BARONG 2

Dua hari kemudian…

Johnny sedang duduk di kursi meja makan di rumahnya di Nusa Dua, Bali. Pagi itu, sesaat sebelum berangkat ke kantor, tak lupa ia membuka-buka halaman surat kabar sambil menyeruput kopi hangat.

Tiba-tiba, kopinya tumpah dan cangkirnya jatuh, pecah di meja. Mata Johnny terbelalak, menatap halaman surat kabar yang dipegangnya seolah tengah melihat hantu.

Pemicunya jelas dua artikel lengkap dengan foto-fotonya di halaman yang sama ini.

 

 

MOBIL MASUK SUNGAI

1 Tewas, Korban Diduga Bunuh Diri

Denpasar, 14 Mei 20xx

Diduga stres berat, seorang pria bernama Harun Tirtakusuma, karyawan perusahaan swasta di Denpasar menenggak sianida…

 

 

Ini, dan satu berita lagi.

 

 

KEBAKARAN BESAR

Di Pabrik Milik Wardhana Enterprises

Denpasar, 14 Mei 20xx

Diduga karena arus pendek listrik, sebuah kompleks pabrik makanan dalam kemasan milik Wardhana Enterprises terbakar kemarin malam. Tidak ada korban jiwa, kerugian diperkirakan mencapai…

 

 

Tinju Johnny menggebrak meja makan yang terbuat dari kayu jati itu. Seluruh tubuhnya bergetar hebat, giginya gemeletak dan air matanya membuncah, tak tertahan lagi.

Aku salah langkah! Rutuk Johnny dalam hati. Maafkan aku, Harun… Seharusnya aku tak membiarkanmu bergerak sendirian! Tak kusangka, SS Corporation mampu melakukan teror sekeji ini! Air matanya menetes tepat di atas foto wajah Harun pada kabar duka ini.

Ini semua salahku!

Belum reda getaran di tubuh Johnny, istrinya, Wenny Karina Wardhana, seorang wanita cantik berambut sebahu yang masih mengenakan pakaian olahraga memasuki ruang makan dengan amat tergesa-gesa.

“Papa!” seru Wenny. “Ada orang gila mencoret-coret dinding gerbang depan rumah kita dengan tulisan besar-besar! Mama takut!”

Dirundung dua musibah sekaligus, Johnny baru akan buka mulut untuk menegur sang istri yang meributkan “hal kecil”. Namun, firasat buruk kembali merasukinya. Johnny urung bicara dan langsung bergegas bersama Wenny ke tempat yang dimaksud.

Benar saja, tampak sebagian dinding gerbang depan rumah Johnny yang amat luas dipenuhi grafiti besar-besar berwarna merah darah. Itu adalah tulisan “YOU ARE NEXT” serta lambang tengkorak dan dua tulang bersilangan.

Johnny terpaku di tempat dan tertunduk.

“Papa, kok serius sekali? Ini ‘kan hanya ulah orang iseng saja?!” tegur Wenny sambil menyentuh bahu suaminya.

“Coret-coretan itu ada hubungannya dengan ini,” tanggap Johnny sambil menyodorkan lembaran surat kabar yang baru dibacanya pada mantan aktris dan model itu.

Saat membacanya, wajah pucat pasi Wenny jelas bukan akting, bukan pula dibuat-buat. “J-jadi, keluarga kita sedang… diancam?”

Johnny mengangguk, lalu menyampaikan keputusan cepat. “Wenny, jemput anak-anak dari sekolah sekarang! Siapkan paspor, kalian mengungsilah ke Hong Kong!”

“Papa sendiri bagaimana?”

“Aku harus tetap di Indonesia untuk mengatasi ini semua, menyelamatkan para karyawan dan perusahaan kita! Situasinya sudah jauh lebih gawat daripada perkiraan tergilaku!”

“Jangan-jangan… ada orang-orang jahat yang ingin membuat kekacauan dan mengeruk keuntungan dari itu!?”

“Benar, dan amat kuat pula,” jawab Johnny sambil membelai lembut rambut istrinya. “Tindakan-tindakan teror mereka yang ekstrim ini harus dihentikan dengan  cara yang ekstrim pula. Dan aku tahu di mana aku bisa mendapatkan bantuan untuk itu, di samping pihak Kepolisian, tentunya.”

 

 

\==oOo==

 

 

Hari itu juga Johnny bertindak. Ia sendiri bahkan mengendalikan mobilnya, namun bukan menuju kantor.

Jelas, Johnny hendak minta bantuan si pertapa sakti, I Ketut Suprana. Kalaupun pak tua itu menolak turun tangan, setidaknya Johnny bisa mempelajari jurus pamungkas Ilmu Kanuragan.

Sesampainya di Pura Besakih, Johnny langsung menemui juru kunci alias kepala pura. Selain minta izin, seperti biasa pula ia menanyakan apakah Bli Suprana ada di tempat.

“Ah, kebetulan ada pesan untuk Bli Wardhana, dari Bli Suprana. Beliau sedang bersemedi di Pura Tanah Lot. Bli bisa temui beliau kapan saja di sana,” jawab sang juru kunci, seorang pria berusia enam puluh tahunan yang mengenakan pakaian, topi dan sarung khas Bali.

Tak lupa menghaturkan terima kasih, Johnny segera bergegas ke Tanah Lot, tepatnya daerah pura yang dibangun di atas pulau karang tengah pantai, dan adalah salah satu tempat wisata paling terkenal di Bali.

Sudah lewat tengah hari saat Johnny tiba di Pantai Tanah Lot. Tampak banyak wisatawan sedang berkumpul di sana, menantikan saat matahari terbenam yang bakal membuat pemandangan dua pura di tebing dan tengah pantai itu tampak sangat indah.

Sebenarnya, untuk bersemedi dan bersembahyang dalam pura ini, seseorang dapat memilih untuk mendaki tangga batu ke rangkaian gedung yang diselingi pepohonan lebat. Atau, entah diizinkan atau tidak, ke tempat yang lebih suci lagi di gua batu karang di bawah pura, yang jalan masuknya ditandai dengan dua payung besar.

Namun, pendekar pertapa macam I Ketut Suprana dilarang semedi dalam pura. Begitu tahu tentang ini, Johnny lantas berjalan menyusuri pantai, mencari gurunya.

Di tempat yang sepi dan terlindung pepohonan rindang tak jauh dari pura, barulah Johnny mengenali sosok pria berambut, beralis dan berkumis serba putih, bertubuh amat kekar dan bertelanjang dada itu.

Johnny menghampiri sang guru. Namun ia tak berani kurang ajar dan memanggil langsung, mengganggu semedinya. Beberapa saat kemudian, Bli Suprana yang rupanya sudah menyadari kehadiran Johnny membuka mata dan bicara, “Ada sesuatu yang amat mengganggu pikiranmu, Johnny. Dan kau tergesa-gesa kemari untuk belajar jurus pamungkas.”

“Ya,” jawab Johnny. “Aku tak berniat menyembunyikan itu dari guru.”

“Tapi masalahnya, kau belum siap menerimanya. Kalaupun siap, jiwamu juga tidak tenteram. Kalau kau memaksakan diri dengan kondisi seperti itu, aku kuatir jurus itu malah akan merusakmu, bahkan membunuhmu.”

“Sayangnya, tanpa itu nyawaku juga di ujung tanduk.”

“Oh ya? Bagaimana bisa?”

Johnny lantas memaparkan segala sesuatunya. Tentang SS Corporation yang menebar teror dan ancaman bagi keluarganya dan Wardhana Enterprises, karena Johnny berusaha menghentikan praktik bisnis SS yang tak sehat itu.

“Ah, situasimu sungguh gawat, muridku,” ujar Suprana. “Tapi maaf, aku tetap belum bisa mengajarkan jurus pamungkas padamu. Tenaga dalammu masih belum mencapai tingkat yang disyaratkan. Kau masih harus latihan beberapa bulan lagi, mengingat kau amat berbakat.”

Johnny tak patah semangat. “Apakah tak ada cara lain untuk menguasai pamungkas dengan segera, guru?”

Suprana menghela napas. “Sebenarnya ada. Tapi kau harus ‘meminjam’ kekuatan Barong, Sang Singa Suci Dewata dengan menjadi pewarisnya lewat ini.” Ia menunjuk ke kalung medali yang tergantung antara perbatasan dada dan ulu hatinya.

Johnny sangat mengenali kalung bergambar wajah Barong yang mirip seperti boneka singa besar dalam Tari Barong. Namun wajah pria itu tampak amat kebingungan. “A-apa maksud guru?”

“Barong, satwa dewata terkuat di Nusantara masih ada. Rohnya mendiami kalung ini, dan ia memberi kekuatan hanya pada pewaris sejati yang berjodoh dengannya. Untuk sekarang, akulah sang pewaris pilihan Barong itu.”

Johnny mengerutkan dahi. Semua ini sulit dipercaya oleh pengusaha yang tak pernah menjejaki ranah gaib ini. Namun ia dapat menyerap arti yang tersirat dari kata-kata gurunya tadi – untuk saat ini, Barong belum berniat untuk menunjuk pewaris baru. Tapi tak apa, Johnny mungkin akan menempuh “jalur biasa”, menenangkan jiwa dan ikut Suprana hingga jurus pamungkas dikuasainya.

Saat Johnny hendak meminta bantuan Suprana agar turun tangan secara pribadi, tiba-tiba sebuah suara wanita bergema, “Wah, wah, tak sia-sia aku membuntuti Johnny seharian. Sekali tepuk dapat dua lalat, rupanya Suprana bersembunyi di sini!”

Johnny dan Suprana menoleh dan mengenali si pembicara. “Shinta Devi!” seru Johnny.

Disambut dengan nada tak senang seperti itu, Devi malah menempelkan jari telunjuk di depan bibirnya dengan penuh gaya. “Nah tuan-tuan yang budiman, karena Suprana sudah menyatakan kalung itu memang warisan Barong, serahkan padaku tanpa banyak ribut. Mungkin aku akan membiarkan kalian mati dengan raga utuh!”

“Enak saja!” Darah mudanya menggelegak, Johnny langsung melabrak ke arah musuh. Namun tiba-tiba tangan sang guru menahannya. “Tunggu!”

Johnny mendelik tak percaya ke arah Suprana. Apakah si pewaris Barong ini berniat menyerah atau membelot pada musuh? “Jangan gegabah dulu. Lihat.” Suprana menunjuk ke satu arah. Mata Johnny seketika tertuju ke arah yang ditunjuk.

Tampak sosok-sosok manusia, semuanya wanita, berdiri berjajar. Johnny melayangkan pandangan sekeliling, tahulah ia bahwa sosok-sosok itu telah mengepung mereka berdua sejak tadi. Semua wanita itu mengenakan seragam garis-garis merah-hitam yang ketat, hampir mirip pakaian Devi. Bedanya, mereka mengenakan topeng merah. Topeng-topeng itu tampak seperti wajah nenek sihir bermata tiga, dengan deretan gigi-gigi runcing yang mencuat, mengerikan.

Suprana berseru tertahan, “Astaga, apakah mereka ini… leak!?”

Johnny juga mendelik. Sepengetahuannya, sosok leak yang telah masuk dunia kematian dalam mitologi Bali jauh lebih mengerikan daripada mereka, yang pastilah masih berada dalam wujud duniawi sebagai manusia.

“Ya, inilah pasukanku. Masing-masing mereka memiliki kekuatan leak, Setan Kepala Api di dunia mistis Pulau Dewata ini,” jawab Devi.

“Pasukanmu, katamu?” Suprana terkesiap. “Jangan-jangan kau ini… ratu para leak?”

“Tepat sekali,” ujar Shinta Devi sambil bertepuk tangan. “Akulah pewaris Rangda, Sang Ratu Api Ungu. Keinginanku yang terdalam adalah membalaskan dendamnya pada Barong, musuh bebuyutannya.”

“Oh, pantas saja. Tapi kurasa aksimu ini bukan hanya untuk balas dendam saja, ‘kan?” tanggap Johnny penuh selidik.

“Ya. SS Corporation dengan murah hati meminjamiku pasukan untuk dirasuki leak. Kini, tugasku di Bali adalah membasmi pendekar-pendekar pewaris legenda, dimulai dari KAU, Barong!”

“Hmph, dasar pengeroyok miskin nurani!” hardik Johnny. “Ayo guru, kita basmi mereka dengan kekuatan sejati!”

