Hutang pinjol 120 juta menjerat Juwita, padahal ia tak pernah meminjam. Demi selamat dari debt collector, ia nekat jadi pengasuh bayi. Tapi ternyata “bayi” itu hanyalah boneka, dan majikannya pria tampan penuh misteri.
Sebuah kisah absurd yang mengguncang antara tawa, tangis, dan cinta inilah perjalanan seorang gadis yang terpaksa berperan sebagai janda sebelum sempat menikah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MahaSilsi24, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sarapan Bersama
Cahaya matahari pagi menembus celah tirai kamar, menyapa wajah Juwita yang masih meringkuk di balik selimut empuk. Ia membuka mata perlahan, sempat bingung sejenak karena terbiasa bangun di kontrakan sempit. Kini, ketika membuka mata, yang dilihatnya adalah dinding kamar luas dengan lukisan besar dan jendela tinggi.
“Ya Allah masih kayak mimpi aku tinggal di rumah orang kaya begini,” gumamnya sambil duduk. Rambutnya sedikit acak-acakan, tapi wajahnya segar.
Setelah menoleh sebentar ke ranjang kecil tempat Princess tidur dengan tenang, Juwita segera bangkit. “Oke, sebelum anak bangun, aku mandi dulu. Nanti kalau dia keburu nangis, bisa panik aku.”
Kamar mandi di dalam kamar terasa bagai hotel berbintang. Juwita agak kikuk memakai shower yang punya tiga tombol. “Eh, yang mana ya? Jangan-jangan salah pencet, ntar keluar air panas kayak rebusan mie instan lagi.” Ia akhirnya berhasil mengatur, lalu mandi cepat.
Selesai mandi, Juwita berdiri di depan kaca besar. Handuk melilit tubuhnya, wajahnya masih basah. Setelah berganti pakaian kaos putih sederhana dan celana kain longgar ia mengambil bedak dan lipstik tipis yang dibelikan semalam.
Pelan-pelan ia menepuk bedak ke wajah. Wajah Juwita sebenarnya cantik alami, hanya sederhana. Kulitnya tidak terlalu putih, lebih ke sawo matang bersih. Pipi bulatnya memberi kesan manis. Dengan tambahan bedak tipis, wajahnya terlihat segar, apalagi bibir yang kini dihiasi lipstik lembut berwarna pink muda.
Ia tersenyum ke arah bayangan di kaca. “Hmm lumayan lah. Kalau di kampung aku begini, bisa dibilang calon pengantin baru.” Ia terkekeh sendiri, lalu buru-buru merapikan rambut yang masih agak basah.
Tepat saat itu terdengar suara lirih. Princess sudah terbangun. “Ehh nak, bangun ya? Yuk kita mandi pagi biar segar,” ucap Juwita sambil menggendong bayi itu. Boneka bayi berteknologi tinggi itu menatapnya dengan mata yang baru saja terbuka, seperti bayi sungguhan.
Dengan hati-hati, Juwita memandikan Princess di wastafel kecil yang memang sudah disiapkan. “Kalau di kampung mah, bayi dimandiin di ember atau baskom. Di sini, eh, kayak perawatan spa.” Ia tertawa lirih, sambil sesekali meniup pipi Princess agar tidak rewel.
Setelah selesai, Princess digendong dengan handuk lembut, lalu dipakaikan baju cantik warna kuning muda. “Aduh, lucu banget, kayak boneka Barbie hidup. Eh ya emang boneka sih.”
Saat Juwita sibuk mengelap sisa air di tangan, pintu kamar diketuk. Suara berat yang khas terdengar.
“Bagaimana anakku?”
Juwita menoleh. Zergan sudah berdiri di ambang pintu. Ia mengenakan setelan jas hitam rapi, kemeja putih di dalamnya, dengan dasi abu-abu yang membuat penampilannya makin elegan. Rambutnya disisir rapi ke belakang, wajah tampannya tegas dengan garis rahang kokoh. Sorot matanya dalam, membuat Juwita refleks menelan ludah.
“Ya Allah ini orang kalau nongol pagi-pagi, bisa bikin jantung copot. Kayak aktor drama Korea campur bos mafia,” batin Juwita.
“Princess sudah mandi, Tuan,” jawab Juwita cepat, berusaha tidak terlihat salah tingkah.
Zergan melangkah masuk, memeriksa sekilas kondisi putrinya. “Bagus. Kau rapi juga pagi ini.”
“Hehe, iya, Tuan. Kan harus tampil fresh kalau jaga anak.” Pipinya memanas sendiri saat sadar dipuji, meski singkat.
“Ayo turun sarapan. Aku bantu bawa Princess.” Zergan mengulurkan tangan, menggendong bayi itu dengan gerakan natural seorang ayah. Juwita berjalan di sampingnya, masih kagum dengan cara Zergan menyeimbangkan elegan dan dingin dalam satu tubuh.
