NovelToon NovelToon
Terjerat Pernikahan Kontrak

Terjerat Pernikahan Kontrak

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / CEO / One Night Stand / Nikah Kontrak / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Kumi Kimut

Romantis - Komedi

"Gak bisa Will, kita cuma nikah sementara kan? Bahkan ibumu juga benci sama aku?" -Hania-

"Tapi hamilmu gak pura-pura, Han? Aku bakal tanggung jawab!" -William-

***

Kisah dimulai saat Hania terpaksa menerima tawaran sang bos untuk menjadi istri kontraknya tapi setelah satu bulan berlalu, Hania mabuk karena obat perangsang yang salah sasaran dan mengakibatkan Hania hamil!

Bagaimana kisah ini berlanjut? Akankah Hania menerima pinangan kedua kali dari suami kontraknya atau kembali pada mantan tunangan yang sudah tobat dan ingin membahagiakannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kumi Kimut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 10

Hania mengatupkan bibir, jantungnya berdetak tak menentu saat mendengar pertanyaan William.

Alih-alih langsung menjawab, Hania mengangkat wajahnya, menatap dalam-dalam ke mata Will. Tatapan itu tidak sekadar marah—ada luka, keraguan, dan sesuatu yang lebih dalam, yang tak sanggup ia uraikan hanya dengan logika.

“Pertanyaan itu harusnya aku yang ajukan, Will,” bisiknya pelan. “Apa yang sebenarnya kamu inginkan dariku?”

Will mengernyit, tatapannya mengeras. “Apa maksudmu?”

Hania tak mengalihkan pandangan. “Kamu yang bilang pernikahan ini hanya formalitas. Kamu yang menekankan kita jangan saling campur. Sekarang, kamu marah karena aku tidak cerita soal masa lalu—padahal kamu sendiri nggak pernah tanya. Jadi aku ulangi, Will: apa yang sebenarnya kamu mau dariku?”

Sejenak, William terdiam. Tapi kemudian, sesuatu meledak dalam dirinya. Ia mendorong gelas menjauh, lalu berdiri begitu cepat hingga kursinya bergeser dengan suara berderak. Hania belum sempat bereaksi saat ia menarik tangan Hania kasar namun tidak menyakitkan, menarik wanita itu berdiri.

Tatapan mata Will membakar. “Aku ingin kamu jujur! Aku ingin tahu bahwa aku lebih dari sekadar nama di surat nikah itu buat kamu! Aku ingin tahu kalau kamu juga—”

Ia terdiam, napasnya memburu. Tiba-tiba, ia menindih tubuh Hania ke dinding belakang bar—bagian tersembunyi di lorong sempit menuju ruang VIP. Cahaya temaram menyelimuti mereka. Nafas mereka membaur. Tubuh William menekan tubuh Hania, namun ia tidak menyentuhnya sembarangan—ada batas yang masih ia jaga, meski gejolak di matanya mengancam menabraknya kapan saja.

“Aku cemburu, Han,” desisnya, suara rendah itu mengguncang. “Gila-gilaan. Waktu dia bilang kalian pernah bertunangan, aku nyaris kehilangan kendali.”

Hania mematung. Matanya membulat, tapi ia tetap berusaha tenang meski seluruh tubuhnya menegang.

“Kamu bilang ini pernikahan kontrak, tapi aku nggak bisa lagi pura-pura. Aku cinta sama kamu, Hania.”

Napas Hania tercekat.

Bibir mereka begitu dekat. Detak jantung Hania bergetar liar. Ia bisa mencium aroma alkohol di napas William, tapi juga bisa merasakan ketulusan yang membuat pengakuan itu terdengar seperti jeritan seorang pria yang sudah terlalu lama memendam.

Mereka nyaris berciuman.

Namun Hania menahan. Ia mengangkat tangannya, menyentuh dada William, menahan jarak yang begitu tipis di antara mereka.

