Mbarep Telu

Sepulang dari tempat audisi menemui Risma, Bastian langsung pulang ke rumah tanpa mampir di suatu tempat. Bastian tiba di rumahnya sekitar jam dua siang. 

Ketika berada di depan pintu hatinya sudah tak sabar masuk ke rumah dan memeluk mama. Cepat-cepat dia membuka pintu. Betapa kagetnya Bastian saat membuka pintu. Seluruh keluarganya dari Tante Riana, Tante Rere, mbak Suci, Ben sedang berkumpul di ruang tamu. Bahkan Natasya beserta kedua orang tuanya juga ada di sana. Hati Bastian makin bertanya-tanya ada apa sebenarnya? Kok semua keluarga berkumpul?

Mbak Suci itu kakak kedua Bastian. Dia sejak menikah dengan pria bule tinggal di Jerman. Ben itu adiknya Bastian kuliah di Autralia. Bastian yakin jika mbak Suci dan Ben datang saat ini berarti ada hal penting yang ingin disampaikan papanya. Dan hal penting itu berhubungan dengan Natasya.

Natasya sebenarnya teman Bastian waktu SMA dulu, dia sangat terobsesi mengejar cinta Bastian. Natasya tak kalah cantik dari Risma, malah Natasya keturunan Cina. Sayangnya Natasya centil, manja, kekanak-kanakan itu yang membuat Bastian tak suka padanya dan memilih Risma dijadikan kekasih hatinya.

“Lho, Natasya ngapain ke sini juga? Ada apa sih sebenarnya kok pada ngumpul gini?” Tanya Bastian.

 “Eh, Bastian sudah nyampe Jakarta. Ayo masuk!” ujar papanya.

Bastian memasuki rumah. Lalu duduk di sofa. “Bastian, sebenarnya papa menyuruhmu pulang ke Indonesia karena ingin menyampaikan sesuatu yang penting sama kamu.” Papa Bastian mulai membuka pembicaraan.

“Sesuatu yang penting itu apa, Pa?” Tanya Bastian.

“Sesuatu yang penting itu papa ingin menjodohkan kamu dengan Natasya. Papa tau kalian berdua akrab sejak SMA, Natasya juga anaknya cantik, pintar, sopan dan anak rekan bisnis papa. Cocok banget jadi pendamping hidupmu.”

Bastian sudah tak heran lagi, memang sejak  SMA papanya selalu mendesak dirinya pacaran sama Natasya. “Tapi Pa, cewek yang aku cintai sejak SMA itu Risma bukan Natasya. Aku pun mau pulang ke Indonesia karena ingin segera menikahinya.” Bastian mencoba menolak perjodohan dengan halus sekaligus mengutarakan niatnya untuk segera melamar Risma.

“Papa nggak akan setuju kamu menikah dengan Risma.”

“Alasannya apa, Pa?”

“Risma itu anak pertama, sedangkan kamu anak ketiga. Kamu tentunya tahu di keluarga kita anak pertama tak boleh menikah dengan anak ketiga begitupun sebaliknya.”

Bastian terlahir di tanah Jawa. Nenek dan Kakeknya Bastian Jawa tulen. Seperti yang orang-orang bilang tanah Jawa, gudangnya mitos apalagi mitos tentang pernikahan. Sebelum Bastian mengenalkan Risma kepada neneknya, nenek selalu mengatakan, “Kowe oleh mantenan kambek siapapun. Sing penting dudu’ anak nomor siji. Mbarep telu iku ndak oleh mantenan.” 

“Papa itu kan hanya mitos. Yang namanya mitos belum terbukti kebenarannya. Percayalah hanya pada Allah, sebab Allah yang mengatur segala yang ada di muka bumi ini. Jika papa percaya dengan mitos itu sama saja papa mendahului ketetapan Allah.”

“Diam kamu! Kamu masih anak ingusan, belum tahu apa-apa tentang adat istiadat. Mitos situ bukan sembarang mitos dan sudah terbukti kebenarannya. Kamu masih ingat dengan kakak pertamamu? Dia meninggal karena menikah anak nomor tiga. Papa nggak ingin hal yang sama dengan kakak pertamamu itu.”

Pandangan Bastian beralih menatap Mama. Tatapan mata Bastian ke mamanya itu meminta mamanya untuk membujuk papa agar membatal perjodohan ini. Selama ini mamanya yang paling mengerti Bastian. “Pa, Bella meninggal karena sakit sudah lama bukan karena mitos. Mitos ada karena keyakinan kita. Maka, olahlah firasat kita sebaik dan sebagus mugkin. In Sha Allah Bastian tak kan terjadi apa-apa jika menikah dengan Risma.” Kali ini mamanya Bastian yang mencoba membujuk papanya.

“Sekali tidak tetap tidak.”

Bastian mendengus kesal. Dia sudah tak tahu lagi bagaimana cara membujuk papanya. Papa ini wataknya keras dan teguh pendirian. Sekali bilang A, beliau takkan mudah mengubah ucapannya menjadi B. 

“Nak, Bastian pikirkanlah dulu perjodohan ini. Natasya sangat mencintai kamu, Om yakin kamu akan jauh lebih bahagia jika menikah bersama Natasya.”

“Gue setuju tuh sama perkataan Om Hendro. Lagian Mbak Natasya lebih cantik dari Mbak Risma, sayang kalau disia-siain. Kalau mas Bastian ndak mau sama Mbak Natasya biar buat aku aja deh,” celetuk Ben.

Ben orangnya memang suka ceplas-ceplos. Kalau ngomong tak pernah dipikir dulu. Selain itu Ben juga tak bisa lihat cewek cantik dikit aja, sudah ingin diembat.

Mbak Suci mencubit lengan Ben. Ben pun manyun-manyunin bibir. “Apaan sih Mbak Suci main cubit-cubit tangan orang aja! Sakit tau,” keluh Ben.

“Biarin. Kamu sih asal jeplak aja kalau ngomong. Kamu itu kuliah dulu yang bener sampai lulus S1 baru mikirin nikah.” Ben kena omelan Mbak Suci.

Ben lalu menyengir kuda, memamerkan giginya yang dipenuhi pagar kawat alias behel. “Iya deh. Aku minta maaf ya semuanya. Omonganku jangan dimasukin ke hati. Aku ngomong kayak gitu biar suasana nggak panas aja kok.”

“Tapi mbak setuju dengan apa yang dikatakan om Hendro dan Ben, lebih baik perjodohan ini kamu pikirkan dulu. Jangan langsung bilang tidak, takutnya kamu menyesal di kemudian hari.” Kini Mbak Suci yang angkat bicara.

“Oke deh, kasih aku waktu memikirkan perjodohan ini.” 

Akhirnya Bastian mengalah. Dia capek ngotot-ngototan dengan papanya sendiri. Lagipula ada tiga orang yang meminta dirinya untuk memikirkan perihal perjodohan ini. Bastian merasa lebih baik sekarang menghindar ke kamar saja. Dirinya mau beristirahat. Baru pulang ke Indonesia malah berhadapan dengan situasi tak menyenangkan. 

“Pa, dan semuanya Bastian ke kamar dulu ya. Mau istirahat. Capek habis perjalanan dari London ke Indonesia.”

***

Bastian duduk di tepi ranjang, matanya terpaku pada sebuah foto gadis cantik yang ada di figura dipegangnya. Dia sangat mencintai gadis di foto itu. Gadis itu wajahnya cantik, kulitnya kuning langsat, matanya sipit, rambutnya hitam lurus panjang, berponi, dan memiliki lesung pipi yang manis. 

Selain cantik rupa gadis itu juga cantik hatinya, bak malaikat. Pasalnya gadis itu mempunyai watak suka menolong sesama. Bukan hanya itu saja si gadis yang dicintai Bastian sangatlah pintar terutama dalam hal menasehati orang. Waktu SMA dulu gadis itu sering jadi tempat curhat teman-temannya. 

Nasehat dari Risma yang terus melekat di otak Bastian, “Yang memang milikmu pasti akan jadi milikmu. Yang memang bukan milikmu pasti tidak akan pernah jadi milikmu. Jika kamu sudah mengetahui dia bukan milikmu lebih lepaskanlah. Melepaskan orang yang kita cintai memang susah tapi harus dilakukan demi kebahagiaannya.”

Bastian mengusap-usap foto yang dipegangnya. “Risma, kamu itu memang milikku kan? Aku takkan pernah sanggup melepaskanmu untuk kedua kalinya.” Bastian berdialog pada sebuah foto.

Tes!

Air mata Bastian jatuh dengan sendirinya mengenai foto Risma. Di London sana Bastian dikenal sebagai atlet angkat besi. Sekuat apapun ototnya namun ketika dihadapkan dengan perpisahan, dia tak pernah kuasa menahan air mata.

Tok…Tok…Tok

Dia mendengar pintu kamarnya diketuk. “Siapa di sana?” Tanya Bastian.

“Ini Mama, Nak. Boleh masuk?”

“Boleh, Ma. Masuk aja dan pintu nggak dikunci.”

Bergegas Bastian mengusap air matanya menggunakan telapak tangan. Kemudian foto yang dipegangnya sejenak diletakkan di balik punggung. Dia tak ingin mamanya melihat dirinya lagi menangisi sebuah foto.

Pintu pun terbuka. Mamanya segera duduk di sebelah Bastian. “Bastian, mama tahu banget apa yang kamu rasakan saat ini. Kamu pasti enggan kan menerima perjodohan yang diajukan papamu?”

Bastian memandangi mamanya dengan tatapan penuh kasih sayang. Dia pun tanpa segan-segan merebahkan kepalanya di paha sang mama. Bastian memang sudah berumur dua puluh lima tahun, namun ketika berada di sebelah sang mama dia berubah layaknya anak kecil yang masih suka dipangku oleh mamanya.

“Iya, Ma. Aku takkan pernah mau sama namanya perjodohan. Aku hanya ingin menikah dengan gadis yang aku cintai dan gadis itu adalah Risma, Ma. Tapi aku tahu sifat papa, beliau orangnya pantang menyerah. Jika keinginan beliau belum terwujud, beliau takkan berhenti membujukku bahkan memaksaku agar menuruti keinginan beliau. Terus aku gimana, Ma?”

Bastian mulai mengeluarkan segala uneg-uneg yang ada di hatinya pada sang mama. Bagi Bastian, mamanya bukan sekadar seorang ibu namun bisa menjadi teman curhat.

Mamanya membelai rambut Bastian. Dia bisa merasakan belaian mamanya itu sama persis dengan belaian ketika dirinya masih berusia lima tahun. “Ikutilah kata hatimu, Sayang. Hati tak akan pernah salah dalam memilih.”

“Oh iya kamu sudah menemui sahabat-sahabatmu? Selama kamu di London mereka nyariin kamu terus loh. Coba deh temui mereka. Kangen-kangenan gitu, kan sudah enam tahun nggak ketemu. Terus sekalian kamu ceritain masalahmu ini ke mereka, siapa tahu di antara mereka ada yang punya solusi tepat mengatasi masalahmu.”

Mamanya mengalihkan pembicaraan. Tapi justru pengalihan pembicaraan itu membuat wajah Bastian berubah cerah lagi. “Curhat sama sahabat-sahabat? Ah, kenapa gue nggak kepikiran daritadi?” Bastian menggetok kepalanya sendiri menggunakan tangannya. 

Dia pun bangkit lalu memeluk mamanya. “Makasih ya Ma udah ngingetin aku tentang sahabat-sahabatku. Hampir aja aku melupakan mereka.”

“Iya, sama-sama sayang. Mama keluar dulu ya. Mau bikini kopi buat papa.” Mama pun keluar dari kamar Bastian.

Bastian memiliki empat orang sahabat baik di antaranya : Ferdian, Dimas, Revando dan Bima. Persahabatannya terjalin sejak tahun 2007, saat pertama kali dia menginjakkan kaki di SMA Bakti Nusa Solo. Empat orang sahabatnya itu memiliki karakter sifat yang berbeda-beda.

Ferdian tipe cowok cupu. Rambutnya selalu disir rapi, kemana-mana bawa buku tapi dia asyik kalau diajakin ngobrol dan yang paling penting dia tak pelit ngasih contekan ke teman-temannya. Itulah yang membuat Bastian suka bersahabat dengannya.

Dimas tipe cowok overpede. Apalagi dalam hal mendekati wanita, tak ada kata minder atau grogi. Bastian sebelum nembak Risma, dia berguru sama Dimas dulu untuk minta tips pedekate dengan Risma.

Revando tipe cowok playboy. Setiap bulan dia empat kali ganti cewek. NDi balik keplayboyannya dia susah bangun pagi. Diguyur memakai air sember dulu baru bangun Makanya dulu sering telat masuk sekolah. 

Bima tipe cowok pendiem. Dia sangat ingin mempunyai bisnis di dunia kuliner, bisa memaikan semua alat music dan paling bijak dalam menasehati teman-temannya jika berbuat salah. 

Bastian mengacak-acak tempat tidurnya mencari smartphone kesayanggannya namun smartphone itu tak kunjung ditemukan. “Aduh, smartphone gue ngumpet dimana sih?”

Bastian mengingat-ingat dimana menaruh smartphone. “Oh, iya sejak masuk ke kamar kan gue nggak ada megang smartphone. Berarti smartphone masih ada di tas ransel.”

Kini Bastian membuka tas ranselnya. Ternyata benar smartphone kesayangannya ada di tas. Tanpa banyak membuang waktu Bastian mengetik sebuah pesan.

Helo, teman-teman gue dah balik di Indonesia nih. Kita ngumpul yuk! Gue kangen nih sama kalian. 

Dia mengirimkan pesan tersebut ke nomor empat sahabatnya. Dia berharap nomor mereka masih aktif.

Ting…Tong

Smartphonenya berbunyi. Tak lama kemudian bunyi itu tiga kali terdengar di telinganya. Diliriknya layar smartphone itu, di samping logo amplop ada angka 4 yang artinya ada 4 pesan masuk. 

Ternyata pesan dari empat sahabatnya itu. Mereka kompakan kirim sms ke Bastian isinya seperti ini, “Oke, kita ketemuan. Gue juga kangen banget sama lo. Dimana kita ketemu?”

Bastian mengetik balasan untuk mereka.

Kita ketemuan di tempat tongkrongan waktu SMA ya. Pada masih ingat kan? Oh iya jam lima kalian harus sudah ada di sana. Okey?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!