Orang bilang Abel yang jatuh cinta duluan dengan gombalan-gombalan itu, tapi Abi juga tahu kalau yang rela melakukan apa saja demi membuat Abel senang itu Laksa.
.
Berawal dari gombalan-gombalan asbun yang dilontarkan Abel, Laksa jadi sedikit tertarik kepadanya. Tapi anehnya, giliran dikejar balik kok Abel malah kabur-kaburan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanadoongies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24
"Buk, kalem, Buk. Gue bukan anak kambing."
Dinda menyeret Abel ke sebuah sudut yang saat itu sedang tidak dijamah oleh anak-anak lain. Berbekal susu kotak stroberi, Dinda nekat mengajak Abel ngobrol berdua.
"Nyogok nih ceritanya?" Abel terkekeh.
"Kalau nggak mau, ya, udah."
"Lo tau gue paling nggak bisa nolak sama yang gratisan kayak gini." Abel langsung meminumnya, mendadak jadi lapar setelah berdebat dengan Bian. "To the poin aja lo mau ngomong apa, kalau kelamaan di sini gue bakal nggak enak sama anak-anak yang lagi bangun tenda."
"Nggak usah terlalu nempelin Bian selama kemping berlangsung."
"Cemburu?"
"Ganggu."
Abel terkekeh, susu kotak pemberian Dinda sudah ia sedot sampai tersisa setengah. "Lo ngomong gini karena lihat Bian bawa gue pergi?"
Dinda malah melengos. Enggan mengakui secara terang-terangan.
"Lo tau gue sama Bian emang cukup deket dibandingkan sama anak-anak lain, tapi bukan berarti gue bakal ngintilin dia ke mana-mana. Kegiatan yang perlu kita lakukan itu ada banyak, sedang ngurusin Bian nggak termasuk di dalamnya karena dia bukan bagian dari kegiatan. So, don't worry. Crush lo tetap berada dalam jarak aman."
"Bisa aja lo ngomong kayak gini biar gue percaya tapi ujungnya tetap nempelin Bian juga."
"Ya, elah, nggak percayaan amat jadi orang. Meskipun bentukan gue kayak cegil sinting begini, tapi nggak ada ceritanya gatelin cowok yang disukai sama temen sendiri. Mending gue gatelin Dito dah, paling ujungnya harus jambak-jambakan sama Jani doang."
"Backstreet, 'kan, lo?"
"Sama Bian??"
"Emang mau siapa lagi? Laksa? Dia aja nggak doyan sama cewek hebring kayak lo."
"Ahaha, sial. Sekali ngejekin gue langsung nancep ke ulu hati begini." Abel terkekeh kecil, geli sekaligus tidak percaya.
"Nggak usah sok polos. Gue tau lo sering jalan sama Bian di belakang gue sama anak-anak lain."
"Jalan bareng bukan berarti lagi pacaran kali. Gue sama Dito juga sering jalan tapi nggak ada yang mention soal itu. Santai ajalah. Semuanya gue anggap temen."
"Awas aja kalau lo cari gara-gara lagi."
"Gue lebih kepengen cari gara-gara sama Laksa sih. Kalau lagi sebel, muka dia jadi lucu banget soalnya."
"Terserah lo mau deketin siapa, asal bukan Bian aja."
"Mau kerja sama gue?" Dinda menyilangkan tangan dengan alis terangkat, penasaran tapi enggan terlihat membutuhkan. "Gue bisa menyebut ini sebagai win-win solution. Lo dapatin momen yang lo mau, gue jadi bebas ke mana aja."
"Kerja sama kayak gimana?"
Abel meminta Dinda mendekat sampai depan telinga. "Jadi gini ... gimana? Lo setuju, 'kan?"
Dinda bangkit lebih dulu.
"Jawab dulu elah, main kabur-kaburan aja lo."
"Lihat nanti."
Ketika Dinda mulai menjauh, Abel lagi-lagi tertawa kecil. "Gue tau lo cuma gengsi buat iyain omongan gue."
Gugus Harimau 3, kelompok milik Laksa, sibuk membangun tenda sembari bercengkerama. Garis besarnya tak lain dan tak bukan tengah membicarakan Abel yang diseret Bian dengan sembrono. Laksa sih bagian mendengarkan saja, toh keselamatan Abel bukan tanggung jawabnya juga.
"Gue rasa si Bian jadi emosian karena Abel sering nempelin Laksa. Mungkin awalnya buat seru-seruan doang tapi akhir-akhir ini malah jadi ketagihan. Ngerasa nggak sih lo pada?" tanya Dipa.
"Gue ngerasanya juga kayak gitu."
"Ya, kan, Bin? Lo perhatiin aja gimana Abel kalau lagi di sekitar Laksa. Jadi lebih kayak anak-anak, manjaaaa aja bawaannya."
"Sok tahu!" dengus Laksa.
"Saksinya banyak, ya, Lak. Tanyain aja tuh ke geng pasukan minionnya si Clarista, gue yakin pemikiran mereka nggak beda jauh sama pemikiran gue sekarang."
"Makanya gue nggak pernah percaya kalau Abel bilang itu tanggung jawab pendamping gugus. Mana ada anying?! Kakak pendamping mana yang tanggung jawabnya seugal-ugalan itu gue tanya?" Semua orang mendadak tertawa karena ucapan Romi.
"Gue, 'kan, udah bilang kalau Abel jadiin status kakak pendamping sebagai kambing hitam biar bisa perhatian sama Laksa tanpa ketahuan orang-orang," sahut Anggara.
"Nah, gue mikirnya juga kayak gitu." Afkar malah sempat-sempatnya berkomentar padahal ia sedang memasang pathok tenda. "Iya sih dia sering pat-pat kita semua, tapi kalau udah sampai gilirannya Laksa tuh vibesnya kayak lagi pat-pat cowoknya."
"Ahaha, sial! Suka banget gue ama pembicaraan ini," ujar Abi dengan senyum mentereng.
"Kalau kata sepupu lo, Abel sama Bian pacaran nggak, Wi?" sambung Bintang.
"HTS-an kali. Katanya emang sering jalan bareng tapi nggak pernah ada kabar kalau mereka berdua jadian," balas Dwiki.
"Pantesan si Bian ngamuk-ngamuk, orang HTS-annya digaet cowok lain. Mana berondong lagi," sahut Dipa.
"Nggak usah bikin kabar yang enggak-enggak."
Abi segera menyenggol Laksa. Wajahnya jahiiiiiil sekali. "Biar nggak jadi kabar yang enggak-enggak, gimana kalau lo deketin Abel beneran? Mayan tuh, Lak. Hidup lo bisa lebih berwarna, si Abel juga bakal /tambah kegirangan kalau dapatnya cowok tsundere bucinable kayak lo begini."
"Stres."
"Ahahaha."
"Abel lebih cocok sama lo, Lak. Meskipun mulut lo sebelas dua belas ama presenter akun gosip, tapi masih mending lah. Seenggaknya lo tetap memperlakukan Abel selayaknya memperlakukan perempuan."
"Betul tuh!" Afkar ikut bersorak karena ucapan Romi. Memang sinting semua, wajar namanya juga kroco-kroconya Fabian Dhanunendra.
"Eh, cowok-cowok. Pinjemin kursi lipetnya dong! Gue juga pengen menangin perlombaan ini dengan kursi-kursi estetik itu." Clarista tiba-tiba datang. Kali ini hanya mengajak Michie saja, untung sisa minionnya tidak ia bawa. Kalau iya, mungkin mereka sudah baku hantam dengan pasukan Dipa.
"Makanya modal! Pengen estetik kok nggak mau bawa apa-apa. Sono duduk lesehan aja biar bentukan lo makin kayak gembel perempatan."
"Gue nggak ngomong sama lo, ya, Naladhipa. Lagian emang yang bentukannya kayak lo termasuk cowok? Bukannya waria, ya?"
"Si anying berani-beraninya ngatain gue segala."
Keduanya hampir baku hantam, tapi Laksa lebih dulu mengulurkan kursi lipat dengan wajah datar.
"Ambil terus cabut!"
"Ihh, Laksaaa. Kok lo baik banget sih nggak kayak temen-temen lo yang begajulan ini." Clarista mesam-mesem, Dipa langsung pura-pura muntah.
"Apa lo siluman pohon nangka!"
"Ya elah, biji toge sok-sokan ngatain pohon nangka. Badan lo tuh kagak berkembang. Masa udah SMA tingginya segitu-segitu aja? Cacingan kah, Dik?"
"Sialan!" Clarista kontan menginjak kaki Dipa.
"AKHHH! SAKIT WOY!"
"Mamam tuh kacang ijo."
"Lo sebenarnya cewek apa preman sih?"
"Gue mah bidadari. Ayo kita cabut, Chie. Ngeladenin siluman pohon nangka kayak Dipa cuma bikin emosi doang."
Sebelum benar-benar pergi, Clarista sempat menepuk-nepuk puncak kepala Laksa. "Makasih Laksa ganteng, sisanya terserah."
"Aish!"
"Yeuu. Dasar kacang ijo!"
Abel menyaksikan interaksi itu. Memang terlihat manis sih, tapi rasanya tidak rela saja kalau ada gadis lain yang menepuk-nepuk kepala Laksa sama seperti dirinya.
"Info tek-tokkan Rinjani dong!"
Anjani kontan mendengus. Jengah dia karena harus mengurusi permasalahan yang itu-itu saja. Jangan-jangan Abel malah betulan mulai naksir Laksa.
"Laksaaaa! Abel lagi cemburu berat nih. Katanya kepala lo nggak boleh dipat-pat sama cewek lain karena nyakitin perasaan dia."
"Si anying!"