Kisah perjalanan sepasang saudara kembar memiliki sifat yang berbeda, juga pewaris utama sebuah perusahaan besar dan rumah sakit ternama milik kedua orang tuanya dalam mencari cinta sejati yang mereka idamkan. Dilahirkan dari keluarga pebisnis dan sibuk tapi mereka tak merasakan yang namanya kekurangan kasih sayang.
Danial dan Deandra. Meski dilahirkan kembar, tapi keduanya memiliki sifat yang jauh berbeda. Danial yang memiliki sifat cuek dan dingin, sedangkan Deandra yang ceria dan humble.
Siapakah diantara dua saudara kembar itu yang lebih dulu mendapatkan cinta sejati mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caca99, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 Sama-Sama Menolak
Waktu satu minggu telah berlalu, seperti yang dijanjikan keluarga Aldiwara akan berkunjung ke kediaman keluarga Mahendra. Seperti tujuan awal, mereka akan membahas rencana pertunangan anak dari keluarga terpandang tersebut.
Sama seperti waktu berkunjung ke rumah Meldy, pertemuan kali ini pun diawali dengan makan malam. Bedanya, setelah kegiatan makan malam itu selesai, mereka semua berkumpul di ruang tamu.
Disini, papa Edgar lah yang menyampaikan maksud mereka berkumpul disana.
"Pasti kalian bertanya-tanya, kenapa kita berkumpul disini. Papa, om Hendra dan bunda ingin menyampaikan hal penting pada kalian berempat khusunya kepada Meldy dan Danial." Kedua orang yang disebutkan namanya itu sontak menoleh kearah papa Edgar.
"Hal penting apa pa?. Apa hubungannya Danial sama Meldy?." Tanya Danial, dia benar-benar tak paham apa yang dimaksud papanya itu.
"Jadi gini, seperti yang kalian tau kalau papa dan om Hendra sudah bersahabat sejak lama. Dulu waktu muda, kita pernah mengucapkan sebuah perjanjian." Papa Edgar diam sejenak, sepertinya laki-laki paruh baya itu sedang mencari kalimat yang tepat, walaupun dia tau nanti nya mereka pasti akan berontak.
"Kami berniat akan menjodohkan Meldy dan Danial."
Dug......
Baik Danial maupun Meldy tak bisa mencerna dengan baik kalimat yang keluar dari mulut papa Edgar.
"Papa bilang apa barusan?." Danial masih mengumpulkan semua kesadaran.
"Pa?." Meldy melihat kearah papa Hendra, berharap yang dia dengar barusan salah.
"Iya sayang. Papa sama om Edgar sudah sepakat untuk melaksanakan pertunangan kalian satu minggu dari sekarang." Ucap papa Hendra.
"Apa-apaan sih ini? Satu minggu?. Papa pikir ini main-main. Danial saja baru kenal Meldy, gimana bisa satu minggu lagi kita tunangan." Protes Danial.
"Nggak pa, nggak. Danial menolak keras pertunangan bodoh itu." Danial meninggi kan suaranya.
"Danial, jaga sopan santun kamu saat bicara sama yang lebih tua." Tegur bunda Kanaya.
"Peduli apa sama sopan santun bun? Apa papa bisa dibilang sopan dengan seenaknya membuat perjanjian gila ini?." Danial telah berdiri dari duduknya. Kepalanya serasa akan pecah. Benar-benar tak menyangka di zaman yang sudah seba modern ini masih ada orang tua yang berpikiran kolot seperti papanya dan papa Meldy.
"Kan kalian bisa saling mengenal dulu. Nggak langsung menikah." Ucap papa Edgar.
"Sama aja. Danial nggak mau."
"Pa? Jadi ini yang papa maksud hal penting? Meldy masih sekolah pa, jalan Meldy masih panjang. Meldy mau mengejar cita-cita Meldy." Protes Meldy kepada papa Hendra.
"Ini yang terbaik untuk kamu sayang."
"Terbaik apanya pa? Pertunangan dan pernikahan itu dilaksanakan atas dasar cinta. Sedangkan Meldy sama kak Danial baru aja kenal."
"Setelah bertunangan kalian bisa saling mengenal dulu. Tak kenal maka tak sayang." Ucap papa Edgar.
