NovelToon NovelToon
Ayo, Menikah!

Ayo, Menikah!

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Romantis / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Office Romance / Cintapertama
Popularitas:942
Nilai: 5
Nama Author: QueenBwi

Arkan itu cowok baik—terlalu baik malah. Polos, sopan, dan sering jadi sasaran empuk godaan Elira, si gadis centil dengan energi tak terbatas.

Bagi Elira, membuat Arkan salah tingkah adalah hiburan utama.
Bagi Arkan, Elira adalah sumber stres… sekaligus alasan dia tersenyum tiap hari.

Antara rayuan iseng dan kehebohan yang mereka ciptakan sendiri, siapa sangka hubungan “teman konyol” ini bisa berubah jadi sesuatu yang jauh lebih manis (dan bikin deg-degan)?

Cinta kadang datang bukan karena cocok—tapi karena satu pihak nggak bisa berhenti gangguin yang lain.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon QueenBwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sembilan

Arkan mengurut keningnya, napasnya keluar berat seperti orang baru saja menghadapi ujian hidup. Di hadapannya duduk—atau lebih tepatnya—menggoda dengan sadar diri—Elira. Si wanita yang akhir-akhir ini entah kenapa otaknya selalu sebut dengan kata “montok”.

Intinya, Arkan menyeret Elira ke ruang istirahat karyawan dan mengunci pintu. Demi Tuhan, kalau tidak dikunci, Ayana dan Raka pasti sudah nongol sambil bawa popcorn.

“Kenapa kau begitu sih, Arkan?! Aku cuma kangen, loh!” protes Elira dengan wajah merengut, duduk di kursi dengan posisi tangan bersedekap seperti sedang meminta pertanggung jawaban.

Arkan berdiri menyender di dinding, menatapnya datar. Datar, tapi jantungnya berdetak seperti drum festival.

“Serius, Elira. Sebenarnya apa yang kau mau dariku? Kenapa kau terus lakukan ini?”

Elira menatapnya dengan mata jenaka. “Ya menikah, lah. Bukankah itu sudah jelas?”

“Bukan itu maksudku.” Arkan menahan diri untuk tidak memutar bola mata. “Maksudku, bagaimana kau bisa tahu segalanya tentang aku? Sedangkan aku—aku bahkan belum tahu kamu suka kopi atau teh.”

Elira tersenyum manis, senyum yang semakin membuat Arkan mendelik curiga. “Arkan mau tahu, ya? Mau banget?”

Nada suaranya lembut, menggoda, dan sangat berbahaya bagi pria sepolos Arkan. Ia menelan ludah. “Ya.”

“Aku kasih tahu, tapi ada syaratnya~” katanya sambil mendekat, mengangkat dagunya sedikit. “Cium aku dulu.”

“APA?”

“Cium.” Ia menunjuk pipinya. “Disini.” Lalu menunjuk dahi. “Disini.” Kemudian menatapnya dengan polos yang jelas-jelas tidak polos. “Dan terakhir, disini." Sambil menunjuk dadanya sendiri.

Arkan menatapnya lama. Otaknya menjerit “JANGAN”, tapi matanya bilang “BOLEH JUGA”.

Sialan.

“Kalau kau tidak mau, ya sudah. Cari tahu sendiri saja.”

Arkan menghela napas, nyerah pada rasa penasaran. “Baiklah.”

Senyum Elira langsung merekah seperti baru memenangkan lomba menggoda pria paling polos sejagat raya. Ia menggenggam tangan Arkan dan menariknya keluar ruangan.

Begitu pintu dibuka—BAM.

Rombongan karyawan sudah berkerumun di depan pintu dengan ekspresi penuh dosa sosial media.

“Maaf ya, show-nya belum mulai!” kata Elira nyengir, “Nanti kalau sudah, aku undang, tapi tolong jangan bawa tripod!”

Ayana hampir tersedak air mineral, Raka sudah nangis tertawa. Sementara Arkan menutup separuh wajahnya dengan tangan, menyesal lahir ke dunia.

Seumur hidup, belum pernah dia ingin menghilang secepat ini.

***

Dua puluh menit kemudian, Arkan berdiri terpaku di depan hotel bintang lima.

“Serius, Elira? Hotel?”

Elira menatapnya dengan wajah bersalah yang tidak kelihatan bersalah sama sekali. “Yah… supaya bisa bicara berdua. Tempat ini kan kedap suara. Aman dari Raka atau kak Ayana yang suka menguping.”

“Berdua?” Arkan mengulang dengan nada tegas yang berusaha terdengar tegas tapi malah terdengar panik.

“Iya. Jangan khawatir, aku tidak akan makan kamu.” Elira tersenyum, lalu menambahkan dengan nada pelan, “Kecuali kau yang minta.”

