Kania nama gadis malang itu. Kehidupan sempurnanya kemudian berantakan setelah sang ibu meninggal dunia. Ayahnya kemudian menikahi janda beranak satu di desanya. Kehidupan bahagia yang sempat dirasakannya di masa lalu terasa seperti barang mewah baginya. Kania nama gadis malang itu. Demi menutupi utang keluarganya, sang ayah bahkan tega menjualnya ke seorang rentenir. Pernikahannya bersama rentenir tua itu akan dilaksanakan, namun tiba-tiba seorang pria asing menghentikannya. " Tuan Kamal, bayar utangmu dulu agar kau bebas menikahi gadis mana pun", pria itu berucap dingin. Hari itu, entah keberuntungan atau kesialan yang datang. Bebas dari tuan Kamal, tapi pria dingin itu menginginkan dirinya sebagai pelunas utang. Kania nama gadis itu. Kisahnya bahkan baru saja dimulai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yourfee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10
Edward Lamos menepati janjinya. Ia tiba di rumah sebelum jam makan malam, didampingi Felix tentu saja. Jika Edward naik ke lantai atas untuk menemui istrinya, Felix memilih masuk ke dalam kamar tamu yang sering ditempatinya kala ia menginap. Barang-barang pribadinya tersedia di sana. Pria itu mulai membersihkan tubuhnya, sebelum bertemu dengan sang adik ipar, istri kecil dari sahabat baiknya.
Edward Lamos mengetuk pintu kamar istrinya. Kania kemudian menarik pintu kayu itu perlahan. "Tuan, kau sudah pulang?"
"Iya, kenapa memangnya? Kau terlihat tidak senang. Apakah kau terganggu dengan kehadiranku?" Edward menatap istrinya kesal.
"Aku cuma bertanya. Kenapa kau sewot sekali ? Apa kau kerasukan arwah jin penunggu hutan?"
"Wah lihatlah, baru ditinggal sebentar kau semakin kurang ajar. Besar kemungkinan kau akan masuk neraka karena sering berdosa pada suamimu". Edward berbicara seolah-olah ia adalah ahli agama.
Kania memutar bola matanya malas. Memilih mengabaikan pria aneh itu.
" Aku mau memberitahu sesuatu. Di bawah ada kakak iparmu sedang menunggu. Kita akan makan malam bersama. Anggap saja ini sebagai ajang perkenalan.Kau berpakaianlah yang sopan. Jangan sampai berpakaian kampungan. Satu lagi, jangan genit. Saudaraku beriman lemah. Awas saja kalau berani menggodanya. Hari ini juga aku akan mencincangmu. Kau paham?"
Kania menatap datar pria itu. Rasa segan dan hormatnya pada pria itu entah menguap ke mana. Digantikan kekesalan tak berujung. Hidupnya damai sekali ketika pria itu tidak ada. Lihatlah, belum 10 menit dia datang, amarah Kania seolah-olah naik sampai ubun-ubun.
"Heh bocah apa kau mendengarku?"
"Dengar. Aku tidak tuli. Tuan tenang saja".
"Lalu kenapa kau diam saja? Apa kau terpesona denganku? Cih apa kataku? Aku memang sangat tampan". Ingin sekali Kania menyumpal mulut suaminya dengan sambal terasi. huh sabar Kania, gadis itu membatin. Tangannya mengelus-elus dadanya.
"Satu lagi, berhenti memanggilku tuan. Aku geli sekali mendengarnya. Kau tidak bisa bersikap sedikit lebih romantis pada suamimu?"
"Baiklah, tapi Tuan berhenti memanggilku bocah atau gadis ingusan, apalagi mengataiku masih memakai popok. Yang benar saja. Aku sudah setua ini". Bagaimana, Tuan setuju?"
"Baiklah aku akan mengubah panggilanku. Aku akan memanggilmu eh siapa namamu?"
"Kania Winara, Tuan".
"Baiklah, aku akan memanggilmu nira". Putusnya enteng.
"Nira? Aku tidak mau Tuan. Panggilan macam apa itu. Terdengar menggelikan".
Lalu kau mau dipanggil apa? Nenek?" Sungut Edward kesal.
"Kalau Tuan mau dipanggil Kakek sih boleh".
"Apa katamu?" Bola mata Edward melotot tajam.
"Kau bisa memanggilku Kania, Tuan dan aku akan memanggilmu om, bagaimana bagus kan?"
"Aku tidak mau dipanggil om enak saja. Sejak kapan aku menikah dengan bibimu? Lagipula, aku belum setua itu".
"Atau aku akan memanggilmu kakak. Bagaimana, bagus kan?"
"Kakak? Kau kan istriku bukan adikku. Eh tapi itu lebih baik daripada dipanggil om, Baiklah aku setuju".
"Baiklah Kak Edward. Aku mau bersiap-siap dulu. Kau pergilah mandi. Sebentar lagi kita akan makan malam. Aku dan Bi Ratih sudah menyiapkan semua hidangannya".
"Heh, kau berani mengusirku? Apa kau bilang. Kau dan Bi Ratih yang memasak? Memangnya kau bisa masak? Awas saja kalau aku sampai keracunan apalagi meninggal karena masakanmu". Edward Lamos mendorong pelan kening istrinya menggunakan telunjuk.
"Kak Edward kenapa suka sekali berpikiran negatif? Tenang saja, aku sering memasak.Masakanku mungkin tidak kalah enak dengan masakan chef ternama". Kania tampak yakin sekali.
"Lihatlah, sombong sekali gadis ini. Awas saja jika masakanmu sampai merusak lidahku?" Edward Lamos melenggang pergi setelah membuat urat leher istrinya tegang.
Pria itu masuk ke kamar, menutup pintunya pelan kemudian tertawa lepas persis orang stres. "Astaga, gadis itu kenapa lucu sekali? Tunggu, lucu? Ih apanya yang lucu. Dia tampak pintar sekali berakting. Kemarin saja saat hendak dinikahi rentenir tua itu, ekspresinya sangat murung, persis orang pesakitan. Sekarang, dia bahkan terang-terangan berdebat denganku. Definisi lucu kayaknya kurang tepat untuk gadis sinting itu". Edward bergidik ngeri, lupa kalau sebenarnya dialah yang sinting.
"Tapi kenapa aku senang ya mendengar dia memanggilku kakak?" Ya Tuhan Edward Lamos yang terkenal arogan itu salah tingkah karena dipanggil kakak oleh istrinya.
Edward masih terlihat senang. Moodnya bagus sekali saat ini. Pria sinting itu bahkan bersenandung ria ketika membasuh tubuhnya. Siapapun yan mendengar nyanyiannya, mungkin akan bergidik geli. Suaranya persis seperti kaleng rongsokan. Mandi kilat versi Edward berjalan sukses. Lima menit kemudian pria itu berdiri di depan cermin kamarnya. "Lihatlah, aku sungguh tampan, bukan? Gadis itu sok polos sekali tidak mengakui ketampananku. Mungkin seleranya adalah pria-pria ingusan yang berwajah jelek". Ah sudahlah lebih baik aku keluar sebelum pria lajang itu mengumpatiku".