengendalikannya. Namun Reog kini terlalu lemah untuk bangkit, apalagi mencegah aksi Barong itu.

 

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!