NovelToon NovelToon
Voice From The Future

Voice From The Future

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Romansa Fantasi / Teen School/College / Time Travel / Romansa / Enemy to Lovers
Popularitas:50
Nilai: 5
Nama Author: Amamimi

Renjiro Sato, cowok SMA biasa, menemukan MP3 player tuanya bisa menangkap siaran dari masa depan. Suara wanita di seberang sana mengaku sebagai istrinya dan memberinya "kunci jawaban" untuk mendekati Marika Tsukishima, ketua kelas paling galak dan dingin di sekolah. Tapi, apakah suara itu benar-benar membawanya pada happy ending, atau justru menjebaknya ke dalam takdir yang lebih kelam?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amamimi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Panggilan, Penyesalan, dan Bubur Pagi

Renjiro terbangun dengan perasaan seolah kepalanya diisi kapas basah. Kamarnya gelap, tapi secercah cahaya pagi yang pucat menyusup dari celah gordennya. Dia melirik jam di ponselnya. Pukul 10.30 pagi. Dia sudah tidur selama... dia bahkan tidak tahu berapa lama.

Obat dari klinik semalam membuatnya pingsan total.

Dia meraih ponselnya dengan susah payah. Ada satu notifikasi baru di LINE.

[Tsukishima Marika]: Status? (Terkirim pukul 07.15)

Ren mengerang. Dia lupa memberi laporan. Dia pasti sudah dianggap sebagai "aset yang gagal". Dengan jari-jari yang kaku karena demam, dia mengetik balasan.

[SatoRenjiro77]: Masih hidup. Demamnya sedikit turun. Maaf\, ketiduran.

Pesan itu langsung terbaca (read). Seolah Marika sedang menunggunya. Ren menahan napas.

Tsukishima Marika sedang mengetik...

Notifikasi itu muncul, lalu hilang. Muncul lagi, lalu hilang lagi. Ren bisa membayangkan Marika di seberang sana—mungkin di tengah pelajaran—sedang mengetik balasan marah, menghapusnya, mengetik balasan efisien, lalu menghapusnya lagi.

Akhirnya, setelah satu menit penuh, balasan datang.

[Tsukishima Marika]: Hmph. Baguslah. Tetap kompres. Laporan lagi nanti siang.

Ren tersenyum kecil. "Siap, Ketua."

Dia meletakkan ponselnya. Ibunya sudah berangkat kerja pagi-pagi sekali, meninggalkan catatan di meja agar dia minum obat. Rumah terasa sunyi. Dan dalam kesunyian itulah, pikirannya kembali ke satu hal.

MP3 player.

Isak tangis Marika dewasa saat itu terasa seperti mimpi buruk. Itu beneran. Dia tidak sedang mendengarkan rekaman. Dia sedang berbicara... atau setidaknya, terhubung... dengan masa depan.

Dia harus mencobanya lagi. Sekarang.

Dia mengambil benda perak itu dari meja belajarnya. Benda itu terasa dingin. Dia memasang earphone, menarik selimut hingga ke dagu, dan memejamkan mata.

"Marika-san?" bisiknya, suaranya serak karena demam. "Kamu... kamu di sana? Tadi malam... aku..."

Statis. Hanya kresek-kresek yang menusuk telinga.

Ren menunggu. Satu menit. Dua menit.

"Tolong..." bisik Ren lagi, kali ini lebih putus asa. "Aku... aku takut. Apa yang terjadi?"

Statis itu tiba-tiba berubah. Suaranya tidak menghilang, tapi seolah menipis, seperti kabut yang tersibak. Dan di baliknya, terdengar suara napas yang terengah-engah.

"...Ren-kun?"

Itu dia. Suara Marika dewasa. Jelas, dekat, dan terdengar sangat lelah.

"Ya! Ya, aku di sini!" kata Ren, jantungnya berdebar kencang. "Marika-san! Tadi malam... kamu menangis!"

Terdengar helaan napas panjang dari seberang. "Maaf... maafkan aku. Aku... aku tidak menyangka koneksi ini bisa dua arah. Aku tidak menyangka kamu bisa mendengarku... secara live. Aku... kaget."

"Kaget?" balas Ren. "Kamu menangis histeris! Apa yang terjadi di sana? Di masa depan? Kenapa kamu terdengar... hancur?"

Keheningan yang menyakitkan. Ren bisa mendengar suara jam dinding berdetak di kamarnya, dan di seberang koneksi, dia bersumpah dia bisa mendengar suara rintik hujan.

"Ren-kun..." Suara Marika dewasa terdengar bergetar. "Aku... aku tidak bisa memberitahumu. Tidak semuanya. Tidak sekarang."

"Kenapa?!" tuntut Ren. "Kalau masa depan seburuk itu, beritahu aku! Biar aku bisa—"

"—Mengubahnya?" potong Marika, suaranya tiba-tiba menjadi tajam, penuh dengan rasa sakit yang tidak bisa disembunyikan. "Itulah masalahnya, Ren! Kamu tidak tahu apa yang akan terjadi jika kamu mengubahnya. Mengubah satu hal kecil... bisa merusak segalanya. Mungkin... mungkin koneksi ini bahkan tidak seharusnya ada."

"Tapi kamu yang memulainya!" balas Ren, frustrasinya memuncak. "Kamu yang memberiku instruksi! Gudang olahraga, buku sketsa... Kamu ingin aku mengubah sesuatu!"

"Itu... itu berbeda!" Suara Marika terdengar putus asa. "Itu... kenangan kecil yang aman. Aku hanya... aku hanya ingin kamu melihatnya. Melihat aku yang sebenarnya. Aku... egois. Aku hanya ingin, setidaknya di timeline-mu... kamu..." Suaranya pecah. "Kamu tidak membenciku."

Ren terdiam. Membencinya? Kenapa dia harus membenci Marika?

"Aku tidak mengerti," kata Ren pelan. "Aku... aku tidak mungkin membencimu. Apalagi... Marika yang sekarang. Dia..."

"Dia merepotkan, kan?" Suara Marika dewasa tiba-tiba tertawa kecil, tawa yang basah oleh air mata.

Ren tersenyum tipis. "Sangat."

"Tapi... tolong," lanjut Marika, nadanya kembali serius, mendesak. "Ren-kun, dengarkan aku baik-baik. Ini penting. Jauh lebih penting daripada Klub Kendo."

Ren duduk tegak, mencengkeram selimutnya. "Apa itu?"

"Festival budaya," bisik Marika. "Dua hari lagi. Itu... itu akan jadi hari yang luar biasa. Kalian berdua... kerja keras kalian akan terbayar. Itu akan jadi... hari terbaik."

"Lalu?" tanya Ren, firasatnya buruk.

"Lalu... di malam hari... setelah festival selesai. Tolong. Apapun yang terjadi, jangan tinggalkan dia sendirian."

"Tinggalkan siapa? Marika?"

"Ya," suaranya tercekat. "Dia... dia akan terlihat kuat. Dia akan terlihat marah padamu. Dia mungkin akan mengusirmu. Tapi tolong, Ren... jangan pergi. Apapun yang terjadi, jangan biarkan dia sendirian malam itu."

"Kenapa? Apa yang akan terjadi?"

"Itu..." Suara Marika bergetar hebat. "Itu adalah... penyesalan terbesarku. Malam dimana aku... aku membiarkannya pergi."

Ren bingung. "Kamu membiarkan dia pergi? Bukannya aku yang—"

KRESEK... KRESEK... BZZT...

"Marika-san?! Tunggu! Apa maksudmu?!"

"JANGAN TINGGALKAN DIA—"

KLIK.

Koneksi terputus. Hening.

Ren terduduk di tempat tidurnya, berkeringat, tapi bukan karena demam. Penyesalan terbesarku. Malam dimana aku membiarkannya pergi.

Apa maksudnya? Kenapa Marika dewasa yang menyesal?

Ren membuang earphone-nya. Dia pusing. Dia butuh udara. Dia butuh...

DING-DONG.

Bel rumahnya berbunyi.

Ren membeku. Siapa? Ibunya tidak mungkin pulang secepat ini. Dia melirik ponselnya. Tidak ada pesan dari siapapun.

DING-DONG.

Suara bel itu terdengar lagi, kali ini lebih tidak sabar.

Ren menyumpah pelan. Dengan langkah gontai, dia menyeret tubuhnya yang masih demam keluar dari kamar, menuruni tangga. Dia membuka pintu depan sedikit.

Dan jantungnya berhenti berdetak untuk kedua kalinya hari itu.

Tsukishima Marika berdiri di depan pintu rumahnya.

Dia mengenakan seragam sekolah lengkap, tapi rambutnya sedikit berantakan—mungkin karena berlari—dan pipinya memerah karena udara pagi yang dingin. Dia tidak terlihat seperti ketua OSIS yang berwibawa. Dia terlihat... kacau.

Dan di tangannya... ada sebuah kotak bekal (bento box) yang dibungkus kain dengan rapi.

Keduanya hanya saling menatap selama sepuluh detik yang terasa seperti sepuluh tahun.

"Tsuki... shima-san?" kata Ren, suaranya serak. "Kamu... kenapa...?"

Marika terlihat sama kagetnya. Dia jelas tidak menyangka Ren akan terlihat... seburuk ini. Piyama kusut, rambut seperti sarang burung, wajah pucat berkeringat.

Wajah Marika langsung memerah padam.

"SA-SATO-KUN!" bentaknya, suaranya terlalu keras untuk pagi yang tenang. "Kenapa... kenapa kamu tidak membalas LINE-ku dengan benar?! 'Masih hidup' itu bukan laporan status!"

"A-Aku kan sudah balas..."

"Tidak cukup!" potong Marika. "Aku... aku butuh konfirmasi visual bahwa aset OSIS masih berfungsi! Aku... aku sedang dalam perjalanan ke sekolah, dan kebetulan... kebetulan lewat daerah sini!"

Itu adalah kebohongan paling transparan yang pernah Ren dengar. Rumah Marika ada di arah yang berlawanan total dari stasiun.

"Dan..." Marika menatap ke mana saja selain ke wajah Ren. "Ibuku... Ibuku tadi pagi membuat terlalu banyak okayu (bubur nasi). Ya. Bubur. Dan... dan tidak efisien jika dibuang begitu saja. Jadi..."

Dia menyodorkan kotak bekal itu ke dada Ren dengan kasar. Kotak itu terasa hangat.

"Ini!" katanya. "Instruksi! Makan! Aset yang sakit tidak berguna bagi OSIS! Dan... dan bubur ini... bagus untuk... efisiensi pemulihan!"

Ren hanya bisa menatap kotak bekal di tangannya, lalu menatap wajah Marika yang memerah.

"Kamu... membuatkanku... sarapan?" bisik Ren.

"BUKAN!" teriak Marika, mundur selangkah. "IBUKU YANG MEMBUAT! SUDAH KUBILANG! JANGAN SALAH PAHAM!"

Dia berdeham, merapikan seragamnya, mencoba mengembalikan wibawanya. Gagal total.

"Pokoknya!" katanya. "Laporkan padaku kalau sudah habis! Dan... dan jangan mati! Festival tinggal dua hari lagi! Aku... kami... butuh kamu. Mengerti?!"

Dan sebelum Ren sempat mengucapkan "terima kasih", Marika berbalik badan dan berlari kecil—benar-benar berlari—menjauh dari rumahnya, menghilang di tikungan jalan.

Ren menutup pintu perlahan. Dia bersandar di pintu, tubuhnya masih lemah karena demam.

Dia menatap kotak bekal di tangannya. Dia membukanya perlahan.

Itu adalah okayu. Bubur nasi putih yang masih mengepul, dengan irisan telur rebus, taburan daun bawang, dan beberapa potong jahe di pinggirnya. Sederhana. Dibuat dengan terburu-buru. Dan jelas bukan buatan seorang ibu. Itu buatan seseorang yang baru belajar memasak.

Renjiro Sato, di tengah kebingungan dan rasa takutnya akan masa depan, tertawa pelan. Dia mengambil sendok.

Rasanya... sangat efisien.

1
Celeste Banegas
Bikin nagih bacanya 😍
Starling04
Gemes banget sama karakternya, ketawa-ketiwi sendiri.
Murniyati Mommy
Asyik banget bacanya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!