NovelToon NovelToon
CINTA DARI MASA LALU

CINTA DARI MASA LALU

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Ketos / Kehidupan di Kantor / Fantasi Wanita
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: ASEP SURYANA 1993

Email salah kirim, meeting berantakan, dan… oh ya, bos barunya ternyata mantan gebetan yang dulu menolak dia mentah-mentah.
Seolah belum cukup, datang lagi intern baru yang cerewet tapi manisnya bikin susah marah — dan entah kenapa, selalu muncul di saat yang salah.

Di tengah tumpukan laporan, deadline gila, dan gosip kantor yang tak pernah berhenti, Emma harus belajar satu hal:
Bagaimana caranya tetap profesional saat hatinya mulai berantakan?

Antara mantan yang masih bikin jantung berdebar dan anak magang yang terlalu jujur untuk dibiarkan begitu saja, Emma akhirnya sadar — cinta di tempat kerja bukan cuma drama… tapi juga risiko karier dan reputasi yang bisa meledak kapan saja.

Cinta bisa datang di mana saja.
Bahkan di ruang kerja yang penuh tawa, kopi tumpah, dan masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ASEP SURYANA 1993, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

EPISODE 6 — Bos Ikut Campur (Secara Tidak Sengaja… Katanya)

Pagi itu kantor Vibe Media ramai luar biasa.

Bukan karena deadline, bukan juga karena artikel viral baru — tapi karena sesuatu yang jauh lebih heboh:

Seseorang baru saja menempelkan selembar kertas berwarna merah muda di papan pengumuman pantry bertuliskan:

> 💌 “Tebak siapa pasangan rahasia di kantor kita minggu ini!”

Petunjuk: Dia suka latte tanpa gula, dan dia suka membuatnya.

Dan tentu saja, semua mata langsung tertuju pada satu meja: Emma dan Ryan.

---

“Serius? Mereka pikir aku punya pasangan rahasia?”

Emma menatap kertas itu dengan ekspresi antara malu dan marah. “Aku bahkan nggak sempat punya kehidupan pribadi!”

Monica menahan tawa di sebelahnya. “Emma, itu lucu, jangan marah. Lagian gosip kayak gini cepat hilang kok.”

Ryan muncul sambil membawa dua gelas kopi. “Kau tahu yang lebih lucu? Mereka beneran deskripsiin kita dengan tepat.”

Emma melotot. “Ryan! Kau harus bantu aku hentikan gosip ini, bukan menambah bahan bakar!”

Ryan mengangkat tangan. “Oke, oke, aku serius. Tapi… kalau kita pura-pura pacaran sebentar, gosipnya bisa cepat mati.”

Emma mendengus. “Atau malah tambah parah.”

“Tergantung bagaimana kita memainkannya,” katanya dengan nada menggoda.

Sebelum Emma sempat membalas, suara berat yang sangat ia kenal terdengar dari belakang.

“Carter. Miller. Ruanganku. Sekarang.”

Suasana langsung beku.

Ryan menatap Emma pelan. “Kita mati, ya?”

“Tidak, kita dikremasi hidup-hidup,” balas Emma lirih.

---

Ruang Liam terasa lebih tegang dari biasanya. Ia berdiri di depan meja, tangan terlipat di dada, tatapan tajam tapi juga… sedikit lelah.

“Aku baru saja dapat laporan tentang rumor di kantor,” katanya pelan. “Dan ternyata kalian berdua jadi bahan utamanya.”

Emma menegakkan tubuh. “Pak, itu hanya gosip, saya—”

Liam mengangkat tangan, menghentikannya. “Aku tahu. Tapi gosip bisa merusak reputasi perusahaan.”

Ryan menatap bosnya, lalu berkata hati-hati, “Pak, kalau boleh jujur, gosip itu cuma permainan iseng staf, tidak akan—”

“Ryan,” potong Liam cepat. “Kau magang. Dan sebagai magang, kau seharusnya tahu batas interaksi dengan atasanmu.”

Ryan menelan ludah. “Atasan, atau mantan atasan secara pribadi?” tanyanya lirih — lalu menyesal detik berikutnya.

Hening.

Bahkan suara AC terasa lebih keras dari napas mereka bertiga.

Emma membeku. “Ryan!”

Liam memejamkan mata sejenak, menahan diri. “Aku akan berpura-pura tidak mendengar itu.”

Ryan mengangguk cepat. “Itu ide bagus, Pak.”

Emma mencoba memperbaiki suasana. “Pak, saya akan pastikan gosip ini berhenti. Saya akan bicara dengan tim—”

“Terlambat,” kata Liam datar. “Aku sudah atur rapat staf sore ini. Kita akan bersihkan nama kalian… secara terbuka.”

Emma membelalak. “Tunggu. Secara terbuka?!”

Ryan menatapnya. “Dia mau… semacam konferensi pers?”

“Kurang lebih,” jawab Liam tenang. “Agar tidak ada kesalahpahaman.”

Emma menatapnya tak percaya. “Pak, itu justru membuat semua orang berpikir ada sesuatu!”

Liam menatapnya lurus. “Kalau tidak ada yang disembunyikan, kenapa takut?”

Emma membuka mulutnya, tapi tak menemukan jawaban. Ia tahu betul — ini bukan soal gosip. Ini soal Liam yang diam-diam mulai terganggu.

---

Beberapa jam kemudian, ruang rapat penuh.

Semua karyawan hadir. Bahkan HR pun duduk di pojok, penasaran dengan “pengumuman penting” dari sang CEO.

Liam berdiri di depan layar besar.

Wajahnya serius, suaranya tenang, tapi mata Emma tahu — ini lebih dari sekadar klarifikasi.

“Baik,” katanya memulai. “Ada kabar yang beredar di kantor bahwa dua anggota tim editorial kita menjalin hubungan pribadi. Saya ingin meluruskan bahwa—”

Ia berhenti sejenak. Menatap Emma.

Tatapan itu hanya sepersekian detik, tapi cukup membuat jantung Emma berdebar.

“—hubungan itu… tidak memengaruhi profesionalitas mereka,” lanjutnya. “Dan saya percaya mereka cukup dewasa untuk mengatur batas.”

Ryan berbisik pelan di sebelah Emma, “Itu kayak pengakuan tidak langsung, kan?”

Emma menyikutnya di bawah meja.

“Jadi,” lanjut Liam, “Saya minta semua pihak untuk menghentikan spekulasi. Fokus pada pekerjaan. Terima kasih.”

Semua orang bertepuk tangan kecil. Rapat bubar, tapi bisik-bisik justru semakin ramai.

“Lihat tuh, cara bos ngomongnya aja udah jelas banget,” gumam salah satu staf.

“Dia bela Emma kayak suaminya sendiri,” timpal yang lain.

Emma menatap Liam dari jauh — wajahnya tetap tenang, tapi pipinya merah muda.

Ryan berdiri di sebelahnya dan berbisik, “Selamat. Sekarang seluruh kantor pikir kau punya dua pacar.”

“Ryan…”

“Ya?”

“Mulai sekarang, kalau bisa, jangan bicara lagi sampai 2027.”

Ryan tertawa pelan. “Baik, tapi aku nggak janji.”

---

Sore hari, Emma duduk sendirian di meja. Kantor sudah hampir kosong.

Ia menatap layar, tapi pikirannya masih tertinggal di ruang rapat.

Kata-kata Liam tadi terus terulang di kepalanya.

Nada suaranya. Tatapannya.

Pintu kaca di belakangnya terbuka.

Liam berdiri di sana, jaket sudah dipakai setengah. “Kau belum pulang?”

Emma menatapnya tanpa ekspresi. “Masih harus revisi artikel.”

Liam melangkah pelan ke arahnya. “Tentang gosip itu…”

“Sudahlah,” potong Emma. “Aku tahu maksudmu baik.”

“Tapi aku terlalu jauh?” tanya Liam, lebih lembut kali ini.

Emma menatapnya lama. “Ya. Tapi yang lebih parah, aku nggak tahu kenapa aku nggak bisa marah.”

Liam terdiam. Senyum tipis muncul di sudut bibirnya. “Itu… bisa jadi masalah.”

“Sudah jadi,” balas Emma. “Sejak tiga tahun lalu.”

Suasana hening.

Mata mereka bertemu, dan untuk beberapa detik — dunia terasa hanya berisi dua orang.

Lalu Ryan tiba-tiba muncul dari arah lift dengan kantong plastik makanan.

“Emma! Aku beli ramen favoritmu—oh.”

Ia berhenti di ambang pintu, memandang keduanya. “Oke, aku… datang di waktu yang salah.”

Liam langsung mundur setengah langkah. “Aku… hanya sedang pamit.”

Ryan menatapnya, lalu ke Emma. “Yup. Pamit. Sangat profesional.”

Emma menutup wajah dengan tangan. “Aku butuh cuti panjang.”

Ryan menaruh ramen di meja. “Aku butuh popcorn buat nonton drama kalian.”

---

Saat lampu kantor dimatikan dan semua orang pulang, Emma duduk menatap cangkir kopinya yang dingin.

Ia menghela napas panjang.

> Dua pria.

Satu masa lalu.

Satu kemungkinan baru.

Dan satu hati yang belum siap memilih.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!