“Benarkah? Darah raja-raja telah kutumpahkan, tak masalah tambah satu ratu! Rasakan kerisku!” Sambil mengatakannya, Cakra menyerbu maju secepat kilat, siap menghunjamkan keris terkutuknya.
“Dasar bodoh!” Rangda menekan pelatuk pistolnya, namun tak satupun peluru keluar.
“Haha, kaulah yang bodoh!” Keris Cakra terhunjam lurus ke arah tenggorokan Rangda. Dengan amat lincah wanita itu merebahkan tubuhnya ke bawah, berhasil menghindar.
Cakra yang baru sadar ia dijebak mencicipi cangkulan ujung kaki Rangda di dagunya, giliran si pria jatuh terjengkang.
“Rasakan akibat kebodohanmu sendiri!”
Rangda langsung menembak lagi. Namun kali ini yang keluar adalah peluru tenaga dalam gaib berunsur api. Tanpa ampun, peluru api itu menghantam zirah Cakra tepat di tengah dada. Prana Halilintar Merah yang terpusat di sana menangkal peluru api hingga buyar tak bersisa.
“Hih! Memangnya hanya kau saja yang bisa serangan jarak jauh? Halilintar Merah Menyambar!” Maka terjadilah baku-tembak antara Cakra dan Rangda. Keduanya bergerak cepat, menghindar, bahkan memanfaatkan bebatuan gua sebagai tempat berlindung.
Untuk sesaat, nampaknya kedua petarung akan terus seperti itu sampai salah satunya kehabisan tenaga. Namun, Rangda memang sengaja mengulur-ulur serangan, memanfaatkan jeda antara tiap tembakan untuk menghimpun tenaga.
Setelah merasa cukup, diam-diam si Ratu Leak membidik dan menembakkan sebuah peluru api raksasa. Cakra yang melihat itu menjauh untuk menghindar, namun terlambat. Tiba-tiba peluru api besar terpecah-pecah, serpihan-serpihannya terarah bagai Hujan Api Neraka.
Cakra terkejut. Ia mencoba menghindar dan memperkuat prana pelindungnya bagai perisai tak kasat mata, yakin tembakan lurus takkan bisa mengenainya.
Namun tiba-tiba peluru-peluru api itu meliuk, berganti arah, menghujani tubuh Cakra tanpa ampun. Rupanya lagi-lagi Rangda menggunakan telekinesis, menjadikan jurus ini pamungkas Rangda yang baru, variasi yang lebih canggih daripada pamungkas Shinta Devi, pewaris sebelumnya. Puluhan peluru api jelas lebih banyak daripada sepuluh larik jarum api di jurus Sepuluh Cakar Ular Api.
Saat hujan prana “reda”, tampak zirah Cakra robek-robek dan retak-retak. Sebagai pusaka gaib yang “bernyawa”, zirah Cakra dan Rangda mampu memulihkan diri, namun itu hanya bisa dilakukan dalam keadaan “beristirahat” atau “bertapa”, mengisi kembali energi yang telah terpakai.
Cakra berdiri limbung, berusaha keras mempertahankan posisinya. Ia memang sempat mengumpulkan energi saat baku-tembak tadi, namun ia terlambat bertindak sehingga terpaksa menggunakan energi itu untuk bertahan. Namun, medan pertahanannya itu rontok.
Penyebabnya adalah Cakra kekurangan prana petir, sehingga saat zirah dan kerisnya “hidup” kembali, tenaganya tak sempurna, rentan dan rapuh. Tak semua kemampuannya bisa dikerahkan.
Walau menyadari hal itu pada akhirnya, Cakra menolak mengakuinya. Sang pendekar super berteriak dan Mengentak keras, menghimpun kembali energi seadanya. “Cukup sudah! Matilah kau, dan seret nenek sihir insyaf itu ke neraka bersamamu!”
“Kaulah yang lupa diri, Cakra – atau Gerry, bila masih ada sejumput manusia dalam dirimu.” Kali ini suara Rania sendiri yang berkumandang, karena sudah sehati-sejiwa dengan Rangda. Wanita itu lantas menyimpan kembali pistolnya dalam sarung pelindung paha di zirahnya. “Kalau kau masih penasaran, silakan kerahkan serangan terkuatmu.”
“Baik! Rasakan pamungkas Cakra, Mandala Semesta Darah!” Si pendekar merah lantas menunjukkan kemampuan yang belum mampu ia kerahkan sebelumnya.
Tubuh Cakra membubung di udara, seakan bersiap untuk terbang. Lalu, cahaya prana semerah darah membentang amat lebar bagai sepasang sayap raksasa. Sesaat kemudian, larik-larik prana yang tampak seakan berjumlah ratusan itu ia lepaskan. Sayap-sayap itu meliuk dan mengejar, mustahil Rangda mengejar, mustahil Rangda menghindar walau bisa terbang sekalipun.
Terpaksa Rangda menangkis sebisanya dengan jurus pamungkas tangan kosong lama, Sepuluh Cakar Ular Api. Sepuluh larik prana dari kedua cakar Rangda berusaha menerobos hujan sayap merah darah, setidaknya mematahkan jurus lawan.
Namun sayang, pengerahan jurus pamungkas baru Rangda tadi membuat prana jurus lama ini pecah diterpa Sayap-sayap Mandala. Giliran Zirah Rangda didera hujan prana, melontarkan tubuh si pendekar wanita hingga terkapar, tergeletak di dekat kolam kawah berisi magma panas menggelegak.
Rangda-Rania mengerang menahan rasa nyeri yang parah. Namun itu belum seberapa dibanding kematian yang dibawa sang lawan, Cakra mendekat padanya, dalam bentuk Keris Mpu Gandring.
“Seperti kataku tadi, keris ini menagih darah Sang Ratu Leak,” ujar Cakra sambil tersenyum penuh kemenangan. Lalu ia berlutut dekat tubuh Rangda yang tak berdaya, mengangkat kerisnya tinggi-tinggi dan berkata, “Selamat tinggal, Rania. Aku akan selalu mengenang peluk-ciummu selamanya.” Cakra menghunjamkan kerisnya.
Tiba-tiba tubuh si pengguna petir itu bagai terbakar, gerakannya terhenti seketika. Rupanya ia tadi mengerahkan tenaga melampaui ambang batas kemampuannya sendiri, dan kini jurus pamungkas Cakra balik mendera penggunanya.
“Tidaak! Tunggu! Biar kuselesaikan ini dulu!” Cakra berteriak-teriak kalap, tangannya yang gemetaran hebat mencoba menggerakkan kerisnya lagi.
Tiba-tiba seorang wanita menerjang tubuh Cakra sambil berseru, “Takkan kubiarkan kau membunuh penerusku!” Rangda menegakkan tubuh sedikit untuk melihat lebih jelas. Ternyata itu Shinta Devi. Wanita sekarat itu mengerahkan setitik tenaganya yang tersisa untuk melakukan kebaikan terakhir, mencegah pembunuhan.
“Menyingkir kau, onggokan tulang!” cerca Cakra.
“Tidak!” Devi terus memeluk tubuh lawannya yang ‘terbakar’ itu, berusaha menariknya ke tepian.
“Kalau begitu, kau mati lebih dulu!”
Menyadari gelagat ini, Cakra mendorong kerisnya. Devi sempat bergerak memeluk lawan lebih rapat, sehingga keris itu terbenam di pundaknya.
“Selamat tinggal, Rangda!” Dengan satu entakan, Shinta Devi menjatuhkan diri sambil memutar tubuh Cakra yang dipeluknya, hingga keduanya jatuh ke dalam kolam magma.
“Tidaak!” Dengan zirah yang rusak dan kehabisan prana, Cakra alias Gerry Kusnandar tak bisa lagi menghindari kematian, lumat dalam cairan membara. Dengan ini, lumat pula segala ambisinya untuk menjadi pendekar super yang bakal menggulingkan tuannya sendiri. Inilah kelanjutan kutukan Mpu Gandring bagi manusia manapun yang menghalalkan segala cara demi meraih ambisinya.
Rangda lantas kembali beralihrupa menjadi Rania Giselda, menyaksikan semua ini dengan perasaan campur aduk antara duka, lega dan yang tak terlukiskan dengan kata-kata. Bagaimanapun juga, Rania tetap adalah manusia biasa. Walaupun diberkahi dengan kekuatan dewa sekalipun, ia tak kuasa mengubah takdir dua manusia yang telah dipastikan lewat segala perbuatan mereka sendiri.
Sambil berdiri di tepi kolam magma Gunung Anak Krakatau, Rania memandangi Cincin Rangda di jari manisnya. Mata di balik retakan lensa kacamatanya menyorot tajam, seiring satu tekad yang sudah dibulatkannya.
\==oOo==
Jakarta, kafe langganan Rania.
“Jadi, Keris Mpu Gandring telah lenyap untuk selamanya dalam kawah Gunung Anak Krakatau,” kata seorang pria bertubuh tegap, berambut ikat ekor kuda dan mengenakan kemeja-jaket kulit-celana jins yang cukup rapi.
Rania menjawabnya, “Itulah yang saya lihat, Pak Johnny Wardhana. Bukankah itu artefak yang bapak cari? Yang dirampas dari mobil Wardhana Logistics itu?”
“Saya tak tahu bagaimana kamu mengetahuinya, Detektif Rania, karena saya pasti tak menyebutkan tentang barang itu.” Johnny tak dapat menyembunyikan ekspresi takjubnya. “Tapi ya, memang keris itulah yang saya cari.”
“Mohon maafkan saya. Saya telah gagal melindungi warisan legenda dan sejarah tanah air yang tak ternilai itu.”
Johnny menggeleng. “Ini sama sekali bukan salahmu, detektif. Lagipula, segala kejadian yang saya alami baru-baru ini membuat saya percaya pada ceritamu tadi. Kamu sudah berjuang amat keras di ranah gaib, sesuatu yang takkan bisa dimengerti dan diterima oleh para penegak hukum di negeri ini.”
Rania kembali menenggak kopi Iced Caramel Cappuccino-nya, mengumpulkan keberanian untuk mengatakan hal berikut ini. “Di Gunung Anak Krakatau saya kehilangan mitra, korban penculikan dan pusaka peninggalan bersejarah. Satu-satunya penjelasan dalam laporan yang bisa saya ungkapkan pada Kepolisian adalah saya gagal total dalam dua kasus besar.”
Johnny menyela, “Biar saya beri penjelasan pada kepolisian dan menarik laporan saya…”
“Jangan. Lagipula sudah terlambat untuk itu. Saya telah mengundurkan diri dari Kepolisian. Para petinggi sudah berusaha mempertahankan saya dengan berkata kegagalan saya tak sebanding dengan banyaknya keberhasilan saya yang lalu. Tapi saya tetap bersikeras mundur. Jadi yang bapak temui ini bukan detektif, melainkan Rania Giselda, warga sipil biasa.”
“Ah, begitu rupanya,” sahut Johnny sambil menyeruput Kopi Toraja panasnya, berusaha untuk tak kelihatan terlalu mengasihani si “pejuang terluka” ini. “Apakah rencanamu selanjutnya, Rania?”
Rania mengetuk-ngetuk meja, bola matanya sesaat terarah ke langit-langit kafe. “Yah, mungkin saya akan jadi detektif swasta yang khusus menangani kasus-kasus supranatural atau luar biasa. Dan untuk sementara, di sinilah kantor saya.”
