Rombongan Julia cukup beruntung, menemukan desa nelayan di pesisir dekat Pelabuhan Ratu sejam sebelum matahari terbenam.
Karena Puskesmas atau klinik desa sudah tutup, rombongan termasuk si “pasien” menginap di rumah salah seorang warga bernama Herman Winarno. Penghuninya, pasangan suami-istri berusia parobaya memperlakukan mereka dengan ramah dan membantu dengan senang hati.
Jadi, tiga sekawan ini berkonsentrasi merawat Leony. Gadis itu tak kunjung sadar. Panas tubuhnya terus meninggi, walaupun Julia, Brian dan Gilang sangat sibuk sekali mengompres, mengipasi gadis itu sepanjang malam.
“Wah, sudah sepuluh kali ganti kompresan, panas tubuh Leony tak kunjung turun! Ini sungguh gawat!” ujar Julia, kekuatiran tergurat di raut wajahnya.
“Untung ada Pak dan Bu Winarno yang berbaik hati menolong kita,” ujar Gilang. “Tanpa pamrih pula.”
Sebaliknya, Brian mengerutkan dahi. “Jangan tenang dulu. Sekilas tadi aku melihat ada yang aneh dari sorot mata Pak Winarno itu. Kurasa beliau jauh lebih berpengetahuan daripada yang kita kira.”
“Benar juga, Brian,” ujar Julia. “Tak ada salahnya kita waspada, namun sebaiknya kita tetap bersikap wajar. Nah, kompresannya sudah kuganti. Rasanya aku harus istirahat dulu. Brian, Gilang, gantikan aku, ya.”
Brian ikut-ikutan melangkah pergi. “Eeh, aku juga perlu ke belakang dulu, ya…” Sebenarnya ia sengaja menjauh agar Gilang bisa berduaan saja dengan Leony. Sambil berjaga-jaga di luar, nanti ia berniat untuk mengintip mereka diam-diam.
Gilang yang sudah membaca “taktik” Brian itu hanya menghela napas. Lagipula, biar ia yang berjaga di samping Leony. Julia dan Brian sudah berusaha jauh lebih keras darinya sejak tadi, dan Gilang merasa agak malu dengan sifat pengecutnya ini.
Sementara itu, Julia memutuskan duduk di beranda, melepas lelah. Nyeri di punggungnya akibat pertarungan tadi masih terasa. Sesaat kemudian, tampak pak tua pemilik rumah membawa minuman di atas nampan.
“Ini Nak Julia, minum wedang ronde jahenya dulu supaya segar,” ujar Bu Winarno, seorang wanita parobaya berwajah simpatik, berkacamata dan mengenakan kebaya.
“Terima kasih, Bu Win.” Julia menghirup minuman jahe itu. “Hmm… aduh, aduh!”
“Awas nak, itu masih panas!”
“Hehehe, iya yah…” Gadis itu tersenyum malu.
Pak Winarno lantas menghampiri Julia sambil geleng-geleng kepala. “Dasar anak muda zaman sekarang, selalu terburu-buru.”
Sesaat kemudian, mata Pak Win mendelik penuh selidik. “Begini nak, bapak bukan dokter. Tapi kalau boleh tahu, temanmu itu sakit apa?”
Ekspresi Julia berubah, dahinya berkerut. Inikah yang disebut Brian “tatapan mata orang serba tahu” tadi? Gadis itu lalu menghela napas dan mengungkapkan kejadian sebenarnya. Tanpa menyebut tentang Dahlia, tentunya.
Tetap saja, penjelasan Julia membuat mata pria tua itu terbelalak. “Kesurupan, tapi kekuatannya melebihi dua lelaki… Astaga, jangan-jangan dia kerasukan roh Nyi Roro Kidul!”
“Hah? Bagaimana bisa?” Julia tak kalah terkejut. “Bukankah menurut legenda, Nyi Roro Kidul adalah penguasa Lautan Selatan, raganya tak bisa muncul di daratan?”
“Tapi jiwanya bisa. Ratusan tahun di bawah sana, kesaktian Sang Ratu terus berkembang. Beliau bisa menitis pada seseorang, merasuki, ‘meminjam’ bahkan mengubah wujud raga orang itu. Bisa juga lewat benda, hewan atau semacamnya.”
Benda? Julia membatin. Astaga, gelang itu!
Mahasiswi itu bergerak untuk bangkit, lalu duduk kembali. “Maaf, Pak…”
“Tak apa.”
