Arya Bima.
Prang…!
Gue menyapu bersih semua yang ada di meja kerja. Gue sudah nggak peduli gelas, asbak kaca, dan semuanya jatuh berserakan di lantai. Hati gue begitu kacau balau, emosi membuat gue ingin memecahkan barang atau bahkan ingin sekalin memecahkan kepala orang.
Semua ini hanya karena gadis yang sangat gue cintai selama sepuluh tahun terakhir ini. Siapa lagi kalau bukan Risma Nabilla? Sekils gue ceritakan kenapa gue cinta sama Risma, itu karena hanya Risma satu-satunya cewek yang bisa membuat gue jatuh cinta.
Risma itu cewek yang mandiri, kuat, cantik, pipinya chubby, matanya sipit, kulitnya sawo matang, rambutnya berponi, dan pokoknya semua yang ada di diri Risma adalah tipe cewek idaman gue banget.
Baru saja gue hampir berhasil mendapatkan cinta Risma dengan mengikuti audisi pencarian gebetan sementara, eh tau-tau Bastian Yoel Permana datang lagi ke dalam hidup Risma.
“Kenapa sih dia datang lagi setelah enam tahun pergi dari hidup Risma? Apa dia sengaja ingin merebut kebahagiaan gue? No, Gue nggak akan biarin Bastian merebut apa yang gue suka. Risma nggak boleh dideketin sama cowok manapun!” Emosi gue semakin meledak.
Otak gue berpikir keras mencari cara agar tak ada satu pun laki-laki yang mendekati Risma. Namun sesaat kemudian gue menyunggingkan senyuman licik. Gue sudah berhasil menemukan cara itu.
“Gimana pun caranya, Risma harus jadi milik gue lagi. Gue yakin, Bastian nggak akan mengusik Risma kalau Risma udah jadi milik gue. Ya, itu ide yang cemerlang,” gumam gue sembari tersenyum. Mata gue terlihat meredup. Begitu kelam dan dingin.
Bruk!
Gue menjatuhkan tubuh ke tempat tidur kesayangan. Mata gue menatap langit-langit kamar, sambil membayangkan indahnya bercinta dengan Risma. “Risma, tunggu gue di hati lo. Gue yakin bentar lagi, lo bakal jatuh ke pelukan gue.”
***
Daripada gue stress uring-uringan di kamar, mending ke Janji Suci Coffe –bisnis yang gue bangun selama satu tahun ini. Siapa tahu dengan kerja bias mengurangi sedikit sakit hatinya gue.
“Mas, Avacado Coffe satu ya,” ujar lelaki sekitar umur dua puluh lima tahun.
“Atas nama siapa?”
“Aldi.”
“Oke, tunggu bentar ya.”
Si pemesan itu duduk di kursi nomor lima sambil main gadgetnya.Gue langsung membikinkan pesanannya. Namun, sialnya wajah Risma dan Yoel tertawa riang menari-nari di benak gue. Tanpa sadar gue sudah selesai membuatkan coffe buat pelanggan tadi.
“Atas nama Aldi, kopinya sudah selesai.”
Si pemesan menghampiri gue. Dia mencoblos tutup kopi plastiknya dengan sedotan, lalu menyeruput kopi yang dipesannya. Sesaat kemudian dia meludah. Gue kaget.
“Cuih, apaan ini? Kan gue mesennya Avacado Coffe, kok jadi rasa kopi pandan?”
Gue menepuk jidat. “Maaf Mas, saya salah. Saya bikinkan ulang. Sebagai permintaan maaf pemesanannya gratis.”
“Bener ya gratis?”
Dia kembali duduk ke tempat semula. Gue membuatkan pemesanannya ulang. Kali ini lebih hati-hati. Benar-benar sesuai pesanannya.
Sial, gara-gara terbayang Risma terus gue jadi membikinkan kopi favorit Risma. Ah, jadi rugi segelas kan. Nggak sampai lima menit selesai. Gue panggil lagi dia.
“Nah, ini baru sesuai pesanan gue.”
Gue tersenyum manis seraya menelungkupkan tangan. “Terima kasih sudah mampir ke Janji Suci Coffe. Maaf jika kurang memuaskan.”
Dia ngeloyor pergi.
