Malaikatku itu Kamu

Arya Bima.

00.00

Tin ... Tin ... Tin

Alarm di ponsel pintar gue berdering. Gue sengaja masang alarm jam segini sebagai pengingat hari ulang tahun Risma. Gue selalu ingin menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun untuknya. Namun, kali ini gue bimbang. Ucapin nggak ya?

Satu sisi ingin, sisi lainnya bilang jangan. Memberikan ucapannya ketika bertemu dengannya saja sekalian memberi kejutan nggak terduga.

Berhubung sudah telanjur bangun, bakal susah tidur lagi. Gue berkelana ke media sosial. Facebook dulu yang pertama gue buka.

Di beranda paling atas muncul status Risma.

Sedih itu ketika orang yang biasa ngucapin ultah pertama kali, kini justru tak keliatan batang chatnya. 😪

Jujur, gue merasa bersalah karena membuat dia sedih. Maafin gue ya, Ris. Bukan gue nggak mau ngasih ucapan pertama, kali ini gue mau jadi orang yang terakhir ngucpain ultah, tapi jadi orang pertama melamar lo.

***

Gue datang ke lokasi lamaran satu jam dari jadwal undangan. Gue memandangi tempat yang sudah disulap seromantis mungkin sama karyawan-karyawan gue. Nyaris sempurna. Kesempurnaan hanya milik netijen. Namun, yang pasti gue puas sama hasil kerja keras mereka.

Tiba-tiba Luthfi menghampiriku dengan raut muka pucat.

"Kamu kenapa?"

"Hmmm ... anu ..., Pak." Luthfi terbata-bata. Antara mau bilang sesuatu ke gue atau nggak.

"Udah, bilang aja. Gue siap kok denger kabar terburuk."

"Orang yang nyanyi dalam acara penembakan ini mendadak mencret, Pak."

Ingin gue berkata kasar, untungnya masih bisa mikir. Mencret termasuk musibah, bukan salah karyawan gue.

"Terus gimana selanjutnya, Pak? Cari penggantinya di mana?"

Otak gue berpikir keras. Mengingat-ingat gue punya teman yang suaranya bagus dan enak atau nggak. Rizky Kurniawan. Nama itulah yang muncul pertama kali di pikiran gue. Si Rizky ini sohib SMA gue dan dia lagi terkenal karena suka cover lagu orang di channel youtubenya.

"Soal nyari pengganti penyanyi, biar urusan gue. Lo kerjain yang lain aja."

Luthfi berlalu. Gue langsung menghubungi Rizky. Agak lama sih dia angkat telepon gue. Gue masih positif thinkink, mungkin dia lagi sibuk latihan nyanyi. Gue masih bisa sabar menunggu.

"Hallo."

Akhirnya diangkat juga. "Hallo, Bro. Apa kabar lo?"

"Baik dong. Ada apa nih nelepon? Tumben. Pasti ada maunya ya?"

"Hehehe. Tau aja lo. Lo hari ini sibuk nggak?"

"Agak selow sih. Paling ntar malam gue hangout sama temen gue. Kenapa emang?"

"Jadi gini, gue mau melamar cewek. Semua udah terkonsep rapi, tapi sayangnya mendadak orang yang nyanyi di acara gue ini mencret. Lo bisa nggak gantiin dia?"

"Bisa sih, tapi bayarannya 2 kali lipat ya. Hahaha."

Sial gue diperas. Nggak apalah. Toh, dadakan. Kalau bukan Rizky susah cari yang lain. "Kalau soal itu gampang. Lo minta 5x lipat pun gue kasih, kalau lamaran gue diterima."

"Widih, udah jadi bos sekarang. Jam berapa emang acaranya?"

"Tiga puluh menit dari sekarang. Gimana? Bisa, kan?"

"Bisa. Apa sih yang nggak buat lo?"

"Thank you banget ya, Bro. Ntar gue kirim alamatnya."

"Sama-sama. Ya udah gue mau siap-siap dulu."

Klik.

Sambungan telepon gue matikan. Lega rasanya satu masalah beres. Gue berharap acara lamaran ini lancar.

***

"Mas Bima? Ngapain lo di mari? Jangan-jangan lo Penulis Misterius itu?" pekik Risma kaget begitu gue balik badan.

Sebelum gue berkata jujur terlebih dahulu gue menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya secara perlahan. “Iya, Risma akulah penulis misterius itu.”

Gaya bahasa bicara gue ke Risma berubah, tidak lagi memakai lo-gue melaikan memakai aku-kamu biar lebih romantis.

Pletak!

Risma menjitak kepala gue. Gue meringis sambil mengusap-usap bekas jitakannya. “Apaan sih main jitak-jitak kepala orang aja?”

“Itu akibat karena Mas Bima curang. Masa jadi penulis nggak bilang-bilang sama aku?”

“Kalau aku bilang namanya nggak surprise. Kamu nggak kecewa bahwa akulah Penulis Misterius itu?”

"Aslinya udah ada feeling sih. Cuma ragu aja, sejak kapan Mas Bima nulis novel? Setahuku boro-boro nulis, baca aja jarang. Mas Bima aku mau nanya kok lo bisa bikin novel kayak gitu sih? Lo kan nulisnya tahun lalu, sedangkan kejadian gue ditinggal nikah Bastian baru aja.”

“Sebenarnya aku punya kelebihan khusus yaitu bisa mengetahui apa yang belum terjadi.”

“Astaga, Mas Bima lo kok pinter banget sih nyembunyiin rahasia ma gue. Sekarang bilang rahasia apa lagi yang sembunyiin dari gue. Jangan ada dusta di antara kita!”

Jika tadi gue mengaku ke Risma tentang identitas gue sebagai penulis kini saatnya mengakui perasaan gue ke dia. Mendadak lidah gue kelu, tak ada satu pun kata yang berhasil keluar dari mulut gue. Gue menggaruk kepala bagian belakang bawah. Menyatakan cinta ternyata semudah yang kira.

Sebelum kalimat itu keluar dari mulut gue, gue tepuk tangan. Rizky muncul beserta tim pengiring musik.

I will always love u

Kekasihku dalam hidupku hanya dirimu satu.

Rizky mulai bernyanyi. Gue sengaja minta dia menyanyikan lagu Ungu berjudul Dirimu Satu. Selain Ungu merupakan band favorit Risma, lagu Dirimu Satu di mata gue lagu paling romantis di antara lagu Ungu yang lain.

“Bismillahirrahmanirrahim. Ya, Tuhan lancarkanlah kalimatku untuk menyatakan cinta ke dia.” Gue berdoa dulu.

“Ada satu rahasia lagi yang aku sembunyikan ke kamu selama sepuluh tahun ini. Aku mencintaimu, Risma.”

Ajaib, kalimat itu keluar dengan sendirinya dari mulut gue. Mungkin karena kekuatan doa. Mata Risma membuat, seolah-olah tak percaya dengan apa yang gue ucapkan. Dia menyentuh jidat gue. “Mas Bima lo lagi sakit ya?”

Gue menepiskan tangan Risma lalu menaruh tangannya di dada gue. “Aku serius Risma. Dengarkanlah suara hatiku yang terus memanggil namamu.”

“Kalau lo cinta sama gue, kenapa nggak bilang dari sepuluh tahun yang lalu sih?”

“Delapan tahun yang lalu aku sempat berniat mengungkapkan cinta ke kamu, ternyata aku telat. Kamu telah menemukan malaikatmu. Malaikat yang selalu bisa membuatmu bahagia, malaikatmu itu bernama Bastian.”

Gue berhenti sejenak sambil mengatur napas dulu. “Sekarang Bastian telah pergi bolehkah aku menjadi malaikatmu? Malaikat yang bisa mengobati luka hatimu dan menjaga hidupmu di sisa akhir hidupku. Risma, Will you marry me?”

“Delapan tahun yang lalu aku memang menganggap Bastian lah malaikatku, kini hatiku sadar malaikatku itu kamu.”

“Jadi kamu mau menikah dengan aku?”

“Tentu saja.”

“Ciyeee … yang habis lamaran. Kapan nih nikahannya?” ucap Felis yang tiba-tiba muncul dari belakang pohon. Bukan hanya ada Felis saja, di sana juga ada Papa, Mama dan kedua orang tua Risma. Mereka semua melempar senyum jahil.

“Felis, Papa, Maama, om dan tante sejak kapan kalian berdiri di situ?”

“Sejak dari tadi?”

“Kok aku nggak lihat kalian sih?”

Papanya Risma mengedipkan mata jahil. “Ya, iyalah kami nggak kelihatan. Kalian kan lagi asyik bermesraan. Dunia bagai milik kalian berdua. Bima, om nggak nyangka ternyata kamu cowok romantis banget berani melamar anak Om di tempat ini."

“Terpaksa, Om. Kalau nggak sekarang kapan lagi coba? Ntar yang ada Risma diambil cowok lain lagi.”

“Om Raihan, Tante Ika, Papa, Mama, kalian merestui kan jika aku nikah sama mas Bima?” tanya Risma.

“Tentu saja. Malah kami berencana menjodohkan kalian berdua,”  ujar kedua orang tua gue dan kedua orang tua Risma secara bersamaan.

“Nah, kedua keluarga sudah saling meretui By the way any way busway kapan nih menentukan tanggal pernikahan Risma dan Mas Bima?”

“Kapan ya? Sudah pun gue siap. Hahaha.”

"Yeee ... udah kebelet banget lo ya?"

"Hahaha."

Semua tertawa.

Kesabaran memang selalu berbuah manis. Sepuluh tahun bersabar menanti Risma mencintai gue, akhirnya apa yang diinginkan terwujud hari ini. Tentunya hal ini terwujud berkat campur tangan Tuhan.

*** 

“Oh jadi gitu kisah persahabatan kalian?” tanya Taufiq ketika aku selesai bercerita.

“Iya, Pak.”

“Selama kalian sahabatan Felisia sama sekali nggak ada curhat bahwa dia lagi ada masalah atau lagi berantem sama orang?”

Aku menjawabnya dengan gelengan pelan.

“Oke. Apa kamu tahu siapa cowok yang disukai Felis?”

“Awalnya nggak tau, tapi akhirnya tau. Cowok yang dicintai Felis adalah suami saya.”

“Gimana reaksimu begitu tau sahabatmu mencintai suamimu?”

“Ya saya marah. Lama-lama bisa memaafkan Felis. Felis juga mengikhlaskan saya menikah dengan Bima.”

“Pertanyaan terakhir, kapan kamu ketemu Saudari Felis?”

“Pas di hari nikahan saya. Makanya saya kaget pas malamnya Felis bunuh diri. Hiks.” Air mataku keluar sendirinya. Mengingat sahabatku tercinta begitu cepat dijemput Tuhan. Aku mengambil

“Integorasi cukup sampai di sini. Terima kasih atas waktunya. Jika ada informasi tambahan, jangan sungkan beritahu kami. Kami pamit undur diri dulu, selamat siang!”

Detektif Tiga Serangkai berlalu. Aku sedikit bernapas lega. Namun, nggak sepenuhnya lega. Sampai kematian Felis terungkap. 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!