"Kenapa papa bisa tiba-tiba berpikir hal bodoh seperti ini? Papa nggak kasihan sama Meldy?." Melvin ikut buka suara. Walaupun tak mengenal Danial secara dekat, tapi dia tau betul seperti apa sifat laki-laki itu.
"Ini bukan tiba-tiba Melvin, kamu kan tadi dengar om Edgar bilang kalau ini sudah kita rencanakan bahkan sebelum kalian lahir."
"Pokoknya semuanya telah kita persiapkan, tanggal pun sudah ditetapkan. Minggu depan, kalian tetap harus bertunangan." Tegas papa Edgar.
"Gila! Semuanya gila. Pikiran kolot macam apa ini." Danial pergi dari sana, menaiki anak tangga. Membanting pintu kamarnya dengan sangat kuat.
"Danial." Bunda Kanaya menyusul Danial.
"Meldy mau pulang." Meldy pun sama, bangkit dari duduknya, dia lalu berlari keluar dari rumah itu.
"Dek." Melvin bermaksud menyusul sang adik.
"Biar gue aja Vin." Dea menahan langkah Melvin.
"Tolong ya De." Ucap Melvin sebelum Dea pergi menyusul Meldy. Dea hanya menjawab dengan sebuah anggukan dan senyuman.
Meldy terus saja berlari dengan air mata yang terus membasahi kedua pipinya. Kemana tujuannya? Entahlah, Meldy sendiri tak tau, pikirannya saat ini benar-benar kacau.
Perjodohan?
Hal bodoh yang bisa-bisa nya terbesit dipikiran kedua orang tua itu.
Lelah berlari, Meldy memperlambat langkahnya, berjalan menelusuri jalanan dimalam hari itu. Dari belakang, Dea terus mengikuti Meldy kemana dia akan pergi. Belum ada niat untuk menyusul nya. Dea hanya memantau dari jarak beberapa meter.
Sampai akhirnya, Meldy duduk disebuah halte. Dea yang tak tega, akhirnya menyusul dan duduk disamping Meldy.
Menyadari ada seseorang yang duduk disampingnya, Meldy menoleh. "Kak Dea?." Dea tersenyum. Menarik Meldy kedalam pelukannya.
"Yang sabar ya, kadang memang pikiran orang tua itu nggak bisa ditebak."
"Tapi kak, gue nggak mau tunangan."
"Iya gue paham. Nangis lah sepuas yang lo mau. Luapkan semua kekesalan lo." Dea berusaha sebisa mungkin memahami situasi hati Meldy saat ini. Walaupun bukan dia yang berada diposisi itu, tetap saja Dea yakin kalau Meldy dan Danial sama-sama syok dengan perjanjian yang menurut nya adalah perjanjian konyol, sangat-sangat konyol.
"Mau pulang sekarang?." Tanya Dea. Hampir setengah jam duduk di halte itu, Dea rasa saat ini Meldy sudah sedikit tenang.
Meldy mengangguk. "Iya kak, gue capek."
"Gue anterin ya. Papa sama kakak lo udah pulang duluan, tadi Melvin chat gue." Dea mengusap punggung Meldy.
"Tapi kita jemput mobil dulu, nggak mungkin kan pulang jalan kaki."
"Gue tunggu lo disini aja deh kak." Meldy rasanya tak ingin kembali kerumah itu.
"Baiklah, tapi kalau ada apa-apa segera hubungi gue."
Dengan langkah cepat, Dea kembali kerumah untuk mengambil mobil nya. Untungnya jarak halte itu tak terlalu jauh dari rumah, walaupun harus menghabiskan waktu 15 menit dengan berjalan kaki.
"Gimana Meldy De?." Tanya bunda Kanaya, wanita paruh baya itu sepertinya sengaja menunggu Dea diteras rumah.
"Baik-baik aja bun. Dea izin anterin Meldy pulang sebentar ya bun."
"Iya sayang, hati-hati ya nak." Bunda Kanaya sedikit lega mendengar Meldy baik-baik saja.
"Bunda nggak usah nungguin Dea pulang, Dea nggak lama kok. Habis nganterin Meldy, Dea langsung pulang."
Dea kembali menjemput Meldy ke halte tempat dia meninggalkan Meldy tadi. Dalam perjalanan pulang mereka tak mengucapkan sepatah kata pun. Dea paham, pasti saat ini Meldy sangat lelah. Buktinya saja, saat ini Meldy sudah tertidur.
Memasuki perkarangan kediaman Aldiwara, Dea melihat papa Hendra tengah berjalan bolak balik didepan rumah dengan raut wajah cemas.
"Om."
"Dea, Meldy mana nak?." Tanya papa Hendra begitu melihat Dea turun dari mobil.
"Ada didalam om, tapi Meldy nya ketiduran."
"Alhamdulillah, terimakasih ya nak Dea sudah anterin Meldy pulang."
"Sama-sama om."
Papa Hendra menggendong putri nya itu keluar dari mobil Dea, membawa Meldy masuk kedalam rumah. Sedangkan Dea, langsung berpamitan.
°°°
Begitu bangun pagi, tak tak ada yang berubah. Meldy masih menyiapkan sarapan untuk papa dan kakaknya. Hanya saja, Meldy memilih diam, tak menyapa papa dan kakaknya.
"Dek, mau berangkat sekarang?." Tanya Melvin. Suasana meja makan pagi ini benar-benar berbeda.
"Ayo kak." Ucap Meldy.
Walaupun kesal, tapi Meldy tetap berpamitan dengan papa Hendra.
"Pa, Meldy berangkat ya." Hanya mencium tangan saja, tak seperti biasa yang mana Meldy akan mencium kedua pipi papanya itu.
"Hati-hati ya sayang." Papa Hendra paham dan tak marah.
"Papa harap suatu saat kamu akan mengerti nak. Papa nggak akan sembarangan menjodohkan kamu sama orang. Papa yakin Danial lah laki-laki yang terbaik untuk kamu sayang. Danial akan jadi pelindung untuk kamu setelah papa pergi nanti." Batin papa Hendra.
"Obatnya diminum dulu pak." Bibi memberikan obat yang setiap hari harus dikonsumsi oleh papa Hendra. Selain pak Edgar dan bunda Kanaya, bibi juga tau penyakit yang kini beliau derita.
"Terimakasih bi." Papa Hendra menerima obat yang diberikan bibi.
"Kenapa bapak nggak jujur aja tentang kondisi bapak yang sebenarnya kepada non Meldy dan den Melvin. Saya yakin, pasti mereka akan paham pak."
"Nggak usah bi, saya nggak mau membuat mereka khawatir."
"Kalau seperti ini, pasti non Meldy terus membenci bapak."
"Saya tau seperti apa Meldy. Dia pasti nggak akan lama marahnya sama saya."
"Ya sudah, kalau itu memang keputusan bapak. Saya permisi kembali kedapur dulu." Bibi sudah mengabdi kepada keluarga itu sejak Melvin baru lahir, bahkan sebelum mama mereka meninggal dunia.
Hal serupa juga terjadi dikediaman Mahendra, bahkan Danial tidak ikut sarapan bersama. Dia langsung berangkat ke sekolah tanpa berpamitan terlebih dahulu kepada bunda Kanaya dan papa Edgar.
"Pa? Apa papa yakin sama pertunangan itu?." Tanya Dea.
"Keputusan papa dan om Hendra sudah bulat sayang."
"Tapi satu minggu itu terlalu singkat pa. Apa nggak seharusnya kita minta mereka saling mengenal dulu."
"De, papa sama om Hendra tak pernah main-main soal ini. Kita tentu sudah memikirkan konsekuensi kedepannya. Dan ini juga nggak sesimple yang kamu pikirkan. Ada hal lain, yang membuat papa dan om Hendra memutuskan untuk melangsungkan pertunangan mereka secepat mungkin."
"Hal lain apa pa? Dari kemaren selalu bilang nya hal lain hal lain terus."
"Dea, kita bahasnya nanti lagi aja ya nak. Sekarang kamu harus berangkat sekolah, dan papa pun juga harus kekantor. Nanti bunda yang akan jelaskan sama kamu dan juga Danial." Ucap bunda Kanaya. Kalau pembahasan itu terus dilanjutkan tak akan ada ujungnya. Yang satu penasaran dengan jawaban yang sesungguhnya, sedangkan yang satu kekeh tidak ingin memberitahu.