Lima - Jangan Ngebut, Aku Takut!

"Halo..." Kantukku tiba-tiba hilang saat mendengar suara Gigi beserta wajahnya di seberang sana.

"Halo La... Tidur ya? Sori deh."

"Gak papa Gi. Gue seneng kok kalo lo Vidcall."

"Gimana sekolah pertama Lo? Baik-baik aja, kan?" Aku menghela napas panjang saat mendengar pertanyaan Gigi.

"Ada apa, La? Gak terjadi apa-apa kan?" Gigi pasti mendengar helaan napasku tadi dan dia menganggap bahwa itu adalah pertanda aku telah mengalami hari yang berat.

"Ya gitu deh. Gue masih seperti yang dulu, Gi. Gue benci sama sifat gue ini. Gue jadi malas sekolah. Lo tahu gak? Gak ada yang peduliin gue di sana. Gue seperti alien dari planet antah berantah. Seandainya aja... Seandainya..gue cantik, trus gue gak pendiam, gak freak kayak gini. Pasti gue gak bakal ngalamin hal kayak gitu..." Aku berkata dengan mata berkaca-kaca.

"Lala... Lo gak boleh ngomong kayak gitu. Sebenernya Lo tuh cantik. Cantik banget. Cuma semua ketutup sama sifat Lo yang kaku itu. Sekarang yang bisa ngerubah semua itu ya diri Lo sendiri. La,... Percaya diri aja. Lo bisa mulai pelan-pelan. Lo pasti dapat teman yang baik di sana..." Aku mengangguk-angguk mengerti dan wajah A'am terbayang sekarang. Ya, A'am adalah teman yang baik.

"Iya deh, Gi. Gue coba. Makasih ya. Gue kangen banget sama Lo."

"Gue juga La. Jaga diri Lo ya. Yang penting ingat aja, long weekend bulan depan gue mau maen ke Semarang." Aku refleks meloncat dari tempat tidur, what a surprise!

"Lo mau liburan ke sini Gi? Ya ampun, gue seneng banget dengernya."

"I bet you do... Makanya gue bilang sekarang biar Lo nggak usah sedih-sedih lagi. Udah belajar yang rajin biar jadi anak pintar. Tunggu bulan depan."

Setelah Vidio call ditutup, aku segera naik lagi ke tempat tidur dan mulai memikirkan apa yang dikatakan Gigi lagi. Ya! A'am bisa bantu aku.

***

"Lala, mulai sekarang kamu bisa diantar Pak Ali ke sekolah." Mama berkata sambil mengoleskan selai kacang kesukaanku ke roti.

"Aku naik ojek online aja, Mam." Aku menjawab sambil menyambar roti yang baru dioles Mama. Mama mengernyit tak mengerti.

"Lala, Semarang baru buat kamu. Kenapa sih kamu malah pengen naik ojek. Kan lebih gampang kalau di antar Pak Ali. Pokoknya kamu harus diantar Pak Ali." Aku menatap Mama yang mulai menampakkan sifat otoriternya.

"Tapi Ma?"

"Lala!"

Aku malu jika harus di antar-jemput ke sekolah karena kalau seperti itu aku jadi kehilangan kesempatan untuk lebih dikenal teman-temanku. Aku ingin melakukan hal yang lazim seperti mereka, setidaknya aku tidak menjadi asing di mata mereka.

Saat pulang sekolah kemarin aku melihat banyak temanku yang pulang naik angkot. Beberapa naik motor pribadi. Beberapa lagi naik ojek online. Tidak seperti di sekolah lamaku di Jakarta yang hampir semua anak kelas tiga bawa mobil sendiri, dan hanya segelintir yang naik motor dan angkot. Jika baru sehari saja aku di Semarang bawa budaya norak ini ke Semarang, aku bisa dianggap sombong, kan? Di sini, kulihat mereka begitu enjoy saat bergerombol menanti angkot untuk pulang ke rumah. Dan aku ingin menjadi salah satu di antara mereka.

"Sekali Mama bilang tidak ya tidak, Lala!"

"Kenapa sih? Lala kan udah gede! Lala bisa ngelakuin itu sendiri, kenapa Mama selalu nganggep Lala anak kecil?" Aku segera meninggalkan meja makan dan keluar meraih tasku kemudian menghambur keluar.

"Lala! Berhenti!"

Aku tidak peduli dengan seruan Mama. Aku terus berlari. Aku tidak peduli dengan wajah heran Papa dan Pak Ali yang ada di depan rumah. Aku masih mendengar Mana berteriak memanggil aku.

"Lala?" Aku menoleh dan wajah konyol yang sudah tidak asing lagi menampakkan senyumnya. A'am?

"Hei... Kamu kenapa?" A'am mematikan mesin motornya. Aku segera menghapus air mata yang mengalir dan mencoba tersenyum.

"Kamu kok bisa ada di sini?"

"Oh... Aku habis nganter sesuatu ke tempat saudara. Lewat jalan sini. Kamu kenapa pakek lari-lari keluar dari rumah gitu?" Kata A'am. Aku mengernyit. Dari ekor mataku, aku menangkap mobil Papa sedang menuju ke arahku. Aku segera meloncat ke atas jok motor A'am dan segera meminta cowok itu untuk menjalankan motornya. Tanpa bertanya lagi, A'am menuruti permintaanku. Terdengar klakson mobil berbunyi bersahutan di belakangku.

Aku menyuruh A'am agar mempercepat laju motornya. Tampaknya A'am mengerti apa yang harus dia lakukan. A'am memacu motornya semakin kencang dan menyalip kendaraan-kendaraan lain di jalan raya.

Aku menahan napas dan jantungku berdetak kencang. Aku malah menepuk bahu A'am memintanya untuk melambatkan laju motornya.

"Kenapa La?"

"Jangan ngebut. Aku takut." Aku setengah berteriak melawan suara ribut dari kendaraan sekelilingku. Akhirnya, A'am melambatkan laju motornya.

"Kirain kita masih dikejar."

"Hah?" Aku berkata tak mengerti.

"Lho, bukannya tadi kita lagi dikejar sama mobil itu?"

"Oh... Iya... Iya."

"Ada apa tho La? Kalo boleh tahu, sih."

Aku kembali teringat dengan niatku. A'am adalah pembuka jalan menuju perubahanku. Ini kesempatanku. A'am sepertinya cowok yang baik dan mungkin dia bisa jadi sahabat yang baik buat aku.

"Nanti deh kuceritain..."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!