DAHLIA 1

Di tengah-tengah hiruk-pikuk kesibukan warga Jakarta suatu pagi, seorang gadis bertas ransel menyelinap dan melesat keluar dari pintu Bus Trans Jakarta.

Berlari cepat dengan gerakan amat lincah bagai kijang, gadis berambut panjang diikat dua gaya ekor kuda itu menyusuri halte bus dan jembatan penyeberangan. Ia meliukkan tubuhnya yang kecil, ramping dan atletis, melewati beberapa pejalan kaki dan penjaja kaki lima sepanjang jembatan. Pertunjukkan kelenturan tubuh yang luar biasa bagai pemain akrobat itu membuat orang-orang di sana tak jadi marah. Mereka hanya membiarkan si gadis lewat seolah itu tadi hanya angin lalu.

Tiba-tiba, smartphone si gadis berbunyi. Ia terpaksa menepi di sebuah toko tak jauh dari jembatan. Terpampang pesan di layar chat.

Th3 Br4iN: Lia, kamu di mana? Cepat, nanti kami keburu berangkat!

Julia Pranata Lin, gadis bernama panggilan Lia itu cepat-cepat mengetik balasan.

JuLz-fU: Tunggu! Sudah depan kampus!

Julia lari. Ia tak bohong, kampusnya memang tinggal sepelemparan batu dari halte tadi.

Setelah menyelinapi kerumunan orang lalu-lalang dengan gerakan selentur, segesit ular, akhirnya Julia menjejakkan kaki di depan kampusnya. Tampak olehnya beberapa orang tengah bersiap-siap di depan sebuah bus wisata.

Salah seorang dari mereka, pemuda tampan berambut pirang dan bertubuh atletis menghampiri Julia seraya menegur, “Kamu ini bagaimana, Lia? Masa’ bendahara Klub Pencinta Legenda, Jagadnatha datang terlambat?”

“Ya, ya, Pak Ketua Brian yang terhormat,” tanggap Julia setengah menyindir. “Tahulah, namanya juga Jakarta, bahkan perjalanan dengan busway-pun bisa makan waktu amat lama.”

Alasan klasik, namun Brian Suryawinata, mahasiswa kampus seberang itu tak mau memperdebatkannya lagi. “Ya sudah, ayo cepat! Perjalanan kita bakal amat jauh, jangan sampai biaya-biaya jadi membengkak nanti!”

“Tenang saja, bos!” Julia menepuk bahu Brian. “Urusan budget tak masalah. Kalaupun ada biaya tambahan, toh nanti kamu yang tanggung, ‘kan?”

“Uenak aja!” Brian menjitak kepala Julia, lalu langsung lari ke bus. Julia mengejar pemuda itu untuk membalas keisengannya. Namun langkahnya melambat seketika melihat para anggota lainnya yang berjumlah empat puluh dua orang menatap mereka dari dalam bus sambil geleng-geleng kepala dan berdecak kesal.

Wajah Julia bersemu merah, malu sendiri dengan tingkah kekanak-kanakannya. Ia cepat-cepat masuk dalam bus, dan rombongan Klub Jagadnatha berangkatlah.

 

 

\==oOo==

 

 

Seperti kata Brian, perjalanan melintasi dua provinsi dengan bus sungguh melelahkan. Namun bisa saja ini menyenangkan. Tak setiap hari ada kesempatan untuk lolos dari kepenatan ibukota, menikmati udara segar dan pemandangan alam sambil bercanda-ria dan berdiskusi dengan teman-teman sehobi.

Keceriaan Julia yang memang suka bercanda kerap kali menyegarkan suasana, mengusir rasa bosan dan penat dalam bus wisata ini. Sebagai “pemandu wisata” dadakan, ada saja idenya membuat acara nyanyi bersama, tebak-tebakan, bahkan kuis tentang legenda-legenda dan seni budaya Nusantara.

Julia bicara lewat pengeras suara, “Nah, karena nilai tim cowok dan cewek berimbang, ini pertanyaan terakhir yang berhubungan dengan tempat yang kita tuju. Siapa nama jin yang membantu Bandung Bondowoso membangun seribu candi dalam semalam?”

Para anggota lain langsung kasak-kusuk sendiri. Hampir semuanya, baik yang pria maupun wanita menggeleng atau bergumam tanda tak tahu. Salah seorang di antara mereka, gadis cantik berambut kribo bernama Leony Ambarwati bahkan protes, “Ini pertanyaan jebakan ya? Di semua versi Legenda Roro Jonggrang nggak pernah disebutkan nama jin itu. Bahkan konon yang membantu Bandung adalah pasukan makhluk-makhluk gaib seperti jin, dedemit dan sebagainya.”

“Setuju! Ganti saja pertanyaannya, Lia!” Brian ikut-ikutan membela Leony.

Namun Julia tak langsung menanggapinya. Mata bulat nan indahnya terus tertuju pada seorang pemuda yang duduk di samping Leony. Pemuda itu selalu mengenakan jaket jingga dan topi tebal yang seharusnya lebih cocok untuk di tempat bercuaca dingin.

Pemuda itu terkesan acuh tak acuh, dengan wajah terus terarah ke luar jendela dan mata yang selalu mengantuk. Namun itulah yang menambah daya tarik ketampanannya, menjadikannya amat menarik bagi Julia, membuat gadis itu penasaran.

Julia membatin, Ayolah, Gilang! Hanya kau yang tahu jawabannya! Jawablah! Kejutkan mereka semua dengan pengetahuanmu!

Namun pemuda bernama lengkap Gilang Kandaka Putra Perdana itu bergeming. Belum lagi makin banyak yang protes, apalagi Leony yang langsung menghardik sengit, “Ngapain kamu melirik cowokku terus, Lia? Awas, jangan coba-coba…!”

Sambil menghela napas, Julia menyela, “Ya sudah, karena tak ada yang bisa menjawabnya, pertanyaannya kuganti…”

Tanpa sadar, Julia terus memandangi Gilang. Sikap pemuda itu hampir selalu se-“dingin” itu sejak jadi anggota teranyar Klub Jagadnatha tiga bulan yang lalu. Namun, Gilang terkesan amat memperhatikan dan hanya mau tersenyum pada pacarnya, Leony. Jadi, tiap kali melihat mereka berdua, jantung Julia berdegup keras.

Tetap saja, Julia tak kuasa membatin, Apakah hal-hal yang hanya kauketahui sendiri itu amat rahasia, Gilang? Kalau ya, mengapa kau memberitahukannya hanya padaku, bukan pada Leony?

 

 

\==oOo==

 

 

Untunglah, selagi hari masih siang, rombongan Klub Jagadnatha tiba di lokasi kunjungan, yaitu Candi Sewu atau Manjusrighra dekat Klaten, Jawa Tengah. Letaknya hanya 800 meter sebelah utara Candi Prambanan.

Meskipun aslinya terdiri dari 249 candi, masyarakat setempat meyakini bahwa semula jumlah candi di kompleks itu ada 999, berdasarkan legenda Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso. Nama “Sewu” artinya adalah “seribu” dalam Bahasa Jawa.

Lagi-lagi Julia bertindak sebagai pembawa acara. “Nah teman-teman, silakan jelajahi kompleks Candi Sewu ini. Oya, karena ini malam bulan purnama, nanti sore jam lima kita berkumpul lagi di bus. Kita pergi ke Candi Prambanan untuk menonton Sendratari Ramayana.”

Terdengar seruan-seruan senang saat mendengar kata “Sendratari Ramayana” tadi. Jelas, itu hiburan yang amat mengasyikkan untuk perjalanan kali ini, mengunjungi candi-candi terkenal di Jawa Tengah.

Sekarang, yang penting kunjungan di Candi Sewu ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Sang ketua klub, Brian sibuk memotret gambar-gambar relief di dinding candi. Anggota klub yang paling “berilmu”, Leony terus bicara, menerangkan arti tiap relief di depan kumpulan mahasiswa yang mendengarkan penuh minat.

Julia ikut mencatat paparan Leony itu, siapa tahu ada informasi tambahan untuk artikel yang bakal diterbitkan di Blog Jagadnatha. Namun tiba-tiba perhatiannya beralih, seiring tatapan matanya yang tertuju pada Gilang Kandaka. Anehnya, bukan membantu Leony bicara, pemuda itu hanya diam sana, berdiri di pojokan yang jauh dari rombongan.

Yang paling aneh, mata Gilang tampak melihat ke kiri-kanan dan sekeliling, seolah-olah tengah mencari dan mengamati sesuatu. Wajahnya tanpa ekspresi, Julia tak bisa menebak apa yang ia lakukan.

Tiba-tiba Julia tersentak, baru sadar banyak keterangan Leony yang belum ia catat. Sambil menggerutu sendiri, Julia cepat-cepat menulisi buku catatannya seadanya. Toh nanti ia pasti bakal membuat rangkuman dari catatan teman-teman se-klub dan membandingkannya dengan informasi dari situs-situs internet sebelum membuat artikel. Namun penjelasan Leony yang panjang-lebar membuat Julia mulai mengantuk, kepalanya mengangguk-angguk.

Tiba-tiba, satu tepukan di pundak membuat Julia tersentak. Refleks, ia menoleh dan terkejut melihat Gilang. Pemuda bertopi tebal itu lantas berbisik, “Psst, ikut aku.”

“Tapi Leony ‘kan belum selesai…”

Gilang malah berjalan terus, menjauh dari belakang kerumunan. Julia menoleh ke arah Leony dan Brian sekilas, lalu mengikuti si pemuda pendiam itu. “Tunggu!” serunya.

Walau terbebani ransel kecilnya sejak tadi, dengan langkah-langkah cepat Julia akhirnya berhasil menyusul Gilang. Ia lantas protes, “Tak bisakah menunggu Leony dan Brian dulu? Mereka lebih banyak tahu daripada aku soal…”

“Aku hanya percaya pada kamu saja,” sela Gilang. “Tapi kuperingatkan, tadi kau hampir membocorkan bagian Legenda Roro Jonggrang yang seharusnya amat rahasia. Kalau kau mengulangi kesalahan itu lagi, aku akan keluar dari Jagadnatha, putus dengan Leony dan takkan pernah bicara padamu lagi, Lia.”

Kata-kata tajam Gilang itu menghunjam amat dalam di hati Julia. Pemuda itu rupanya tahu Julia memberinya perhatian lebih sejak lama. Pemuda itu pulalah yang mengusulkan agar puncak kegiatan Jagadnatha tahun ini diadakan di Candi Sewu dan Prambanan. Gilang pasti punya maksud tersembunyi, dan untuk mengungkapnya, Julia tak punya pilihan selain mengikuti si pria misterius itu saja.

“Candi keseribu… candi keseribu…” gumam Gilang sambil melangkah di hamparan batu dan rerumputan sedikit di luar kompleks candi.

“Lho, bukankah hanya ada 249 candi di kompleks ini? Bagaimana bisa ada candi keseribu?” tanya Julia.

“249 candi adalah jumlah yang tersisa setelah dipugar. Sisanya hancur dalam pertarungan sesaat setelah didirikan.”

Julia terkejut bukan kepalang. “Apa? Jadi sebenarnya Candi Sewu memang berjumlah seribu?” Jelas bagian ini belum pernah diceritakan Gilang padanya.

“Sebenarnya, sesuai legenda ada 999 candi yang berhasil didirikan oleh Bandung Bondowoso dengan bantuan Jin Himawari…” Gilang lalu menceritakan sekelumit pertarungan rumit antara Bandung, Himawari, Roro Jonggrang dan Patih Gupala – yang tak ada dalam versi legenda Roro Jonggrang manapun. Ceritanya singkat, padat dan hanya merangkai sebab-akibatnya saja. Namun, pengetahuan baru ini membuat Julia terus ternganga.

“Wow, aku benar-benar belum pernah mendengar bagian ini,” ujar Julia. “Siapapun pasti takkan percaya bila mendengar ini.”

“Karena itulah aku memintamu sekali lagi untuk merahasiakan semuanya,” ujar Gilang. “Seseorang memberitahuku hal ini saat aku bertemu dengannya di lereng Gunung Semeru, saat mendaki Puncak Mahameru bersama Kelompok Pencinta Alam di kampus.”

“Seseorang? Siapa dia?”

“Beliau memaksaku bersumpah untuk memberitahukan siapa dia pada siapapun, kecuali bila beliau sendiri tampil.”

“Baiklah,” ujar Julia, mengganti topik pembicaraan. “Sekarang, bagaimana cara kita menentukan letak candi keseribu?”

Gilang lantas melangkah lebih jauh dan berhenti di depan sebongkah batu besar berbentuk kotak. “Nah, ini dia!” Di sisi atas batu itu terpahat sebuah lambang berbentuk bunga. Lantas ia bicara bagai bersajak.

“Di siang menjelang senja, dari atas Batu Puspa Kirana, angkat tinggi Himawari sebelum malam menyapa. Biarlah sang prabu menunjukkan arahnya, di sanalah sang ratu berada.”

Julia bertanya, “Jadi batu ini… Batu Puspa Kirana?”

Wajah Gilang tampak lebih bersemangat kini. “Yap! Tak salah lagi, itu pahatan dahlia, bunga kesukaan Roro Jonggrang. Sekarang, waktunya untuk memulai langkah kedua.”

Gilang lalu merogoh ke dalam lubang leher t-shirt-nya, mengeluarkan sebuah kalung dengan liontin biru berkilauan. Bentuk liontin itu amat aneh, seperti sekeping kristal es seukuran medali.

Kata Gilang, “Inilah Kalung Es Himawari, samaran dari wujud pedang es yang kudapat dari ‘beliau’. Nah, tentang petunjuk ketiga, siapakah ‘sang prabu’?”

Julia mengangkat bahu tanda tak tahu. Ia memutuskan melihat sekeliling. Pikirannya sempat menerawang, mengingat-ingat Legenda Candi Sewu versi Gilang…

Beberapa saat kemudian Julia menjentikkan jari. “Aha! Bagaimana jika ‘sang prabu’ itu bukan ‘siapa’, melainkan ‘apa’?”

“Apa maksudmu, Lia?”

“Dalam legenda versi kamu, Roro Jonggrang adalah putri Prabu Baka yang bertubuh besar bak raksasa. Untuk menyatakan rasa hormatnya pada Sang Prabu, Bandung sengaja membangun candi utama yang paling tinggi-besar di kompleks ini.”

“Jadi ‘Sang Prabu’ adalah candi utama,” Gilang menyimpulkan. “Bagus sekali Julia, tak salah aku mengajakmu.”

Untuk pertamakalinya Gilang memuji Julia, membuat hati gadis itu berbunga-bunga. Terbentuk lagi satu kesimpulan lain dalam benak Julia, candi keseribu yang tak sempat dibangun oleh Bandung dalam semalam itu pastilah melambangkan Roro Jonggrang, bukti cinta Bandung pada sang ratu jelita itu. Letaknya seharusnya di kompleks bagian dalam, entah di sebelah candi utama atau di perbatasan antara kompleks dalam dan luar, menjadi penghubung antara penguasa dan rakyat.

Lamunan Julia buyar seketika oleh kata-kata Gilang berikutnya. “Nah, bagaimana caranya ‘Sang Prabu’ menunjukkan arah? Oh ya, pasti ada hubungannya dengan satu hal yang belum kulakukan.”

Mengikuti petunjuk utama, Gilang berdiri di atas Batu Puspa Kirana sambil mengangkat Kalung Himawari tinggi-tinggi di udara. Menilik petunjuk paling awal, letak Batu Puspa Kirana adalah beberapa langkah dari titik persilangan antara candi utama dan candi penjuru di utara, selatan dan timur yang kesemuanya menghadap timur.

Sinar matahari “siang menjelang senja” memang terhalang oleh sosok raksasa “sang prabu”, yaitu candi utama. Namun sinar dari puncak candi itulah yang memancar, membias lewat liontin kristal es yang dipegang Gilang dan membentuk semacam titik api pada sebuah batu besar yang terletak tak jauh ke arah timur.

Yang lebih mengejutkan lagi, tiba-tiba batu besar nan pipih itu bergeser sendiri, digerakkan oleh kekuatan gaib. Tampak sebuah lubang besar berbentuk nyaris bujursangkar di tanah, juga undak-undakan anak tangga menuju ke bawah.

Tiba-tiba Gilang Kandaka berteriak, “Cepat, Julia! Turuni tangga itu!”

“Lho, kamu tak ikut?” Julia mendelik tak mengerti.

“Aku ikut! Tapi cepatlah kau duluan! Aku tak tahu apa yang terjadi kalau tanganku kuturunkan!”

Julia mengangguk sambil menuruni tangga ke lubang. Namun satu firasat seakan meremas jantungnya. Apapun yang akan kutemukan di bawah sana, kurasa takkan bisa kutangani sendirian. Gilang, cepatlah menyusul.

 

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!