Di kota kecil Eldridge, kabut tidak pernah hanya kabut. la menyimpan rahasia, bisikan, dan bayangan yang menolak mati.
Lisa Hartman, gadis muda dengan kemampuan aneh untuk memanggil dan mengendalikan bayangan, berusaha menjalani hidup normal bersama dua sahabat masa kecilnya-Ethan, pustakawan obsesif misteri, dan Sara, sahabat realistis yang selalu ingin mereka tetap waras.
Namun ketika sebuah simbol asing muncul di tangan Lisa dan bayangan mulai berbicara padanya, mereka bertiga terseret ke dalam jalinan rahasia tua Eldridge: legenda Penjaga Tabir, orang-orang yang menjadi pintu antara dunia nyata dan dunia di balik kabut
Setiap langkah membawa mereka lebih dalam pada misteri yang membingungkan, kesalahpahaman yang menimbulkan perpecahan, dan ancaman makhluk yang hanya hidup dalam bayangan. Dan ketika semua tanda mengarah pada Lisa, satu pertanyaan pun tak terhindarkan
Apakah ia pintu menuju kegelapan atau kunci untuk menutupnya selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GLADIOL MARIS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERPUSTAKAAN YANG BERNAPAS
Matahari berusaha menembus kabut Eldridge, tapi yang berhasil hanyalah cahaya pucat, abu-abu, yang membuat kota ini terasa seperti lukisan tua yang luntur. Mereka bertiga berjalan dalam keheningan yang menegangkan, langkah kaki mereka bergema di jalan berbatu yang sepi. Tidak ada yang bicara. Tidak ada yang berani memecah keheningan yang seolah-olah adalah satu-satunya pelindung mereka dari suara-suara yang mungkin muncul dari balik kabut.
Lisa berjalan di tengah, tangan kanannya tersembunyi dalam saku jaket. Simbol itu masih ada, masih berdenyut, tapi kini denyutannya lebih tenang, lebih terkendali — seperti binatang buas yang sedang tidur, tapi bisa bangun kapan saja. Ia bisa merasakan getaran lembutnya, seolah-olah ia terhubung langsung dengan gedung tua yang semakin dekat di depan mereka.
Perpustakaan Kota Eldridge.
Bangunan batu itu menjulang, megah sekaligus mengancam. Jendelanya yang besar dan buram memantulkan cahaya abu-abu, seolah menolak dunia luar. Pintu utamanya yang besar dan berat terkunci rapat, tapi mereka tidak datang untuk pintu depan. Mereka datang untuk pintu samping — pintu kayu tua yang catnya mengelupas, tempat semuanya bermula.
“Kau yakin ini ide bagus?” tanya Sara untuk kesekian kalinya, suaranya serak karena kurang tidur dan penuh kekhawatiran. Ia berjalan paling belakang, matanya terus melirik ke sekeliling, seolah takut bayangan akan muncul dari balik setiap sudut. “Aku masih bisa merasakan… dinginnya. Di sini. Di tulangku.”
Ethan, yang berjalan di depan, menoleh sebentar. “Ini satu-satunya tempat di kota ini yang punya catatan lengkap tentang sejarah Eldridge. Kalau ada petunjuk tentang ‘Ritual Penutupan’, pasti ada di sini. Di ruang arsip bawah.”
“Dan kalau ‘mereka’ juga ada di sana?” balas Sara, suaranya meninggi. “Apa kita siap menghadapi mereka lagi? Di siang bolong sekalipun?”
Lisa menarik napas dalam-dalam. Ia merasakan simbol di tangannya berdenyut sedikit lebih cepat, merespons ketakutan Sara. “Kita harus mencoba, Sar. Kita tidak bisa hanya menunggu di rumah Bu Redfield selamanya. Kita butuh jawaban. Dan… aku butuh tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini.”
Sara menggigit bibirnya, lalu mengangguk pelan, meski wajahnya masih pucat. “Baiklah. Tapi kalau ada sesuatu yang aneh, kita langsung kabur. Janji?”
