Kondangan

Risma Samaya.

Gedung Puspo Nugraha, Solo Jawa Tengah menjadi saksi pernikahan Keyzia dan Rasya. Saat pertama kali aku menginjakkan kaki di gedung ini, aku sempat bengong beberapa menit saking terpukau akan kemeriahan pesta pernikahan mereka. 

Beruntung Keyzia mendapatkan Rasya, dia pasti cowok super duper tajir. Yang aku tahu sejak kuliah hidup Keyzia itu biasa banget. Jika Keyzia tidak mendapatkan suami yang kaya raya tidak mungkin pernikahannya bisa semeriah ini.

Setelah mengisi nama di buku daftar tamu, aku berjalan menuju sebelah kanan gedung, tempat presmanan makanan. Waw, makanan di gedung ini komplit. Dari makanan khas Jawa Tengah sampai khas Kalimantan semua ada. Hmmm … aku jadi bingung milih makanan yang mana. 

Aku menggaruk kepala yang tak gatal, sudah lima belas menit melototin makanan yang ada di depan mataku kok tak ada menu ice cream ya? Padahal tujuan utamaku datang ke pesta pernikahan karena ingin makan icecream gratis.

Di tengah kebingunganku dalam memilih makanan, tiba-tiba aku merasakan pundak disentuh oleh seseorang. Sontak aku membalikkan badan. Ternyata di belakangku ada Cindy, Renata, dan Anindya. Mereka bertiga sahaabatku waktu SD dan SMP. Mereka datang ke pernikahan Keyzia tidak seorang diri melainkan bersama suami dan anak. 

Melihat mereka aku jadi iri. Kapan ya aku bawa anak ke pernikahan teman? Untungnya sat ini aku datang ke nikahan Keyzia bersama Bastian. Aku tidak terlalu kalah dengan mereka.

“Hey, Risma apa kabar? Kamu makin cantik aja,” ujar Cindy.

“Alhamdulillah, baik. Ah, bisa aja. Kamu juga makin cantik deh.” Aku tersenyum manis membalas pujiannya Cindy.

Sebenanrnya apa yang kuucapkan bukan sekadar pujian belaka namun kenyataannya memang seperti itu. Cindy dari SD-SMP tubuhnya gemuk, berkulit hitam kini dia langsing dan berkulit putih. Mungkin sekarang dia jadi istri orang kaya makanya bisa melakukan perawatan tubuh yang mahal.

Mata Rena melirik kea rah Bastian, sesaat kemudian dia tersenyum. Senyumannya itu bukan senyum manis tapi senyuman jahil. Mendadak firasat buruk bertengger di hatiku. Sepertinya bentar lagi si Renata akan mengeluarkn kalimat usil dan membuatku malu dari mulutnya. 

Karakter Renata dari zaman SD adalah kalau ngomong asal jeplak.

“Wah, Ris tumben lo sekarang ke nikahan temen bawa cowok biasanya sendiri terus. Ciyeee … selamat ya udah nggak jomblo lagi,” ujar Renata.

Aku  bernapas lega, pasalnya ucapan Renata tidak terlalu membuatku malu. “Alhamdulillah yah, pangeran impianku udah nggak ngumpet lagi. Hehehe.”

“Nah, cowok kan udah ada buruan atuh diresmiin biar bisa nyusul Keyzia.” Kali ini Anindya yang angkat bicara.

“Yups, gue setuju sama Anindya. Buruan diresmiin gue tunggu undangannya!” Cindy menimpali.

Aku hanya tersenyum simpul sambil melirik Bastian. “Doain aja biar cinta kami sampai ke pelaminan. Kalian pasti dapet kok undangan dari gue.”

Mengamati tingkah Bastian yang sedari tadi banyak diam, aku jadi berpikir dia ada apa ya? Bastian memang pendiam, tapi diamnya kali ini seperti menyembunyikan sesuatu dari aku. Ntah apa itu. Aku harus cari tau.

“Hadirin sekalian, tiba saatnya kita memasuki sesi foto-foto bersama kedua mempelai. Kepada saudari Risma Nabila, Cindy, Felis Linanda, Renata dan Anindya dipersilakan maju ke pelaminan untuk berfoto dengan kedua mempelai.” Terdengar ucapan MC pernikahan menggema di telingaku.

“Eh, nama kita dipanggil tuh. Kita ke pelaminan buat foto-foto bareng Keyzia yuk!” Cindy mulai heboh. Dia itu hobi banget foto-foto bareng pengantin.

Mereka pun berjalan beriringan menuju pelaminan, sedangkan aku menaruh gelas minuman dulu baru mengikuti langkah mereka. 

Hanya memakan waktu lima menit saja aku sudah tiba di depan pelaminan kedua mempelai. Lagi-lagi aku bengong karena terpukau oleh dekorasi pelaminannya sangat indah berwarna ungu. Sebelas dua belas dengan dekorasi pelaminan pernikahan Gigi dan Raffi Ahmad. Bukan hanya itu saja, Keyzia juga pasti memakai piñata rias yang sangat keren terbukti dengan aku sampai pangling melihat kecantikan Keyzia berlipat-lipat.

“Woy, Risma. Lo sampai kapan bengong di sono? Ayo buruan kita foto-foto!” Suara cempreng Felis Linanda memecah semua lamunanku. Akhirnya aku mendekati mereka berdiri di sebelah kedua mempelai.

Aku dan Bastian memilih berdiri di sebelah Renata aja. Lalu aku memasang gaya andalan yaitu tangan kiri berkacak pinggang, tangan kanan membentuk angka 2 di dekat wajah dan manyunin bibir. 

1…2…3

Kilatan blitz dari kamera photografernya yang menandakan foto tadi sudah tersimpan. 

“Satu kali lagi kita foto dengan gaya berbeda,” ujar Keyzia.

Kali ini gaya yang kukeluarkan adalah memeluk Bastian mesra. Ah, pelukan dia ternyata masih sehangat dulu. Harusnya sih aku bahagia karena bisa memeluk Bastian lagi setelah enam tahun berpisah tapi ntah mengapa hatiku justru merasa sedih. Hatiku seolah-olah mengatakan ini terakhir kali aku bisa memeluk Bastian.

Dengan cepat aku menggelengkan kepala berharap itu takkan terjadi. “No, ini bukan pelukan terakhir. Pasti aka nada pelukan-pelukan mesra lainnya esok hari,” batinku.

***

Aku merebahkan tubuhnya tepat di spring bed kesayangan. Rasa lelah setelah berjam-jam berdiri di pernikahan Keyzia seolah meremukkan kakiku. Tanganku lalu meraba-raba bagian dalam tas, mencari ponsel pintar yang selalu setia menemaniku. Dengan cepat jemariku menelusuri pilihan lagu yang ada dalam daftar musik di ponsel pintar. Aku selalu percaya musik mempunyai kekuatan magis yang bisa menghilangkan rasa lelah.

 “Ris...” Sebuah suara mengejutkanku. Aku membuka matanya. Ternyata mama.

“Eh, Mama. Ada apa?”

 “Di luar ada Felis nyariin kamu.”

Mataku membelalak. “Felis? Ngapain dia ke sini? Tadi kan udah ketemu di undangan Keyzia.” Aku mengerutkan kening, bingung. Kutatap mata mama dengan pandangan memohon. “Ma, bisa bantuin aku? Mama suruh Felis pergi dong... bilang kalau aku udah tidur atau apalah. Yang penting Felis pergi. Ya, Ma? Pleasee....” Aku menangkupkan kedua telapak tangan ke depan, memohon dengan sangat.

Mama menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kalau kamu merasa terganggu, kamu bilang sendiri ke Felis. Kamu temui Felis sebentar, yang namanya tamu harus dihormati. Apalagi dia sahabat kamu dari SD, Ris.”

Aku mendengus kesal. Kata-kata mama selalu membuatnya tak berkutik. Aku kalah telak.

“Iya, iya. Aku akan menemuinya,” tukasku akhirnya, mengalah.

Mama tersenyum lembut, ditepuk-tepuknya bahuku. Lalu wanita itu pun beranjak pergi. Sepeninggal mama, Aku bengong sejenak.  Tak lama kemudian aku mendesah. Apa boleh buat, mau tidak mau, suka tidak suka, dan dengan sangat terpaksa, aku  harus menemui Felis.

“Hey, Lis ngapain lo ke sini? Tadi kan lo dah ketemu gue di undangan Keyzia, lo dah kangen lagi ya sama gue?” tanyaku begitu tiba di ruang tamu.

“Gue ke sini karena ada yang pengen gue tanyain ke lo.”

“Nanya tentang apa?”

“Gini di undangan Keyzia tadi gue liat Bastian lo itu diem aja. Dia lagi sakit?”

“Nah, itu dia masalahnya. Gue sendiri juga nggak tau. Tapi hati gue mengatakan ada sesuatu yang dia sembunyiin dari gue.”

“Oh gitu toh. Gue kirain dia sakit, makanya gue ke sini mau ngajakin lo ke rumahnya gitu.”

Dahiku berkerut. Aku jadi bingung sendiri, si Felis datang ke sini Cuma menanyakan tentang Bastian? Dia juga terlihat sangat mengkhawatirkan Bastian. Aku memandang Felis dengan tatapan curiga. Wah, jangan-jangan Felis jatuh cinta sama Bastian. Gawat nih.

“Eh, gue pulang dulu ya. Mau ganti baju nih. Dahhh…”

Felis ngeloyor pergi gitu aja. Mungkin dia menghindari tatapan mata denganku. Tapi ya sudahlah. Nanti juga akan terjawab dengan sendiri.

Drrrtttt … drttt

Aku tersentak kaget ketika handphone yang berada di tanganku tiba-tiba bergetar. Menandakan ada pesan masuk. Kesadaranku mulai kembali ke alam nyata. Dengan enggan kubuka pesan itu. 

From: Bastian

*Ris, bisa kamu ke Pantai Parangtritis sekarang*? 

Keningku berkerut. Lama dia terdiam. Jariku menggantung, ragu untuk mengetik balasan untuk Bastian. Aku menghela napas pelan. Mataku terlihat meredup. Bastian... memikirkan nama itu membuatku nyaris gila. Tingkahnya menimbulkan sejuta misteri tapi tetap saja hanya Bastian yang selalu menempati hatiku, tak ada yang lain.

Kembali ponselku bergetar. Kubuka pesan yang baru masuk itu.

From: Bastian

Ris, kamu bisa, kan? Kamu datang atau nggak, aku akan tetap menunggumu.

Hatiku menghangat membaca pesan itu. Tanpa kusadari air mata dengan sendirinya jatuh satu per satu dari pelupuk mata. Aku sendiri juga tak tahu kenapa menangis, kemudian aku mencoba tersenyum. Tanpa ragu jariku mulai mengetik balasan pesan dari Bastian.

To: Bastian

Aku akan datang. Maaf, balasnya lama.

Tanpa ragu segera kutekan tombol ‘send’ dan pesan itu pun terkirim. Aku menatap layar ponsel cukup lama. Hatiku berbunga-bunga. Hari ini jadwalnya seharian penuh bakal berada di samping Bastian. Kembali senyum manis itu terukir di bibirku. 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!