"Aku tidak bisa mencintainya, karena sejak awal hatiku tidak memilihnya. Semua berjalan karena paksaan, surat wasiat ayah, janji ayah yang harus aku penuhi."
"Semua yang terjadi bukan atas kemaunku sendiri!"
"Dengarkan aku, Roselyn... hanya kamu yang mampu membuatku merasakan cinta."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qireikharisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Jadi istri kedua?
Dari kejauhan, beberapa pria berpakaian formal berjalan ke arah meja mereka. Langkah mereka penuh wibawa dengan ekspresi ramah. Begitu berhadapan dengan Jayden, mereka segera menunduk hormat, seolah berhadapan dengan sosok yang memiliki kedudukan penting.
“Selamat malam, Pak Jayden,” sapa salah satu pria itu sopan, dan mereka tersenyum ke arah Roselyn dengan tatapan mata sedikit terkejut.
Jayden hanya mengangguk sekilas, ekspresinya tetap tenang tanpa banyak bicara. Ia menjabat tangan mereka satu per satu, lalu memberi mereka isyarat halus dengan tatapan matanya agar segera pergi dari mejanya.
Para pria itu pun paham isyarat Jayden, sebelum pergi, mereka tersenyum sekilas ke arah Roselyn lalu pergi meninggalkan mereka.
Roselyn mengerutkan dahinya, ia masih memperhatikan para pria itu dengan penasaran, "Siapa mereka Pak?" tanyanya.
Jayden menyandarkan punggungnya ke kursi, suaranya tetap datar. “Orang tua mahasiswa di universitas sebelumnya,” jawabnya singkat.
Namun pandangan Roselyn masih menatap dengan meneliti ke arah Jayden dengan rasa penasaran.
Roselyn mengernyit, “Orang tua mahasiswa di universitas sebelumnya?, Kok Bapak kelihatan, sangat dihormati sama mereka, beda banget sih, seperti bukan pada seorang Dosen," tanya nya polos.
Jayden sekilas melirik Roselyn, lalu tersenyum samar. “Maksud kamu beda gimana?"
Roselyn dengan cepat menggelengkan kepala, meski tatapannya penuh ragu. Ia terdiam sejenak, seolah masih mencari jawaban dari sikap Jayden.
"Sepertinya tadi mereka ingin mengobrol dengan Bapak, tapi justru Bapak malah seperti menyuruh mereka pergi," pikir Roselyn.
Jayden meneguk minumannya dengan tenang sebelum menjawab. Dalam hatinya sedikit waspada, ternyata Roselyn terlalu cerdas membaca situasi, ia tak ingin gadis itu mengetahui rahasia dirinya terlalu cepat.
"Saya tidak mau diganggu,” suaranya datar, namun tegas, “terlebih saat saya bersama kamu, Roselyn. Dan bisakah kamu berhenti memanggil saya dengan sebutan Bapak kalau kita di luar kampus?” Ia menjeda sebentar, dengan sorot mata yang menelusuri wajah Roselyn.
“Kamu lebih cocok memanggil saya dengan sebutan, sayang.”
Roselyn membeku, matanya menatap ekspresi Jayden yang sedang tertawa, senyumnya, tawanya, berbeda. Ekspresi Jayden Tidak lagi hanya dingin dan penuh tekanan, melainkan menghadirkan sisi lain dirinya. Tawa Jayden terdengar hangat sekaligus menggoda, membuatnya gugup sekaligus nyaman yang tak ingin diakui oleh dirinya.
“Aku sudah terbiasa memanggil Bapak. Sulit untuk mengubahnya,” sahut Roselyn tenang, berusaha menutupi gejolak dalam hatinya.
Jayden menyipitkan mata, masih menahan senyum samar. “Kalau benar-benar sulit, biar saya yang ajarkan. Roselyn sayang.”
Pipinya kembali merona merah, setiap kata yang keluar dari mulut Jayden selalu menggoda, sehingga membuat hatinya kehilangan kendali.
