"Mas aku pinta cerai" ucap laras
Jantungku berdetak kencang
Laras melangkah melauiku pergi keluar kosanku dan diluar sudah ada mobil doni mantan pacarnya
"mas jaga melati, doni ga mau ada anak"
aku tertegun melihat kepergian laras
dia pergi tepat di hari ulang tahun pernikahan
pergi meninggalkan anaknya melati
melati adalah anak kandung laras dengan doni
doni saat laras hamil lari dari tanggung jawab
untuk menutupi aib aku menikahi laras
dan sekarang dia pergi meninggalkanku dan melati
melati bukan anakku, bukan darah dagingku
haruskah aku mengurus melati, sedangkan dua manusia itu menghaiantiku
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9
Hatiku terasa gusar sepanjang perjalanan menuju rumah mertuaku. Kegelisahan itu tak juga mereda.
Sesampainya di rumah Pak Ferdi, kegusaranku justru semakin menjadi. Sebuah mobil Pajero putih terparkir di halaman.
Aku turun bersama Pak Yusuf, yang tampil begitu elegan—mengenakan jas mahal, jam tangan mewah, dan sepatu berkelas. Mungkin, harga motorku pun belum sebanding dengan harga sepatunya.
Dari halaman rumah, aku mendengar suara lengkingan Melati. Suara itu menembus dada, mengguncang perasaanku.
Sungguh, suara itu menyayat hatiku. Dua hari tak bersama Melati terasa seperti kehilangan separuh jiwaku.
Entahlah, ini perasaan macam apa. Tapi sudahlah—meski mencoba menolak, aku tetap terikat pada Melati, walau tak terhubung oleh darah.
“Lepaskannn!” teriakku saat melihat Melati digendong paksa oleh pria gendut itu.
Ingin rasanya aku menghajar lelaki itu. Aku tak terima Melati sampai menangis seperti itu.
“Ayahhhhh!”
Teriakan Melati menggema di telingaku, menghantam batinku tanpa ampun.
“Lepaskan, bajingan!” bentakku keras.
Pak Yusuf mencoba menenangkanku. Auranya begitu berwibawa.
Ia memegang jam tangan mewahnya, seolah sengaja memperlihatkannya—membuat lawan debatnya ciut sebelum sempat memulai pertarungan.
“Lepaskan anak itu,” ucap Pak Yusuf.
“Jangan kasar pada anak kecil,” lanjutnya dengan tatapan tenang namun penuh wibawa.
“Siapa kamu?” tanya pria gendut itu dengan nada memuakkan.
“Mata kamu tidak buta, kan? Lihat baik-baik... lihat saya berpakaian seperti apa. Lihat sepatu saya, jas saya... dan terutama jam tangan ini,” ujar Pak Yusuf sambil mengangkat lengannya sedikit.
Aku mengernyitkan dahi. Astaga, perkenalan macam apa ini?
Padahal cukup bilang, ‘Saya pengacara ternama.’
Kenapa malah jadi ajang pamer?
“Aku tanya nama kamu, bukan nanya apa yang kamu pakai!” ucap pria gemuk itu, semakin menyebalkan.
Dan entah kenapa, dia juga belum melepaskan Melati.
“Ayahhhhhh!”
Teriakan Melati kembali melengking, membuat dadaku makin sesak.
Kulihat Bu Rosidah hendak mencubit Melati. Refleks tubuhku menegang.
“Jangan coba-coba melakukan kekerasan terhadap anak di hadapan saya,” ucap Pak Yusuf dengan nada dingin dan tegas.
“Saya adalah pengacara.”
“Saya adalah pengacara dari Lufti Law Consultant,” ucap Pak Yusuf tenang.
“Ah, kalian pasti belum pernah mendengarnya. Untuk memeriksa kasus saja, biayanya puluhan juta. Belum termasuk penanganan perkaranya.”
“Banyak tokoh penting, selebritas, bahkan pejabat yang menggunakan jasa kami.”
“Saya ini hanya bagian terkecil dari firma itu. Bos saya belum turun tangan langsung, lho.”
Aku memandangi Pak Yusuf dengan rasa kagum… sekaligus heran.
Ini orang sebenarnya pengacara atau sales firma hukum sih?
Bukankah seharusnya dia mulai berdebat dan membela Melati? Kenapa malah promosi?
“Aku tidak peduli! Melati sudah aku adopsi! Kakek dan neneknya juga sudah setuju!” teriak Darmo dengan nada kesal.
“Mana surat adopsinya?”
“Mana putusan pengadilannya?”
“Mana surat keterangan sehat jasmani dan rohani?”
“Mana bukti bahwa Anda belum memiliki anak?”
“Mana surat pernyataan dari orang tua kandung yang menyatakan bahwa mereka menyerahkan Melati kepada Anda?”
Rentetan pertanyaan tajam itu keluar begitu cepat dari mulut Pak Yusuf, membuat pria gendut itu—siapa pun namanya—mendadak terdiam.
Wajahnya memerah, matanya melirik kanan kiri mencari celah untuk menghindar.
Namun jelas sekali:
Ia kini bungkam. Seribu bahasa.
“Aku tidak memerlukan itu semua! Orang mau merawat anak saja kok repot banget,” ucap pria gendut itu, tidak mau kalah.
“Kalau semua orang bisa semudah itu mengadopsi anak, nanti gampang dong penculik ngaku-ngaku sebagai orang tua asuh,” balas Pak Yusuf dengan tenang namun tajam.
“Dan lagi, orang tuanya masih ada. Masih sanggup mengurus anaknya sendiri. Jadi untuk apa harus diadopsi orang lain?”
Lagi-lagi, Pak Yusuf melontarkan pertanyaan yang tak mampu mereka jawab.
Kepalaku mendadak dipenuhi pikiran buruk.
Pria jelek ini... mau mengadopsi Melati?
Tidak. Dia sama sekali tidak pantas.
Dia lebih cocok disebut bandit penculik anak dari pada calon ayah angkat.
“Saya bawa akta kelahiran, juga Kartu Keluarga. Di situ jelas tertulis Melati masih memiliki orang tua. Lalu atas dasar apa Anda mau mengadopsi anak ini?” ucap Pak Yusuf tegas.
Aku tercengang mendengarnya. Berani sekali dia berkata seperti itu—padahal aku belum pernah memberikan akta maupun KK kepada beliau.
Tapi memang benar, dalam akta kelahiran, Melati tercatat sebagai anakku.
Namun... ada satu hal yang belum aku ceritakan kepada Pak yusuf
Kalau Melati... Bukan darah dagingku.
“Dia sudah bercerai dengan anakku!” seru ibu mertuaku yang mulai naik pitam.
Pak Yusuf tetap tenang. Suaranya pelan, tapi pertanyaannya menghantam tajam.
“Mana akta perceraiannya?”
“Mana putusan pengadilan yang menyatakan hak asuh jatuh kepada Anda?”
Pak Yusuf memang luar biasa. Kalau memberi pertanyaan, tidak pernah satu per satu.
Selalu diborong sekaligus—seolah tidak memberi lawan kesempatan untuk berpikir, apalagi menjawab.
Aku sampai ingin tepuk tangan.
Lawan debatnya pun kini tampak seperti ayam kehilangan arah.
“Sudahlah, ini urusan keluarga kami. Anda jangan ikut campur!” ucap bapak mertuaku, mulai bersuara lantang.
Pak Yusuf tetap tak tergoyahkan.
“Ini bukan sekadar masalah keluarga jika sampai Melati diadopsi oleh orang lain tanpa payung hukum yang jelas. Maka saya bisa menuntut Anda dengan pasal human trafficking.”
“Kurang jelas? Saya bisa kenakan pasal memperjualbelikan anak. Apalagi jika PPTK menemukan transaksi mencurigakan di rekening Anda.”
Ia diam sejenak, lalu—seperti biasa—menyisipkan kalimat pamungkas khas versinya,
“Ingat, saya ini pengacara kaya. Lihat jam tangan saya, mahal.”
Astaga... lagi-lagi dia pamer jam tangan.
Apa semua pengacara memang seperti ini caranya menekan lawan bicara?
Pantas saja mereka selalu tampil necis.
Padahal, ujung-ujungnya cuma... adu mulut juga.
Aku melihat mereka semua terdiam.
Entah karena takut, bingung, atau kehabisan kata.
Yang jelas, pegangan si pria gendut itu mulai melonggar... dan saat itulah Melati berhasil lepas.
Dia berlari ke arahku.
“Ayahhhhhh!”
Teriaknya melengking, penuh rasa takut dan rindu.
Melati menangis dalam pelukanku. Tubuh kecilnya gemetar.
Aku memeluknya erat, seolah tak ingin kehilangannya lagi
Tenang, Nak... Ayah di sini.
Kamu takkan ke mana-mana lagi.
“Tapi memang seharusnya anak korban perceraian itu ikut ibunya, bukan?” ucap ibu mertuaku lantang.
“Kata siapa?”
“Mana aturannya?”
“Mana ibunya sekarang?”
“Sedari tadi Melati menangis, tapi aku tak pernah mendengar dia menyebut nama ibunya.”
Lagi-lagi semua terdiam.
Pak Yusuf memang begitu—jika lawan berkata satu kalimat, ia akan membalas dengan sepuluh kalimat, semua tajam dan berlapis logika.
“Daripada kita masuk ke proses hukum yang panjang dan rumit—yang saya yakin kalian tak akan sanggup menanganinya—lebih baik sekarang tanya saja langsung ke anaknya: Melati mau tinggal dengan siapa?”
“Aku mau sama Ayah!”
Suara Melati melengking, nyaring, dan penuh keyakinan.
“Dengar baik-baik dengan kuping kalian!” seru Pak Yusuf.
“Atau, kalau perlu, biar saya kirim satu truk korek kuping untuk kalian semua.”
“Tidak bisa! Dia cucu kami! Dia harus ikut kami karena dia bukan—”
“Bukan apa?” potong Pak Yusuf tajam.
“Mau bilang Riko bukan ayahnya Melati?”
“Bisakah Anda membuktikan bahwa Riko bukan ayah kandungnya?”
“Secara administratif, Riko adalah ayah Melati.”
“Lihat sendiri, betapa dekatnya Melati dengan Riko.”
“Kenapa kalian begitu ngotot ingin mengurus anak ini, padahal dia jelas-jelas nyaman bersama ayahnya?”
Lalu nada suara Pak Yusuf berubah lebih serius, hampir menuduh,
“Atau… jangan-jangan kalian bagian dari sindikat perdagangan anak?”
“Saya perlu lapor ke PPTK untuk memeriksa mutasi rekening kalian?”
Rentetan argumen dan pertanyaan itu menghantam tanpa ampun. Semua yang tadi lantang kini terdiam. Seribu bahasa.
“S-Sudahlah... Aku... aku tak jadi adopsi Melati,” ucap si pria gendut terbata.
Wajahnya pucat, tangan gemetar. Sepertinya dia ketakutan.
Aku mulai curiga. Siapa sebenarnya pria ini?