“Janji,” jawab Lisa dan Ethan hampir bersamaan.
Mereka sampai di pintu samping. Ethan mengeluarkan kunci cadangan yang entah bagaimana ia dapatkan — mungkin dari pencarian diam-diamnya di kantor walikota. Ia memasukkan kunci ke lubang gembok. Bunyi klik terdengar keras di keheningan, lalu pintu kayu itu berderit panjang saat dibuka, suara yang sama persis seperti malam pertama mereka datang.
Aroma yang sama langsung menyergap mereka — debu, kertas tua, dan kelembapan batu. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Lebih dalam. Lebih hidup. Seperti bau napas dari bangun tidur dipagi hari.
Mereka saling pandang sejenak, lalu melangkah masuk.
Di dalam, perpustakaan terasa lebih besar, lebih kosong, dan jauh lebih menyeramkan di siang hari. Cahaya abu-abu dari jendela yang buram menyelinap masuk, menerangi partikel debu yang beterbangan, membuatnya tampak seperti kabut kecil yang terperangkap di dalam gedung. Rak-rak buku yang tinggi menjulang seperti raksasa batu, bayangannya panjang dan diam.
Tapi yang membuat mereka membeku bukanlah keheningan, melainkan suara.
Suara napas.
Bukan napas manusia. Bukan napas hewan. Ini adalah napas yang dalam, berat, dan berirama, seolah-olah seluruh bangunan ini sedang menarik dan menghembuskan udara. Suara itu datang dari mana-mana — dari lantai kayu, dari dinding batu, dari langit-langit yang tinggi.
...Huuuuh… Haaaaa… Huuuuh… Haaaaa…...
“Dengar itu?” bisik Sara, suaranya gemetar. Ia menempelkan punggungnya ke dinding, matanya liar. “Apa… apa itu?”
Ethan menatap sekeliling, matanya berbinar bukan karena takut, tapi karena kagum yang campur aduk dengan ketakutan. “Ini… luar biasa. Bangunan ini… hidup. Bu Redfield benar. Eldridge memang bukan kota biasa.”
Lisa tidak menjawab. Ia merasakan sesuatu yang lebih dalam. Simbol di telapak tangannya berdenyut seirama dengan napas gedung itu. Huuuuh… denyutnya melambat. Haaaaa… denyutnya menguat. Ia merasa seperti sedang berkomunikasi, seperti sedang mendengarkan detak jantung raksasa yang tertidur di bawah fondasi kota ini.
“Kita harus ke ruang arsip,” kata Ethan, mencoba terdengar tenang, tapi suaranya sedikit bergetar. “Ayahku bilang, catatan penting tentang ritual disimpan di sana.”
Mereka berjalan perlahan, mengikuti lorong panjang yang dipenuhi rak buku. Setiap langkah mereka menimbulkan gema, tapi gema itu seolah-olah ditelan oleh suara napas yang lebih besar. Bayangan di lantai bergerak sangat pelan, seolah ikut bernapas bersama gedung ini.
Saat mereka melewati meja kayu tua tempat mereka biasa mengerjakan PR dulu, Lisa berhenti sejenak. Meja itu masih ada, kainnya robek, debu tebal menutupinya. Ia ingat tawa mereka, ingat omelan Sara, ingat semangat Ethan yang selalu ingin tahu. Kenangan itu terasa hangat, tapi sekarang, di tempat yang sama, hanya ada dingin dan rasa takut.
“Lis?” panggil Ethan, menariknya dari lamunan.
Lisa mengangguk, lalu melanjutkan langkah.
Tangga menuju ruang arsip bawah terasa lebih curam, lebih gelap, dan lebih dingin dari yang mereka ingat. Lampu bohlam tunggal di langit-langit menyala redup, berayun pelan meski tidak ada angin. Udara semakin berat, semakin lembap, dan suara napas gedung itu semakin jelas, semakin dalam.
...Huuuuh… Haaaaa…...
