"Aku mau kita putus!!"
Anggita Maharani, hidup menjadi anak kesayangan semata wayang sang ayah, tiba-tiba diberi sebuah misi gila. Ditemani oleh karyawan kantor yang seumuran, hidupnya jadi di pinggir jalan.
Dalam keadaan lubuk hati yang tengah patah, Anggita justru bertemu dua laki-laki asing setelah diputuskan pacarnya. Jika pepatah mengatakan tak kenal maka tak sayang, kalau ini malah tak kenal tapi berujung perjodohan.
Dari benci bisa jadi tetap benci. Tapi, kalau jadi kekasih bayaran ... Akan tetap pura-pura atau malah beneran jatuh cinta?
Jangan lupa follow kalau suka dengan cerita ini yaa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zennatyas21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
JSD BAB 10
Suhu dingin menusuk kulit melalui celah jendela kamar, kabut yang masih menyelimuti pemandangan membuat Widi terbangun dari tidurnya.
Namun, saat dirinya hendak duduk tiba-tiba tangan dan tubuhnya tak dapat digerakkan. Kemudian ia mencoba untuk memperjelas pandangannya.
"Lah, Gita meluk aku? Mana erat banget lagi, pantesan aja tangan sampai pegel gini," Batin Widi.
Bukannya menjauh, Anggita justru memeluk Widi semakin erat. Membuatnya kesulitan untuk bangun.
"Gita, bangun lah. Ini aku udah pegal banget. Tangan kiriku aduh ...."
Sedikit mendengar suara Widi, Anggita pun terbangun seketika.
"Ih! Lo ngapain meluk gue!? Aduh, badan gue jadi gak suci lagi dong!"
Laki-laki di sebelahnya memicingkan matanya. "Orang yang meluk kamu, aku yang disalahin."
Si perempuan tambah kesal. Dia dengan jengkel turun dari kasur. Sampai akhirnya kakinya terkilir.
"Adoh! Ah, coba aja kalau lo gak tidur sama gue! Kaki gue selalu sial karena ada lo!" pekik Anggita.
Sebagai suami bayaran Widi pun menatap sang istri. "Sakit?"
"Pake nanya! Ya menurut lo gue sehat gak!?"
"Setahu mata aku sih kamu gak lagi dalam gangguan ya." Pengucapannya cukup tenang. Tapi, mampu membakar emosi Anggita.
"Lo bener-bener ngatain gue gila!?"
"Aku gak bilang gitu ya, itu kamu bilang sendiri."
Pagi-pagi sudah ribut ditambah kakinya sakit dadakan, Anggita hanya bisa meratapi nasibnya di atas kasur. Menunduk menatap lantai bersih dan wangi itu.
"Ya udah, sini biar aku gendong aja. Mau gendong depan apa belakang?"
Anak Anggara mendongak dengan wajah yang muram.
"Belakang aja, biar gue bisa cekik lo!"
Cukup didengar tidak mau menanggapi lagi.
Akhirnya mereka berdua menuruni tangga dan menuju meja makan. Di sana sudah ada Sarah yang tetap dipertahankan oleh Anggara.
Denting piring mengiringi sunyi di antara empat orang yang sedang bersiap hendak sarapan. Widi mengambil nasinya sedikit membuat Anggita mendelik.
"Sarapannya yang banyak dong, Mas," ucap Gita sambil mengambil alih piring yang dipegang Widi.
Laki-laki itu menoleh dengan diam. Sarah dan Anggara tersenyum kompak begitu melihat anaknya mulai akur.
"Nanti sehabis sarapan mau digendong lagi atau gak, Sayang?" balas Widi tak kalah romantis dari Anggita.
Ketika kata romantis itu terucap dari Widi, Anggita sontak mendelik disertai senyuman manis. "Ohh, iya tentu. Aku mau digendong lagi karena kaki aku masih sakit kan ya. Kalau kamu mau, aku pengen digendong belakang biar bisa bantu kamu naik ke tangga menuju kamar."
Anggara senang melihat putrinya bahagia. Sedangkan Sarah ia juga merasa bangga atas putranya yang tidak gagal menjadi kepala keluarga untuk anaknya Anggara.
Di sisi lain, Anggita terus melirik ke arah Widi sambil memberikan sarapannya. "Setelah ini jangan ngarep lo bisa santai hidup sama gue, Wid. Tenang aja, gue bakal kasih banyak ujian buat lo." Anggita mengatakan dalam hati.
"Gimana malam pertama kalian? Aman kan? Atau malah ... malu-malu?" tanya Anggara tiba-tiba kepo.
Lantas Anggita terdiam. Bersamaan dengan Widi yang berdehem pelan. "Sepertinya untuk hal itu tidak bisa kita bahas saat sedang sarapan."
Barulah Anggita dapat bernapas lega sekalipun masih deg-degan jika nanti dipertanyakan lagi.
"Oh iya, Widi. Nanti ibu langsung pulang diantar sama Pak Anggar, terus kamu kan udah jadi kepala keluarga. Ibu mau kamu bantuin Gita kerja di warung Es Dawet pinggir jalan itu ya. Dan ibu minta tolong carilah rezeki yang halal." Ucapan Sarah diangguki oleh putranya.
••••
Pukul setengah tujuh, Shinta kembali bertemu dengan Ridho di sebuah pasar. Hari ini dan untuk selanjutnya Shinta masih ingin izin kepada Anggara untuk menyempatkan waktu membantu masalah keluarganya.
"Eh, ketemu lagi nih kita. Lo apa kabar, Shin?" Senyuman miring itu ditanggapi desisan sinis oleh Shinta.
"Ba*ot! Gue gak mau kenal lo lagi! Dasar preman kejam lo!" sarkas Shinta.
Ketika ingin kabur, langkahnya langsung terhenti oleh Ridho yang pergerakannya lebih cepat. Kemudian dua tangannya diikat ke belakang.
Sungguh, pagi yang sangat sial. Laki-laki yang dianggapnya remeh ternyata adalah preman. Terlebih lagi perihal Widianto, kawan sama-sama preman jalanan.
"Lepasin gue, brengsek!!"
"Hah? Lepasin? Emangnya lo mau ngapain, hm? mau ketemu Widi? mau minta tolong ke Gita?! Mereka bakalan habis satu per satu! Ngerti lo!?"
Plakk!
Satu tamparan mendarat di pipi Ridho. Namun, laki-laki itu masih saja tersenyum. Shinta pun semakin berlari sebisa mungkin saat tangannya terlepas dari genggaman Ridho.
Kaki terus melangkah maju sampai akhirnya Shinta tiba-tiba menabrak tubuh Widi. Tak sampai itu saja, mereka berdua pun terjatuh bersamaan di bebatuan tepi jalan raya.
Anggita yang tengah beberes warungnya seketika menoleh. Mendapati pemandangan yang entah mengapa membuat hati mungilnya sakit.
Tapi, perasaan itu ditepis usai matanya melihat keberadaan Ridho.
"Lo ngapain di sini, Dho?" Anggita bingung.
Ridho melempar senyuman. Bagi Shinta itu adalah senyum mematikan. Tapi, bagi Anggita justru menjadi hal yang menarik perhatian.
"Gue sengaja ke sini ngejar Shinta sampai akhirnya gue ketemu lo juga. Langsung poinnya aja, gue mau ngasih tahu kalau cowok yang dijodohkan sama lo ini bukan orang biasa, Git."
Setelah saling bangkit, Widianto langsung mencengkram kerah jaket Ridho.
"Lo gak usah main-main sama dia! Asal lo tahu ya, gue gak akan biarin siapapun nyakitin dia. Dan lo, cukup menjadi preman yang berandalan gak usah nambah jadi baj*ngan!"
Anggita terpaku. Hatinya bingung, antara rasa sakit dan rasa penasaran. Otaknya berpikir bahkan berkelahi dengan fakta yang tengah terjadi di depan matanya.
"Tuh, liat, Git. Ini cowok yang mau lo bukain pintu? Setelah lo putus sama mantan lo? Dia ini gak beda jauh sama mantan lo!!" tegas Ridho menepis cengkraman tangan Widi.
Shinta tak bisa berbuat apa-apa. Karena posisinya juga terdesak.
"Lo gak perlu kasih tahu dan jelasin apa pun, karena dia udah tahu kalau gue preman!! Tapi dia juga ngerti bahwa gue gak lebih dari seorang bajing kayak lo!!" Amarah Widi tak terkendali.
Anggita semakin gelisah. Apalagi suasana jalan raya yang semakin ramai. Shinta masih bersembunyi di balik tubuhnya.
"Mendingan gue jujur daripada lo?! Otaknya cuma duit dan niatnya busuk!!"
Lalu, Gita terpaksa memisahkan mereka.
"Lo berdua udah cukup!! Cukup lo semua bikin gue kena masalah!! Gue gak mau denger lagi kalian ribut, kalau sampai—"
"Kalau sampai apa, Anggita? Lanjutin dong marahnya. Lo marah se-jadinya terserah dan gak papa luapin ke gue."
Ridho menampakkan senyum miring yang sudah menjadi firasat buruk bagi Anggita.
"Gue izin lanjutin ucapan lo ya, tapi gue pake nada tenang yang gak pake amarah sama sekali. Oke? Lo gak mau denger lagi gue sama Widi ribut, kalau sampai lo tahu bahwa mereka berdua di belakang lo itu pernah ada hubungan masa lalu."
hai kak, aku mampir, cerita kakak bagus💐