“Nampaknya bapak tahu banyak tentang Nyi Roro Kidul.”
Pak Win mengangguk. “Ya, begitu pula beberapa legenda lainnya. Perlu kau tahu, ada satu versi Legenda Nyi Roro Kidul yang hanya diceritakan turun-temurun di desa-desa sekitar Pelabuhan Ratu, yang tentunya bapak tahu kisahnya.”
\==oOo==
Herman Winarno mulai bercerita. Konon, sebelum menjadi Ratu Laut Selatan, Nyi Roro Kidul dikenal sebagai Roro Kandita, seorang putri raja yang kecantikannya tak tertandingi. Karena iri, para selir raja menyewa jasa seorang dukun pertapa untuk mengguna-guna sang putri. Alhasil, Roro Kandita menderita penyakit yang membuat kulitnya bersisik, persis ikan. Karena tak tersembuhkan, sang putri diusir dari istana.
Roro Kandita lalu berkelana mencari penawar sihir itu. Namun, lambat-laun penyakitnya makin parah dan napasnya makin sesak. Putus asa, Roro Kandita berniat untuk bunuh diri dengan terjun dari tebing Pantai Karang Hawu dekat Pelabuhan Ratu.
Saat sang putri tiba di tepi tebing, tiba-tiba seorang pria berambut panjang menghampirinya sambil berteriak, “Hentikan, Rara! Jangan bertindak bodoh!”
“Siapa kau? Mengapa mengikuti aku sampai kemari?” Roro Kandita berbalik dan bertanya penuh curiga. Lantas, ia terpaku melihat ternyata pria itu sangat tampan, seperti seorang dewa kahyangan.
Pria itu menjawab, “Namaku Taruna, aku seorang resi, penyihir dan pertapa aliran Hindu Brahmana. Sudah lama aku mencarimu, dan akhirnya aku menemukanmu di tempat ini.”
“Lantas, apa urusanmu mencegahku?” sahut Rara ketus. “Apa kau pikir aku ini makhluk nista yang pantas dikasihani?”
“Bukan begitu, Rara,” ujar Taruna sambil menggeleng. “Pertama-tama, perlu kauketahui bahwa aku adalah dukun yang disewa para selir raja untuk mengutukmu.”
“A-apa!?” Mata Roro Kandita, yang nama kecilnya Rara ini terbelalak. Sesaat kemudian, tatapannya berubah nyalang. “Siaal! Bayar hutang ini dengan nyawamu, dukun pengecut!” Wanita itu menerjang ke arah si dukun, namun tiba-tiba langkahnya terhenti dan ia memegangi lehernya. Sesak napasnya kambuh!
Dengan tenang, Taruna meneruskan kata-katanya. “Sebab kedua, karena tentunya aku punya penangkal untuk kutukanmu itu.” Ia lalu mengambil sebuah botol yang amat kecil, berisi cairan berwarna biru. “Inilah Air Mata Paramitha, penawar segala racun, bala dan kutukan. Sangat langka, sebotol ini hanya cukup untuk satu orang saja.”
“Cih! Setelah semua perbuatanmu itu, kau malah menawarkan obat penawar? Mana mungkin aku percaya pada tipuan murahan darimu itu?” bentak Rara.
Dengan amat sabar Taruna menjelaskan, “Percaya atau tidak, kulit bersisikmu itu bisa membuatmu bernapas dan bergerak bebas dalam air, seperti insang dan sirip ikan. Sebagai gantinya, kau takkan bisa hidup di daratan lagi. Takkan pernah bisa kembali ke kerajaanmu, ke keluargamu. Nah, bagaimana keputusanmu? Hidup dalam air dengan bebas, atau minum penawar ini, kembali ke istana yang penuh intrik dan jebakan? Membalas dendam pada para selir itu?”
“Hei! Kaupikir kau ini siapa, Taruna? Setelah mengutukku dan menghilang, kau muncul begitu saja dan mengatur hidupku? Enak aja! Baguslah kau memberitahuku soal kulit ini, jadi aku bisa mencari cara lain untuk bunuh diri!”
Tiba-tiba Taruna mencekal tangan Roro dan menegur, “Tunggu! Jangan bodoh, Roro Kandita! Jangan buang nyawamu sia-sia saat jalan keluar sudah di depan mata! Lagipula, aku punya alasan ketiga untuk membantumu!”