Mereka sampai di ruang arsip. Ruangan luas itu dipenuhi rak besi berkarat dan kotak-kotak karton tua. Di tengah ruangan, jurnal Cormac masih tergeletak di lantai, persis seperti malam itu. Seolah-olah tidak ada yang menyentuhnya sejak mereka pergi.
Ethan langsung berjalan ke arah rak buku di sudut, tempat ia biasa mencari catatan ayahnya. “Aku akan cari catatan tentang ‘Ritual Penutupan’. Kalian cari di tempat lain. Tapi hati-hati. Jangan sentuh apa pun yang terasa… aneh.”
Sara mengangguk, lalu berjalan ke rak di seberang ruangan, matanya waspada. Lisa, sebaliknya, berdiri di tengah ruangan, menatap jurnal Cormac yang tergeletak di lantai. Ia merasa tertarik, seolah-olah buku itu memanggilnya.
Ia berlutut, mengambil jurnal itu dengan hati-hati. Sampul kulitnya masih terasa dingin, simbol di atasnya masih sama. Ia membuka halaman pertama. Tulisan tangan Cormac masih ada, simbol-simbol aneh masih menghiasi setiap halaman.
Tapi kali ini, Lisa tidak merasa takut. Ia merasa… akrab. Seperti sedang membaca buku harian miliknya sendiri.
“Lis, kau menemukan sesuatu?” tanya Ethan dari kejauhan, suaranya terdengar samar di antara suara napas gedung.
“Belum,” jawab Lisa pelan. Ia menelusuri halaman demi halaman, matanya menyipit, mencoba memahami tulisan tangan yang kacau itu.
Tiba-tiba, tangannya menyentuh rak buku kayu di sampingnya. Dan saat itu terjadi—
Denyut.
Bukan denyut di tangannya. Tapi denyut dari rak buku itu sendiri.
Lisa menarik tangannya dengan cepat, jantungnya berdegup kencang. Ia menatap rak itu. Kayunya tua, penuh debu, tapi… ia bisa merasakannya. Ada sesuatu di dalamnya. Sesuatu yang hidup.
“Ethan… Sara…” panggil Lisa, suaranya serak.
Mereka berdua segera menghampiri. “Apa yang terjadi?” tanya Sara, wajahnya pucat.
Lisa menunjuk rak buku itu. “Aku… aku merasakan sesuatu. Di dalam rak ini. Seperti… jantung.”
Ethan menatap rak itu dengan penuh minat. Ia meletakkan telapak tangannya dengan hati-hati di permukaan kayu yang berdebu.
Dan saat itu—
...Huuuuh…~...
Suara napas gedung itu menjadi lebih keras, lebih dalam. Rak buku itu bergetar pelan di bawah tangan Ethan. Getarannya halus, tapi jelas, seperti denyut nadi yang kuat.
“Ya Tuhan…” bisik Ethan, matanya melebar. “Ini nyata. Seluruh gedung ini… hidup. Dan ia… ia sedang tidur.”
Sara menarik tangan Ethan dengan kasar. “Jangan sentuh! Kita harus pergi dari sini!”
Tapi Lisa tidak bergerak. Ia menatap rak itu, lalu menatap tangannya sendiri. Simbol di telapaknya berdenyut seirama dengan rak buku itu. Ia merasa seperti sedang berdiri di depan pintu raksasa, pintu yang menghubungkan dunianya dengan dunia lain — dunia yang lebih tua, lebih gelap, dan jauh lebih besar.
Ia menutup mata, mencoba fokus. Mencoba mendengarkan. Bukan dengan telinganya, tapi dengan… sesuatu yang lebih dalam.
Dan saat ia melakukannya, ia mendengar suara. Bukan suara napas. Tapi suara bisikan. Bisikan yang dalam, kuno, dan penuh kebijaksanaan.
...“Kau datang, Custodian…”...
Lisa membuka matanya, napasnya tersengal. “Aku… aku dengar suara. Dari dalam dinding. Ia… ia memanggilku.”
Ethan menatapnya, wajahnya penuh kekaguman. “Apa yang dikatakannya?”
Lisa menelan ludah. “Ia bilang… aku datang. Aku… Custodian.”
Sara menarik lengan Lisa. “Kita harus pergi, Lis. Sekarang juga. Ini sudah terlalu jauh.”
Tapi sebelum mereka sempat bergerak, suara lain terdengar. Bukan bisikan. Bukan napas.
Tapi tawa.
Tawa kecil, riang, seperti tawa anak kecil. Tapi tidak ada anak kecil di sini.
Tawa itu datang dari atas, dari langit-langit ruangan arsip. Mereka menoleh ke atas.
Dan di sana, di antara bayangan yang pekat, dua titik cahaya kecil menyala. Seperti mata. Mata yang sedang menatap mereka.
“Kami menunggumu, Lisa…” bisik suara itu, kali ini lebih jelas, lebih dekat.
Sara menjerit. “KELUAR! KITA HARUS KELUAR SEKARANG!”
Mereka bertiga berlari, meninggalkan jurnal Cormac tergeletak di lantai, meninggalkan rak buku yang masih berdenyut, meninggalkan suara tawa yang semakin keras.
Mereka berlari menaiki tangga, jantung berdegup kencang, napas tersengal. Suara napas gedung itu seolah-olah mengikuti mereka, menjadi lebih cepat, lebih berat, seolah-olah ia sedang terbangun.
Mereka mendorong pintu kayu samping, keluar ke udara bebas. Mereka terus berlari, melewati jalan berbatu, melewati kabut, sampai mereka akhirnya berhenti, terengah-engah, di bawah menara jam tua yang macet di angka tiga belas.
Mereka saling pandang, wajah pucat, napas berat.
Sara bersandar ke dinding batu, tangannya menekan dada. “Aku… aku nggak bisa bernapas,” ujarnya, suaranya pecah. “Aku nggak mau kembali ke sana. Nggak pernah lagi.”
Ethan menatap perpustakaan yang kini tampak seperti raksasa batu yang sedang tidur. Matanya menyala, bukan karena takut, tapi karena kekaguman yang campur aduk dengan ketakutan. “Kita baru saja berbicara dengan gedung itu, Sar. Itu… luar biasa.”
“Luar biasa?!” Sara menoleh cepat, matanya berkaca-kaca. “Kau dengar suara tawa itu? Kau lihat mata itu? Itu bukan gedung, Ethan! Itu… itu makhluk!”
Lisa tidak ikut berdebat. Ia menatap tangannya sendiri. Simbol itu masih berdenyut, tapi kini denyutannya terasa berbeda — lebih tenang, lebih… bersahabat? Atau mungkin, hanya menunggu waktu yang tepat.
Ia menutup mata, mencoba mendengarkan. Dan suara itu kembali — bukan bisikan, bukan tawa, tapi suara yang dalam, kuno, dan penuh kebijaksanaan.
...“Kau datang, Custodian…”...
Lisa membuka matanya, napasnya tersengal. “Ia… ia masih berbicara padaku.”
Sara dan Ethan menoleh cepat. “Siapa?” tanya Sara, suaranya gemetar.
“Perpustakaan,” jawab Lisa pelan. “Ia bilang… aku datang. Aku… Custodian.”
Ethan mengangguk, tapi matanya masih menyala. “Tapi kita sudah tahu sesuatu yang penting. Gedung itu… hidup. Dan ia mengenal Lisa.”
Lisa menatap tangannya. Simbol itu masih berdenyut, tapi kini denyutannya terasa berbeda. Lebih tenang. Lebih… bersahabat? Atau mungkin, hanya menunggu waktu yang tepat.
Ia menatap kembali ke arah perpustakaan, yang kini tampak seperti raksasa batu yang tidur. Ia tahu suatu hari, ia harus kembali kesana. Karena di dalam situlah, jawaban sebenarnya berada.