Nggak sengaja gue menoleh ke kanan, tiba-tiba Felis muncul. “Sejak kapan lo berdiri di sana?”
“Sejak lo bengong bikin kopi dia. Lo kenapa? Tumben, nggak pokus, nggak enak badan?”
“Nggak kok. Gue fine-fine aja.”Gue sengaja berbohong karena gue yakin Felis ember bocor ke Risma.
“Hmmm … lo emang nggak pinter boong. Kalau ada masalah cerita aja kali, siapa tahu gue bias bantu. Tenang, gue janji nggak bakal ember bocor.”
Apa ini waktu yang tepat buat gue curhat soal Risma ke Felis?
“Dari tadi gue terbayang-bayang Risma sama Yoel mulu.”
Felis memandangi gue dengan tatapan serius. “Tolong jawab yang jujur, lo cemburu mereka kembali bersama?”
Hanya sebuah anggukan untuk menjawab pertanyaan Felis.
“Sejak kapan lo cinta sama Risma?”
“Sejak masih bocah kali. Nggak tau juga kapan rasa ini muncul.”
Hening. Mendadak raut wajah Felis yang berubah jadi murung. Dia juga melamun. Gue mengibaskan tangan di depan matanya. “Kok giliran lo yang melamun? Jangan-jangan lo juga cemburu sama mereka?”
“Eh, e … e … enggaklah. Ngapain gue cemburu sama mereka?”
Gue tahu dia lagi mengelak. Namun, gue biarin aja. “Terus gue mesti ngapain?”
“Satu-satunya yang bisa lo lakuin ya cuma memantau mereka sambil mencari celah untuk lo masuk ke hatinya Risma.”
Kata ‘mencari celah’ bukan ide yang buruk. Gue akan melakukan hal itu.
***
“Tadaaaaa … gue bawain kopi favorit lo nih,” ujar gue.
Gue sengaja tutup kedai kopi lebih awal demi ke rumah Risma. Toh, percuma juga kerja kalau otak selalu terbayang Risma mulu. Bisa-bisa tambah rugi.
“Asyik.”
Reaksinya nggak segirang biasanya. Risma tetap terpaku ke gadgetnya sambil senyum-senyum. Gue duduk di sebelahnya dan berusaha mengintip Iphone Risma. “Chat sama siapa sih? Kok senyum-senyum?”
“Sama pacar gue lah. Setelah sekian abad, ternyata Yoel masih humoris sama seperti awal kenal.”
Seraya ada ribuan duri bersarang di hati gue saat Risma membahas Yoel dengan bangga. “Hmmm.”
“Ris, gue nanya sesuatu dong.”
“Apa?”
“Andai kata nih, ada cowok lain yang lebih ganteng, mapan, baik disbanding Yoel terus cowok itu suka sama lo, kira-kira masih ada celah nggak cowok itu masuk ke hati lo?”
“Hmmm.” Dia menyeruput kopi yang tadi gue bawakan. “Kayaknya nggak deh. Hati gue dah mentok di Yoel. Etapi, gue nggak tau juga ke depannya. Kan Tuhan maha bolak-balikin hati manusia.”
Senyum mengembang di bibir gue. Setidaknya masih tebersit sebuah harapan. Walau harapan itu hanya 0.999999%. Tiba-tiba mama Risma keluar dari kamar.
“Eh, ada Nak Bima. Kebetulan banget Tante masak Udang Balado kesukaan kamu. Makan bareng yuk.”
“Nggak osah, Tante. Bentar lagi mau pulang kok.”
“Tumben, sok-sokan nolak. Biasanya paling gercep diajakin makan,” sahut Risma.
“Tau tuh, pake sungkan segala kayak sama siapa aja. Lagian tadi papamu nelepon, ngasih tau nggak bias pulang. Meeting di luar kota sama papanya Risma. Mbok Yem pulang kampung. Otomatis di rumahmu nggak ada yang masak. Kamu disuruh makan di sini, makanya Tante masak Udang Balado.”
“Kalau Tante maksa, ya udah deh aku mau.”
“Nah, gitu dong.”
Celah masuk ke hatinya Risma mungkin sudah. Namun, masuk sebagai menantu orang tua Risma pasti lebih terbuka lebar disbanding Yoel. Gue jadi makin semangat pedekate sama mamanya Risma.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments