Terkadang orang tidak paham dengan perbedaan anugerah dan kutukan. Sebuah kutukan yang nyatanya anugerah itu membuat seorang Mauryn menjalani masa kecil yang kelam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DessertChocoRi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab- 13 Bayangan dibalik Gelap
Suara ranting patah itu kembali terdengar, lebih dekat dari sebelumnya. Mauryn menahan napas, telinganya menajam. Ia bisa merasakan denyut ketegangan dari luar sana entah suara hati manusia, atau sekadar gema ketakutannya sendiri.
“Revan…” bisiknya lirih.
“Ada seseorang di luar.”
Revan melirik ke arahnya, lalu menempelkan jari di bibir.
“Jangan bersuara.”
Ia merunduk di samping jendela, mengintip lewat celah kayu. Gelap malam hanya menampakkan bayangan samar pepohonan. Namun ada sesuatu yang bergerak. Perlahan. Hati-hati.
“Berapa orang?” Mauryn berbisik lagi.
Revan menggeleng pelan.
“Belum jelas. Bisa satu, bisa lebih. Kau dengar sesuatu?”
Mauryn menutup mata, mencoba menyaring suara di kepalanya. Sekejap, dunia terasa dipenuhi dengung bisikan hati samar, seperti gelombang air memantul-mantul. Ada rasa gelisah, ketakutan… dan niat yang samar.
“Ya,” ia akhirnya berkata, napasnya tersengal.
“Ada seseorang. Dia takut… tapi juga terdesak. Hatiku tidak mengenalinya.”
“Bukan mereka?” Revan bertanya cepat.
Mauryn menggeleng.
“Aku tidak tahu. Tapi rasanya berbeda. Tidak sama dengan obsesi orang-orang yang mengejarku.”
Revan mengerutkan kening. Ia lalu berbisik
“Duduklah di belakangku. Kalau ini jebakan, aku yang maju lebih dulu.”
Namun sebelum Mauryn sempat bergerak, terdengar suara langkah lagi, lebih cepat kali ini. Lalu sebuah ketukan pelan menghantam pintu kayu mereka.
Tok.. tok.. tok..
Mauryn sontak menutup mulutnya dengan tangan, tubuhnya bergetar.
“Mereka tahu kita di sini!”
Revan mengangkat tangan, memberi isyarat agar diam. Ia mendekat ke pintu perlahan, pisaunya tergenggam erat.
“Siapa di luar?” tanyanya dengan suara berat.
Keheningan. Hanya suara jangkrik dari hutan.
Lalu sebuah suara lirih menjawab, serak, penuh ketakutan.
“Tolong… buka. Mereka mengejarku.”
Mauryn dan Revan saling menatap.
“Itu bisa saja trik,” bisik Revan cepat.
Mauryn menutup mata, mencoba mendengarkan lagi. Bisikan hati di luar terdengar jelas kali ini penuh kepanikan, sungguhan ketakutan. Tidak ada kebencian atau niat membunuh.
“Dia tidak bohong,” Mauryn berbisik.
“Aku bisa merasakannya. Dia… benar-benar butuh pertolongan.”
Revan masih ragu.
“Itu bisa bagian dari permainan. Mereka bisa pakai orang tak bersalah untuk menjebak kita.”
Ketukan di pintu semakin panik.
“Tolong! Aku tidak punya tempat lain. Mereka… mereka akan membunuhku!”
Mauryn bangkit, berjalan ke arah pintu.
“Kita tidak bisa membiarkannya di luar begitu saja.”
Revan menahan lengannya.
“Dan jika begitu kamu justru menyeret kita dalam bahaya? Bagaimana kalau dia membawa mereka ke sini?”
Mata Mauryn menatapnya tajam.
“Kamu percaya padaku, bukan? Aku bisa mendengar hatinya. Dia tidak berbohong.”
Revan mendecak pelan, lalu menurunkan pisaunya sedikit.
“Baik. Tapi kamu tetap di belakangku.”
Ia perlahan membuka pintu, hanya selebar tubuh. Seorang pria muda roboh masuk ke dalam, napasnya terengah-engah, pakaian penuh debu dan darah kering.
“Ya Tuhan…” Mauryn buru-buru mendekat, menahan tubuhnya agar tidak jatuh ke lantai.
“Kamu baik-baik saja?”
Pria itu menggeleng, matanya liar ketakutan.
“Mereka… mereka ada di belakangku. Kamu harus menutup pintu. Cepat!”
Revan segera membanting pintu dan menyelotengnya rapat.
“Siapa yang mengejarmu?” tanyanya dingin.
“Mereka… orang-orang berjubah hitam. Mereka bilang aku harus menyerahkan sesuatu. Aku tidak tahu apa yang mereka maksud.” Pria itu gemetar.
