Kisah Seorang Buruh kasar yang ternyata lupa ingatan, aslinya dia adalah orang terkuat di sebuah organisasi rahasia penjaga umat manusia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Babah Elfathar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Bab 7
Rafi mematung di tempatnya, dia masih mengira apa yang didengarnya itu tidak benar.
Dipecat?
Dipecat tanpa surat peringatan apa pun?
Di sebelahnya, Novida juga cukup terkejut dengan pemecatan Rafi yang begitu mendadak. Tapi senyuman licik muncul di sudut mulutnya.
Novida merasa ini adalah situasi yang menguntungkan — sudah waktunya Rafi, yang selama ini hanya jadi pemain cadangan dalam turnamen hidupnya, untuk pergi.
Memang posisi Rafi yang sudah jadi kepala bagian HRD cukup menjanjikan, apalagi usianya juga terbilang cukup muda untuk mengisi posisi kepala bagian. Gaji serta bonus-bonus lainnya juga dapat menggiurkan wanita-wanita di luar sana.
Tapi standar Novida sangat tinggi. Apalagi Liana saat ini sudah berhasil mendapatkan Rafael Voss, tentu dia harus bisa mencari pasangan yang lebih hebat dari milik Liana.
Dia sudah membandingkan antara Rafi dan Rafael — pemenangnya tentu saja Rafael. Rafael lebih unggul dari segi materi, hal yang paling penting dari penilaian Novida.
“Pak Rolan, a-apa ini maksudnya? Kenapa saya dipecat?” Rafi bertanya setengah bingung.
Pak Rolan melirik dengan santai. “Perusahaan ini sudah diakuisisi. Sekarang dia sudah resmi jadi pemilik perusahaan ini. Kamu tahu kalimat pertama yang dia ucapkan setelah tanda tangan berkas pengalihan nama? Dia ingin kamu dipecat, jadi aku tidak bisa bicara apa-apa.”
Rafi masih tidak terima dan ingin bertanya, tapi Pak Rolan sudah berada di ambang pintu sembari berkata,
“Aku masih banyak kerjaan. Kamu sendiri yang tahu apa yang sudah kamu lakukan, dan sepertinya kamu salah memilih musuh kali ini.”
Lalu Pak Rolan melangkah pergi, membiarkan Rafi yang masih melongo tak percaya.
Dia menghempaskan pantatnya ke kursi paling nyaman dan besar di ruangan bagian HRD.
Kursi yang susah payah dimilikinya, kursi yang selama ini jadi tujuan dalam hidupnya, kursi yang jadi penyemangatnya.
Hilang — sebentar lagi kursi itu akan dimiliki orang lain.
Siapa? Banyak orang yang memiliki masalah dengan Rafi, tapi tidak ada satu pun yang memiliki kemampuan mengakuisisi sebuah perusahaan.
Rafi juga tidak akan bodoh dan memilih dengan siapa dia akan memulai sebuah perang.
…
Di sisi lain, setelah proses akuisisi selesai dan mencapai kesepakatan bahwa Roki Budiman akan tetap menjadi direktur untuk menjalankan perusahaan, sedangkan Rangga Wicaksana sebagai pemilik masih belajar cara menjalankan perusahaan.
Kesepakatan ini tentu saja sangat bagus. Rangga sangat awam dalam hal-hal seperti ini, jadi menyerahkan kepada profesional adalah pilihan yang tepat.
Saat urusan akuisisi sudah selesai, Selena berpamitan,
“Kalau begitu, saya pamit undur diri dulu.”
Rangga berdiri dan berkata,
“Aku juga masih ada urusan, ayo kita pergi bersama.”
Rangga ingin menyelesaikan urusan keuangan dengan Selena.
Padahal, Rangga ingin berjalan di depan Liana dengan posisi barunya sebagai direktur utama Luminex Corp.
Membuat Liana terkena serangan jantung sepertinya lebih dari cukup. Tapi ada hal yang lebih penting dari itu.
Selena membetulkan kacamatanya sambil tersenyum manis. “Baik.”
Keduanya berjalan keluar dari perusahaan. Rangga menghela napas dan berkata,
“Manajer Selena, bagaimana saya harus berterima kasih pada Anda? Dari tadi saya merepotkan Anda terus…”
Selena tersenyum tipis dan berkata,
“Sudah tenang saja. Anda adalah nasabah pemegang kartu berlian di Astra Bank, jadi saya 100% harus membantu Anda dengan tuntas.”
Rangga terkejut — dia tidak menyangka kalau menjadi nasabah saja bisa mendapatkan keuntungan yang begitu banyak, apalagi diprioritaskan seperti ini.
“Tapi kalau Anda benar-benar ingin berterima kasih pada saya…”
Selena tersenyum malu sambil menunduk, “Anda bisa menjadi teman saya pergi ke pesta malam ini. Yah, intinya Anda berpura-pura jadi pacarku. K-kalau Anda keberatan juga tidak apa-apa.”
Rangga terdiam sejenak lalu mengangguk.
“Tidak apa-apa, aku mau membantumu.”
Selena mengangguk senang. “Tidak bisa ditarik lagi ya! Aku akan menelponmu nanti malam, aku akan menjemputmu. Eh, kita pakai bahasa santai saja ya?”
Rangga mengangguk.
Tak terasa mereka sudah sampai di depan pintu masuk. Mereka pun saling berpamitan dan pergi naik taksi masing-masing.
Pukul 11.20 siang, Rangga sampai di depan pintu masuk area konstruksi.
Ada pemandangan tak biasa di sana: seorang wanita berambut pendek sedang menenteng tas bekal dengan raut muka penuh kekecewaan.
