TARUNA 1

Apakah arti seorang pahlawan?

Kata-kata ini terus terngiang di benak Julia Pranata Lin. Ia gadis cantik berusia delapan belas tahun, rambut hitam panjangnya yang berkuncir ganda melambai diterpa angin pantai. Ia menatap cakrawala di kejauhan samudera, ditingkahi pendar mentari menyapa dari timur yang hangat membelai kulit kuning langsatnya.

Pantai Karang Hawu, Pelabuhan Ratu dekat Sukabumi, pesisir selatan Pulau Jawa. Inilah tempat Julia merenungkan segalanya.

Apakah pahlawan bagai fajar yang menyaput kelamnya malam? Memberi harapan baru di hari yang baru?

Julia menatap bros bermotif kelopak bunga di tangannya, lalu menggenggamnya erat-erat seraya membatin. Jika demikian, pantaskah aku menjadi “dia”?

Dahi Julia berkerut. Tangannya terayun ke belakang, gelagat akan melemparkan bros jauh-jauh ke hamparan laut luas. Tidak. Karena itu… selamat tinggal.

Tiba-tiba suara seorang pria menghentikan geraknya. “Oi, Julia!”

“Gangguan” yang tepat waktu.

Yang dipanggil malah berbalik ke arah lain, dengan cekatan menyematkan bros pada kaus dalamnya. Bros itu jadi terkesan satu-satunya hiasan “antik” dalam perpaduan dengan kaus bermotif daun hijau dan celana jins ketat, mencirikan pribadi modern yang cukup feminin.

Barulah Julia berbalik ke lawan bicaranya yang sudah cukup dekat, sambil pasang wajah ketus. “Kau terlambat, Brian. Lihat, matahari sudah tinggi. Kita harus cepat menemui Pak Bejo, si nelayan merangkap tukang perahu yang paling kenal perairan ini, kalau tidak pasti akan repot nantinya!”

Pemuda berusia dua puluh tahun bernama lengkap Brian Suryawinata ini berambut pendek, tegak dan pirang, bertubuh ramping namun berotot bagai atlit. Ayahnya pribumi, ibunya berdarah Norwegia. Brian langsung senyum tebar pesona. “Tenang saja, Lia. Nanti aku sewa speedboat, deh! Lagipula, si Gilang belum muncul, ‘kan?”

Julia menoleh kiri-kanan. Benar juga kata Brian. Terpaksa ia menghela napas. “Dasar Gilang, dia memang selalu terlambat! Kita sudah jauh-jauh ke Pantai Karang Hawu untuk mencari Leony, pacar Gilang yang hilang saat berwisata, tapi dia malah buat kita terlambat terus! Sebel!”

“Nah, mumpung ia tak datang, bagaimana kalau hari ini kita libur, say? Berduaan saja santai di pantai…” Brian mengambil kesempatan dengan mencoba merangkul Julia.

Namun, sebelum niat itu kesampaian, sebuah seruan terdengar. “Ooh, jadi kalian memang tak berniat menolong teman, ya? Maunya hanya liburan?”

Brian gelagapan dan menjauh dari Julia. “Eh, Gil… aku bercanda saja, kok.”

Julia berbalik ke belakang. Matanya mengenali seorang pemuda yang berlari-lari kecil di kejauhan. Berambut hitam, panjang sebahu, perawakan pria muda bernama lengkap Gilang Kandaka Putra Perdana ini lebih langsing daripada Brian. Ekspresi wajahnya tampak lesu, seakan sudah berhari-hari begadang. Mahasiswa berusia sembilan belas tahun ini selalu mengenakan topi, dan selalu tersinggung bilamana seseorang menyuruhnya melepas topi itu.

“Yah, aku tahu. Lagipula ini salahku,” ujar Gilang sambil merapatkan kedua telapak tangan di depan wajah. “Aku tak bisa tidur lagi kemarin malam.”

“Ciee, memikirkan Leony lagi?” celetuk Julia.

