Sudah bisa ditebak, begitu sampai di rumah Mama marah besar karena insiden tadi pagi. Aku berusaha tidak menangis seperti yang biasa aku lakukan. Aku tidak mau cengeng lagi, aku harus bisa menahan perasaanku, aku harus kuat. Itu kuncinya. Aku harus bisa mengemukakan pendapatku sendiri di depan Mama kalau selama ini Mama telah salah memperlakukanku.
"Mam, sekali ini aja Mama dengerin Lala. Sekali ini saja," aku memohon pada Mama, setelah wanita cantik yang selalu aku kagumi dalam hati ini menghentikan omelannya. Ya, aku memang kagum dengan Mamaku meskipun membenci sifat otoriternya itu.
"Mam, Lala udah gede. Udah mau tujuh belas, tolong jangan perlakukan Lala seperti anak kecil lagi. Lala hanya minta Mama ngizinin Lala ke sekolah nggak usah dianterin Pak Ali. Lala malu Mam."
"Dianterin sekolah kok malu. Kamu nggak lihat apa banyak anak sekolah seperti kamu yang berharap agar bisa seperti kamu. Duduk nyaman dalam mobil, tanpa harus berdesakkan dalam bis kota. Tanpa harus takut telat. Kamu ini memang aneh Lala!"
"Mam.. "
"Sudah. Mama nggak mau dengar lagi. Dan Mama juga nggak mau lihat kamu naik motor temanmu itu. Mengerti kamu?" Mama meninggalkanku. Aku sedih karena Mama belum juga mau mengerti. Tapi, semua harus kulakukan pelan-pelan. Suatu saat Mama pasti mengerti.
Aku menghempaskan tubuhku di tempat tidur. Mataku terpaku pada laptop di atas mejaku. Kemarin, Papa bilang kalau internet yang kuminta sudah dipasang. Aku segera meloncat dan menarik kursiku, kemudian menyalakan laptopku.
Do_Lala, aku mengetik accountku di Yahoo messenger. Ya, meskipun account ini sudah ketinggalan zaman banget, tapi kadang aku dan Gigi masih suka menggunakannya.
Nah, sekarang, kali-kali Gigi OL. Kan kita jadi bisa chatting walaupun biasanya sudah chat lewat Whats up.
"Ayo donk Gi... Masuk... Masuk..." Gumamku pelan sambil memerhatikan account Yahoo. Gigi tidak aktif. Gigichantik@yahoo.com. Dia tidak online. Aku menarik napas agak kecewa, kemudian aku terpaku pada satu nama yang menurutku menarik. Trian_ozz. Aku tersenyum sendiri, aku jadi ingat nama itu pada sebuah tokoh yang diperankan Brad Pitt.
Hatiku berdegup cepat, ini memang aneh. Bagaimana mungkin aku merasa nervous juga saat akan meng-invite seseorang yang belum aku kenal. Penyakitku memang sudah parah. Padahal ini kan lewat dunia Maya. Kita bahkan tidak tahu dengan siapa kita ngobrol.
Dengan memejamkan mata, aku meng-klik nama itu dua kali. Dan sekarang aku bingung apa yang harus kutulis. Hi... Boleh kenalan? ALS.... Plisss... Aku ingat begitulah kira-kira kalimat pembukanya kalau Gigi lagi invite seseorang. Akhirnya aku memutuskan menulis seperti itu.
Do_Lala: Hi... Boleh kenalan? ASL plisss....
"Enter!" Seruku sambil memencet tombol enter dengan mata terpejam karena aku masih berpikir apakah keputusanku benar atau salah. Jantungku berdegup semakin kencang. Dibalas nggak ya?
Trian_ozz: Hi juga... Boleh aja. Kamu dulu donk asl-nya. :-)
Aku tersenyum senang. Dia membalasnya. Kali ini aku sedikit lupa dengan kemarahan Mama barusan.
Do_Lala: 16 ygy f
Trian_ozz: 20 JKT m
Benar kan? Dia pasti cowok. Namanya aja Trian. Aku semakin antusias. Aduh, ngomong apa lagi ya? Bingung.
Do_Lala: Nama km bikin aku ingat sama Bratt Pitt di legend of the fall.
Trian_ozz: tp, namaku asli lho. Ga ikut2an. :-)
Hei... Lihat! Sudah dua kali dia masukin smile face, berarti dia suka sama aku. Maksudku, dia suka aku invite. Aku sumringah.
Trian_ozz: o ya, aku juga suka film itu. Tapi itu film lama kan? Emang km udah blh nntn film gituan? Km kan msh kecil. Hehehe.
Do_Lala: enak aja... Aku kan udah mau 17!
Aku senang, karena di sini aku bisa bebas bercanda tanpa rasa takut. Kenapa dari dulu aku tidak ngelakuin ini ya?
Trian_ozz: Btw, nama km siapa?
Do_Lala: Lala....
Trian_ozz: Ooo... Itu nama asli. Nama kamu bagus. Kayak namanya personil Teletubbies. Hehehe...
Do_Lala: Hehehe... Makasih.
Lalu.. hei. Satu menit... Kok tidak ada balasan? Dua menit... Dia pasti bosan, pikirku. Ya udah. Aku harus ngomong lagi.
Do_Lala: Hobi km apa?
Hobi? Plis deh Lala. Kamu nanya hobi? Kalau chatting orang-orang pakai tanya hobi nggak ya? Aku bingung sendiri. Tapi kalimat itu sudah terlanjur terkirim. Masak hobi sih? Bukannya itu sudah basi. Aku lalu ingat buku agenda kak Hannah, kakak Gigi yang usianya sepuluh tahun di atas aku dan Gigi. Di agenda itu tertulis nama teman-teman Kak Hannah lengkap dengan cita-cita, hobi dan kata mutiara. Oh... Plisss. Kayaknya sekarang bukan zamannya gituan lagi deh. Aku jadi ragu karena masih saja Trian tidak membalasnya. Dan akhirnya aku tahu Trian sudah ninggalin room. Ih... Jahat banget pergi nggak pakai pamit. Sebel!
Aku akhirnya mematikan laptopku. Kembali aku membayangkan betapa senangnya bisa jadi cewek seperti Yola, yang disukai banyak cowok cakep seperti Junot dan Fadli. Mana ada cowok seperti mereka yang mau dekat denganku? Bahkan Trian. Cowok internet, pergi nggak bilang-bilang. Mungkin dalam setiap kalimat yang kuucapkan, bahkan yang kutulis, seperti ada aura buruk yang bisa jadi hawa penolak cowok. Ugg...!! Sebel...!!
"La, kenapa sih Lo tuh selalu bilang nggak cantik, nggak pintar, nggak ada yang bisa dibanggakan? Lo tuh sadar nggak sih sebenarnya penyakit itu ada dalam diri Lo sendiri, pikiran Lo itu yang jadi penyebabnya. Sekali aja, Lo buang pikiran jelek itu dan nggak merendahkan diri Lo sendiri. Siapa bilang Lo nggak cantik? Siapa bilang Lo nggak pintar? Lo sendiri kan?" Aku teringat cercaan Gigi saat itu. Saat itu dia memang marah banget sama aku. Dia memang berkata benar. Keadaanku memang seperti itu.
"Lo akan terlihat cantik kalau percaya diri La. Jadi itulah kuncinya. Sekarang pupuk dong rasa Pede itu."
Iya Gi. Kenapa sih sulit banget membangun rasa Pede itu. Mungkin, sebenarnya, aku hanya butuh bantuan.
***
Akhirnya, tanpa bisa dibantah, hari ini Pak Ali tetap mengantarkanku ke sekolah. A'am hanya bisa bengong melihatku. Kemarin dia bersikeras akan menjemputmu berangkat sekolah. Dan sekarang dari kaca jendela aku hanya bisa berkata 'sorry' pada cowok itu. Dan A'am sepertinya paham.
Saat di jalan A'am mensejajarkan motornya dengan mobilku dan kami asyik bercanda dengan bahasa isyarat. Aku terhibur dengan kekonyolan A'am. Meskipun beberapa kali dia diklakson oleh kendaraan di belakangnya. Dasar sableng! Hihihi.
Seperti waktu di Jakarta, aku meminta Pak Ali untuk menghentikan mobilnya agak jauh dari sekolah. Aku turun dengan senyum ceria dan menghampiri A'am yang juga menghentikan motornya. Setelah Pak Ali pergi, aku ikut motor A'am masuk ke gedung sekolah. Lucu juga, kami seperti orang pacaran. Backstreet.
"Emang kamu harus diantar tiap pagi?" A'am bertanya sambil melepaskan helm dari kepalanya. Aku mengangguk, kemudian aku menceritakan 'pemaksaan' Mama padaku. A'am hanya mengernyit.
"Dasar orang kaya," celetuknya.
"Hah? Apa? Apa kamu bilang?"
"Iya, dasar orang kaya. Kamu kan anak orang kaya, wajar kalau ibu kamu maksa kamu harus diantar. Pakai new Fortuner lagi La. Mobil seri kamu itu seri pamungkasnya toyota..." Wajahku panas, aku tidak suka dengan kata-kata A'am barusan. Dasar orang kaya! Aduh... Aku nggak bisa gambarkan betapa negatifnya makna dalam kalimat itu. Aku tahu, mungkin A'am tidak bermaksud seperti itu. Tapi...
"Maksud kamu apa?" Aku menghentikan langkahku. A'am agak terperangah dengan sikapku.
"Hah? Maksudku... Ya... Itu wajar kan kalau anak orang kaya diantar pakai mobil mewah ke sekolah dan..."
"Tapi aku nggak suka kamu ngomong seperti itu. Kamu nggak tahu tentang aku! Jadi, jangan ngomong gitu dong..." Mataku panas, air mataku sebentar lagi akan tumpah. A'am kaget dengan reaksiku, sepertinya dia tidak menyangka itu akan terjadi.
"La... Sorry. Aku nggak maksud. Aku... Ya ampun La. Sorry banget. Aduh, kamu nangis ya? Jangan nangis dong La."
Aku mempercepat langkahku dan A'am mengejarku. Aku mendengar beberapa suitan dan sahutan yang seperti menonton sebuah adegan sinetron.
"Aduh... Aduh. Pengantin baru lagi marahan ya..." Aku menunduk, malu juga rasanya menjadi pusat perhatian banyak orang. Bodoh! Kenapa juga aku seperti ini, pakai marah-marah dan merusak hubunganku dengan A'am. Huh... Belum lagi aku harus mendengar celetukan anak-anak yang menggoda kami. Buat A'am sih itu tidak masalah, tapi buat aku... Lihat deh, adegan yang kami lakukan sudah seperti di film-film India. Berhenti nggak ya? Berhenti nggak ya? Tapi sudah terlanjur, aku harus secepatnya masuk kelas.
"Trifianna Arista. Jangan marah dong." Tuh kan A'am masih tetap konyol. Emang dia pikir aku tidak beneran marah apa? Duh, sebel! Entar kalau aku nanggepin candaannya, dia pikir aku nggak beneran marah, tapi kalau aku tetap mendiamkannya, bisa-bisa aku kembali jadi alien di sekolah ini.
Aku segera duduk di bangku tanpa memedulikan A'am. Yola dan dua dayangnya, Ririn dan Reni, hanya bisa melihat adegan kami dengan senyam-senyum dan aku melihat mereka berbisik dan tertawa cekikikan. Aku merasa malu banget.
"Sorry deh La. Janji deh nggak bakal ngomong gitu lagi." A'am berkata setengah membungkuk di hadapanku, aku semakin merasa risih.
"Aih... Aih.. pertengkaran pertama nih ceritanya," sambar Ririn. Dan disambut tawa Yola dan Reni.
"Ono opo tho?" Aryo dan Hadi menghampiri meja kami. Lengkap sudah, pikirku.
"Ini pasangan baru kita lagi berantem," sambar Reni.
"Alah... Kirain." Aryo berkata sambil jalan ke belakang menuju bangkunya diikuti Hadi. Bagus! Para cowok memang nggak terlalu suka bergosip. Mereka juga pasti tidak tertarik masalahku dengan A'am. Lagipula mereka tahu kalau A'am ini konyol. Jadi mereka pasti beranggapan ini bukan persoalan yang serius.
Tapi saat ini aku bisa lihat ternyata A'am serius.
"Lala, ingat. Kunci dari mencintai adalah memaafkan," celetuk Aryo. Cinta? Aduhh. . Gossip lagi deh.
"Ojo nggosip lho," balas A'am pendek. Dia serius. Akhirnya aku pun senyum juga. Tidak mau membuat masalah ini berlarut-larut dan menimbulkan gossip murahan lainnya.
"Kamu janji ya... Nanti cerita," kata A'am Setengah berbisik. Aku mengangguk. Ok!
Aku bersyukur. Aku punya sahabat seperti Gigi di sini. A'am.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments