Hatiku berdebar kencang. Ini hari pertamaku di SMA Pancasila. Dengan perasaan yang tidak menentu, aku melangkah memasuki halaman sekolah. Aku bisa melihat sekelompok cewek yang sedang asik ngobrol sambil tertawa. Mungkin mereka sedang membicarakan pengalaman liburan mereka.
Aku berusaha mencari ruangan kepala sekolah. Aku menebarkan pandangan ke setiap penjuru ruangan, tetapi aku belum menemukan ruangan yang bertuliskan kantor kepala sekolah. Apa aku harus bertanya? Yaiyalah! Tentu saja aku harus bertanya! Aku mengumpat diriku sendiri. Aku kembali mengedarkan pandangan ke sekelilingku. Tetapi, sepertinya semua orang sedang sibuk dengan urusannya masing-masing. Aku seperti alien di tempat ini. Baru saja aku berbalik tiba-tiba... UPS, seseorang menabrakku. Emm... Sebenarnya aku yang menabraknya. Hehehe...
"Mmmm... Maaf, ya." Aku sekilas memandang orang itu. Cowok. Cakep! Tapi, tanpa memandangku, cowok itu segera menghampiri segerombolan cewek yang lagi asyik ngrumpi.
Fiuuuhh... Lala, malang benar dirimu.
"Hai..." Seseorang menyapa. Aku segera menoleh ke arah suara itu.
"Tolong dong, bolanya." Cowok itu kembali berkata, aku masih bengong.
"Halo... Jangan bengong, dong. Bolanya, tolong dilempar." Cowok itu sekali lagi bersuara. Sekarang aku melihat beberapa pasang mata cowok di lapangan itu memandang ke arahku. Aku semakin mati gaya. Aku bahkan lupa apa yang diomongin cowok itu. Emang dia bilang apa, sih? Ya Tuhan, rasanya aku mau nangis.
Lalu dengan tiba-tiba, seseorang sudah ada di dekatku.
"Bolanya..."
Heh, aku menoleh. Cowok itu tersenyum ramah. Ia berwajah jenaka. Lalu dia mengambil bola basket yang tergeletak tak jauh dari kakiku. Sekarang, baru aku ngeh. Cowok itu mengambil bola basket itu dan melemparkannya ke arah segerombolan cowok di lapangan.
"Nih... Bolanya."
"Gitu dong. Itu cewekmu dikasih tahu, Am. Jangan suka bengong, nanti kerasukan jin." Cowok-cowok itu ketawa. Ya ampun, betapa malunya aku. Aku pengen lari terus nangis.
"Kamu nggak apa-apa? Aku kok nggak pernah lihat kamu," kata cowok itu.
Aku hanya diam saking nggak tahu harus mau ngapain dan bilang apa.
"Kamu anak baru?"
Aku mengangguk lemah.
"Aku A'am. Kamu siapa?"
"A..aku Lala.".
"Ya udah, La. Aku mau ikutan main basket. Selamat datang di SMA Pancasila." Sebelum cowok itu pergi entah keberanian dari mana, aku memanggilnya.
"Am..."
"Iya, La?"
"Emmm... Ruang kepala sekolah di mana, ya?" kataku malu-malu.
"Yuk. Aku anterin."
Aku mengikuti langkah A'am hingga sampai di sebuah ruangan bertuliskan Ruangan Kepala Sekolah. Lalu A'am pergi meninggalkanku. Untungnya aku tidak lupa untuk bilang terima kasih. Setelah itu aku segera masuk ke dalam ruangan kepala sekolah.
***
Pak Harfan, kepala sekolah SMA Pancasila membawaku ke sebuah kelas. Pak Harfan, pembawaannya santai dan berwibawa. Jika aku mendeskripsikannya, pak Harfan mirip banget dengan Pak Ridwan Kamil. Itu lho, walikota Bandung yang populer.
Pak Harfan menempatkanku di kelas IPA III. Aku deg-degan. Aku khawatir mereka tidak menerimaku. Apalagi aku tidak pandai beradaptasi dengan sebuah lingkungan yang baru.
Saat aku masuk ke kelas IPA III, keadaan kelas lagi riuh, berisik. Khas kelas yang tidak ada gurunya.
"Pagi anak-anak!"
"Pagi Paaak......!"
"Di sini ada teman baru dari Jakarta..." Belum selesai Pak Harfan berbicara, kelas kembali riuh. Aku menahan napas, siap mendengar celetukan dari salah satu di antara mereka. Ini sering terjadi di kelasku dulu kalau ada anak baru.
"Dari Jakarta atau gunung kidul, Mbak?" Tawa seluruh kelas meledak mendengar celetukan itu. Aku hanya tertunduk. Ternyata, di mana-mana sama, anak baru selalu jadi bulan-bulanan, apalagi anak baru sepertiku.
"Sudah anak-anak, ayo. Kembali tertib!" Kelas kembali hening.
"Ayo kenalin diri." Pak kepala sekolah berkata kepadaku dengan senyum yang ramah. Inilah saat-saat yang paling kutakutkan, aku selalu merasa grogi parah ketika berbicara dihadapan orang sebanyak ini. Aku bahkan tidak mampu mengangkat wajahku. Aku bisu. Kelas kembali riuh.
"Malu ya, Mbak.... Kok diam aja." Sebuah celetukan kembali terdengar. Mukaku terasa panas. Aku menggigit bibirku, berusaha mengumpulkan keberanian.
"Ng... Namaku, Trifianna Arista. Aku pindahan dari SMA Trisakti Jakarta, dan..."
"Dipanggil apa, nih? Tri? Via? Anna? Aris? Rista?" Kelas kembali riuh. Aku melirik ke arah cowok yang berseru itu. Tampangnya memang konyol dan pasti dia memang badut di kelas ini Dan... tunggu dulu, bukannya dia A'am, yang barusan tadi nganter aku ke ruang Kepsek. Dia ternyata, tega...
"Wuih... Perhatian amat, Mas, hapal luar kepala, Bo!" Sekarang suara cewek di depannya menyahuti cowok itu, yang kemudian dibalas dengan tawa anak-anak yang lain. Wajahku semakin panas. Kembali pak Kepsek menenangkan seisi ruangan.
"Aku... Biasanya di panggil... Ng... Lala," aku kembali bersuara.
"Halo Lala... Welcome to Semarang!" Suara konyol itu lagi.
Akhirnya aku disuruh duduk di sebelah seorang cewek. Aku tersenyum padanya sebelum menarik kursi disampingnya. Cewek yang cantik, pikirku dalam hati. Setelah aku duduk, pak Kepsek segera keluar dari kelas. Dan dalam sekejap, kelas kembali riuh. Aku hanya duduk terdiam di kursiku, sedangkan cewek di sebelahku mulai asyik mengobrol dengan beberapa cewek yang duduk di dekat kami.
Sebagai anak baru, aku memang tidak bisa menjadi pusat perhatian. Aku tidak punya keistimewaan yang membuat orang-orang bisa merasakan tertarik untuk mengajakku berkenalan. Dan aku bahkan tidak mampu membuka obrolan dengan cewek di sampingku. Mungkin menurutnya, aku bukanlah jenis cewek yang bisa diajak masuk ke dalam gengnya meskipun aku dari Jakarta. Benar, kan? Biasanya, anak Jakarta dikenal sebagai anak yang gaul, metropolis dan lain sebagainya itu.
Tapi sepertinya aku memang pantas dibilang sebagai anak dari daerah gunung... Gunung apa tadi yang dibilang si A'am. Aku berusaha mengingatnya.
"Halo... Arista..." Suara itu... Aku segera menoleh dan kudapati tampang yang tadi pagi bantu aku ke ruang Kepsek sekaligus yang selalu nyeletuk konyol. Ya ampun, tega banget sih ini orang menggodaku sampai seisi kelas menertawakanku. Padahal tadi dia sepertinya cowok yang baik dan bukan konyol seperti ini.
"Lala!" Aku mengoreksi.
"Tapi Arista lebih keren, lho." A'am kembali nyengir.
"Kenalin aku Ahmad Mufti Amrillah. Panggil aja A'am."
"Kan tadi pagi udah kenalan." Aku mengernyit heran.
"Hahaha... Kalau kenalan lagi yang lebih formal nggak papa kan." Cowok itu mengulurkan tangannya padaku. Dengan enggan, aku menerima uluran tangannya. Dalam cerpen sering aku tulis, biasanya seorang anak baru selalu menjadi incaran cowok cakep di sekolahnya. Tetapi tentu saja ini tidak akan terjadi padaku. Sekali lagi aku melihat cowok ini tersenyum konyol padaku.
Sampai akhirnya Bu Indah, wali kelas IPA III masuk.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
🕯️
kak aku mampir nih, dah vote, like dan rentetannya
kalau berkenan feedback yahh 😊
2020-05-30
1