Arkan membeku. CPU-nya error.

***

Beberapa menit kemudian di kamar hotel, Arkan berdiri di depan jendela besar, berusaha fokus ke pemandangan kota. Jalanan begitu ramai dengan pejalan kaki serta kendaraan yang berlalu lalang juga Gedung tinggi. Dan suara pintu kamar mandi terbuka.

“Arkan~”

Ia menoleh.

“OH TUHAN—Elira, kenapa kamu cuma pakai kemeja?!”

Elira menatapnya polos. “Aku tadi ketumpahan air pas cuci tangan. Jadi celana basah. ya, sudah aku lepas aja.”

“Kenapa tidak pakai handuk!? Dikamar hotel selalu disediakan handuk baru!”

“Tadinya mau dipakai, tapi tidak nyaman. Ya, sudah begini saja.” Ia berputar. “Lucu kan?”

Lucu kepala kamu, batin Arkan. Tapi bibirnya hanya bisa komat-kamit tanpa suara.

Elira tertawa pelan. “Kamu tuh lucu banget kalau panik.”

“Aku tidak panik!” jawab Arkan, jelas sedang panik.

Dia menatap ke arah lain, tapi setiap gerakan Elira terasa seperti efek slow-motion dalam film. Setiap helai rambut, setiap langkah, semuanya seperti jebakan.

Elira mendekat, jaraknya tinggal sejengkal. “Kau masih mau tahu kenapa aku tahu banyak tentangmu?” bisiknya lembut.

Arkan menelan ludah. “Ya.”

“Karena aku sudah suka kamu bahkan sebelum kita bertemu.”

“Ha?”

“Waktu itu aku baca profilmu di proposal merger perusahaan. Fotomu kelihatan dingin dan membosankan, tapi entah kenapa aku malah pengen tahu rasanya bikin kamu kehilangan kontrol.”

Elira tersenyum kecil, lalu mundur setengah langkah. “Dan ternyata itu mudah.”

Arkan tak tahu harus tertawa, marah, atau pingsan. Tapi yang jelas, jantungnya tak karuan.

“Jadi sekarang, Daddy Arkan,” kata Elira manis, “masih mau berpura-pura tidak suka sama aku?”

Arkan menghela napas panjang. “Kau tahu tidak, Elira…” katanya pelan, menatapnya dengan campuran frustrasi dan kagum. “Kau itu benar-benar bahaya.”

Elira mengedip, “Tapi adiktif, kan?”

Arkan menatapnya lama.

“…Sayangnya iya.”

Keduanya tertawa pelan, suasana berubah lembut tapi tetap berdenyut oleh ketegangan yang belum selesai. Tidak ada yang menyentuh siapa-siapa, tapi udara di antara mereka padat seperti percakapan yang ditunda terlalu lama.

Mereka berdua tahu satu hal pasti:

Ini baru permulaan.

***

Arkan menatap ke arah jendela hotel, tapi fokusnya sudah kabur sejak lima menit lalu.

Hari belum gelap, tapi pikirannya seperti sudah menggelap lebih dulu—tentang satu hal: Elira.

Sial, wanita itu berbahaya.

Berbahaya dalam bentuk yang sangat tidak bisa dijelaskan dengan logika pria normal.

“Arkan, kenapa kelihatan tegang begitu?” suara lembut itu terdengar dari belakang.

“Karena aku memang tegang,” gumamnya pelan tanpa sadar, lalu mendengar tawa kecil di belakang punggungnya.

Elira duduk di tepi ranjang, kemejanya—masih yang sama—jatuh longgar di bahu, rambut basah setengah kering. Aroma sabun dan parfum bercampur, menyerang sistem pertahanan Arkan yang sudah keropos sejak tadi. Dan tentu saja masih tanpa celana. Sialan sekali.

“Kenapa kau bawa aku ke sini sebenarnya?” tanya Arkan akhirnya, mencoba tetap rasional.

Elira menatapnya dengan ekspresi polos yang jelas-jelas dibuat-buat. “Biar bisa bicara tanpa gangguan. Di kantormu terlalu banyak yang suka menguping."

“Bicara?” Arkan mengulang, suaranya seperti orang yang tak percaya hidupnya sampai di titik ini. “Bicara pakai… kemeja setengah basah tanpa celana dan tatapan pembunuh iman?” tambah Arkan lagi.

Elira menahan tawa. “Jadi kau memperhatikan?”

“Bagaimana mungkin tidak memperhatikan? Tatapanmu itu melebihi predator karnivora. Tapi bedanya, kau yang ngebet minta di makan."

Elira akhirnya benar-benar tertawa keras. “Lucu juga kamu kalau panik.”

“Aku tidak panik.”

“Ya, ya. Semua pria bilang begitu sebelum akhirnya mengaku.” Ia menatap Arkan, lalu mencondongkan tubuh sedikit. “Kau tahu tidak, kau punya cara bicara yang tenang tapi berbahaya. Seperti dosen killer tapi mempesona.”

Arkan mendesah. “Aku tidak tahu harus tersinggung atau berterima kasih.”

Elira tersenyum kecil. “Keduanya, mungkin.”

Suasana mendadak jadi aneh.

Bukan aneh yang canggung, tapi aneh yang… terlalu sunyi.

Keduanya menatap satu sama lain lebih lama dari seharusnya, sampai Arkan menyadari detak jantungnya sendiri jadi soundtrack kamar hotel itu.

“Jadi, Elira…” katanya akhirnya, berdeham pelan, “kita dijodohkan ini… kamu tidak keberatan?”

Elira memainkan ujung rambutnya. “Aku? Tidak. Aku malah senang.”

“Senang?”

“Ya. Aku sudah ketemu banyak orang ambisius, haus kekuasaan, semuanya menjengkelkan. Tapi kau… beda.”

“Beda bagaimana?”

“Kau kelihatan seperti orang yang hanya ingin hidup damai, kerja rapi, dan pulang tepat waktu. Tapi kalau marah, bisa bikin orang menangis tujuh hari tujuh malam.”

Arkan hampir tertawa tapi menahan. “Kau observatif juga ternyata.”

“Tentu saja. Aku bisa baca orang lebih cepat daripada baca laporan keuangan perusahaan.”

Arkan berjalan mendekat, lalu duduk di sofa seberang tempat tidur, menjaga jarak aman. “Kau suka main api, ya, Elira?”

“Kalau apinya Arkan, mungkin.”

“Berhenti menggoda.”

“Berhenti jadi menggoda, baru aku berhenti.”

Arkan menatapnya. Kali ini tanpa ekspresi datar—lebih seperti seseorang yang berusaha keras menahan diri untuk tidak tersenyum.

Elira mencondongkan tubuh ke depan, menatapnya dengan mata yang berkilat. “Aku cuma ingin kau tahu, aku serius. Aku tidak keberatan dijodohkan, karena dari semua orang yang pernah aku kenal, cuma kau yang bikin aku merasa… tenang.”

Arkan diam. Matanya menatap Elira, dan untuk pertama kalinya malam itu, nada suaranya menurun lembut. “Kau ngomong begitu, tapi sadar tidak, kau juga bikin aku pusing tujuh keliling?”

Elira tersenyum lebar. “Bagus, dong. Berarti kita impas.”

“Tidak. Kau bikin aku insomnia.”

“Berarti aku efektif.”

“Efektif bikin orang stres.”

“Stresnya manis kan, Arkanku?”

Arkan menghela napas, lalu berdiri. “Aku pulang.”

Elira memelototkan mata. “Hah?! Kau mau ninggalin aku sendirian di hotel?”

“Kalau aku tetap di sini, aku tidak yakin bisa menjaga kewarasan. Jadi, iya. Aku pulang.”

Elira berdiri, menghadangnya di depan pintu dengan tangan menyilang. “Tidak bisa. Ayo, duduk sini dulu. Aku belum selesai.”

“Elira—”

“Arkan.”

Nada suaranya berubah. Lembut, tapi serius. “Aku tahu kau orangnya hati-hati. Tapi aku bukan bom waktu. Aku cuma… suka kamu. Sesederhana itu.”

Sunyi.

Beberapa detik terasa seperti menit.

Arkan menatapnya lama, lalu tiba-tiba tertawa pelan. “Kau tahu tidak? Kau itu gila.”

Elira nyengir. “Gila sama kamu, iya.”

Ia membuka pintu dan bersandar di kusennya, melirik jam di dinding. “Baiklah, gila. Aku pulang dulu sebelum gila beneran.”

Tapi Elira menahan tangannya cepat, "Kau tega tinggalkan aku sendirian disini?"

"Elira, aku ini pria normal. Kau tidak takut aku apa-apain?"

"Tidak! Justru aku ingin di apa-apain sama kamu!" Elira senyum lebar.

"Astaga! Kau benar-benar gila!"

Kali ini tawa Elira pecah, ia memeluk lengan Arkan agar pria itu tidak kemana-mana, “Jangan pikir bisa kabur selamanya, Arkan.”

“Aku tahu. Kau terlalu berisik untuk dihindari.”

Elira tersenyum puas.

Pada akhirnya Arkan tidak jadi pulang. Mereka berakhir duduk berdua sambil mengobrol lalu tidur bersama— benar-benar hanya tidur, kok. Aman.

Iya, untuk saat ini.

1
QueenBwi
💜
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!