Mauryn menatapnya dalam, mencoba menyelami suaranya. Bisikan hatinya terasa kacau benar-benar ketakutan, bingung, dan… ada sesuatu yang disembunyikan.
“Kamu tidak jujur sepenuhnya,” ujar Mauryn pelan.
Pria itu menoleh cepat, matanya melebar.
“A-apa maksudmu?”
“Kamu memang ketakutan, tapi ada hal lain yang kamu simpan. Katakan yang sebenarnya” Mauryn mendesak.
Revan menatapnya, kemudian ikut menodong pria itu dengan pisaunya.
“Kalau kamu bohong, aku tidak akan segan.”
Pria itu menelan ludah.
“Baik, baik! Aku… aku memang tahu sedikit. Mereka mencari seseorang. Seorang perempuan. Mereka bilang perempuan itu bisa mendengar hal-hal yang orang lain tak bisa.”
Mauryn membeku.
Revan mendekat, suaranya serendah bisikan ular.
“Dan kamu bawa mereka ke sini?”
“Tidak!” pria itu buru-buru menggeleng.
“Aku bahkan tidak tahu siapa perempuan itu. Aku hanya lari… aku hanya ingin hidup!”
Mauryn menunduk, hatinya bergolak. Ia bisa merasakan kebohongan tipis dalam kata-katanya bukan kebohongan penuh, tapi separuh kebenaran yang dipelintir.
“Kamu tahu siapa yang mereka maksud,” Mauryn akhirnya berkata, suaranya tegas.
“Kamu tahu mereka mencari aku.”
Pria itu menatapnya dengan shock.
“Kau…?”
Revan segera mendorongnya ke dinding.
“Jangan berani-berani membuka mulut terlalu jauh.”
Pria itu terisak.
“Aku tidak akan bilang! Aku tidak akan bilang, aku bersumpah!”
Mauryn maju, menatapnya lurus.
“Jika kamu ingin hidup, kamu harus jujur pada kami. Apa hubunganmu dengan mereka?”
Pria itu akhirnya runtuh, suaranya bergetar.
“Aku… dulu kurir. Hanya mengantar pesan, mengantar barang. Aku tidak pernah tahu siapa mereka sebenarnya. Tapi malam ini, mereka mengejarku. Mereka bilang… jika aku tidak menyerahkan ‘bisikan’, aku akan mati.”
“Bisikan?” Revan mengulang, alisnya terangkat.
Pria itu mengangguk panik.
“Aku tidak tahu apa maksudnya! Aku benar-benar tidak tahu! Aku hanya lari, lalu sampai di sini.”
Mauryn merasakan bisikan hatinya lagi. Ketakutannya tulus, tapi ada sesuatu di balik kata ‘bisikan’ yang membuat tubuhnya merinding.
“Revan…” ia berbisik.
“Aku rasa mereka tidak jauh dari sini.”
Seakan menjawab kata-katanya, suara-suara langkah terdengar dari luar lebih banyak, lebih berat. Seperti ada tiga atau empat orang mendekat.
Revan menajamkan mata, lalu memandang Mauryn.
“Kita harus keluar lewat belakang.”
Pria itu mencengkeram lengan Revan.
“Jangan tinggalkan aku! Tolong, aku juga akan mati kalau tetap di sini!”
Revan menepisnya kasar.
“Kamu sudah cukup membawa masalah. Kalau kamu berteriak atau salah langkah, aku sendiri yang akan menghabisimu.”
Mauryn menyentuh bahu Revan.
“Jangan begitu. Kita tidak bisa meninggalkannya. Kalau dia memang kurir mereka, mungkin dia tahu lebih banyak dari yang dia katakan.”
Revan menggeram pelan, tapi akhirnya mengangguk.
“Baik. Tapi dia ikut dengan syarat dia diam, dan ikut arahan.”
Pria itu mengangguk cepat, keringat bercucuran. “Aku janji, aku janji!”
Dari luar, terdengar suara. Dingin, berat, menggema di antara pepohonan.
“Keluar, Darian… Kami tahu kamu di dalam. Dan kami tahu kamu membawa anak itu.”
Mauryn membeku. Tubuhnya kaku seketika. Nama itu Darian. Ayahnya.
Revan menoleh cepat, matanya tajam.
“Sial. Mereka tahu lebih dari yang kita kira.”
“Mereka menyebut nama ayahku…” Mauryn menatapnya, wajahnya pucat.
Revan meraih tangannya erat.
“Kita tidak bisa tinggal di sini lagi. Sekarang, ikut aku.”
Lampu minyak padam, rumah tua tenggelam dalam gulita. Di luar, langkah kaki semakin dekat, mengelilingi rumah.
Dan di dalam, tiga jiwa bernafas dalam keheningan yang penuh ketegangan, menunggu detik berikutnya yang bisa jadi awal dari pertarungan panjang.
Bersambung..
Jangan lupa like, komen dan votenya yah teman-teman 🥰