Gilang tak menjawab, wajahnya yang semula pucat memerah. Itu saja cukup membuat kedua sahabatnya senyum-senyum, tak jadi memarahinya.

Meskipun Julia sekampus dengan Gilang dan beda kampus dengan Brian, tiga sekawan ini sangat sering bersama-sama. Yang menyatukan mereka tak lain adalah identitas rahasia Julia dan kegemaran menyelidiki dan memecahkan misteri. Demi sahabat, sudah berkali-kali mereka bahu-membahu, saling membantu satu sama lain. Kali ini, giliran Gilang yang perlu mereka bantu.

Brian yang menjuluki dirinya “The Brain” kembali mengolah informasi. “Kita sudah tiga hari di sini, jalan kaki menyusuri pantai. Tapi Leony tetap tak ditemukan.”

Julia merinding sendiri. “Brr, jangan-jangan legenda itu benar. Saat Leony berselancar atau berenang di Pelabuhan Ratu, dia diculik Nyi Roro Kidul.”

Tersinggung, Gilang membentak, “Bicara apa kau? Memang benar, pantai ini terkenal dengan ombak besarnya. Tapi mustahil ada Nyi Roro Kidul, Ratu Laut Selatan di sana!”

“Wah, kau salah paham, Gilang,” papar Brian. “Kau ingat ‘kan? Regu penyelamat telah dua hari menyisiri pantai, mencari Leony tanpa hasil. Bisa jadi Leony tenggelam, itu kemungkinan terburuknya. Lagipula, sejak Julia punya ‘dia’, kita kerap berhadapan dnegan kekuatan supranatural, bukan?”

Tanpa sadar, Gilang mengangguk walau wajahnya tampak cemberut.

Brian melanjutkan, “Jadi, harap saja Nyi Roro Kidul menyelamatkan Leony, seperti ‘dia’ pernah menyelamatkan Julia.

“Itulah sebabnya kami membantumu di sini, sebagai sesama anggota klub detektif supranatural, dan juga sahabat,” tegas Julia.

Gilang tak menjawab. Bagaimanapun juga, ia kini sedang dibantu sahabat-sahabatnya. Jadi sepantasnyalah ia bekerjasama dan menghargai pendapat mereka.

Brian melangkah. “Nah, tunggu apa lagi? Ayo kita cari Leony! Semoga hari ini kita lebih beruntung dan menemukannya dalam keadaan selamat!”

Ditimpali sorakan Julia, “Yeaah!”

Saat tiga sekawan itu melangkah, tiba-tiba Julia terkesiap. “Aduh, mana tasku?”

Brian menepuk dahi. “Nih, sudah kubawakan. Untung masih ada.”

Dan Gilang bergumam, “Biasa, deh. Kita tahu persis ‘penyakit’ si Lia ini. Harap saja itu tak membawa kita dalam kesulitan…”

 

 

\==oOo==

 

 

Kira-kira satu jam kemudian, perahu bermotor yang ditumpangi tiga sekawan melaju, membelah arus ombak Samudera Hindia.

Angin laut kencang menerpa, membuat kunciran rambut Julia berkibar bagai bendera. Ditingkahi deru ombak dan mesin perahu, gadis itu berseru, “Apa kau yakin, Brian? Bukankah kita sudah menyusuri garis pantai antara Pelabuhan Ratu dan Karang Hawu?”

“Ya, tapi kita berjalan kaki. Dengan perahu, kita akan bisa melihat sisi lain pantai yang terlewatkan,” jawab Brian yang duduk di dekat tukang perahu.

“Oke, siap bos!” Julia memberi hormat dengan satu tangan di dahi.

Di sisi lain, Gilang memilih diam seribu bahasa. Tatapan matanya menyapu setiap jengkal pesisir pantai. Yang terhampar di sana hanya pohon, pohon dan pohon, tak satupun tanda keberadaan Leony di sana.

Tiba-tiba, Gilang menunjuk ke satu arah dan berteriak, “Hentikan perahunya, pak!”

Laju perahu motor berhenti.

“Hey, Gilang! Apa-apaan ini?” sergah Julia.

“Teman-teman, lihat ke sana!”

Julia mengalihkan perhatian ke arah yang ditunjuk Gilang. Tampak sesosok manusia di kejauhan. Itu seorang wanita yang sedang berdiri dengan tubuh condong ke satu sisi, terhuyung-huyung seperti orang gila atau mabuk.

“Mungkin kita sebaiknya mendekat agar bisa melihat lebih jelas,” tutur Brian. “Tolong ya, Pak Bejo.”

Pak Bejo, juru mudi perahu motor membelokkan arah perahu dan mengarahkannya sedekat mungkin ke pantai.

Saat perahu berhenti lagi, sosok wanita itu tampak sangat jelas kini. Julia dapat mengenali wajah itu, apalagi Gilang.

Wajah Gilang memucat seketika, seakan sedang melihat hantu. “L… Leony…”

“Astaga…” Brian ikut terpaku. Pakaian Leony yang compang-camping, rambutnya yang tergerai acak-acakan sudah cukup membuatnya berseru, “Pak Bejo, kita harus mendekat lagi!”

Namun si tukang perahu menggeleng. “Tak bisa, nak. Banyak batu karangnya!”

Julia mengamati permukaan air. Sesaat kemudian, tanpa aba-aba, ia terjun dari perahu.

Brian berteriak spontan, “Lia, tunggu! Terlalu bahaya!”

Tanpa mempedulikan reaksi teman-temannya, Julia berenang ke arah pantai. Sesekali, kulit dan pakaiannya tergores karang tajam. Namun, gadis itu hanya meringis dan terus meluncur maju. Di tempat dangkal, barulah kakinya menjejak air.

Melihat sasaran masih terhuyung-huyung di tempat, Julia makin mendekat. “Leony! Ony! Ini aku, Julia! Teman Gilang, temanmu pula!”

Leony menegadahkan kepala, menoleh ke arah Julia, sahabat pacarnya. Walau hanya sedikit kali bertemu, gelagat Leony yang mengenalinya membuat senyum cerah Julia merekah. “Syukurlah kau mengenali aku. Ayo kita pulang...”

Tiba-tiba Leony menerjang, meraung bagai hewan liar.

Terkejut, Julia bereaksi dengan menghindar ke satu sisi. Gerakannya melambat akibat air yang menggenangi celana jins dan sepatunya hingga kakinya serasa berat. Walau demikian, lawan yang membabi-buta memberinya kesempatan emas.

Berbekal ilmu beladiri Wushu, Julia berhasil menyarangkan tendangan tinggi ke belakang kepala Leony. Anehnya, gadis yang rupanya kesurupan itu tetap bergeming bagai tiang baja.

Sebelum Julia sempat berbuat apa-apa, serudukan kepala Leony mementalkannya. Gadis berkuncir dua itu jatuh, pinggangnya menabrak karang. Untunglah itu bukan karang tajam, jadi ia hanya mengerang kesakitan. Julia tahu kadang orang kesurupan lebih kuat daripada asalnya, namun tak pernah yang sekuat Leony ini.

Perlu beberapa menit sebelum Julia bisa berdiri tegak kembali. Saat itu, ia melihat Leony sedang bertarung melawan Brian. Sebaliknya, tampak Gilang hanya berdiri saja tak jauh dari sana. Pemuda bertopi itu sedikit-sedikit maju, lalu mundur lagi.

Karena maklum dan terbiasa dengan sikap Gilang ini, Julia memutuskan mengamati Brian. Ia tadi salah mengukur kekuatan lawan. Tak disangka, gadis kesurupan ini sangat kuat, bahkan melebihi Brian, yang terkuat di antara tiga sekawan.

Betapa tidak, rentetan pukulan dan tendangan ala Muay Thai andalan Brian ditepis lawan dengan mudahnya. Bahkan, satu cakaran Leony berhasil mengoyak kemeja kotak-kotak Brian.