“Will…” bisiknya pelan, masih berusaha menata napas, menata hati. “Kamu mabuk. Dan kamu marah.”

William tidak mundur. Tapi matanya menunjukkan keraguan. Ia tahu Hania tidak sepenuhnya menolaknya—tapi ia juga tahu, momen ini rapuh. Jika ia memaksakan, semuanya bisa runtuh.

“Aku sadar,” katanya akhirnya, suara mulai melunak. “Tapi semua yang aku bilang tadi… itu bukan karena mabuk. Itu karena aku nggak mau kehilangan kamu.”

___

Hania masih diam. Matanya menatap William yang kini berdiri hanya beberapa inci darinya. Napas mereka masih menyatu, panas dan tegang, namun ia menahan diri untuk tidak menanggapi lebih jauh. Ia tahu jika ia membuka mulut sekarang, suaranya mungkin akan bergetar. Bukan karena takut—tapi karena ia sendiri belum tahu bagaimana harus menanggapi perasaan yang baru saja dilemparkan begitu saja ke pangkuannya.

Dan keheningan itu, bukannya menenangkan, justru membuat William muak.

Ia menarik diri dengan kasar, mengacak rambutnya dengan frustasi. “Kamu selalu kayak gini, Han. Diam. Kalem. Rasional. Padahal aku—” Ia menghela napas berat, “Aku udah telanjangin hati aku di depan kamu barusan, dan kamu cuma bisa diem?”

Ia tak menunggu jawaban.

Langkahnya berat saat ia kembali ke meja bar, mengambil botol whiskey yang tadi hampir habis, lalu memesan satu lagi. Hania menatapnya dengan ragu, namun tetap diam. Ia tahu, mencoba menahan Will saat ini hanya akan memperpanjang ledakan yang belum benar-benar reda.

Satu jam berlalu.

William duduk menyandar di kursinya, satu tangan menggenggam botol, tangan satunya lagi menggantung lemas di sisi tubuhnya. Matanya mulai sayu, tapi masih menolak untuk menutup. Ia terus menenggak minumannya, seolah ingin menghancurkan perasaan-perasaan asing yang sejak tadi membuncah di dadanya.

Hania memandangi ponselnya.

Ia hampir saja menelepon Adjie—asisten pribadi William—untuk datang menjemput atau setidaknya membantu menenangkan situasi. Tapi… ia mengurungkan niat. Bukan karena takut, melainkan karena ada harga diri Will yang harus ia lindungi. William sedang rapuh, dan ia tahu, pria itu akan lebih terluka jika harus dilihat dalam keadaan seperti ini oleh orang lain.

Jadi ia tetap tinggal. Duduk diam, menunggu, seperti jangkar yang mencoba menahan badai.

Tapi William tidak kunjung tenang. Ia menenggak, lagi dan lagi, sampai tubuhnya mulai goyah. Suaranya kini hanya gumaman tak jelas, tapi satu hal masih terdengar jelas dari bibirnya: nama Hania. Diulang-ulang seperti mantra yang menyakitkan.

Akhirnya, Hania bangkit dari duduknya dan berjalan mendekat. “Will…” bisiknya, berlutut di samping kursinya. “Udah cukup, kamu harus berhenti.”

William hanya menggeleng, tak fokus.

Hania mencoba menyentuh lengannya, tapi saat ia hendak berdiri untuk menopangnya, kakinya malah terpeleset oleh botol yang menggelinding di lantai. Tubuhnya oleng, dan tanpa sempat menahan, ia jatuh—menindih tubuh William yang setengah rebah di sofa panjang bar.

Tubuh mereka saling bersentuhan, dada bertemu dada, napas bertabrakan di ruang sempit di antara mereka.

William membuka mata, matanya kabur tapi masih bisa melihat wajah Hania dari jarak yang sangat dekat. Begitu dekat, sampai ia bisa menghitung bulu mata istrinya satu per satu.

Hania membeku.

Kedua tangannya bertumpu di dada William, tubuhnya masih menindih tanpa sengaja. Ia hendak bangkit, tapi tangan William tiba-tiba menahan pinggangnya. Tak keras, tapi cukup untuk membuatnya berhenti bergerak.

“Hania…” gumam Will pelan, suaranya parau, namun jujur. “Kamu tahu kenapa aku mabuk begini? Karena aku benci rasanya mencintai seseorang… yang mungkin nggak pernah anggap aku ada.”

___

Hania menegang saat merasakan sentuhan lembut di bibirnya. William, dengan mata yang setengah tertutup dan napas hangat beraroma alkohol, telah mengecup bibirnya—begitu saja, tanpa aba-aba. Kejadian itu berlangsung cepat, mendadak, dan membuat seluruh tubuh Hania membeku.

“Will… jangan,” desisnya pelan, mendorong dada suaminya dengan panik.

Namun William tidak bergeming. Bukannya memaksa, ciumannya justru berubah—dari keras dan tak terkendali, menjadi pelan… dan menyesal. Seolah dalam setiap desakan lembut itu, ada rasa sakit yang tak bisa ia ucapkan. Sentuhan bibirnya bukan milik pria yang haus nafsu—tapi milik seorang lelaki yang sedang patah, dan hanya bisa berkata jujur lewat caranya mencintai.

Hania masih berniat menarik diri. Tapi sesuatu dalam dirinya runtuh pelan-pelan. Getaran itu menelusup, membuat tubuhnya berhenti memberontak. Matanya terpejam perlahan. Tangan yang semula mendorong dada William kini mencengkeram kausnya—tidak untuk menolak, tapi seakan mencari pegangan dalam pusaran emosi yang membingungkan.

Ciuman mereka semakin dalam, semakin dalam, dan waktu seolah berhenti.

William menggenggam pinggang Hania dengan lembut, menahannya tetap di atas tubuhnya. Ia mengecup ulang bibir sang istri, kali ini lebih pelan, penuh ketulusan yang mengejutkan Hania. Tidak ada lagi kemarahan. Tidak ada tuntutan. Hanya rasa… yang selama ini terpendam dan meledak dalam bentuk yang tak terkira.

Hania tak tahu apa yang membuatnya tak lagi melawan.

Mungkin karena ia lelah. Lelah menahan jarak. Lelah bersikap seolah semua ini hanya kontrak dingin tanpa rasa. Lelah menyangkal bahwa tatapan William belakangan ini telah menorehkan sesuatu yang nyata dalam dirinya.

Ketika ciuman itu berakhir, Hania masih memejamkan mata. Napas mereka memburu, tapi tidak tergesa. Saat ia membuka matanya, William tengah menatapnya—mata itu merah, tapi tidak hanya karena alkohol. Ada perasaan yang menumpuk di sana. Ada cinta yang tak pernah ia duga akan muncul dari pria ini.

“Maaf,” gumam William, jemarinya menyentuh pipi Hania dengan ringan. “Aku tahu aku nggak seharusnya…”

---

Bersambung…

1
Eva Karmita
Andra kamu harus nya bersyukur punya teman seperti Dani yg selalu bisa menasehati kamu supaya hidup dijln yang lebih baik lagi, plisss dengerin nasehatnya..,, jarang sekali ada sahabat sebaik Dani mau jadi teman curhat yg baik.. dan biarkan Hania hidup bahagia dan tenang bersama William
KumiKimut: iya nih kak, awas saja kalau kebanyakan ganggu
total 1 replies
Eva Karmita
lanjut thoooorr
Eva Karmita
Tom and Jerry ini namanya lanjut thoooorr 🔥💪🥰
KumiKimut: iya kak, mas mksih udah mampir ya
total 1 replies
Eva Karmita
lanjut thoooorr 🔥💪🥰
Eva Karmita
❤️
Eva Karmita
mampir otor 🙏😊
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!