Rara Mengentakkan tangannya ingin lepas, tapi gagal. “Alasan apa lagi? Sudahlah, jangan basa-basi!”
Namun Taruna malah menarik tangan gadis itu, matanya menatap lurus ke lawan bicaranya dengan sorot penuh keteduhan. “Semua ini karena… aku amat mencintaimu.”
Roro Kandita terpana. Untuk pertama kalinya, seorang pemuda berani menyatakan cintanya langsung pada mantan putri raja ini. Sesaat, hatinya berbunga-bunga.
Namun saat berikutnya, ekspresi wajah Rara mengeras, geliginya gemeletak. Lantas ia mendorong tubuh Taruna dengan satu entakan keras. Lebih keras lagi bentakannya, “Sudah kubilang lebih baik aku mati daripada menerima bantuan, apalagi cinta dari orang yang telah mencelakakanku! Enyah sana!”
Taruna tampak tetap tenang, seakan sudah menduga reaksi Rara itu. “Baik, kalau begitu biar kuungkapkan ketulusanku.” Bibirnya lantas komat-kamit mengucapkan mantra, jari telunjuk dan jari tengah tangannya dirapatkan, menggambar aksara magis yang berpendar di depan dadanya. Tiba-tiba pada kulitnya tampak ruam-ruam berbentuk sisik-sisik ikan yang sama persis dengan sisik-sisik di tubuh Rara. “Lihat, aku juga menderita kutukan yang sama denganmu. Biar aku berkorban dan menanggung hukuman atas perbuatanku ini, dan kau sembuh seperti sediakala.”
“Nah, kini tergantung keputusanmu,” ujar Taruna sambil meletakkan tabung Air Mata Paramitha di atas batu karang. Lalu ia berlari cepat ke ujung tebing dan terjun ke dalam air samudera. Sambil melakukannya, Taruna sempat melantunkan syair tembang.
Hiduplah terus, Rara terjelita
Kembalilah ke kerajaanmu
Jadilah Ratu Adil nan bijak
Biarlah aku terkutuk gantimu
Hiduplah terus, Rara terjelita
Agar pengorbananku tak sia-sia
Inilah ungkapan hatiku
Tentang rasa sesal dan cinta
Semoga suatu hari yang indah
Kau akan hidup damai bahagia
Ingatlah selalu, Rara terjelita
Kucinta kau melebihi segalanya
Rara sempat bergerak ingin mencegah, namun jatuh tersandung batu karang yang licin. Ia hanya bisa tercengang melihat tindakan nekad pria pemujanya itu. Lantas, Rara melihat botol obat penawar, mengambilnya, lalu membukanya.
Saat isi botol itu sudah akan menetes keluar dari botol, tiba-tiba Roro Kandita mengurungkan niatnya. Tidak! Aku punya kegunaan yang lebih bagus untuk air ajaib ini! batinnya. Taruna-lah biang keladi bencana ini! Ia sengaja berkomplot mencelakakanku karena seorang resi dilarang menikah, apalagi menikahi putri raja! Aku harus balas dendam pada Taruna, bukan pada para selir raja!
Jadi tak ada pilihan lain. Roro Kandita lantas berlari dan terjun dari Tebing Karang Hawu, mengejar Taruna di kedalaman lautan luas.
Di dalam air, semula Roro Kandita merasa panik, tangan dan kakinya menggelepar. Namun saat berikutnya ia menyadari ada perubahan pada tubuhnya. Astaga, Taruna benar! Sisik-sisik tubuhku hilang, dan aku dapat bergerak bebas dan bernapas lega dalam air!
Lantas, gadis jelita berambut panjang itu menatap sekelilingnya. Inilah dunianya yang baru, dunia di bawah air yang penuh keindahan tersendiri. Takkan ada selir raja, dukun jahat atau semacamnya yang bakal mengusiknya di sini. Semua ini berarti Taruna sungguh sakti mandraguna. Untuk melawan musuh besarku itu kelak, sekaligus bertahan hidup dan menjadikan Laut Selatan ini kerajaanku, aku harus menguasai ilmu sakti yang takkan tertandingi siapapun!
Maka, seiring abad demi abad yang berlalu, Roro Kandita berkembang menjadi sosok yang sakti tak terkira, dikenal dengan nama baru, Nyi Roro Kidul dan mendapat julukan “Ratu Laut Selatan”. Di samping itu, ia menguasai ilmu “meminjam” tubuh manusia agar dapat berkeliaran di daratan dengan menyamar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments