Salah masuk kamar, berujung ngamar ❌ Niat hati ingin kabur dari Juragan Agus—yang punya istri tiga. Malah ngumpet di kamar bule Russia.
Alizha Shafira—gadis yatim piatu yang mendadak dijual oleh bibinya sendiri. Alih-alih kabur dari Juragan istri tiga, Alizha malah bertemu dengan pria asing.
Arsen Mikhailovich Valensky—pria dingin yang tidak menyukai keributan, mendadak tertarik dengan kecerewetan Alizha—si gadis yang nyasar ke kamarnya.
Siapa Arsen sebenarnya? Apakah dia pria jahat yang mirip seperti mafia di dalam novel?
Dan, apakah Alizha mampu menaklukkan hati pria blasteran—yang membuatnya pusing tujuh keliling?
Welcome to cerita baper + gokil, Om Bule dan bocil tengilnya. Ikutin kisah mereka yang penuh keributan di sini👇🏻
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wardha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bule semprul!
Alizha menyipitkan matanya, mencoba menahan senyum. "Yakin anda tidak bisa mencintai lagi? Kalau tiba-tiba anda jatuh cinta sama saya gimana?" tanyanya, sedikit menantang.
Pria bule itu menatapnya dengan tenang, lalu mengedikkan bahu dengan santai. "Yakin kau bisa membuat saya jatuh cinta? Kalau bisa, itu bagus juga. Artinya saya tidak salah memilih istri."
Alizha langsung kicep. Wajahnya langsung terasa panas, lidahnya pun mendadak kelu. Niat hati mau menggoda balik, malah jadi dirinya yang salah tingkah.
Dia buru-buru menunduk, pura-pura sibuk merapikan kerudung. "Saya cuma bercanda, Mister," gumamnya lirih.
Senyum tipis terbit di wajah pria bule itu. Matanya sempat melirik Alizha yang gelisah, seolah diam-diam menikmati rasa gugup gadis itu. "So cute, Baby goat," batinnya.
Dia berdehem, lalu menatap Alizha lagi dengan serius. "So? Ayo menikah."
Alizha sontak membelalak. "Apa?! Astaghfirullah, Mister, no, no, no! Saya tidak mungkin menikah beda agama!" katanya tergopoh, kedua tangannya melambai-lambai menolak.
Dia reflek menegakkan tubuh, wajahnya langsung panik. "Saya, saya Muslim, Mister. Tidak mungkin saya jadi istri pria non-Muslim. Itu dosa besar! Haram!"
Alizha tepuk jidat. "Astaghfirullah, kok hampir terbuai saya tadi!" batinnya.
Si bule hanya menghela napas, menatapnya lama sekali, lalu tersenyum kecil. "Kau pikir saya apa? Saya juga Muslim."
Alizha sontak terdiam. Mulutnya terbuka, matanya berkedip cepat, seperti tidak percaya dengan yang baru saja didengar.
"A-apa?!" suaranya nyaris tercekat. "Anda ... Islam?"
Pria itu menautkan alisnya sedikit. "Ya. Saya Muslim. Lahir Muslim, dibesarkan dengan cara berbeda, tapi tetap Muslim. Kau kira saya akan main-main soal itu?"
Alizha masih tertegun, jantungnya berdegup kencang. "Astaghfirullah, saya kira—" Dia tidak bisa melanjutkan, tidak menyangka takdir mendukungnya begitu besar.
Si bule tersenyum miring, memperhatikan ekspresi gadis itu. "Sekarang, masih ada alasan untuk menolak?" katanya pelan.
Alizha semakin kicep. Kacau sudah pikirannya, belum lagi jantung yang dagdigdug der!
Alizha garuk kepala berkali-kali, wajahnya penuh keraguan. Jemarinya sibuk membenarkan ujung pashminanya yang entah kenapa terasa makin sempit di leher. Belum sempat menjawab satu patah kata pun, seseorang muncul.
Asisten si bule datang dengan map cokelat di tangannya. "Tuan, dokumennya sudah siap. Kita bisa ke kantor KUA sekarang," ucapnya dengan bahasa Rusia.
Alizha yang tidak mengerti sepatah kata pun, spontan mendelik bingung. "A—ada apa lagi?" tanyanya gugup, pandangannya bolak-balik antara si bule dan asistennya.
Si bule menoleh dengan tenang, senyum menyeringai terbit di wajahnya. "Dokumen sudah ada. Mari kita menikah ke KUA."
"Apa?!"
Alizha syok seketika. Matanya melotot besar, tubuhnya gemetar. "Astaghfirullah, Mister! Saya belum siap! Saya bahkan belum—"
Belum sempat menghabiskan kalimatnya, pandangannya berkunang-kunang. Napasnya tersengal, lalu—bruk Tubuhnya langsung terjatuh. Alih-alih menolong, si bule membiarkan tubuh itu tergeletak di lantai. Emang dasar bule semprul!
Anton langsung refleks melangkah cepat. "Tuan! Gadis itu pingsan!" katanya cemas.
Si bule hanya menatap sekilas, lalu menghela napas panjang. Bibirnya melengkung tipis. "She will be fine. Hanya syok sedikit," gumamnya tenang.
Anton terdiam sejenak, menatap wajah polos Alizha yang lunglai. Dadanya terasa sesak. "Oh, Tuhan. Bos benar-benar gila. Terlalu terburu-buru hanya untuk balas dendam. Dia suka sekali mengumpulkan dosa."
Dia mengusap wajahnya sendiri, frustrasi. Namun tetap saja, Anton tahu dirinya tidak berdaya untuk menghentikan kehendak pria itu.
Si bule mendesis pelan, lalu berkacak pinggang sambil menatap Alizha di bawah. Kepalanya menggeleng beberapa kali. "Kau benar-benar lucu sekali." Lalu, dia menarik asal lengan jasnya, kemudian berjongkok untuk meraih tubuh Alizha.
***
Kelopak mata Alizha perlahan bergerak. Pandangannya buram, kepala terasa berat seperti habis ditimpa beban berat. Getaran halus mobil yang melaju membuat kesadarannya kembali sedikit demi sedikit.
Dia mengerjapkan mata, kaget saat menyadari dirinya sudah berada di kursi belakang mobil mewah. Jantungnya langsung berdegup kencang. "Hah? Saya di mana?! Kenapa saya ada di sini?!"
Dari kursi depan, Anton melirik lewat kaca spion. Wajahnya terlihat gusar. "Anda baru saja pingsan, Nona," katanya pelan dengan bahasa Inggris. "Tuan membawa anda ke mobil."
Alizha terperangah karena mengerti maksudnya apa. Dia menoleh ke samping, mendapati si bule duduk santai di sebelahnya. Pria itu melipat kaki, senyum dinginnya tetap terukir.
"Kau baik-baik saja sekarang," ucapnya, tenang seakan tidak ada kejadian besar di antara mereka. "Kita akan tiba di KUA sebentar lagi."
"Apa?!" Alizha sontak hampir meloncat dari kursi. Tangannya meremas pashmina sampai kusut. "Mister! Anda gila! Saya belum bilang ‘iya’! Saya belum setuju! Saya belum siap menikah!"
Pria itu hanya mengangkat bahu, tatapannya datar. "Kau bisa menolak di depan penghulu. Tapi saya rasa, kau tidak akan melakukannya."
Anton menggertakkan gigi, tangannya yang memegang setir sampai kaku. "Astaga! Dia benar-benar memaksa gadis ini. Bos tidak punya hati," batinnya. "Dia yang berbuat, saya pun kena getahnya!"
Mobil terus melaju, meninggalkan Alizha dalam dilema besar. Apakah harus kabur, atau pasrah menghadapi pernikahan kilat yang sama sekali tidak dia bayangkan ini?
Sampai di kantor KUA, Alizha masih bimbang. Tapi, tatapan pria itu benar-benar membuatnya ciut. Alizha duduk di kursi tamu, wajahnya sampai pucat begitu. Jemarinya terus memelintir ujung pashmina.
Penghulu yang berwajah teduh menatap mereka berdua. "Jadi, ini pasangan yang hendak menikah?" tanyanya ramah.
Anton buru-buru mengangguk, sementara si bule duduk santai seakan semua sudah jelas. "Yes. We are ready," jawabnya dengan santai, tanpa beban sedikit pun.
Alizha langsung menoleh dengan mata membelalak. "Apa siap?! Saya belum bilang siap! Mister, please! Ini pernikahan, bukan main-main!"
Penghulu mengerutkan dahi, menatap Alizha penuh tanya. "Nona, apakah anda benar-benar rela menikah sekarang? Tidak ada paksaan?"
Alizha tercekat. Suaranya bergetar, "Sa—saya—"
Si bule mencondongkan badan, menatap Alizha lekat-lekat. "Kalau memang kau ingin menolak, katakan sekarang," katanya dengan tenang, tapi sorot matanya menusuk. "Hanya ingat, tiga ratus juta sudah saya keluarkan untuk menebusmu. Juragan tanah itu mungkin sedang menunggu di luar sana."
Tubuh Alizha gemetar. Air liur sulit ditelan. "Ya Allah, apa yang harus saya lakukan?"
Anton di belakang menunduk dalam-dalam, bibirnya bergerak lirih tanpa suara. "Bos, anda benar-benar keterlaluan. Ini bukan lagi balas dendam, ini memaksa takdir seseorang."
Penghulu makin bingung melihat ketegangan itu. "Nona, tolong jawab dengan jujur. Rela atau tidak?"
Alizha berpikir keras. "Daripada jadi istri keempat juragan Agus. Lebih baik sama si bule deh kayaknya. Masih muda, ganteng pula. Daripada juragan Agus? Sudah tua, anaknya saja seumuran dengan saya," batinnya.
Alizha mengembuskan napas panjang, lalu memejamkan mata sejenak. Ketika membuka kembali, wajahnya sudah pasrah. "Saya rela." Suara itu keluar lirih, nyaris tercekik. Dan pada detik itu juga, penghulu mulai menyiapkan akad.
Alizha hampir berdiri dari kursinya. "Tunggu! Saya punya wali, Paman saya. Beliau yang seharusnya menikahkan saya. Kalian tidak bisa seenaknya!"
Si bule hanya menatap santai, lalu melipat tangannya di dada. Senyumnya samar, penuh percaya diri. "Kata siapa dia tidak tahu?"
Alizha sontak mengernyit. "Apa maksud anda?"
Belum sempat lanjut, pintu ruangan KUA terbuka. Masuklah seorang pria paruh baya dengan wajah lelah, disusul seorang wanita berjilbab rapi yang langsung mengusap keringat di dahinya.
"Paman?" Alizha hampir terlonjak dari kursinya. "Bi—Bibi Ramlah?"
Paman menatap ke arah keponakannya. "Alizha, maafkan Paman. Semua sudah diatur."
Alizha ternganga. Tubuhnya gemetar hebat. Matanya lalu melotot ke arah si bule. "Kekuatan apa yang anda punya?! Bagaimana bisa anda mengendalikan semuanya sampai Paman saya ikut terlibat?!"
Si bule tersenyum miring, lalu merapikan jasnya dengan gerakan tenang. "Saya tidak mengendalikan siapa pun. Mereka hanya akhirnya memilih jalan yang lebih baik untukmu. Trust me, this is the best option."
Alizha menggeleng panik, seperti tidak percaya. Dunia di sekitarnya seakan berputar. Apa mungkin semua orang sudah bersekongkol dengan bule gila ini?
Anton di sudut ruangan hanya bisa mendesah panjang. "Oh, Tuhan, sepertinya bos benar-benar tidak main-main. Dia menyiapkan segalanya jauh sebelum gadis ini menyadarinya. Entah apa yang terjadi dengan gadis itu nanti."