Mengajak Bertemu

Seperti biasa, sore-sore sekitar jam empat aku duduk manis di teras rumah, sambil menunggu kedatangan Felis dan Mas Bima. Mereka berdua selalu datang ke rumahku di jam segini, hanya sekadar ngobrol atau makan cemilan. 

Mas Bima, selama seminggu ini dia tak pernah kelihatan lagi batang hidungnya. Ke mana dia? Apakah sibuk ngurus kafe Om Raihan? Aku jadi kangen sama dia, lebih tepatnya kangen sama icecream. Mas Bima kalau datang ke rumahku selalu bawa icecream. 

Aku melirik jarum jam yang melingkar di pergelangan tangan kanan, jarumnya telah menujukkan jam empat lewat lima belas menit. Mereka berdua belum datang juga, aku pun memanfaatkan waktu dengan berselancar di dunia maya. 

Aku ingin melanjutkan obrolan dengan penulis misterius itu. Sayang, dia lagi tak online. Namun aku tetap mengirimkan pesan padanya, siapa tahu nanti malam dia membalas pesanku. 

“Apakah nama tokoh di novel itu benar-benar ada dalam hidup kakak?”

“Assalamualikum.” Terdengar suara dua orang, yang satu cewek yang satunya lagi cowok. Pemilik suara cewek itu sudah bisa dipastikan si Felis. Pucuk dicinta ulampun tiba. “Eh, Mas Bim. Panjang umur lo. Baru aja gue omongin dalam hati eh dah nongol. Kemana lo selama seminggu ini nggak pernah ke rumah gue?”

“Biasa, disuruh bokap ngurus kafe. Selama seminggu ini kafe penuh pengunjung. Kenapa? Kangen sama gue?”

“Iya sih kangen. Kangen sama icecream tapinya bukan sama lo. Hahaha…” Mas Bima memanyunkan bibirnya. Aku senang bukan main, berhasil membuat Mas Bima jengkel. “Mas Bim, lo bawa icecream nggak nih hari ini?”

“Ya, tentu bawa dong. Nih.” Mas Bima menyodorkan kantongan plastik yang dipegangnya kepadaku. Kuintip dulu isi kantongan plastiknya. “Huwaaa … icecream magnum. Makasih Mas Bim. Tahu aja kalau aku lagi pengen makan magnum.”

“Ya, tau dong. Apa sih yang gue nggak tau dari lo?”

“Eh, Ris. Tumben ada laptop di teras rumah, biasanya laptop lo Cuma nangkring cantik di kamar.”

“Tadi nunggu kalian datang, gue memanfaatkan waktu dengan online facebook.”

“Lo dah nemuin gebetan baru di facebook makanya lo rajin online facebook?” 

“Mulai deh sok taunya kumat. Gue tuh online facebook karena chat sama penulis misterius itu.”

“Nggak bakal dibales deh chat lo.”

“Kata siapa? Dia baik kok. Tadi malam aja gue chat langsung bales. Nik buktinya.” Aku menunjukkan isi chatingan sama penulis misterius itu. Mata Felis tak berkedip, seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. 

“Ajib, bener lo Ris. Dari ribuan pembaca novelnya Cuma chat lo yang dibales sama dia.” 

“Nggak, mungkin ah dia pilih kasih sama pembacanya. Bisa jadi dia nggak bales karena chat pembaca lain kelelep gitu.”

“Wait, kalian ngomongin apa sih? Daritadi nyebut-nyebut penulis misterius, emang penulis misterius itu siapa?” sahut Mas Bima.

Aku menepuk jidat. Aku lupa bahwa Mas Bima belum tahu tentang penulis misterius, habis dia sibuk di kafe. Dengan terpaksa aku menjelaskan secara panjang lebar awal aku mengetahui si penulis misterius itu. “Gitu ceritanya. Menurut lo gimana wajar nggak sih penulis menyembunyikan identitasnya dan tak pernah berkomunikasi dengan pembacanya?”

“Menurut gue wajar aja. Mungkin dia menyembunyikan identitasnya karena nggak mau terkenal. Nah, kalau soal komunikasi sama pembaca mungkin aja dia dasarnya pendiem dan jarang ngomong sama orang lain.”

“Berhubung chat lo dibales sama dia, ini bisa jadi kesempatan emas buat lo.”

“Kesempatan apa coba?”

Felis membenarkan posisi duduknya. Tak lama kemudian tangannya nyentuh-nyentuh dagunya sendiri. “Kesempatan buat lo ajakin dia ketemuan.”

Mataku berbinar mendengar ucapan Felis barusan. Diajakin ketemuan? Idenya Felis boleh juga. Dengan diajakin ketemuan maka segala rasa penasaranku akan hilang. Jari-jariku kembali mengetik chat untuk penulis misterius itu. 

Kakak, kita ketemuan yuk! Aku mengidolakan kakak, pengen minta tanda tangan dan foto bareng ma kakak. Boleh ya please…

“Gue rasa dia nggak akan mau deh lo ajakin ketemuan,” sahut Mas Bima.

“Kenapa nggak mau diajakin ketemuan?”

Raut wajah Mas Bima berubah, seperti sedang berpikir keras. Aku sendiri tak tahu mas Bima sedang berpikir apa. “Seperti kata gue tadi, dia menyembunyikan identitasnya karena nggak mau terkenal. Jadi gue pikir mustahil banget dia mau diajakin ketemuan.”

Jawaban Mas Bima cukup masuk akal. Ntah mengapa hatiku mengatakan jawaban Mas Bima itu bohong. “Aku harus mencari tahu kebenarannya,” tekadku dalam hati.

***

Arya Bima.

Ponsel gue sedari tadi memekik di telinga gue. Lagu itu pula yang membuyarkan seluruh mimpi indah. 

“Aduh, siapa sih yang pagi-pagi nelpon gue? Ganggu gue tidur aja!” Gue mendumel tak jelas. Dengan mata terpejam tangan gue meraba-raba mencari HP. Tak berapa lama HP telah berhasil dalam genggaman. Cepat-cepat menekan tombol Answer. Gue sudah hapal pencetan tombol HP jadi tanpa melihat pun sudah tahu letak tombol answer.

“Halo, selamat pagi. Apa benar anda Pangeran Cinta, penulis novel Malaikat Patah Hati?” Tanya seseorang di seberang telepon.

“Iya benar. Anda sendiri siapa?” gue balik bertanya padanya.

“Saya Dhea, dari penerbit yang menerbitkan novel anda.”

“Oh iya. Anda pasti menelpon saya karena ingin memberi kabar bahwa royalti saya sudah terbit kan?”

“Bukan, saya menelpon anda karena kemarin ada yang  ingin sekali anda menjadi pembicara di seminar yang mereka adakan. Apakah anda bersedia?”

“Hah? Jadi pembicara di seminar, anda serius?” pekik gue kaget mendengar apa yang diucapkannya saja. Reflex gue melompat dari tempat tidur, lalu mondar-mandir tak jelas di sekitar tempat tidur. Gue tak tahu harus jawab apa. Aduh, gue terima nggak ya? Inilah yang bias ague lakuin kalau lagi bingung.

Bayangan Risma tersenyum manis terlintas di pikiranku. Dia kemarin sore begitu berhasrat ingin bertemu dengan penulis novel Malaikat Patah Hati. Gue menjambak rambut sendiri. Ya, Tuhan apa ini waktu yang tepat Risma dan semua pembaca mengetahui identitas gue? 

“Tolak aja tawarannya, bikin orang penasaran itu seru loh.” Logika gue mulai berbicara.

“Jangan dengarkan dia, dengarkan aku sebagai kata hatimu. Sepuluh tahun kamu menyembunyikan aku dari Risma, aku sakit dan terluka. Aku butuh tempat berlabuh, aku ingin berlabuh di hatinya Risma. Kalau kamu tidak melakukannya sekarang maka kamu akan kehilangan Risma selamanya.” Kata hatiku tak mau kalah dari logika. 

“Halo, Mas Pangeran cinta anda masih di sana kan? Gimana bisa tidak anda jadi pembicara di acara seminarnya?” 

Gue menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskan secara perlahan. Gue sedikit tenang dan  pastinya sudah menemukan jawab yang tepat. “Baiklah, saya bersedia.”

Itulah keputusan yang gue ambil. Gue memilih mengikuti kata hati karena gue yakin hati tak pernah salah. Jika gue tidak melakukan, menyatakan cinta ke Risma sekarang maka gue akan kehilangan Risma selamanya. Gue tak mau hal itu terjadi lagi, cukup sekali gue kehilangan Risma. 

Rencananya gue bakal menyatakan cinta ke Risma saat acara seminar itu. Biar orang-orang tahu bahwa Risma adalah sumber inspirasiku.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!