“Prabu Baka! Selama aku masih bernyawa, jangan harap kau bisa menginjakkan kaki di Pengging!” Itulah seruan heroik seorang pemuda berzirah biru-hijau sambil mengacungkan pedangnya yang amat panjang, di bawah rintik hujan deras siang hari.
Di hadapan pemuda itu tampak dua orang pria berperawakan jauh lebih tinggi-besar daripada manusia rata-rata. Walau belum termasuk ras raksasa murni, tubuh yang amat berotot dan wajah sangar dan ganas mereka membuat semua manusia, baik prajurit Kerajaan Pengging dan Kerajaan Baka menyingkir gentar.
Namun, tidak yang satu ini.
“Oh, rupanya kau, Raden Bandung Bondowoso, pangeran Kerajaan Pengging yang ‘katanya’ sakti mandraguna. Asal kau tahu, Pengging adalah milikku, dan aku bisa mengambilnya kapan saja dari Prabu Damar Maya yang sudah ringkih dan pemuda pesolek sepertimu!” ancam Prabu Baka sambil mengayun-ayunkan gada raksasa sepanjang dua-pertiga tinggi tubuhnya.
Wajah tampan Bandung Bondowoso malah menyunggingkan senyum sinis. “Coba saja kalau bisa. Biar kuacak-acak wajah burukmu dengan Pedang Es Himawari ini!” Pedang di tangannya berpendar putih-kebiruan, menebar hawa dingin membekukan ke seantero padang rumput yang menjadi medan laga ini.
Energi es memang amat langka, bahkan sangat asing di Nusantara yang beriklim tropis dekat Garis Khatulistiwa ini. Ketidaktahuan akan efek “ilmu aneh” ini dan cara menangkalnya mendorong si raksasa kedua buruk rupa, perdana menteri Baka bernama Patih Gupala berkata pada rajanya, “Ampun, Baginda Prabu. Biar hamba saja yang menghadapi pangeran tak tahu diri itu. Paduka tak perlu mengotori gada paduka dengan darah kotornya yang menjijikkan.”
“Tidak, Gupala!” sergah Sang Prabu. “Hanya aku yang boleh mengambil kepala si anjing penjaga negeri itu. Minggir kau, dan saksikan kedigdayaan Baka yang tak terkalahkan!”
Gupala mundur sambil berkata, “Daulat, Paduka.” Namun wajahnya tampak amat cemas.
“Sambut nasibmu, lumat di bawah gadaku, Bandung Bondowoso! Heaah!” Baka maju sambil Mengentak-hentakkan kaki, menggetarkan tanah bagai rentetan gempa.
Anehnya, Bandung tak bergerak, seolah menunggu untuk menyambut serangan tanpa curiga. Prabu Baka mengayunkan gadanya ke arah lawan, namun senjata raksasa itu hanya menerpa curahan hujan. Rupanya Bandung hanya meliuk ke samping dengan kelincahan luar biasa, lalu menyarangkan satu sabetan pedang di punggung lawan.
“Cih, Prana Batu Karang Sanggabuana!” rutuk Bandung. Seperti dugaannya, Baka yang bertelanjang dada sebenarnya terlindung sepenuhnya oleh zirah prana batu tak kasat mata. Tak hanya tak terluka, Baka bahkan balas menyarangkan sikunya di wajah Bandung. Pemuda itu terpental dan jatuh terkapar di tanah.
“Nah, kau takkan setampan dewata saat menunjukkan wajahmu di neraka! Sedangkan aku akan menunjukkan kepalamu pada ayahandamu yang bernyali semut itu, biar dia mati terkejut!” Prabu Baka mendekati lawannya, lalu mengayunkan gadanya tinggi-tinggi untuk meremukkan pangeran yang terkapar tak berdaya itu ke dalam bumi.
“Salah! Kepalamulah yang akan kubawa ke Baka!” Di saat yang amat tepat, tiba-tiba Bandung bangkit, bergerak bagai kelebatan bayangan yang amat cepat sambil menusuk-nusukkan pedangnya.
Saat Baka baru menyadarinya, tampak tubuhnya bagai ditusuki jarum-jarum es raksasa. “M-mengapa bisa begini? Bukankah… zirah pranaku tiada tandingan?” Ia berseru tak percaya, suaranya bergetar.
“Apa kau lupa, pertempuran kita ini berlangsung di bawah guyuran hujan deras?” ujar Bandung sambil kembali menyiagakan pedangnya. “Pada serangan pertama tadi, diam-diam aku mengalirkan prana es lewat air hujan yang mengenai zirahmu. Karena berupa prana, zirah itu ikut membeku dan rapuh, rentan ditembus energi dari unsur yang sama. Ditambah kesaktian Pedang Himawari, jalanmu ke alam baka sudah pasti!”
“Oh, begitu rupanya…” Baka memaksakan senyum lemah. “Aku, Prabu Baka kalah di tempat ini…. tapi aku rela. Hanya satu pesanku, Bandung Bondowoso, Pangeran Pengging. Jagalah negeri dan rakyat Baka baik-baik, apalagi putriku tercinta… Roro Jonggrang.” Berangkatlah Prabu Baka ke alam baka.
Bandung Bondowoso yang telah mengangkat pedangnya untuk memenggal Prabu Baka mengurungkan niatnya melihat sikap ksatria si raksasa itu.
Melihat pemimpin mereka gugur, para prajurit Baka langsung kocar-kacir. Bahkan seruan Patih Gupala tak digubris oleh mereka. Geram, si manusia besar kedua cepat-cepat memanggul jenazah kakaknya dan ikut lari. Matanya menatap Bandung penuh kebencian, seiring ucapannya, “Kau akan membayar ganti rugi ini, Bandung Bondowoso! Kupastikan itu!”
Kelelahan setelah menguras prana lewat jurus pamungkas, Beku Mutlak, Sukma Sirna, Bandung hanya menatap kepergian Gupala. Namun kata-kata ancaman si manusia besar itu membuatnya tersadar, ini tanda bahaya.
“Kejar Patih Gupala! Kejar terus ke negerinya! Jangan ampuni siapapun yang melindungi Gupala!” seru Bandung sekuat suara. Pasukan Pengging melesat, mematuhi perintah sang pangeran. Bandung ingin bergerak menyusul, namun ia tumbang. Rupanya ia terluka cukup parah akibat serangan Prabu Baka tadi, dan kini ia terpaksa harus duduk, menumpang kereta perang.
Patih Gupala sungguh berbahaya. Saat memikirkannya, Bandung malah nyaris melupakan janjinya pada Prabu Baka, apalagi yang menyangkut Roro Jonggrang. Firasatnya tak henti terngiang, bahwa untuk menghindari bencana lagi kelak, Kerajaan Baka harus sepenuhnya berada dalam kekuasaan Pengging.
Untuk itu semua, Bandung Bondowoso akan mengalami ujian dan upaya yang amat luar biasa.
\==oOo==
Walau Baka terkenal sebagai negeri yang sengsara, Istana Keraton Baka nampak lebih megah, lebih besar dari istana di negeri tetangganya, Pengging yang terbilang lebih sederhana. Betapa tidak, Prabu Damar Maya amat memperhatikan rakyatnya sehingga Kerajaan Pengging makmur sentosa. Tak apalah istana sederhana, asal rakyat sejahtera.
Pemikiran Bandung Bondowoso yang sejalan dengan ayahnya ini membuatnya melangkah dalam kompleks keraton yang amat luas ini tanpa terburu-buru. Ia memang baru pertama kali berkunjung di negara tetangga yang kurang bersahabat ini. Tak heran kemewahan istana berdinding batu penuh pahatan relief yang indah ini membuatnya terkagum-kagum.
Namun hanya sesuatu, atau tepatnya seseorang saja di sini yang membuat Bandung terpana. Di antara para dayang, hulubalang dan pejabat yang berkumpul di tengah balairung singgasana Baka, ada seorang gadis berambut panjang sepinggul, hitam dan berombak berdiri tegak, mengenakan gaun terbaiknya. Ia begitu elok, bahkan bidadari tercantik di kahyanganpun bakal tersipu malu bila disandingkan dengannya. Segalanya begitu sempurna, kecuali ekspresi wajah gadis itu yang tanpa senyuman dan mata coklatnya yang menatap tajam pada Bandung, memancarkan kebencian yang mendalam.
Sang pangeran tampan menyadari hal itu, namun ia tetap menjaga sikapnya sesopan mungkin. “Maafkan kelancangan saya, tapi apakah anda Roro Jonggrang, putri Kerajaan Baka?”
Seketika, pendar kebencian di mata Roro Jonggrang berganti sikap sesuai tata-krama. “Ya, saya putri Prabu Baka, dan kini sayalah ratu pemilik negeri ini.”
“Terimalah hormat saya, Paduka Ratu.” Bandung membungkuk namun tak sampai menyembah. “Kebetulan sekali. Maksud kedatangan saya di sini adalah untuk berunding tentang hal ini dengan Paduka…” Sambil terus berbasa-basi, Bandung dan Jonggrang menempati tempat duduk masing-masing, yaitu di alas duduk tamu negara dan singgasana.
Saat Bandung tiba pada penjelasannya tentang pertempuran yang baru lalu, Roro Jonggrang diam seribu bahasa. Suasana memanas seketika. Roro menatap tajam Bandung, siap memberi perintah balas dendam pada roang yang telah membunuh ayah Jonggrang dan masuk untuk menjajah negerinya ini.
“Sebenarnya, maksud kedatangan saya di sini adalah mencari dan menangkap seorang penjahat perang bernama Patih Gupala. Apakah ia berada di keraton ini, Paduka?” tanya Bandung.
Jawaban Roro Jonggrang cepat dan lugas, “Tidak, beliau menghilang setelah perang, kami tak mengetahui keberadaannya di manapun sampai saat ini.”
“Ah, begitu rupanya. Bila demikian, saya akan tinggal di Keraton Baka ini sampai semua penjahat perang mendapat ganjaran yang setimpal.”
Jonggrang terkejut bukan kepalang. Kata-kata Bandung itu bagai palu godam menghantam kepalanya. Bila ternyata Gupala lari ke negeri lain, berarti Bandung akan bercokol selamanya di tanah air Jonggrang ini. Ingin rasanya Jonggrang melawan, tapi apa daya? Walau berbekal bakat dan kesaktian unik, ia sulit mengalahkan Bandung yang telah menamatkan Prabu Baka. Apalagi ditambah para prajurit Pengging di Baka yang jelas jauh lebih banyak jumlahnya dari prajurit tuan rumah.
Namun, tohokan terparah di hati Jonggrang adalah saat Bandung menatapnya lembut dan berkata, “Sesaat sebelum berpulang, Sang Prabu Baka berkesan agar saya menjaga seluruh Negeri Baka, termasuk Paduka Ratu. Kini, setelah menyaksikan sendiri alasan beliau menyayangi anda melebihi segalanya, perkenankanlah saya mencintai anda dengan cara yang sama. Jadilah permaisuri saya, Roro Jonggrang nan jelita. Dengan demikian, persatuan dua kerajaan, Pengging dan Baka akan makin kokoh demi kesejahteraan seluruh rakyat.”
Air wajah Jonggrang sempat berubah mendengar kata-kata kurang ajar orang tak tahu diri ini. Namun, bila ia mengambil keputusan menolak mentah-mentah lamaran Bandung itu, Pengging akan menyerang Baka dan Jonggrang bakal kehilangan nyawanya. Menyadari hal itu, akal sehat si wanita cantik mengambil alih kendali diri dari emosinya.
“Yang Mulia Raden Bandung Bondowoso, berilah saya waktu untuk berpikir, dan anda akan mendapat jawaban pasti besok.” Tanpa menunggu tanggapan sang pangeran, Jonggrang langsung bangkut dan berjalan meninggalkan balairung. Saat melewati Bandung Bondowoso yang masih duduk bersila di alasnya, tanpa sengaja Jonggrang mengerling ke arah wajah tampan tiada cela pemuda itu. Ia tercekat, seiring satu entakan debar jantungnya.
\==oOo==
Saat Bandung Bondowoso kembali menghadap sang putri keesokan harinya, Roro Jonggrang menyampaikan jawabannya, “Yang Mulia Pangeran Pengging, saya telah mempertimbangkan masak-masak tawaran anda semalaman. Niat baik anda saya hargai, dan terus terang saya mengagumi pemikiran anda dan Prabu Damar Maya yang niscaya akan membuat Baka dan Pengging makmur bersama.”
Bandung mengangguk saja menanggapi basa-basi ini. Dengan sabar ia menanti inti jawabannya.
“Akan tetapi, sudah jadi tradisi di Baka bahwa calon pendamping dan pelindung ratu atau putri raja harus diuji dahulu ketulusan hati dan kelayakannya. Bersediakah anda saya uji?”
Bandung mencium ada udang di balik batu, namun ia tetap berkata, “Silakan, Baginda Ratu.” Demi cintanya pada Jonggrang, permintaan apapun akan ia sanggupi.
“Baiklah, ada dua ujian yang harus anda lewati, dan hasilnya harus sempurna,” papar Roro Jonggrang. “Mengenai ujian pertama, anda tentu sadar bahwa Negeri Baka terletak di pegunungan. Jadi, rakyat amat bergantung pada mata air untuk hidup dan bercocok tanam. Baru-baru ini, bencana tanah longsor telah menutup satu-satunya mata air Baka di Gunung Jalatunda. Akibatnya, air meresap ke dalam lereng gunung dan memenuhi ceruk kawahnya. Nah, tugas anda adalah menggali sumur ke ceruk kawah tersebut agar kelebihan airnya naik dan mengaliri sungai secara teratur. Dengan demikian, rakyat juga terhindar dari bencana banjir dan tanah longsor.”
Diam-diam Bandung Bondowoso mulai mengagumi pemikiran dan wawasan luas ratu baru ini. Namun, penggalian sumur di lereng Gunung Jalatunda yang berbatu-batu cadas sungguh mustahil bagi manusia biasa. Kalaupun seluruh pasukan Pengging dikerahkan, pengerjaan dengan cara kuno akan makan waktu kurang-lebih satu tahun, belum lagi pelbagai hambatan termasuk resiko longsor di musim hujan. Tunggu, apa tugas ini semacam jebakan untuk membinasakan Bandung dan seluruh pasukan Pengging tanpa berperang?
Bandung berpikir keras dengan dahi berkerut sejenak, sebelum akhirnya memberikan jawaban lugas, “Baiklah, biar saya sendiri yang mengerjakan penggalian Sumur Jalatunda.”
Jonggrang terbelalak. Manusia macam apa Bandung Bondowoso ini? Ia mungkin memang amat sakti, tapi mencoba mengatur aliran alam sendirian? Entah kekuatan setan apa yang membantunya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments