Lima Belas - Mama Jahat!

Aku dan A'am melangkah keluar kelas bersama. Hari ini A'am kembali latihan basket dan tentunya bersama Junot. Aku memutuskan untuk tidak menemani A'am karena aku masih tidak ingin bertemu Junot.

"Jadi beneran nih kamu nggak mau ikut?" sekali lagi A'am bertanya.

"Aku nggak bisa. Ntar sore ada less piano trus besok latihan paduan suara," aku mengingatkan A'am.

"Oh iya ya."

"Kalau aku sering terlambat pulang sekolah, Mama bisa ngomel-ngomel." Aku sudah menceritakan pada A'am tentang kehidupanku yang selalu diatur dan dibatasi Mama. Juga tentang hobi menulisku yang ditentang Mama.

"Latihan basket, latihan paduan suara, lomba paduan suara?" mata A'am melotot, sadar akan banyaknya aktivitasnya.

"Latihan paduan suara, lomba paduan suara, lomba menulis novel, less piano," sambungku menirukan ucapan A'am. Aku pun tersadar betapa sibuknya aku sekarang. Hal seperti itu tidak pernah aku lakukan di Jakarta. Hmmm... Semarang telah mengubahku. Semua ini karena hadirnya A'am dan Trian.

"Dukung aku, ya!"

"Sejuta persen aku dukung. O ya, kalau butuh ide buat novel, kangmas A'am punya segudang. Bisa dibagi-bagi," kata A'am konyol. Dan kami bercanda seperti biasa hingga tak sadar aku menabrak seseorang.

"Ups... Sorry."

"Ya ampun Mbak, kalau jalan hati-hati dong!" Cewek itu sedikit melotot ke arahku. Pantas dia marah karena teh botol yang sedang dipegangnya sedikit tumpah ke tangannya gara-gara aku tabrak tadi.

"Sorry Bunga, nggak sejanga. Ojo nesu tho," A'am mengajak bercanda cewek itu, yang menurutku cantik banget. Cantiknya seperti putri-putri keraton.

"Alaah kamu Am, makanya jangan pacaran terus," jawab cewek itu sambil tersenyum pada A'am. Tapi saat akan pergi cewek itu sedikit mengernyit melihat aku. Entah kenapa? Oh ya, aku tahu. Pasti gossip itu penyebabnya. Dan setelah dia pergi, aku bertanya pada A'am siapa dia.

"Namanya Bunga."

Ohhh... ini tho yang namanya Bunga. Aku pernah dengar kalau ada anak kelas IPS I yang namanya Bunga dan dia mantannya Fadly. Tapi menurut gosip mereka putus gara-gara Yola. Ternyata yang ini tho orangnya. Memang serasi sih menurutku kalau sama Fadly.

"Dulu pernah pacaran sama Fadly terus putus. Masak sih nggak pernah denger gosip itu?" A'am balik bertanya.

"Tau.. tau... Heina yang cerita." Aku mengangguk-angguk.

"Jadi pulangnya sama Pak Ali, nih?" Aku kembali mengangguk. Dan kemudian aku berpisah dengan A'am yang menuju lapangan basket.

"Lala!"

Deg! Jantungku mau lepas mendengar suara itu. Aku mendongak dan mendapati wajah yang beberapa hari lalu bikin hatiku selalu berdebar dan bibirku selalu tersenyum. Tetapi dalam sekejap mengubah debaran menjadi luka dan senyuman menjadi air mata. Wowww... orang patah hati bisa jadi begitu puitis, ya? Seperti aku sekarang ini. Oh ya, kata-kata ini harus aku catat baik-baik buat puisi dalam novelku. Got one idea! Great!

"Iya," aku menjawab dengan ogah-ogahan. Tapi tidak bisa aku pungkiri, jantung ini berdebar semakin kencang dan kencang.

"Masih marah sama aku?"

Junot menatapku, aku semakin tidak berdaya. Aduhhh... siapa bilang jatuh cinta itu indah? Buktinya, yang sekarang aku rasakan jauh dari kata indah. Bohong! Masak sih perut mules kayak gini dibilang indah.

"Nggak. Aku nggak marah. Cuma ada tugas buat kamu. Sebaiknya kamu jelasin ke semua orang kalau kita nggak pacaran. Karena aku udah bosen ditanyain terus. Gitu aja!"

Aku lalu meninggalkan Junot. Wow... kenapa aku bisa selancar itu ngomongnya? Apa karena pengaruh kekuatan cinta? Huuuueekkkk.... makan tuh cinta! Aku tersenyum sendiri, memuji apa yang baru saja aku lakukan. Yes! Bagus Lala!

***

"Lala...!" Mama masuk kamarku dan sepertinya beliau marah besar. Aku tahu apa yang sedang terjadi. Dan aku siap menerima kemarahan Mama.

"Kenapa kamu bilang sama Mas Seno kalau hari ini ada acara keluaraga!"

Huhhh.... dasar cowok ember! Ngapain juga dia pakek tanya ke Mama segala. Emang dia pikir dia siapa? Gerutuku kesal sama Mas Seno, guru privat pianoku itu. Tadi aku memang SMS dia, bilang kalau di rumah ada acara keluarga jadi les-nya diliburkan. Emang benar aku bohong karena aku lagi punya banyak ide untuk dituangkan. Aku nggak mau ide-ide itu hilang begitu saja. Lagian batas waktu pengiriman tinggal sebulan lagi. Aku harus benar-benar memanfaatkan waktu. Dan sekarang si Beethoven itu mengacaukan suasana.

"Sorry Mam. Lala lagi banyak tugas sekolah. Trus ada latihan paduan suara, jadi nggak sempet less," bohongku sambil berusaha menutupi layar laptopku dari pandangan Mama. Tapi insting Mama memang tajam, Aku menahan napas sambil berdoa dalam hati.

Mama mendekat ke arahku. Matanya tertuju pada selembar koran yang tergeletak dia atas meja belajar.

"Apa ini?" Mama mengernyit dan kemudian membacanya.

"Lomba nulis novel apaan?" Mama menatapku dengan tatapan tidak suka.

"Mam.." aku berusaha menjelaskan.

"Kamu ikut lomba ini? Jadi kamu bohong sama Mama? Tugas sekolah apa?" Mama melihat ke layar laptopku. Aku tidak bisa mengelak lagi.

"Mama nggak percaya, La. Kamu bohong sama Mama, sama Mas Seno hanya karena ini?"

Aku tidak suka dengan kata-kata Mama. Kenapa sih Mama tidak pernah menghargai apa yang telah kulakukan? Apakah menulis bukan suatu hobi yang baik? Mama seharusnya baca kalau sekarang banyak novelis yang usianya masih remaja. Itu kan suatu prestasi. Kenapa Mama nggak pernah ngerti, sih.

"Mam, sekali lagi Lala bilang kalau ini hobi Lala. Ini kesukaan Lala. Lala akan lakuin apapun yang menurut Lala baik, Nulis itu bukan suatu kejahatan kan Mam? Lala nggak pakek narkoba. Lala nggak ikut-ikutan pergaulan bebas. Ini hanya nulis, Mam. Cuma hobi yang membuat Lala seneng kalau Lala lakuin."

"Dengar Lala. Anak seusia kamu mana ada yang kerjanya merenung di depan komputer berjam-jam, mencari ilham, mengurung diri seperti orang yang nggak kenal dunia luar. Kamu seperti orang tua, seusia kamu seharusnya energik, bersemangat, bukan malah kayak orang yang kehilangan harapan gitu."

Tuh kan, Mama benar-benar salah menilai, Justru Mama yang nggak gaul. Emang kalau jadi penulis harus naik gunung dan berpuasa empat puluh hari empat puluh malam hanya untuk sekedar mendapatkan ide. Mama yang aneh! Apa Mama lihat selama ini dengan menuruti semua yang dia mau aku terlihat seperti remaja yang energik? Justru karena larangan-laranga Mama itu yang membuatku jadi nggak gaul dan penakut.

"Mam, saat ini Lala suka menulis jadi tolong dong, sekali ini aja dukung Lala. Lala akan buktiin ke Mama kalau Mama akan bangga dengan hobi Lala ini," aku berkata memohon ke Mama.

"Tapi Mama nggak suka kamu berbohong. Dengar Lala, Mama nggak suka itu. Mama heran kenapa setelah di sini kamu jadi pembangkang dan sulit diatur."

Mama terlihat sangat marah. Dan tanpa kuduga, Mama menyambar laptopku. Dan semuanya... hilang! Aku berusaha sekuat tenaga menahan air mataku yang akan segera pecah, Dan setelah Mama keluar, jebol juga.

"Mama Jaaahhhaaatttt!!!" jeritku.  

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!