Novel ini hasil collab antara Siti H dan Mom Young penulis novel 'Santet Pitung Dino'.
Sumber: Mbah Tainah, Desa Tiga Sari, kecamatan Jatenegara. Tegal-Jawa Tengah.
Diangkat dari sebuah kisah nyata. Kejadian ini terjadi sekitar tahun 1968 silam, dimana seorang pemuda miskin harus terjebak oleh sesosok makhluk ghaib Ratu Ular bernama Nyi Arum Lopa.
Tanpa sengaja, ia bertemu dengan Nyi Arum Lopa dibawah pohon Gintung yang tumbuh tinggi menjulang dan berusia ratusan tahun.
Dibawah pohon Gintung itu juga terdapat sumber mata air yang membentuk sebuah telaga kecil dengan airnya yang sangat jernih.
Karena persekutuannya itu, membuat pemuda bernama Saryat mendapatkan wajah tampan dan tidak pernah tua, serta harta yang melimpah. ia memulai usahanya dengan menyewakan gamelan saat setiap ada hajatan, dan harus dikembalikan sebelum pukul 12 malam..
Ada apa dengan gamelan tersebut, dan bagaimana kisa Saryat dengan sang Ratu Ular Nyi Arum Lopa?
ikuti novel ini selan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Prolog
Pada tahun 1968, disebuah desa bernama Tiga Sari (Nama samaran) yang terletak di Kecamatan Jatinegara. Tegal-Jawa Tengah, terlihat suasana yang begitu sangat tentram dan damai.
Para warganya bekerja sebagai petani dan juga memelihara hewan kerbau. Kehidupan mereka tidak ada yang mewah, dan terkesan sangat sederhana.
Rumah-rumah masih terbuat dari anyaman bambu atau biasa disebut gedek/tepas, dan atapnya juga terbuat dari daun kelapa ataupun daun pohon aren yang disemat menggunakan sembilu.
Lantainya masih terbuat dari tanah merah yang dipadatkan, dan makanan khasnya adalah sega jagung atau dikenal jagung tua yang ditumbuk kasar dan dimasak hingga lunak, lalu disajikan dengan sambal teri.
Desa ini dikelilingi oleh perbukitan dan hutan yang masih rimbun serta juga lebat. Disetiap paginya, terlihat kabut tebal yang menyelimuti desa dan memberikan rasa dingin yang cukup membekukan tulang.
Di desa itu juga memiliki sebuah kali yang cukup besar dan juga panjang, serta kedalaman yang sedang, dimana kali itu disebut Kali Gede.
Didesa ini juga, terdapat sebuah pohon Gintung (Guntung, Sikkam, gadog, sesuai daerah masing-masing), yang mana pohon itu tumbuh dengan ukuran sangat besar dan tinggi menjulang hingga setinggi lima puluh meter.
Pohon ini diperkirakan berusia ratusan tahun, dan dari bawah akar pohon gintung tersebut, terdapat mata air yang mengalir membentuk sebuah cekungan yang lama-kelamaan menjadi sebuah telaga yang kurang lebih seluas sepuluh meter.
Dimana telaga yang memiliki air jernih tersebut tidak pernah kering meski kemarau panjang melanda.
Didesa nan damai itu pula, hidup seorang pemuda yang bernama Saryat. Ia adalah sosok yang biasa saja dan memiliki wajah yang juga biasa, dan tidak ada hal istimewa dalam dirinya. Ia juga hanya lulusan kelas dua Sekolah Dasar, sebab sekolah begitu sangat jauh sehingga membuatnya harus putus sekolah karena jalan yang dilalui sejauh sepuluh kilometer dari kediamannya.
Hal itu bukan hanya dirinya saja, tetapi ada banyak anak yang terpaksa putus sekolah dan akhirnya membantu orangtua mereka dikebun dan juga sawah untuk bertani, dan nantinya hasil pertanian akan dijemput oleh pengepul, dan dijual ke kota, hasilnya akan digunakan membeli kebutuhan sandang pangan dan keperluan lainnya.
Saryat, pemuda berusia dua puluh tahun, yang memiliki kulit kecoklatan dan cenderung gelap karena seringnya berjemur dibawah terik matahari.
Dihari yang masih terlalu pagi, ia sedang duduk melamun sembari mengunyah potongan singkong rebus dengan taburan parutan kelapa yang diberi garam dan ditemani secangkir kopi hitam.
Angannya sedang melambung, sebab ia memikirkan kapan mendapatkan jodohnya, karena usianya yang masa itu dianggap sudah pantas berumah tangga, dan ditambah teman sebayanya sudah banyak yang menikah, membuat ia begitu sangat minder dan juga ingin segera mendapatkan jodoh.
Sarimah, gadis yang merupakan kembang desa Tiga Sari, dan seorang dara yang begitu sangat cantik dan lembut hati menjadi sosok yang paling ia inginkan untuk menjadi pendamping hidupnya.
Akan tetapi, kondisi keuangannya yang tidak memadai, membuat ia harus bekerja lebih keras dan banting tulang untuk mengumpulkan pundi-pundi uangnya.
"Kang, sudah siang, kamu gak ke sawahnya Kang Suta?!" tanya Ayu, membuyarkan lamunan sang pemuda.
Ia terlihat sedang membawa sebuah ember berwarna hitam diatas kepalanya dan berisi pakaian kotor untuk dicuci dikali.
Ayu adalah adik bungsu Saryat. Mereka sudah Yatim sejak masih kecil, sebab ayahnya meninggal tergigit ular gibug saat sedang bertani, dan membuat kulit kakinya melepuh. Karena lambatnya penangangan, dan pada masa itu belum ada anti venomnya, dan juga rumah sakit yang cukup jauh, membuat ayahnya tidak tertolong, dan akhirnya meninggal dunia.
Suara omelan Ayu yang cukup keras, membuat Saryat tersentak, dan tentu saja ia terkejut, lalu menatap adiknya dengan wajah melongo. "Sudah jam berapa?" tanyanya dengan panik, dan menyambar topi capilnya yang ia letakkan diatas balai bambu dan berada disisi kanannya.
"Sudah jam delapan. Kebanyak ngelamun, entah apa yang dikhayalkannya," sindir Ayu dengan nada mencibir, sebab akhir-akhir ini melihat kakak lelakinya sering banyak merenung. "Pasti lagi mikirin mbak Sarimah, ya? si Kembang Desa? Ngaca, Kang, ngaca, kita ini cuma orang gak punya jangan mengkhayal terlalu tinggi, nanti kalau jatuh, sakit," ledek Ayu, dan mencoba menyadarkan angan kakak lelakinya, jika semua itu hanyalah mimpi yang tak kan jadi nyata.
"Kamu ini, loh, Yu. Seharusnya kamu dukung Kakang-mu ini, kasih semangat gitu lho, ini kok justru diledekin," sahut pemuda itu dengan santai. Pembawaannya yang kalem tak membuatnya marah apalagi tersulut emosi dengan ledekan adiknya yang bawel, tetapi baginya, Ayu adalah gadis yang baik, meski sedikit ceriwis.
Mendengar keributan diluar, Tainah yang baru saja selesai dari dapur menghampiri kedua anaknya ke teras rumah. Disana terdapat balai bambu dan hasil karya Saryat yang perlu diapresiasi, meskipun kaki balai itu tinggi sebelah.
"Ada apa ini, kenapa sangat berisik sekali? Malu, Nduk didengar tetangga," ucap Tainah, sembari membenahi gelungan rambutnya yang sudah memutih. Ia mengenakan kemben yang dipadu cardigen kebaya tanpa kancing, dan dibalut dengan kain jarik bermotif lintah yang dililit stagen warna hitam. Wanita berusia empat puluh tahun itu terlihat membawa sabit dan juga akan berangkat kekebun, untuk mengambil upah dikebun Kang Karyo.
"Ini, Mbok. Kang Saryat berkhayal pengen nikahi mbak Sarimah si Kembang Desa," Ayu memanyunkan bibirnya.
Tainah menoleh kearah puteranya. Pada masa tahun itu, umur Saryat sudah pantas untuk berumah tangga, dan bahkan terbilang sudah lewat tua, maka wajar jika sudah menikah. Tetapi menikahi Sarimah adalah hal mustahil, sebab ada banyak juragan dari kota, terutam pengepul hasil pertanian yang kabarnya akan dijodohkan dengan Sarimah, meskipun gadis itu masih berusia empat belas tahun.
"Bener, Yat? Kamu naksir puterinya Kang Tejo?" tanya Tainah dengan penuh selidik.
"Kalau cuma mengagumi gak ada salahnya, toh--Bu? Kan wajar, anakmu ini laki-laki, dan memilih yang cantik itu adalah hal sangat normal," Saryat membela dirinya.
Tainah mendengkuskan nafasnya. Ia sangat prihatin pada puteranya, sebab mengkhayal terlalu tinggi. "Bagaikan punggguk merindukan bulan, tak pernah sampai mencapai tujuannya, dan sebaiknya kamu itu bekerja lebih keras lagi, Yat. Setelah kamu sukses, baru kami pilih wanita manapun yang ingin kamu jadikan istri." pesan Tainah kepada putranya.
"Kalau sudah jodoh, Mbok. Gak ada yang gak mungkin," sahut Saryat dengan santai.
"Sekarepmu, lah, Yat. Si Mbok cuma mengingatkan saja." wanita itu keluar dari teras dan berjalan tanpa alas kaki menuju kebun milik Kang Karyo yang berada dihilir sungai kali gede, sedangkan Saryat bekerja dikebun milik Kang Suta yang ada dibagian hulu, dan letaknya cukup jauh.
Sesaat Saryat kembali kaget, ia melihat mentari sudah semakin naik, dan itu tandanya sudah sangat siang. "Waduh, mati, Aku. Kesiangan--toh." Saryat mengumpat dirinya sendiri, dan meraih cangkul dengan tergesa-gesa dan meletakkan dipundaknya. Tak lupa ia menyeruput habis kopinya, dan mengambil sepotong singkong rebus untuk dimakannya sembari berjalan, dan ia juga membawa kantong kresek berisi bekal makan siang dengan menu sega jagung bersama lauk ikan teri sambal.
Langkahnya begitu ringan, ia seolah tak merasakan beban apapun dalam hidupnya. ia kembali mengunyah singkong rebus dengan parutan kelapa yang dibubuhi garam, dan menghabiskannya dengan cepat.
Kondisi desa yang berkabut saat pagi hari, tetapi nara sumber kesiangan, hingga mentari lebih dahulu masuk dan menyapu kabut embun
Bukitnya tidak begitu tinggi, tetapi desa ini dikelilingi banyak bukit, dan sekitar tahun 2000 baru ada penerangan listrik.
Tidak terbayangkan mereka terisolasi dari dunia luar.
Dan reader bisa bayangkan bagaimana kondisii kecamatan Jatinegara. Tegal-Jawa Tengah tahun 1968 didesa Tiga Sari (Desa Samaran) sedangkan tahun 2025 saja masih asri seperti ini.
Desa sebelah saat nara sumber mengambil foto pohon Gintung dari atas bukit, dan berada disebelah balik bukit.
itu pedati bisa berubah jd ulaarrrr..