Jayden selalu suka melihat wajah Roselyn memerah, malu seperti itu, “Roselyn, jika saya sudah punya istri, kamu mau nggak jadi istri kedua saya?” tanyanya datar dengan tenang tanpa beban.
Mendengar ucapan Dari Jayden, raut wajah Roselyn berubah drastis. matanya melebar dengan tatapan marah, lalu menyeringai sinis.
“Ya, enggak lah! Gila aja bapak ini. Apa kata orang nanti kalau aku menikah dengan suami orang? Lagi pula, secinta-cintanya aku, aku nggak mau jadi yang kedua! Baru ngebayanginnya aja aku sudah muak!" Suaranya tegas, penuh penolakan.
Jayden mengangguk sekilas sambil kembali mengunyah makanannya dengan tenang, seolah ucapannya tadi hal biasa.
“Jangan terlalu serius, Roselyn. Saya cuma bertanya,” ucapnya santai tanpa beban.
Roselyn mendengus kesal, tangannya meremas sendok yang dipegangnya.
“Lagian sih! Pak Jayden kenapa harus nanya kayak gitu? Kan udah tahu itu hal sensitif!” gerutunya tajam, matanya melirik dengan jengkel.
"Jika kamu tersinggung, saya minta maaf, hanya sekedar bertanya," sahutnya, sambil menarik napas.
Roselyn masih merengut, wajahnya jelas masih menunjukkan kekesalan. Ia meletakkan sendok dengan cukup keras di atas meja, membuat Jayden melirik sekilas namun tetap tenang.
“Aku udah kenyang. Pulang aja yu, Pak!” ucap Roselyn singkat, nadanya dingin.
Jayden meletakkan sendok perlahan, lalu menatapnya dengan tatapan yang membuat Roselyn ingin segera berdiri dan pergi. “Kenapa buru-buru? Kamu marah, ya? gara-gara pertanyaan Saya tadi?” tanyanya datar, seolah tak merasa bersalah.
"Jelaslah," jawabnya singkat.
"Kan, kamu tadi yang mulai duluan, tanya soal istri, jadi wajarkan, Saya tanya seperti itu?" sahutnya dengan ekspresi masih santai, membela diri.
Roselyn terdiam hanya menatap Jayden dengan sinis, lalu dengan cepat berjalan keluar restoran tanpa menoleh, Jayden mengikuti langkahnya dari belakang dengan tenang tanpa berkata apapun.
-------
Suasana di dalam mobil mendadak hening. Hanya suara deru mesin mobil yang terdengar. Jayden menggenggam erat setir, wajahnya menegang, matanya menatap lurus ke depan tanpa berkata sepatah kata pun, membuat Roselyn canggung, Ia sudah tak marah lagi karena alasan tadi, tapi Jayden justru terdiam.
Perkataan Roselyn tadi masih terngiang di kepala Jayden, ada rasa takut yang merayap dalam hatinya jika gadis itu mengetahui kebenaran tentang pernikahannya, maka segalanya akan hancur, Roselyn akan marah dan pergi meninggalkannya. Ia tidak rela jika itu terjadi, Roselyn jelas akan menjauh. Ketakutan dalam dirinya semakin dalam.
Di sisi lain, Roselyn duduk diam, tangannya meremas tas di pangkuannya. Sesekali matanya melirik ke arah Jayden.
“Kenapa sih! Tumben banget dia diam begini,” gumam Roselyn pelan, hampir tak terdengar. Ada rasa heran, juga jengkel. “Barusan aktif banget, sekarang mendadak dingin lagi, gak jelas."
“Roselyn," ucap Jayden dengan suara lirih.
Roselyn langsung menoleh, jantungnya berdetak kencang. “Iya, Pak?”
Jayden masih menatap lurus ke jalan, ia berucap dengan hati-hati, seolah setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah ancaman besar baginya.
