RANGDA 1

Saat tak bertugas, Detektif Rania Giselda mengisi waktu dengan bersantai di kafe langganannya di bilangan Blok M, Jakarta Selatan.

Duduk di kursi-meja kesukaannya dekat jendela, Rania tampak mengenakan kemeja putih serta blazer dan celana panjang biru. Penampilan gadis itu jadi terkesan amat anggun, membuat siapapun yang melihatnya bakal mengira ia seorang manajer atau marketer handal. Kecuali bila mereka melihat sekilas sarung pistol yang tergantung di sabuk kemeja, tersembunyi di balik blazer-nya itu. Bahkan Rania tak ragu mengenakan kacamata yang justru mempercerah, memperindah sorot matanya.

Sambil mengotak-atik gadget-nya, Rania pelan-pelan menghirup Iced Hazelnut Latte, minuman kopi kesukaannya. Ia lalu menarik napas lega, serasa mencicipi sepotong surga setelah semalaman menyelidiki kasus bagai berkutat dalam neraka dunia. Sesekali ia melayangkan pandangan sekeliling, menikmati suasana kafe yang bernuansa Eropa bagai di Paris, Perancis.

Kenikmatan ini baru lengkap saat mata Rania Giselda terpaku pada seorang pria tampan nan gagah di ambang pintu masuk. Cara berpakaiannya mirip rania, kecuali ia menggunakan semacam jaket yang lengannya digulung rapi. Ditambah rambut pendek yang poninya dibiarkan menutupi dahi secara alami, pantaslah ia mendapat senyuman gadis secantik Rania.

Seakan terpancing oleh pesona Rania, pria itu menghampiri si detektif wanita. Lantas ia duduk di hadapan Rania seraya menyapa, “Bagaimana Nia, nanti malam jadi gym bareng?”

Rania tetap tersenyum manis, menunjukkan ia sangat akrab dengan pria itu. “Mau sih, Gerry, tapi aku harus ke Lab Forensik lagi nanti sore. Ada temuan menarik terkait kasus ‘kecelakaan aneh’ mobil Wardhana Logistics.”

“Benarkah?” tanggap pria bernama lengkap Gerry Kusnandar ini. “Tak kusangka, hasilnya begini cepat ada.”

“Bukan, ini baru temuan awal saja. Namun aku yakin kita akan mendapatkan petunjuk penting dari sana.”

“Bisa jadi. Hmm, sejak awal aku sudah mencium ada keanehan dan kejanggalan pada kasus ini,” ujar Gerry, raut wajahnya terkesan serius. “Andai Johnny Wardhana, CEO Wardhana Enterprises tak secara pribadi melaporkan kehilangan barang dari mobil itu, kasus ini pasti bakal dianggap murni kecelakaan, bukan perampokan dengan pemberatan.”

Rania ikut pasang wajah masam. “Tapi Ger, ada yang paling janggal. Dari desas-desus yang beredar, Wardhana Enterprises sedang ‘diusik’ oleh SS Corporation, perusahaan baru di Jakarta yang berkembang amat pesat. Apa mungkin persaingan bisnis di antara mereka itu yang memicu kasus yang kita tangani ini?”

Gerry mengangkat bahu. “Entahlah, aku sama sekali tak melihat kaitan antara kasus ini dengan SS Corporation. Sejauh pengamatanku, mobil Wardhana mengalami kecelakaan. Lalu, seseorang mengambil kesempatan dengan menjarah barang angkutannya.”

Saat Rania buka mulut untuk mendebat mitranya, tiba-tiba sinyal di gadget-nya berbunyi. Ia membaca pesan di layar, lalu cepat-cepat bergerak ke arah kasir untuk membayar minumannya.

“Ada panggilan dari pusat?” tanya Gerry, sekalian membawakan barang-barang Rania ke pintu keluar.

“Yap, ada kasus baru.”

“Wah, pasti ini kasus besar gawat-darurat, sampai-sampai kita dipanggil mendadak begini,” ujar Gerry. “Yah, maklumlah. Tim terbaik seperti kita memang tak pernah sepi tugas.”

Rania mendelik. “Jangan jumawa dulu. Kalau kita tugas melulu, kapan gym-nya?”

“Oh iya, ya,” tanggap Gerry sambil tersenyum jenaka dan menggaruk rambut pendeknya.

\==oOo==

Malam itu pula, mobil yang ditumpangi Gerry dan Rania merapat rapi di pinggir jalan. Kedua detektif itu lantas melangkah tanpa buru-buru ke dalam gang sempit.

