Enam - Enak Ya, Jadi Cantik

Aku melirik Yola yang hari ini terlihat sangat cantik. Dia sibuk menulis sesuatu dan rambutnya yang hitam sebahu menjuntai ke meja. Aku sangat iri dengan penampilan Yola. Rambutku tidak terlalu panjang dan jenisnya yang ikal membuatku merasa buruk. Emang sih... Sudah berulang kali Gigi bilang kalau aku tidak suka dengan rambut ikalku, aku bisa meluruskannya ke salon.

"Kan bisa rebonding, La. Ya udah rebonding aja rambut Lo itu."

"Tapi, Gi, gimana kalau nggak cocok sama wajah gue. Bisa kiamat nanti."

"Ya... Kalau gitu Lo nggak usah ngeluh. Sebenarnya rambut Lo bagus kok. Kata orang punya rambut ikal tuh seksi."

Hah? Seksi? Plis deh Gi, seksi dari mana? Kata 'keriting' dan 'indomie' yang menjadi kata ejekan Junot padaku sering terngiang di telingaku. Awas kamu Junot! Kamu harus bertanggung jawab atas rasa minderku ini, ancamku dalam hati.

Lihat deh, punya rambut lurus terurai panjang dan hitam membuat seorang cewek tampak cantik.

"Kamu kenapa?" Yola menatapku heran. Aku baru sadar kalau dari tadi aku sedang asik mengamati penampilan Yola.

"Oh... Eh.. Ng...nggakpapa.." Aku segera memalingkan wajah. ****! Aku memaki diriku sendiri. Ngapain sih pakek ngelamun gitu?

Tak lama kemudian kelas sudah ramai. Aku mencari-cari sosok A'am, tapi cowok itu tidak terlihat setelah kami berpisah di tempat parkir. Kemana sih anak itu?

"Hai Lala? A'am dimana?" Aku tersentak, menoleh ke arah sumber suara. Ternyata Heina. Aku menggeleng mengatakan aku tidak tahu dimana A'am sekarang.

"Ayo keluar aja yuk La. Ngapain sih di dalam kelas mulu." Aku tersenyum senang saat ada seorang cewek teman kelasku menyapaku dan mengajakku keluar. Aku tidak boleh menolak seperti kemarin.

Aku segera mengikuti langkah Heina keluar dan Kami duduk di bangku taman yang menghadap ke arah lapangan basket. Seperti biasa, ada beberapa anak yang asik memainkan bola orange itu di sana. Dan mataku terpaku pada satu sosok yang kemarin berjanji akan mencariku di sekolah, tapi sampai sekarang dia malah lupa padaku.

"Kenapa kamu pindah La?" tanya Heina sambil menyodorkan keripik kentang yang dari tadi dibawanya.

"Ng... Papa pindah kerja ke sini jadi aku terpaksa ikut."

Aku mengambil keripik kentang yang disodorkan Heina dan memasukkan ke dalam mulutku. Kami kembali terdiam. Aku bingung apa yang bisa kujadikan sebagai topik pembicaraan antara aku dan Heina? Aduh, gimana ini?

"Eh ceritain donk... Gimana sekolah kamu di sana? Di sekolahmu dulu ada artis nggak? Pasti ada kan?" Heina bertanya duluan padaku dengan mata yang penasaran. Aku tersenyum, ingatanku membawa aku pada Sherly dan Dilan.

"Ng... Ada sih. Sherly Lusiana..."

"Apa? Sherly yang main di sinetron Ganteng-ganteng Vampir?" Heina berkata setengah menjerit. Aku mengangguk-angguk membenarkan.

"Trus, siapa lagi?"

"Ada Dilan, vokalis band...."

"Dilaaann..." Belum selesai aku meneruskan perkataanku, Heina sudah berteriak terbelalak.

"Kamu pasti kenal mereka kan? Boleh donk dikenalin..." Pinta Heina dengan wajah memelas. Nah, ini dia... Aku memang kenal mereka, malah bukan cuma aku saja, satu Indonesia pun kenal mereka. Tapi meski kami satu sekolah dan satu kelas, mereka sudah pasti tidak mengenaliku. Aku alien di sana, jadi tidak mungkin aku mengenalkan artis-artis itu ke Heina. Aku hanya terdiam, lalu tersenyum kecut.

"Bisa kan La?" Kejar Heina.

"Ng... Aku nggak janji. Lagian aku nggak sekelas sama mereka. Jadi aku nggak terlalu kenal banget," aku terpaksa berbohong. Wajah Heina tampak kecewa. Melihat itu, perasaanku jadi tak karuan. Aku takut rasa kecewa Heina ini akan membuatnya malas berteman denganku. Aduh.. aku tidak mau itu. Tuhan... Tolong rubah sifatku yang menyebalkan ini.

"Ng.. ntar aku usahain deh," janjiku asal aja, yang penting aku tidak merusak hubungan yang awalnya baik ini. Heina pun tersenyum senang. Tak lama kemudian Pipin, teman sekelasku yang lain, menghampiri Heina. Dua orang itu langsung terlibat pembicaraan yang tidak kumengerti. Tapi aku tidak keberatan, malahan aku senang ada di antara mereka, paling nggak sekarang aku bukan alien lagi dan aku bisa masuk ke dalam pergaulan teman-teman cewek sekelasku.

Pandangan kembali kuarahkan ke lapangan basket. Junot sedang asik mendribel bola dan dengan sekali loncat, bola orange itu mulus masuk ke keranjang. Wow! Keren banget. Seruku dalam hati.

"Keren kan?" Heina mencolekku.

"Apa?" Tanyaku bingung karena pikiranku memang sedang terpusat pada cowok cakep musuh masa kecilku itu.

"Namanya Junot, anak 3 IPS I, jago basket. Kebanggaan anak Pancasila," jelas Heina mempromosikan. Pipin hanya mengangguk mengiyakan karena mulutnya penuh dengan keripik kentang dari Heina.

"Dan masih singgle..." Kali ini Pipin yang bersuara, setelah buru-buru mengunyah dan menelan keripiknya. Sepertinya dia tidak mau ketinggalan gosip tentang Junot.

"Banyak yang suka lho sama dia. Dan kayaknya Yola juga suka tuh. Tapi dia lagi bingung antara Fadly dan Junot. Fadly nggak kalah cakep kok dari Junot. Wah... Jadi cewek cantik emang beruntung."

Aku setuju dengan Pipin. Yup! Jadi cewek cantik emang beruntung, apalagi jika dia tidak punya sifat seperti aku. Dengan kecantikan, separuh masalah hidup kita telah teratasi, benar kan? Btw. Aku jadi tahu Junot yang jadi topik Yola dan dayang-dayangnya itu adalah Junot yang sama.

Fiuuh......

Andai aku cantik....

Terpopuler

Comments

라흐마

라흐마

kaya cerita ku waktu SMA thor nga punya temen karna jelek

2020-07-14

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!