Dion hanya ingin menuntaskan misinya di Rumah Hantu Batavia, tapi malam pertamanya di penginapan tua itu berubah menjadi teror yang nyata. Keranda tua terparkir di depan pintu, suara langkah basah menggema di lorong, keran bocor, pintu bergetar, dan bayangan aneh mengintai dari balik celah.
Saat ponselnya akhirnya tersambung, suara pemilik penginapan tidak kunjung menjawab, hanya dengkuran berat dan derit pintu yang menyeret ketakutan lebih dalam. Sebuah pesan misterius muncul, “Hantu-hantu yang terbangun oleh panggilan tengah malam, mereka telah menemukanmu.”
Kini Dion hanya bisa bersembunyi, menggenggam golok dan menahan napas, sementara langkah-langkah menyeramkan mendekat dan suara berat itu memanggil namanya.
”Dion...”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon J Star, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan yang Mengguncang Hati
’Huh… hanya menakut-nakuti diriku sendiri tanpa alasan.’ Dada Tiara naik turun tidak beraturan, jantungnya berdegup dengan kecepatan yang mustahil. Sudah begitu lama ia tidak merasa sebodoh ini.
Musik menyeramkan terus terdengar, mengisi ruang dengan nada yang menusuk syaraf. Dalam cahaya redup, ia dapat melihat bayangan dirinya di cermin, dan pupil matanya tampak menyusut. Namun yang membuatnya tercekat adalah pantulan di cermin itu, kelambu di belakangnya terbuka dengan sendirinya. Tepat di balik kain tipis itu, muncul wajah sebuah manekin kertas yang tampak tersenyum padanya.
“Siapa di sana?” suaranya bergetar.
Reaksi naluriah manusia saat diterpa rasa takut yang amat besar adalah kemarahan dan agresif. Tiara segera berbalik, namun tidak ada siapa pun di sana. Ia bergegas menuju kelambu, berusaha membukanya agar bisa melihat apa yang sebenarnya berada di baliknya. Namun, desain kelambu itu ternyata jauh lebih rumit dari perkiraannya. Terdiri dari banyak lapisan yang saling terhubung dengan jaring tipis yang menyatu pada kerangka tempat tidur. Alih-alih berhasil melepaskan jaring, Tiara justru terjerat di dalamnya.
Saat itu, suara langkah kaki terdengar dari dalam ruangan.
’Aku tidak bergerak. Jadi, langkah siapa itu?’
Hilangnya junior, ditambah efek mengerikan dari Lagu Malam Jumat Kelabu yang mengalun, telah menghancurkan pertahanan psikologis Tiara. Suara langkah kaki yang tidak diketahui sumbernya menjadi pukulan terakhir yang membuatnya benar-benar kehilangan kendali.
Kedua kakinya seakan berubah menjadi agar-agar, dan tidak sanggup bergerak. Rasa takut menjelma seperti binatang buas yang merobek-robek sisa rasionalitasnya. Dengan tangan gemetar, Tiara menarik jaring kelambu sekuat tenaga, berusaha melepaskan diri, namun sia-sia. Suara langkah kaki itu semakin mendekat.
’Tidak mungkin! Ruangan ini tidak luas. Jika ada seseorang yang mendekat, seharusnya aku bisa melihatnya!’
Pikirannya kacau, bahkan perabot sederhana di ruangan itu kini tampak mengancam. Lentera putih di luar jendela bergoyang tertiup angin, membuat cahaya di dalam kamar semakin redup. Pantulan cahayanya di cermin perunggu menjadi kabur , tiba-tiba pupil mata Tiara bergetar. Ia menatap ngeri karena yang terlihat di pantulan cermin bukan lagi dirinya, melainkan sosok wanita asing mengenakan gaun pengantin putih!
Dalam banyak hal, penampilan wanita itu seperti seseorang yang tengah berpakaian untuk mengakhiri hidup orang lain. Wajahnya amat cantik, tetapi ada sesuatu yang aneh. Kecantikan yang terlalu sempurna, hampir menyerupai karya seni yang baru digali dari makam tua.
Bibir Tiara bergetar, untuk pertama kalinya, rasa takut terpancar jelas dari raut wajahnya.
Berdasarkan pengalamannya menangani otopsi, ia mengenali tatapan itu, tatapan kosong yang hanya dimiliki oleh mereka yang telah mati.
’Rumah Hantu ini menyembunyikan mayat sungguhan!’ Pikiran itu menghantam benaknya, dan ketakutan menelannya seperti ombak besar yang menggulung. Ia mencoba sekuat tenaga menjauh dari cermin, namun ketika terhuyung mundur, punggungnya menabrak sesuatu yang keras.
Pada saat bersamaan, suara langkah kaki itu berhenti, dan pikiran Tiara seketika kosong. Kehilangan kemampuan untuk berpikir, ia menoleh secara naluriah ke belakang.
Di sana, berdiri seorang wanita dengan riasan pucat menyerupai wajah orang mati, lengkap dengan gaun pengantin yang menjuntai. Ia tersenyum… perlahan.
“AAAAAAAAAA!”
Jeritan tajam memecah kesunyian Rumah Hantu, suaranya melengking hingga terdengar keluar dari bangunan. Lengan Tiara masih terjerat kelambu ketika kedua kakinya akhirnya menyerah, dan tubuhnya ambruk tidak berdaya.
Ketakutan yang sedari tadi ia tekan pecah menjadi air mata yang mengalir tanpa kendali. Matanya terpejam rapat, mulutnya sedikit terbuka, tubuhnya terguncang hebat. Ia justru mulai terisak, tangisan kering yang terdengar aneh dan tidak wajar.
“Dinda, cepat bawa dia keluar!” terdengar suara di balik komunikasi.
“Baik.”
Hantu wanita bergaun pengantin itu melepas earpiece Bluetooth yang tersembunyi di balik rambutnya. Ia kemudian berjongkok dan berkata lembut, “Pengalaman berakhir sampai di sini, tarik napas dalam-dalam, dan aku akan memimpinmu keluar sekarang.”
Sepuluh detik kemudian, pintu keluar skenario Pernikahan Hantu terbuka. Dion bergegas masuk, wajahnya cemas. “Hanya satu orang? Di mana yang satunya lagi?” tanyanya cepat. Ia baru saja memeriksa kamera pengawas dan tidak menemukan Julian.
“Hm… dia pingsan begitu masuk ke ruangan dan melihat dua cermin itu. Aku takut mengganggu pengunjung lain, jadi… aku menyeretnya dan menyembunyikannya di bawah tempat tidur.”
“Pingsan?” Dion menghela napas panjang. “Keselamatan adalah yang utama, jika hal seperti ini terjadi lagi, segera laporkan!”
“Ya, Mas.”
Setelah menyerahkan Tiara kepada Dinda untuk dijaga, Dion bergegas masuk ke ruangan dan menemukan Julian terbaring tidak sadarkan diri di balik ranjang. Wajah pemuda itu pucat, napasnya pendek, seolah benar-benar trauma.
’Sial, aku harus membawanya ke tempat terbuka!’
Dion mengangkat tubuh Julian ke pangkuannya, lalu berlari ke arah pintu masuk Rumah Hantu. Ia menyingkap tirai berat, menendang pintu agar terbuka lebar. “Beri ruang! Ada pengunjung yang pingsan!” serunya keras.
Ia meletakkan Julian di pintu masuk, segera memijat dadanya dan menempelkan kompres es di dahinya, berusaha keras untuk menyadarkannya.
Perkembangan ini sontak mengejutkan para pengunjung yang masih berada di taman hiburan, mereka saling berbisik dengan wajah penuh rasa ingin tahu.
“Ya Tuhan, apa yang terjadi di sana?”
“Mengunjungi Rumah Hantu sampai pingsan, ini pertama kalinya aku melihat hal seperti ini.”
“Dia benar-benar ketakutan sampai pingsan bukan? Tapi mengapa ulasan daring mengatakan tempat ini tidak menakutkan?”
“Sial, aku mulai merinding sekarang…”
Tidak lama kemudian, Dinda keluar sambil menggendong Tiara. Penampilannya jauh berbeda dengan ketika ia masuk tadi. Rambutnya berantakan, wajahnya pucat, dan langkahnya goyah. Sisa air mata yang telah mengering masih terlihat di pipinya.
“Ini benar-benar orang yang berbeda!”
“Apa yang dia alami di dalam sana?”
“Bukankah mereka mahasiswa forensik? Mengapa sampai ketakutan seperti itu?”
Dinda dengan hati-hati mendudukkan Tiara di anak tangga dan menyerahkan sebotol air mineral. Ia masih berusaha memulihkan diri, tangannya bergetar hebat ketika mencoba memegang botol tersebut, bukti jelas betapa kuatnya rasa takut yang baru saja dialami.
“Jangan berkerumun! Beri mereka udara!” seru Dion sambil menahan rasa pusing yang mulai datang. Wajar jika Tiara sampai menangis ketakutan, tetapi bagaimana dengan pemuda itu? Mengapa Julian sampai pingsan? Mengapa ia tidak mengakui bahwa mudah ketakutan? Apakah semua ini karena harga diri seorang pria?
Keributan itu menarik perhatian lebih banyak pengunjung yang kemudian berkumpul di sekitar pintu masuk Rumah Hantu. Tidak lama kemudian, Pak Rama penjaga bangunan, datang terburu-buru dengan sepeda motornya.
“Dion! Apa yang terjadi di sini? Mengapa ada pengunjung yang pingsan di tanah?” tanya Pak Rama panik, sambil melompat turun dari motor dan mendorong kerumunan agar menjauh.
“Aku juga tidak tahu pasti… mungkin karena kepanasan,” jawab Dion ragu, bahkan dirinya sendiri tidak yakin dengan dugaan itu.
“Kepanasan dalam cuaca seperti ini?” Pak Rama mengernyit heran, lalu segera menunduk untuk memeriksa Julian yang terbaring lemah. “Bagaimanapun juga, kita harus membawanya ke ruang medis sekarang!”
Pak Rama mengangkat tubuh Julian dan menempatkannya di atas motornya. Sementara itu, Tiara masih duduk di tangga dengan wajah pucat pasi. Beberapa menit kemudian, entah karena pijatan ringan atau suara-suara riuh di sekitarnya, Julian mulai siuman. Bulu matanya bergetar, lalu ia perlahan duduk di atas motor. Namun matanya tampak merah, dan dari bibirnya terdengar gumaman lirih, “Cermin… cermin…”
“Nak, tenanglah!” ujar Pak Rama, mencoba menenangkannya.
“Lihat itu… bukankah dia tampak seperti orang kesurupan?” bisik salah satu pengunjung dengan nada ngeri.
Setelah beberapa menit berada di bawah terik matahari, kondisi Julian berangsur membaik. Ia menggaruk belakang kepalanya dengan wajah memerah malu ketika menyadari banyak orang menatapnya.
“Apa kamu merasa lebih baik sekarang? Mengapa kamu bisa pingsan di dalam Rumah Hantu?” tanya Pak Rama, sembari menyerahkan sebotol air kepada Julian.
Julian menerima botol itu dan menarik napas panjang sebelum menjawab, “Aku… sebenarnya tidak terlalu ingat apa yang terjadi. Yang aku tahu, sangat ketakutan dan berlari menuju pintu pertama yang dilihat. Di dalam ruangan itu ada cermin perunggu di dinding, aku ingat seseorang memanggil namaku… tetapi setelah itu, aku tidak ingat apa-apa lagi.” Ia menatap sekeliling dengan wajah kebingungan. “Mungkin itu bagian dari skenario yang disiapkan oleh Rumah Hantu?”
“Apakah ada skenario khusus yang melibatkan cermin di dalam Rumah Hantu?” tanya Pak Rama sambil menoleh ke arah Dion, yang tampak dalam kondisi tidak baik.