Penampilan Rania yang mencolok menjadikannya pusat perhatian para penghuni rumah-rumah kumuh yang berjejalan sepanjang gang. Betapa tidak, penampilan orang-orang itu bagai langit dan bumi dibandingkan si gadis anggun. Rata-rata kumal dan lusuh, namun banyak pula yang terkesan seperti berandal.

Salah seorang berandal itu bahkan bersiul kurang ajar ke arah Rania. Namun berandal kedua cepat-cepat membungkam si peleceh, menegurnya setengah berbisik, “Gila lu, Zam! Dia itu polisi, tahu! Jangan sampai mata lu jadi sarang pelurunya! Dasar anak baru lu!”

Di sisi lain, Rania terus berlalu tanpa peduli. Rupanya ia memang sering ke tempat-tempat macam ini dan mendapat perlakuan seperti tadi. Untungnya, ia dan Gerry sampai sekarang tak perlu sampai mengeluarkan pistol. Tak ada alasan untuk membasmi berandalan kecuali bila kedua polisi ini diserang, terdesak atau menggerebek daerah ini dalam rangka tugas.

Maka, Rania terus mengikuti Gerry memasuki sebuah rumah tanpa permisi. Penghuninya, seorang pria kurus-kering dengan semacam bayangan hitam di bawah matanya menghambur ke ruang depan. Namun langkahnya terhenti saat melihat dua orang yang ia kenal itu.

Nada bicara si tuan rumah seperti orang latah atau meracau. “Eh? Oh, Mas Gerry, Mbak Rania, kirain siapa… Mari, silakan duduk!”

“Gak usah basa-basi, Ucup!” hardik Gerry, mendorong tubuh si kurus hingga terpojok di tembok. “Hngh, kamu sedang ‘pake’ lagi, ya?!”

“N… nggak! Sumpah, aku nggak ‘pake’ gituan lagi kok! Aku sudah tobat, tobat!” Ucup mengiba-iba.

“Lantas, kenapa kamu masih tetap seperti orang fly gitu? Sudahlah, simpan aja ocehanmu sampai di ‘kamar’ nanti!” Yang dimaksud Gerry adalah kamar tahanan kantor polisi.

“Aduh, jangan! Jangan bos! Sumpah, aku nggak bohong!” Si pecandu narkoba gelagapan. “Gimana kalau aku bayar ‘damai’ pakai informasi saja… gratis!”

“Hmmph, memangnya kau pikir aku seperti sedang butuh informasi?”

“B-bukankah selalu begitu? Bukankah ini alasan mas masuk gang penuh preman ini dan memasuki rumahku tanpa permisi?”

“Hih, rupanya otakmu memang lagi ‘lurus’ ya?” Gerry mundur, melepas cekalannya. “Baik, kita bicara.”

Ketiga orang itu melangkah ke ruangan dalam yang tertutup, jauh dari orang-orang yang suka mengintip dan mencuri dengar.

Giliran Rania bicara, “Begini, ada seorang karyawati diculik, namanya Devina Mananta. Menurut hasil penyelidikan di kamar kosnya, pelakunya berkelompok dan sepertinya cukup profesional.”

Gerry melanjutkan, “Mereka tak meninggalkan sidik jari atau petunjuk yang berarti. Ada tanda-tanda perlawanan dari Devina, namun itupun tak meninggalkan jejak tentang pelakunya. Nah bung informan, apa baru-baru ini kamu mendengar atau melihat ada ‘pergerakan’ yang mungkin ada kaitannya dengan kasus seperti ini?”

Ucup cepat-cepat menggeleng. “A-aku tak tahu.”

“Lho, katamu tadi kau punya informasi untuk kami, kok sekarang malah bilang tak tahu?” sergah Rania.

“Apa kau sedang main-main dengan kami, hah?” Gerry mengepalkan kedua tangannya. “Kami jadi ingin ‘main-main’ juga dengan kamu, di kantor polisi tentunya…”

Keringat dingin Ucup bercucuran. “Euh, baik, baik! Baru-baru ini aku dengar…”

\==oOo==

Merak, Banten.

Seperti biasa, satu-satunya kota pelabuhan kapal feri dari Pulau Jawa melintasi Selat Sunda ke Bakauheni di Lampung, Pulau Sumatera ini sehari-harinya padat oleh antrian kendaraan bermotor, besar dan kecil.

Namun Gerry dan rania bukan berniat menyeberang. Mobil mereka melaju perlahan-lahan melintasi kawasan pergudangan yang nampak sudah kumuh, tak terawat. Mobil berhenti, dan kedua polisi itu melanjutkan dengan berjalan kaki.

“Kuharap Ucup tak menyesatkan kita ke tempat seperti ini,” ujar Rania, matanya menatap sekeliling dengan was-was.

“Lebih baik tersesat daripada terjebak,” Gerry menanggapinya. “Tenang saja, orang cenderung berkata jujur di bawah tekanan rasa takut. Lagipula tempat ini memang cocok menjadi sarang penjahat. Kalau kita terlambat, Devina dan para wanita lainnya bakal dijual pada para mucikari oleh geng ini!”

Mau tak mau Rania mengangguk, mengiyakan. “Lantas, bagaimana kita bisa melacak sarang geng pedagang manusia itu di antara hamparan gudang-gudang yang luas ini? Aku tak melihat siapa-siapa di sini, apa kita harus memasuki semua gudang satu per satu sampai ketemu?”

“Harap saja tidak. Jadi kita perlu pasang mata, teling, hidung dan intuisi untuk pekerjaan semacam ini.” Gerry mengeluarkan pistol semi-otomatisnya dan mengokangnya, diikuti mitranya.

Tiba-tiba Rania mengendus-endus udara, wajahnya mengernyit. “Ada bau anyir darah dan bau busuk. Kurasa datangnya dari sebelah sana.” Ia menunjuk ke sebuah gudang tak jauh dari tempat mereka berdiri.”

“Nah ‘kan, kemampuan pelacakanmu memang jempolan, Rania. Ayo, kita bergegas ke sana!” Gerry dan Rania berjalan cepat ke arah yang mereka tuju.

Tiba-tiba Rania menghentikan langkahnya, menutupi mulut dan hidungnya dengan tangan. Matanya terbelalak melihat pemandangan mengerikan di depannya. Betapa tidak, tampak jenazah-jenazah bergelimpangan. Kebanyakan dari mereka adalah laki-laki bertampang sangar ala preman, namun tak sedikit pula orang-orang “tak berdosa” tewas. Beberapa penjaga pergudangan, penduduk setempat, bahkan beberapa wanita yang diduga adalah korban penculikanpun tak diampuni nyawanya. Atau, pikir Rania, tak dibiarkan jadi saksi mata.

“Jelas ini perbuatan sekelompok orang yang sangat profesional, layaknya sepasukan tentara.” Gerry yang alaminya pemberanipun tak kuasa bergidik ngeri.

“Tapi tunggu, perhatikan mayat-mayat itu.” Rania menunjuk dengan dagunya. “Wajah dan tubuh mereka menghitam, kurasa mereka mati keracunan.”

“Apa!?” Gerry terperanjat. “Jadi kita sudah terlambat selangkah…!”

“Sabar dulu, Ger. Lihat, makin banyak mayat di depan gudang yang itu. Ayo kita ke sana!”

Tanpa basa-basi, kedua detektif itu bergegas menuju gudang yang dimaksud. Benar saja, makin banyak mayat preman dan wanita bergelimpangan. Apalagi di dalam gudang kosong namun lembab dan pengap ini. Darah berceceran di mana-mana, bercampur raga-raga yang keracunan dan kehabisan darah. Nampaknya pembantaian baru berlangsung beberapa jam yang lalu.

Tiba-tiba, seorang pria bertubuh amat gemuk dan besar menyeruak dari dalam ruang kantor gudang, menerjang Gerry dengan membabi-buta. Sebelum si polisi sempat menembakkan pistolnya, wajahnya sudah terhantam tinju keras.

Sebaliknya, Rania hanya menodongkan pistol pada pria itu seraya berseru, “Tahan! Jangan bergerak, atau kau terpaksa kami tembak!”

Si gendut sesaat menghentikan aksinya dan berbalik menghadapi kedua lawannya. Ekspresi wajahnya kosong, tatapan matanya nanar.

“Sial kau…!” Gerry bangkit dan ingin membalas pukulan tadi, namun Rania pasang punggung menghalanginya. Wajah Gerry penuh tanda tanya saat mitranya itu menunjuk ke arah matanya sendiri lalu ke si gendut.

“Habis… habislah sudah…” racau si gendut. “Gengku, tambang uangku! Aku, Sobari hancur begitu saja!”

“Apa maksudmu, Sobari?” tanya Rania. “Siapa yang telah melakukan ini padamu?”

Sobari yang telah kehilangan akal sehatnya terus saja bicara tanpa menatap Rania, “Setan… setan-setan betina dari neraka…! Bermunculan di mana-mana! Mereka berkelebat… menebar racun maut, mencabik-cabik kami semua!” Tampak darah bercucuran dari luka-luka cakar di seluruh tubuhnya.

Asumsi Rania, Sobari masih bernapas karena timbunan lemak di tubuhnya yang terlalu tebal itu. Ia berseru lagi, “Di mana Devina?”

“Ngg… Devina? Aku tak tahu. Apa aku harus ingat nama semua ‘dagangan’-ku?” Sobari menyeringai, air liur bercucuran dari mulutnya yang berbusa.

Giliran Gilang bertanya, “Mengapa kau tak diracun?”

“Karena dia mengampuni nyawaku!” racau Sobari. “Dia menitipiku dua pesan untuk siapapun yang menanyakan tentang kejadian ini.”

“Apa itu?” tanya Rania.

“Satu, ‘katakan pada mereka, Rangda telah pergi ke gunung berapi muda di atas pulau untuk menempa keris pusaka!’”

“Rangda? Gunung berapi? Keris pusaka? Apa maksudmu?” Rania tersentak, baru sadar percuma saja mengorek keterangan lebih jauh dari orang gila ini. Ia lantas menoleh pada Gerry, dan si mitra hanya menaikkan bahu.

“Entahlah, aku tak tahu hubungan antara si Ratu Leak, gunung berapi dan Keris Mpu Gandring,” kata Gerry.

Lantas, Sobari langsung bicara lagi, “Dua, ‘setelah mendengar pesan pertama, mereka semua harus mati!’” Ia berteriak keras dan panjang, menerjang maju bagai banteng liar.

“Awas, Nia!” Gerry berteriak sambil mendoncang seperti harimau, menyambar Rania yang terlalu dekat dengan Sobari. Akibatnya, tubuhnya sendirilah yang terkena serudukan si orang gila itu, begitu dahsyatnya hingga terpental dan membentur tembok. Lantas Gerry roboh di lantai, tak bergerak lagi.

“Hahaha! Biar tempat ini jadi nerakaku. Semua yang di sini harus mati, mati, mati!” Sambil mengatakannya dengan mulut berbusa, Sobari berbalik ke arah Rania.

Wajah si polisi wanita pucat seketika. Pistolnya tadi terjatuh saat ia diterjang Gerry tadi. Apa ia harus nekad menggunakan bantingan judonya pada lawan bertubuh dan bertenaga dua kali lipat lebih besar dari dirinya ini?

Tak ada pilihan lain. Rania dengan nekad malah maju menyambut lawan yang menerjang ke arahnya. Apa gadis itu juga sudah jadi gila seperti Sobari?

Saat jarak antara dua petarung yang bagai badak dan kancil itu mengecil, tiba-tiba Rania menjatuhkan diri ke depan. Tangannya meraih, lalu menggenggam pistolnya yang jatuh tadi. Lantas, dengan posisi berbaring menyamping di lantai, Rania membidikkan pistol itu lurus ke arah lawannya.

Tepat pada saat itu pula Sobari yang menerjang udara berbalik untuk melancarkan serangan gelombang ketiga. Saat wajahnya sudah terarah pada lawan, tiba-tiba terdengar bunyi letusan pistol. Hampir bersamaan, satu peluru bersarang di dahi, tepat di antara kedua mata Sobari. Tenaga si tambun itu lenyap seketika, hanya gaya doronglah yang membuat tubuhnya maju ke depan, tersuruk dalam keadaan tengkurap di lantai itu. Berakhirlah nasib si gembong perdagangan dan penyelundupan manusia itu, berkubang di atas genangan darahnya sendiri.

Setelah memastikan tak ada lagi “pengganggu”, Rania bergegas menghampiri Gerry yang baru saja siuman. “Gerry, syukurlah kau baik-baik saja,” katanya sambil memeluk pria itu. Walau melanggar etika profesi, walau mereka menyembunyikannya dari orang lain, kenyataan bahwa Gerry dan Rania adalah sepasang kekasih mustahil bisa disembunyikan di antara keduanya.

“Aduh, jangan keras-keras!” erang Gerry. “Rasanya, sepertinya tulang rusukku patah.”

“Oh ya?” Mendengar itu, Rania malah makin mengetatkan pelukannya. “Biar kupakai cara kuno ini untuk menyambungkannya kembali!”

Gerry kewalahan. “Aduh! Aaagh! Jangan, Nia! Auww! Aku hanya bercanda, kok! Hanya sakit biasa saja! Awas, nanti tulang-tulangku remuk sungguhan!”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!