Tanpa basa-basi lagi Johnny dan Suprana menyerbu ke arah si pemimpin, Shinta Devi. Taktik mereka ini jelas terbaca. Maka si pewaris Rangda berkelit dengan lincah, teriring seruannya, “Pasukan Leak, serbu!”

Pertarungan dua lawan dua puluh satu pecahlah. Andai Pasukan Leak seluruhnya adalah pendekar biasa, kekuatan gabungan dua pria perkasa, guru dan murid ini cukup untuk merobohkan semuanya dalam hitungan menit saja.

Kenyataannya, lima menit sudah berlalu, Johnny dan Suprana baru merobohkan lima “wanita leak” saja. Sisanya memberondong kedua lawan dengan semburan api dari telapak-telapak tangan mereka, memaksa mereka terpisah satu sama lain.

Keroyokan jarak jauh dan dekat membuat Johnny dan Suprana pontang-panting. Tiap gebrakan dan tembakan para leak cukup akurat. Kalaupun tak mengenai sasaran, tak satupun tembakan mengenai kawan mereka sendiri.

Dua larik api mengenai dan menyerempet tubuh Johnny, punggungnya serasa tertusuk belati panas. Keseimbangan si pria besar itu goyah sesaat, posisinya rentan, tak sempat bertahan.

Memanfaatkan kesempatan ini, dua pendekar leak menjadikan Johnny bulan-bulanan berondongan cakar dan tendangan. Gerakan jurus tangan-kaki Johnny jadi tak beraturan, hanya bisa menangkis dan bertahan sekenanya.

Pelan tapi pasti, Johnny mulai melemah.

Dalam keputusasaan, Johnny menoleh pada gurunya. Gawatnya, kondisi Suprana lebih parah lagi. Mungkin karena usia tua, gerakan suprana untuk bertahan, apalagi balas melawan lebih lamban daripada muridnya, apalagi daripada para lawannya. Guratan-guratan luka mewarnai tubuh sang pertapa yang bertelanjang dada, semuanya mengarah ke kalung medali yang masih tergantung di lehernya.

Sudah mustahil menyimpan tenaga. Devi dan para leak tak boleh dibiarkan merebut pusaka tanpa perlawanan terkuat. Pikiran itulah yang mendorong Suprana berseru keras-keras, “Johnny! Perhatikan tiap gerakanku, pelajari sebisamu!”

Mati-matian Johnny berusaha menghampiri gurunya di bawah gempuran musuh yang unggul jumlah. Jantungnya berdebar keras, nampaknya “ajaran” sang guru ini akan menjadi yang terakhir baginya, dan bagi siapapun juga.

“Semua, serang Suprana!” perintah Devi dengan wajah panik. Tekanan pada Johnny reda seketika, namun luka-luka dan sebuah firasat mencegah si pria muda mendekat.

“Pinjami aku kekuatanmu sekali lagi, BARONG, wahai Singa Suci Dewata!” Dengan satu raungan memekakkan telinga, I Ketut Suprana Mengentakkan prananya. Para pengepung yang terlalu dekat dengannya terpental ke segala arah seperti cipratan air yang terpukul. Bahkan Devi tersuruk mundur lima langkah. Perlu banyak tenaga agar wanita berjuluk “Ratu Leak” itu tetap berdiri.

Dari dalam pancaran cahaya berwarna emas itu, tampak wujud manusia Suprana membesar, meringkuk bagai hewan berkaki empat. Tak hanya itu, rambutnya yang pendek jadi amat panjang, bahkan mengembang menutupi telinga hingga ke punggung.

Sebentuk topeng muncul dan terpasang di wajah siluman singa raksasa berbulu serba putih keemasan itu. Dari mata topeng yang bulat dan kuning menyala, taring-taring besar panjang yang mencuat dari mulut dan beralaskan wajah semerah darah, seluruh dunia seketika mengenalnya sebagai…

Terpopuler

Comments

kopi*hitam

kopi*hitam

like🖤

2021-06-23

1

Anggie Nifmala

Anggie Nifmala

Barong...

2021-04-16

1

John Singgih

John Singgih

yang jelas paham budaya Bali.

2020-12-22

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!