Mereka turun melalui tangga besar. Aroma harum masakan sudah tercium dari ruang makan di bawah.
Di meja panjang yang ditata rapi, duduk sepasang suami istri paruh baya: Herman dan Marlina. Wajah keduanya ramah meski berwibawa. Herman mengenakan kemeja santai dan celana kain, sementara Marlina tampil elegan dengan blus biru muda.
“Oh, kalian sudah turun ya,” sapa Marlina dengan senyum hangat. “Selamat pagi, Juwita.”
“Pa… pagi, Bu. Pagi juga, Pak,” jawab Juwita gugup, lalu memberi salam sopan. Dalam hatinya ia masih terbayang pertemuan aneh saat motornya mogok dan bertemu pasangan itu sedang joging.
Herman terkekeh. “Tak sangka ya, ternyata Juwita memang cocok di sini. Waktu itu motornya mogok, sekarang malah sudah tinggal di sini.”
“Iya, Pak. Hehe dunia sempit ya,” jawab Juwita malu-malu.
Zergan menarik kursi untuk duduk, lalu meletakkan Princess di kursi bayi khusus. “Mami, Papi, aku akan ke kantor setelah sarapan. Tolong jaga anakku sebentar, biar Juwita juga bisa makan dengan tenang.”
“Tentu saja,” sahut Marlina cepat. Ia mengambil alih kursi bayi, wajahnya berseri saat menatap cucu. “Kau makan dulu, Nak. Di sini biar kami yang urus Princess.”
Juwita tertegun, hatinya hangat. Jarang sekali ia mendapat perlakuan seperti ini, apalagi dari orang tua orang kaya. “Terima kasih, Bu saya gak enak merepotkan.”
“Tidak merepotkan,” balas Marlina lembut. “Kau juga harus sehat. Kalau kau tidak makan, nanti siapa yang kuat menjaga cucuku?”
Ucapan itu membuat Juwita nyaris berkaca-kaca. Ia lalu duduk perlahan di kursi, bersebelahan dengan Zergan.
Hidangan di meja sungguh luar biasa: nasi hangat, sayur bening, ayam goreng tepung, sampai roti dan selai. Ada juga potongan buah segar. Juwita melongo sebentar. “Astaga ini menu sarapan atau kenduri?” pikirnya.
Melihat itu, Herman tertawa kecil. “Silakan, Juwita. Anggap saja rumah sendiri.”
Dengan kikuk, Juwita mulai mengambil sedikit nasi dan ayam. Tangannya sempat gemetar, takut terlihat rakus. Tapi begitu suapan pertama masuk ke mulut, matanya berbinar. “Ya Allah ini ayamnya enak banget, kulitnya kriuk, dagingnya juicy!” sayangnya, komentar itu keluar setengah keras.
Marlina menahan senyum, Herman malah tertawa. “Bagus kalau kau suka.”
Juwita buru-buru menunduk, pipinya panas. “Aduh, mulutku ini kebiasaan blak-blakan.”
Sementara itu, Zergan hanya melirik sebentar, lalu menaruh lauk di piringnya dengan tenang. Namun sudut bibirnya nyaris membentuk senyum tipis sesuatu yang jarang muncul.
Setelah beberapa menit, suasana sarapan menjadi lebih akrab. Marlina sibuk menggendong Princess, Herman sesekali bercanda dengan cucunya. Juwita makan perlahan, tapi wajahnya bahagia.
Selesai makan, Zergan meneguk kopi hitamnya, lalu berdiri. “Aku berangkat dulu.” Ia merapikan jasnya. “Juwita, kau fokus saja dengan Princess. Kalau ada apa-apa, hubungi aku.”
“Baik, Tuan,” jawab Juwita cepat.
Sebelum pergi, Zergan sempat menatap ibunya. “Ibu, jangan biarkan Juwita terlalu lelah.”
Marlina mengangguk. “Tenang saja, Nak. Kau pergilah bekerja, rumah ini aman.”
Zergan menghela napas, lalu melangkah keluar. Mobil hitamnya sudah menunggu di depan.
Keheningan singkat menyelimuti ruang makan. Juwita menatap punggung Zergan yang menjauh, hatinya berdesir aneh. “Ya ampun, aura bos dingin itu bahkan kalau jalan aja bikin merinding. Tapi ganteng banget, astaga.”
Herman menepuk pundaknya. “Sudahlah, Juwita. Habis sarapan, kau bisa istirahat sebentar. Kami jaga Princess. Kau harus kuat, karena menjaga anak itu bukan pekerjaan ringan.”
Juwita tersenyum, rasa haru memenuhi dadanya. “Terima kasih banyak, Pak, Bu. Saya janji akan menjaga Princess sebaik mungkin.”
Marlina menatapnya dengan lembut. “Kami percaya padamu, Juwita.”
Untuk pertama kalinya, Juwita merasa diterima di rumah besar itu bukan sekadar pekerja, tapi bagian kecil dari keluarga yang hangat.