Satu pukulan jab kanan Brian telak menghantam pipi Leony. Gadis itu terputar ke satu sisi, lalu dengan cepat balas meninju dada lawan. Giliran si pria pirang terdorong tiga langkah ke belakang, darah terciprat dari mulutnya.

“Brian!” Melihat itu, Julia berseru ke arah Gilang, “Ayo kita bantu! Lawan terlalu kuat!”

“P-percuma!” kilah Gilang, suaranya bergetar. “Lebih baik lari dan minta bantuan.”

“Bicara apa kau?! Itu Leony, Lang! Pacarmu! Kalau kita tinggal dia sekarang, kita akan kehilangan dia selamanya!”

“Tapi…”

Si Gilang benar-benar payah. Berdecak kesal, Julia akhirnya berkata, “Baiklah, kalian bertahanlah di sini, sementara aku memanggil ‘dia’.” Melihat itu, Gilang berdecak geram dan memberanikan diri maju selangkah demi selangkah.

Di sisi lain, dengan sigap Julia berlari ke rerimbunan pepohonan pantai. Tersamarkan dari mata siapapun, gadis itu menyentuh bunga kecil di dadanya dengan kedua tangan. Seketika, pendaran cahaya merah jambu menyelimuti seluruh tubuhnya.

Sesaat kemudian cahaya itu memudar, digantikan sosok wanita berkostum unik. Dari perawakan dan bentuk tubuh yang kecil-mungil, juga rambut ekor kudanya, sebagian orang pasti mengira itu Julia. Namun, ditilik dari Topeng Dahlia Citra yang menutupi seluruh wajah kecuali mulutnya, Julia menjadi sosok yang benar-benar beda.

Lengkap dengan Zirah Puspa Kirana berwarna paduan merah jambu dan hijau daun, jelaslah ia adalah Dahlia, pendekar sakti mandraguna penguasa flora dan fauna.

Inilah identitas rahasia Julia, pewaris kekuatan gaib sosok legendaris Roro Jonggrang dari legenda Candi Sewu. Konon, Ratu Negeri Baka yang cantik jelita, Roro Jonggrang pernah menggagalkan usaha Bandung Bondowoso membangun seribu candi semalam suntuk dengan bantuan jin untuk mempersuntingnya.

Dengan nyanyian gaibnya, Jonggrang membuat ayam-ayam di seluruh negeri berkokok menandai pagi sebelum candi keseribu rampung. Mengetahui kekalahannya disebabkan oleh tipuan, Jin Himawari yang membantu Bandung Bondowoso murka. Kemurkaan itu dimanfaatkan pihak ketiga yang membunuh Roro Jonggrang. Raga Jonggrang terkurung dalam es, sementara sukmanya terpenjara dalam bros bunga dahlia kesukaan gadis itu. Sang ratu terkubur di kedalaman candi keseribu yang akhirnya rampung.

Berabad-abad kemudian, Julia menemukan bros itu dan terpilih menjadi Dahlia.

Di tangan Dahlia tergenggam sebuah biola sakti dan alat geseknya, senjata andalan untuk mempengaruhi dan meminjam kekuatan alam. Konon biola itu adalah wujud baru Kecapi Jangkar Sukma, alat musik sakti milik Roro Jonggrang.

Seketika, Dahlia terjun ke arena pertarungan di pantai berpasir.

Sementara itu, Brian dan Leony masih jual-beli serangan. Brian makin terdesak, luka-lukanya makin banyak dan ia sering terpukul mundur. Melihat situasi ini, Dahlia berteriak, “Brian, Gilang! Mundur ke belakangku dan tutup telinga kalian!”

Kedua pria muda mundur teratur sambil menutup telinga. Wajar, Leony berbalik dan mengejar lawan dengan membabi-buta.

Dahlia menghadang lawan mulai menggesek biolanya. Serangkai irama indah dan aneh mengalun, memenuhi udara. Rupaya, lagu gaib Kenanga Kendali Kenangan itu berhasil membuat gadis kesurupan itu berhenti melangkah. Ekspresi wajah Leony yang beringas berubah jadi tatapan kosong. Ia hanya berdiri saja di tempat.

Melihat kesempatan ini, Gilang melangkah maju untuk “menjinakkan” kekasihnya. Namun, tangan Brian menghalanginya. “Tunggu. Lihat baik-baik,” ujar Brian.

Benar saja, “roh jahat” dalam raga Leony memberontak, menangkal Kenanga Kendali Kenangan Dahlia. Tubuh Leony kejang-kejang sesaat, lalu gadis itu menerjang maju lagi. Kali ini sasarannya adalah Brian.

Tiba-tiba, satu tendangan tinggi Gilang menumbuk wajah Leony dengan amat keras, hingga gadis itu terpelanting ke satu sisi. Ternyata, begitu keberaniannya muncul, Gilang jadi petarung terbaik di antara tiga sekawan itu, dengan teknik Pencak Silat andalannya.

Walau demikian, Gilang harus terperangah lagi. Rupanya Leony masih berdiri setelah menerima tendangan dahsyatnya. Tak pelak, Leony yang mereka hadapi ini jelas bukan manusia biasa.

Sebelum Leony pulih sepenuhnya, Dahlia kembali menyeruak maju sambil berkata, “Giliranku lagi. Memuja Mawar, Mengentak Hati.”

Sebagai pendekar gaib, Dahlia tentu masih punya “simpanan” lain. Irama gesekan biolanya berubah seketika, jauh lebih aneh seakan mengiris telinga. Tak ubahnya suara gitar listrik rock yang melengking, membahana.

Kali ini, bahkan kawan sendiri yang menutup telinga rapat-rapatpun terkena imbas berupa rasa sakit. Bagi lawan yang sulit mengendalikan “raga jajahan”, musik ini bagai petir yang merasuki sekujur tubuhnya.

Leony meraung-raung liar, berusaha meredam siksaan gelombang suara. Beberapa saat kemudian, suara raungannya melemah, begitu pula gerakannya.

“Kesempatan!” Tepat saat musik berhenti, satu pukulan dengan sisi telapak tangan Gilang menghantam tengkuk Leony. Wanita kesurupan itu jatuh ke pasir dan tak bergerak lagi. Wajah Gilang tampak tanpa ekspresi, bingung menampilkan rasa gembira, takut dan kuatir yang berpusar dalam hatinya.

Wajah Dahlia tertuju lurus pada pemuda bertopi itu, yang kini menyangga dan memeluk tubuh kekasihnya. Bila diperhatikan lebih seksama, Gilang adalah yang paling sedikit dan paling ringan terluka di antara keempat petarung di tempat itu.

Namun, baik Dahlia dan Brian tak mau mempersoalkannya. Selain karena mereka cukup paham tabiat Gilang, keselamatan Leony adalah yang utama saat ini.

Memastikan Leony benar-benar pingsan, Dahlia menengok ke arah laut. Namun, Pak Bejo si tukang perahu terlanjur melarikan diri.

Berubah wujud kembali menjadi Julia, gadis itu berdecak kesal. Seharusnya mereka menyewa speedboat dan membiarkan Brian mengemudikannya tadi. Sebagai orang awam, wanita kesurupan super kuat dan wanita sakti berkostum aneh pasti sangat mengerikan bagi si tukang perahu itu.

“Yah, mau bilang apa lagi,” komentar Brian. “Terpaksa kita jalan kaki sampai Pelabuhan Ratu.”

Gilang menambahkan, “Harap saja ada rumah penduduk atau klinik di sini. Tubuh Leony panas sekali.” Ia menoleh pada sang pacar yang digendong di punggungnya. Yah, setidaknya Gilang masih cukup tahu diri, tak memaksa teman-temannya yang terluka mengangkut “beban” ini.

Saat ketiganya mulai berjalan masuk hutan pantai, Julia baru mengenali gelang berwarna emas di kedua pergelangan tangan Leony.

Aneh, aku tak melihat gelang itu saat bertarung dengan Leony tadi, batin Julia dengan dahi berkerut.

 

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!