"Kalau misalkan..." Jayden terdiam sejenak, jarinya mengetuk setir, sebelum melanjutkan ucapannya, “jika ada seorang lelaki yang menikah karena perjodohan. Pernikahan itu bukan pilihannya sendiri. Dia tidak mencintai istrinya, bahkan tidak pernah bisa. Menurutmu, perempuan lain yang dia cinta, apakah masih mau menerimanya?”
Roselyn langsung mengernyit, kepalanya menoleh penuh tanda tanya. “Maksud Bapak apa?” tanyanya bingung, "tiba-tiba menanyakan hal seperti itu."
Jayden tersenyum samar, tapi sorot matanya tetap serius. “Hanya sekedar bertanya. Anggap saja, Saya sedang minta pendapatmu."
Roselyn mengangguk pelan. “Kalau pendapatku sih," Roselyn menarik napas dalam, berusaha menjawab dengan tenang. "Aku nggak tahu ya Pak, tapi menurutku pernikahan itu bukan sekadar status. Ada tanggung jawab, ada perasaan orang lain di sana. Kalau sudah terikat janji dengan seseorang, ya seharusnya setia."
Perkataan Roselyn seperti duri yang menancap dihati Jayden, rahangnya mengeras, tapi ia hanya tersenyum tipis, berusaha menutupi gejolak dalam dadanya.
“Begitu ya, jadi menurutmu, meski pernikahan tanpa cinta, janji tetap harus dijaga?” tanyanya dengan penuh penekanan. Jayden menoleh sekilas, matanya tajam menatap Roselyn, tapi segera kembali fokus ke jalan.
Roselyn mengangguk yakin, meski dalam hati masih bertanya dengan penasaran, kenapa Jayden mendadak membicarakan hal ini? Atau karena pembahasan yang tadi belum selesai? Hatinya bergumam, tapi tak peduli.
Jayden kembali bersuara, namun sarat makna tersembunyi. “Apa kamu tidak bisa menerimanya gitu, Roselyn jika posisinya seperti itu?, “Kan pernikahannya atas perjodohan. Dia sama sekali tidak mencintai istrinya. Kalau kamu ada di posisi orang yang dia cintai kamu mau menerima lelaki itu gak?" Tanya Jayden seolah menekankan rasa penasaran akan jawaban darinya.
“Pak, kalau aku yang ada di posisi itu, aku pasti bingung,” ucap Roselyn pelan, suaranya bergetar, rasa tak nyaman menyelimuti hatinya.
"Kalau aku mencintai lelaki itu, aku sendiri yang akan tersakiti. Tapi di sisi lain, ada istrinya yang terluka karena aku. Dan aku tidak mau jadi penyebab hancurnya rumah tangga orang lain," lanjutnya tegas.
Jayden mengerling cepat ke arahnya, lalu tersenyum getir, ia yakin bahwa Roselyn tidak akan menerimanya jika mengetahui statusnya yang sebenarnya, namun karena obsesinya ia akan tetap berusaha menjadikan Roselyn miliknya.
“Tapi bagaimana kalau sejak awal rumah tangga itu tidak pernah dibangun bahkan sebelum dimulai?” ucapnya lagi, nada suaranya dalam, seolah memaksa Roselyn memahami ucapannya.
Jayden menoleh sekilas, menunggu reaksi lain, tapi Roselyn malah tampak tidak peduli justru pandangannya kosong, seolah obrolan barusan sama sekali tidak penting baginya.
“Ya sudah, kalau memang begitu, aku tidak tahu harus jawab apa lagi," jawab Roselyn datar, berusaha mengakhiri percakapan, lebih memilih untuk tidak ingin memikirkannya terlalu dalam.
Jayden terdiam. Dalam hatinya, ada rasa kecewa sekaligus lega. Dia benar-benar tidak curiga, tapi sampai kapan bisa terus menutupi rahasia ini? pikirnya, bebannya sangat begitu berat.
-----
Lanjut Part 11