“Ide brilyan!” Johnny menjentikkan jari dan tersenyum girang, menanggalkan formalitasnya. “Kebetulan saya masih punya beberapa kasus lain yang sedang ‘digantung’ di Kepolisian. Biar saya jadi klien pertamamu dan mendanai segala pergerakanmu.”
Rania tampak tak terlalu senang dengan perkembangan baru ini. Ia tetap **** senyum sopan dan berkata, “Terima kasih banyak, Pak Johnny. Kita akan membahas ini lebih rinci begitu Izin Operasi Detektif Swasta saya terbit besok – hadiah terakhir dari para petinggi di Kepolisian untuk saya. Tenang saja, saya akan membantu bapak sekuat tenaga dan sepenuh hati.”
“Bagus!” tanggap Johnny. Ia lalu menghabiskan kopinya dan bangkit berdiri. “Ini kartu nama saya. Silakan hubungi saya langsung, entah saya sedang di Bali atau Jakarta. Tugas pertamamu, tolong lacak keberadaan organisasi rahasia yang disebut Adilaga.”
“Adilaga?” Rania mendelik. Jelas ia belum pernah mendengar nama itu sebelumnya.
“Ya. Sampai besok.” Saat Johnny hendak berbalik, matanya menangkap kilauan sebentuk cincin di jari manis Rania Giselda. Rupanya itu pantulan cahaya dari batu mirah sebesar biji jeruk berbentuk mata yang tersemat di cincin itu.
I Made Johnny Wardhana lantas berjalan menuju kasir. Tanpa menoleh ke arah Rania, ia berkomentar, “Cincinmu indah sekali.”
\==oOo==
Pertarungan antara Cakra dan Rangda ternyata sempat membuat aktivitas Gunung Anak Krakatau meningkat. Tak hanya itu, dua minggu setelah kejadian itu, terjadi satu letusan kecil yang memuntahkan benda-benda ke udara.
Saat itu sedang ada hujan badai. Selarik petir menyambar amat kuat dan dahsyat, mengenai salah satu benda yang dimuntahkan letusan itu dan mementalkannya hingga jatuh ke lereng gunung.
Ternyata benda itu adalah sebilah keris. Keris Mpu Gandring wujud baru itu jatuh dan tepat menghunjam dan menancap di atas sebuah batu gunung.
Ah, akhirnya pranaku lengkap sudah. Kini, aku tinggal menunggu datangnya pewaris baruku.
Rupanya, keris sakti yang “berjiwa” itu tak perlu menunggu lama. Dua hari setelah letusan, tampak seorang pria berjalan mendaki Gunung Anak Krakatau. Seringkali, pria yang nampak masih muda, sangat tampan dan bergaya rambut berantakan itu memotret dengan kamera canggihnya. Sering kali pula ia bicara tak jelas lewat alat perekam suara.
Aha, calon yang ideal. Kemarilah, anak muda. Lihat dan raihlah takdirmu.
Beberapa saat kemudian pemuda itu menoleh, matanya terbelalak melihat keris yang ujungnya tertancap di batu. Dahinya berkerut sejenak, lalu kaki-kakinya mulai melangkah mendekat.
Bagus! Teruskan, anak muda. Biar aku, Mpu Gandring memberimu kekuatan dewata. Bersama, kita akan merajalela di dunia, membalaskan dendam abadiku ini sebagai Pendekar Halilintar Merah.
CAKRA.
Cakra: Nama lain untuk tenaga dalam dan prana. Inilah kekuatan unsur alam dan supranatural yang diserap, diolah dan dipadukan dengan daya hidup yang terdapat dalam raga tiap manusia.
Jiwa Mpu Gandring yang bersemayam dalam keris mahakaryanya sendiri menyebut dirinya Cakra sebagai nama samaran. Dan nama itulah yang digunakan pula untuk samaran para pewarisnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments