Empat - Thanks to A'am

Istirahat tiba, seluruh kelas berhamburan ke luar. Mungkin mereka tidak tahan untuk segera bercerita lagi tentang liburan kemarin.

Aku tidak pergi dari kursiku karena memang tidak tahu apa yang mesti aku lakukan. Tak ada seorang pun yang menghampiriku. Aku jadi semakin sedih dan kembali membayangkan bagaimana seandainya sekarang Gigi ada bersamaku. Semalam aku mendapat Vidio call dari Gigi hampir satu jam. Aku cerita ketakutannya untuk masuk ke lingkungan baru dan Gigi berulang kali membesarkan hatiku. Dia mengatakan, aku pasti bisa survive di sekolah yang baru..

"Hai, Lala. Kamu nggak ke kantin?" Aku menoleh ke empunya suara. Cewek itu menatapku sambil senyum. Aku menggeleng. Tak lama kemudian cewek itu berlalu. Aku mengutuk sikapku barusan. Kenapa sih aku nggak terima aja ajakannya? Dasar bodoh aku! Aku kembali mengutuk diri sendiri.

Dari dalam kelas, lewat kaca jendela, aku bisa lihat Junot. Aku tersenyum pengen banget nyapa, tapi tidak ada keberanian. Apalagi dengan suasana yang asing kayak gini. Lagian, kenapa ya Junot juga nggak cari aku. Padahal, kemarin dia udah janji. Mungkin sekarang dia udah berubah pikiran. Mungkin janjinya kemarin cuma sekadar basa-basi di hadapan orang tua kami. Aku pengen Junot yang sekarang masih seperti Junot yang dulu menggodaku dengan kata 'keriting' dan 'indomie'. Sekarang, dia seperti enggan mengenalku.

Aku membuka buku tulisku yang masih kosong dan aku mulai mencorat-coret kertas yang masih putih itu sekadar untuk menghilangkan rasa sedih dan sepiku.

"Yola kemana?" Aku tersentak kaget mendengar suara yang tiba-tiba muncul. Aku menatapnya heran. Ya ampun! Cowok ini! Hmm... Cakep banget... Seruku dalam hati. Nggak kalah sama Dilan, cowok tercakep dikelasku dulu.

"Haloo... Tahu nggak Yola kemana?"

Hah? Yola siapa? Aku bingung sendiri dengan pertanyaan cowok cakep ini. Aku melihat sekelilingku. Aku sendirian di kelas ini. Pasti pertanyaan itu ditunjukkan padaku, kan? Tapi siapa Yola? Aku masih kebingungan.

"Yola..." Aku kembali terdiam. Aku melihat cowok ini memandang aneh kepadaku.

"Yola itu yang duduk sebelah kamu!" Cowok ini berkata sedikit kasar. Sialan! Makiku dalam hati. Aku bahkan tidak tahu nama cewek yang duduk di sebelahku.

Aku segera menggeleng cepat. "Aku nggak tahu." Cowok itu melengos kemudian pergi. Dasar! Dia sama sekali tidak peduli dan tidak mau mengerti bahwa aku anak baru di kelas ini. Wajar kan, jika aku belum tahu nama seisi kelas? Selain A'am tentunya! Tapi mungkin aku yang keterlaluan, nama teman sebangku pun aku tak tahu.

***

Akhirnya, secara tidak sengaja, aku tahu juga nama teman sebangkuku. Dia Yola. Aku Lala. Sama-sama berakhir, La. Yola yang ini memang seperti real living-nya Yola dalam cerpenku. Dia cantik, berambut panjang, lurus sebahu, bertubuh ideal, jadi pantaslah jika dia dicari cowok tadi.

"Ng... Yola," aku mencoba menyapanya karena sejak tadi kami memang belum pernah berbicara.

"Ya?"  Cewek ini mengangkat wajahnya, menatapku.

"Ng... Tadi kamu di cari seorang. Cowok. Tapi aku nggak tahu siapa namanya."

"Pasti Fadli, La!" Sebuah suara menyambar dari belakang. Yola terdiam sebentar. Kudengar kedua cewek di belakangnya cekikikan kegenitan. Pasti yang namanya Fadli itu tergila-gila banget sama Yola dan kedua cewek di belakang adalah dalang-dalang Yola. Hmn.. pemandangan dan cerita yang biasa, pikirku.

"Udah, La. Ngapain sih dipikir lama-lama? Yang naksir Fadli tuh banyak. Ntar rugi lho kalau keduluan."

"Nggak tahu nih, Di. Aku belum yakin aja."

"Kamu juga pasti mikirin Junot kan?" Kedua cewek itu semakin duduk merapat dengan Yola. Junot? Junot siapa? Jangan-jangan Junot yang sama yang sedang aku pikirkan? Junot naksir Yola? Hah? Itu berita buruk. Semoga saja Junot yang dimaksud Yola bukan Junot-ku.

Siang ini, lagi-lagi belum ada pelajaran. Maklum, kegiatan per-sekolahan di hari-hari pertama setelah liburan memang belum aktif.

Aku hanya menjadi pendengar saat ketiga cewek di sebelahku asyik bergosip tentang Fadli si cowok cakep dan sombong itu, dan sesekali mendengar nama lain, yaitu Junot.

Semua cowok di kelas ini berkumpul di belakang, dan beberapa cewek lain membentuk kelompok-kelompok kecil untuk bergosip. Aku kembali merasa terasing.

"Lala!!" Aku mendengar salah satu cowok memanggilku. Suara konyol itu lagi. Lalu kudengar yang lain bersorak. Ada apa lagi nih? Aku menoleh ke arah sumber suara, alias si A'am.

"Kenapa sendirian? Ayo gabung sini aja." Aku memandang A'am. Apa? Gabung? Dengan mereka? Berikutnya, aku melihat A'am menghampiriku. Dan tanpa bisa mengelak, A'am sudah menarik tanganku ke belakang. Seluruh kelas menyaksikan itu dan mulai menyoraki kami.

Aku melihat banyak cewek memandangku sambil tersenyum. Aku tidak tahu apa arti senyuman mereka. Lucu? Kasihan? Mengejek? Satu lagi sifat jelekku, aku selalu berpikiran negatif terhadap sikap seseorang. Senyum yang diberikan seseorang bisa saja kuartikan sebagai senyum yang tidak tulus, senyum belas kasihan, dan yang lainnya.

Bayangan betapa menderitanya aku dengan perasaan-perasaan seperti itu. Tuhan, tolong bantu aku agar bisa keluar dari keadaan ini.

A'am, aku melirik cowok yang menarik tanganku ini. Aku pikir dia orang yang baik. Satu-satunya orang yang mau mengajakku berkenalan. Kenapa aku tidak berteman dengan dia saja?

"Ayo duduk, La. Ini aku kenalin siji-siji yo sama mereka," A'am menunjuk ke arah cowok-cowok itu.

"Seng rambute krebo Iki jenenge Aldi. Dia anak band. Suka banget sama Dewa 19 dan Bon Jovi," tunjuk A'am pada seorang cowok tinggi kurus dengan rambut kribo yang hanya senyam-senyum saat diperkenalkan.

"Yang wajahnya jerawatan itu..." Belum sempat A'am melanjutkan, cowok konyol itu sudah kena timpukan polpen dari cowok yang wajahnya memang jerawatan dan agak berminyak. Sementara yang lainnya ngakak melihat adegan itu.

"Sorry.... Ng... Namanya Roni. Si penyair SMA Pancasila yang puisinya kurang laris di pasaran." Kembali lagi mereka ngakak. Sementara Roni hanya bisa komat-kamit. Mungkin sedang memaki A'am.

"Dan ini filsuf kita. Generasi ke-empat setelah Socrates, Plato dan Aristoteles, namanya Hadi." Aku melirik Hadi, cowok berkaca mata minus yang tampangnya memang culun, tapi sepertinya cerdas. Dia tersenyum padaku dan aku membalasnya. Kemudian ada Bayu, Andi, Hari, Ihsan dan banyak lagi sampai aku tidak bisa hafal satu-satu.

Akhirnya, aku memang bergabung dengan cowok-cowok ini, dan tanpa kusadari aku merasa nyaman bersama mereka. Ya... Meskipun aku belum bisa berbicara banyak. Setidaknya aku merasa tidak asing di sini. Thank's to A'am!!

Bergabung dengan para cowok adalah hal yang baru bagiku. Di Jakarta, aku bahkan tidak punya teman cowok. Yah... Dengan sikapku yang seperti ini, mana ada cowok yang mau betah berlama-lama denganku?

Tapi di sini? Aku bahkan tidak menyangka.

"Kamu udah kenalan sama anak-anak cewek belum?" tanya Roni. Aku menggeleng.

"Tapi kamu kenal Yola, kan?"

"Ng... Iya..."

"Kamu belum tahu kan, La, kalau si penyair kita ini adalah pengagum rahasia Yola sejak kelas satu, tapi kalah set sama Fadli, anak IPA II. Aku hanya tersenyum geli saat anak-anak yang lain pura-pura memperlihatkan tampang sedih dan menggoda ke Roni yang hanya mesam-mesem.

Jujur saja, aku merasa lebih santai berada di antara mereka. Tidak ada tatapan aneh, tidak ada pandangan mencibir, tidak ada kepura-puraan. Sekali lagi....

Terima kasih A'am.

.

.

.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!