Saat dia melihat Rangga berdiri di depan pintu masuk area konstruksi, wajahnya berubah. Matanya berbinar, senyumnya lebar sambil berjalan ke arah Rangga.
“Aku pikir kamu tidak datang!” kata wanita itu sambil tersenyum.
“Kemarin aku pergi ke bank untuk memeriksa saldo tabungan. Siapa tahu kamu bohong padaku,” kata Rangga.
“Jadi apa sekarang kamu mau kembali denganku?” kata wanita berambut pendek itu dengan penuh harap.
Rangga mengangguk dan berkata, “Iya.”
“Yes!” pemilik rambut pendek itu bersorak kegirangan. “Akhirnya Night Watcher Zero kembali!”
“Night Watcher Zero?” Rangga mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”
“Kita adalah pasukan rahasia. Kita masing-masing punya nama samaran dengan angka. Semakin kuat maka semakin kecil angka yang digunakan. Seperti kamu — Night Watcher Zero, senjata terkuat Night Watcher!”
“Tapi karena kamu menghilang selama tiga tahun, banyak orang mengira kamu sudah mati dalam misi besar terakhir yang kamu jalankan. Jadi gelar Zero sekarang sudah dimiliki orang lain, tapi selama kamu bisa mengingat semuanya… aku yakin posisi itu akan kembali jadi milikmu,” tambah wanita itu.
Rangga menggaruk kepala bingung. Dia sama sekali tidak mengerti maksud dari manusia imut di depannya.
“Apa yang harus aku lakukan supaya ingatanku pulih?”
“Pertama-tama aku akan membawamu ke Dokter Sisil Bahri.”
Wanita berambut pendek itu berkata dengan penuh tekad. “Dokter Sisil adalah dokter terbaik, aset berharga yang dimiliki Night Watcher — dan dia adalah salah satu dokter terbaik di dunia!”
Rangga mengangguk. “Baiklah. Ngomong-ngomong, aku belum tahu siapa namamu…”
Wanita itu terdiam sesaat, menggaruk kepalanya dan berkata,
“Nama samaranku Nomor 66. Kamu bisa memanggilku Si Enam Puluh Enam. Kalau soal nama asliku… kamu harus mengingatnya sendiri saat sudah ingat nanti.”
Rangga merasa aneh saat mendengar nama samaran wanita di depannya itu.
Wanita cantik begini harus dia panggil seperti memanggil barang saja.
Mereka menghentikan taksi dan naik ke dalamnya.
Tujuan mereka bukan rumah sakit atau klinik — mereka berhenti di tempat yang tak asing untuk Rangga.
Komplek Pondok Indah!
Ya, tujuan mereka adalah Komplek Pondok Indah!
“Karena aku berniat untuk mengawasimu sebelum kamu kembali, jadi aku membeli rumah di dekatmu. Aku tinggal di sana bersama Dokter Sisil,” kata wanita itu sambil tersenyum.
Mereka pun sampai di dalam rumah.
Dokter Sisil adalah seorang wanita dan seorang dokter yang jauh berbeda dari bayangan Rangga.
Rangga mengira kalau Dokter Sisil sudah berumur, tapi berbeda sekali dengan apa yang ada di kepalanya!
Dokter Sisil masih muda!
Dokter Sisil sangat cantik — bahkan Liana kalah jauh darinya. Sekilas Dokter Sisil terlihat seperti berumur kurang dari tiga puluh tahun.
Saat Dokter Sisil melihat Rangga, dia tersenyum tapi juga dingin.
“Amnesia?”
“Iya,” jawab Rangga.
“Berbaringlah di sana,” kata Dokter Sisil dingin. “Aku mau mengambil sesuatu.”
Rangga kebingungan. Dia bertanya dengan wanita bernomor 66, “Apa ini? Apa aku punya utang pada Dokter Sisil dan aku lupa?”
“Tidak,” wanita itu tersenyum. “Cuma dulu kamu mengejar Dokter Sisil dan berkata akan menikahinya, tapi sekarang kamu malah sudah menikah dan meninggalkannya. Jadi Dokter Sisil marah padamu.”
“Jadi dia suka padaku?” tanya Rangga keheranan.
“Entah sudah berapa kali Dokter Sisil menolakmu,” kata gadis itu tertawa.
Rangga tidak bisa berkata-kata — Dokter Sisil marah karena Rangga menikah!
“Fokus!” saat ini Dokter Sisil sudah berada di depan Rangga yang berbaring di sofa sambil mengeluarkan jam saku bermodel lawas.
Dokter Sisil mengayunkan jam saku itu perlahan di depan Rangga, persis seperti seorang mentalis yang akan menghipnotis orang.
Bola mata Rangga terus mengikuti setiap gerakan bandul jam yang berayun lambat.
Suara Dokter Sisil yang awalnya dingin pun lama-kelamaan berganti semakin lembut.
Rasa kantuk mulai menyergap, merayap bergelayut di kelopak mata Rangga. Berat dan semakin berat, matanya tertutup rapat sambil diiringi oleh suara Dokter Sisil yang menghanyutkan bak lagu pengantar tidur.
“Kamu adalah Rangga Wicaksana, lahir di Kota Veluna. Saat usiamu delapan belas tahun, kamu…”
Dengan panduan suara Dokter Sisil, gambar-gambar dan adegan yang tak pernah diingat Rangga muncul silih berganti. Terus dan terus terproyeksi dengan jelas — Rangga melihat dirinya yang dulu.
Kenangan yang bukan hanya tiga tahun lalu, lebih dan lebih jauh lagi.
Bersambung