Selina Ratu Afensa tak pernah menduga hidupnya berubah drastis saat menerima pekerjaan sebagai pengasuh di keluarga terpandang. Ia pikir hanya akan menjaga tiga anak lelaki biasa, namun yang menunggunya justru tiga badboy yang terkenal keras kepala, arogan dan penuh masalah
Sargio Arlanka Navarez yang dingin dan misterius, Samudra Arlanka Navarez si pemberontak dengan sikap seenaknya dan Sagara Arlanka Navarez adik bungsu yang memiliki trauma dan sikap sedikit manja. Tiga karakter berbeda, satu kesamaan yaitu mereka sulit di jinakkan
Di mata orang lain, mereka adalah mimpi buruk. Tapi di mata Selina, mereka adalah anak anak kesepian yang butuh di pahami. Tanpa ia sadari, keberaniannya menghadapi mereka justru mengguncang dunia ketiga badboy itu dan perlahan, ia menjadi pusat dari perubahan yang tak seorang pun bayangkan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Queen Blue🩵, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Makanan kesukaan
Selina spontan hendak melangkah maju, ingin membantu menopang bibinya. Namun langkahnya terhenti begitu Vera menatapnya tajam, sembari berbisik dengan nada getir
“Jangan sentuh aku! Aku tidak butuh bantuanmu. Pergi dari rumahku Selina! Bawa semua barang barangmu! Aku sudah muak mengurusmu. Dan mulai sekarang, aku tidak akan peduli lagi dengan sekolahmu. Urus saja dirimu sendiri, dasar anak pembawa sial!”
Kata kata itu menghantam Selina lebih keras dari pada tamparan. Lututnya lemas, tubuhnya bergetar hebat. Air matanya jatuh deras, ia sampai bertekuk lutut di depan Vera, mencoba meraih ujung bajunya.
“Bibi… Jangan lakukan ini, aku mohon… Aku tidak mencuri… Hikkss... A-aku sungguh tidak mencuri… Maafkan aku kalau selama ini aku mengecewakan, tapi tolong jangan usir aku… aku tidak punya siapa siapa lagi… Hikkksss...”
Suaranya parau, penuh kepasrahan. Ia menangis sesenggukan, memohon tanpa peduli tatapan hina Jenni yang tersenyum sinis di samping ibunya
Vera menghela napas berat, wajahnya tetap keras meski tubuhnya masih terasa sakit
“Tangisanmu tidak akan mengubah apa pun Selina. Kamu bukan lagi bagian dari keluarga ini. Keluarlah, sebelum aku benar benar hilang kesabaran!”
Selina terdiam, tangisnya pecah semakin keras. Ia tahu, apa pun yang ia katakan tak akan di percaya. Dalam hati, ia hancur, perempuan yang selama ini ia anggap sebagai keluarga kini menyingkirkannya tanpa ragu, seolah dirinya hanyalah beban tak berguna
Jenni dengan terburu buru menopang tubuh ibunya yang masih memegangi dada. Nafas Vera terengah engah, wajahnya semakin pucat
“Mama tahan sebentar ya… aku akan bawa Mama ke rumah sakit sekarang!” ujar Jenni cemas, namun masih sempat menoleh ke arah Selina dengan tatapan penuh benci
Selina ikut melangkah maju, ingin membantu memapah “Aku ikut, biar aku bantu bibi-”
Namun Jenni langsung menepis tangannya kasar “Jangan sentuh ibuku! Pergi Selina! Kalau kamu masih peduli sama nyawanya, menjauhlah dari kehidupan kami!”
Suara itu bagaikan pisau yang menusuk dada Selina “Semua ini gara gara kamu! Ibuku sakit begini karena kau anak yang tak tahu di untung! Jadi kalau kamu masih punya hati, angkat kakimu dari rumah ini. Hilang! Jangan pernah muncul lagi!”
Dengan wajah kesal, Jenni menggiring ibunya keluar minimarket. Selina terpaku, air matanya mengalir deras membasahi pipi
Di depan pintu, Jenni menoleh sekali lagi, suaranya lantang menusuk telinga
“Kalau ibuku sampai kenapa kenapa, itu salahmu Selina! Ingat itu baik baik!”
Tanpa menunggu jawaban, Jenni melambaikan tangan, memanggil taksi yang melintas. Seorang sopir menepi, lalu dengan tergesa ia membantu membuka pintu. Jenni memasukkan Vera ke dalam mobil, lalu ia sendiri ikut masuk, menutup pintu dengan keras
Tak lama, taksi itu melaju menjauh, meninggalkan Selina sendirian di depan minimarket
Selina berdiri terpaku, kedua tangannya menutup wajahnya yang basah oleh air mata. Dadanya terasa sesak, seolah dunia menolaknya hidup. Tatapannya kosong ke arah jalanan, mengikuti taksi yang membawa orang terakhir yang selama ini ia anggap keluarganya
“Bibi… Selina… Bukan pencuri… Selina bukan…” bisiknya lirih, suaranya nyaris tak terdengar, tenggelam oleh bising kendaraan yang melintas
Akhirnya dengan langkah berat, Selina melangkah keluar dari rumah itu. Rumah yang selama ini menampungnya dari panas dan hujan kini tak lagi menerimanya. Ia harus menjalani hidupnya sendirian di luaran sana. Dan malam itu hujan turun deras. Langit malam gelap, jalanan basah. Tak ada tujuan, tak ada tempat untuk di tuju
Satu satunya pelindungnya kini hanyalah koper lusuh dan keyakinan bahwa ia tidak bersalah
Langkahnya melewati gerbang rumah besar itu terasa lebih dingin dari hujan yang mengguyur tubuhnya. Air mata bercampur air hujan, tak ada yang tahu mana yang lebih deras
Selina terus berjalan tanpa arah. Bajunya sudah basah kuyup, rambutnya menempel di wajah dan kakinya gemetar kedinginan. Koper kecil yang ia tarik nyaris tak terasa lagi beratnya karena tubuhnya sendiri sudah terlalu lelah untuk merasakan apa pun
Langkah Selina semakin goyah. Pandangannya berbayang, tubuhnya limbung. Lampu lampu jalan yang berjejer terlihat berpendar, berputar tak jelas di matanya. Ia berjalan seperti orang linglung, menyeberangi jalan tanpa benar benar menyadari arah
Hingga akhirnya… ia berhenti tepat di tengah aspal
Cahaya lampu mobil menyilaukan matanya. Deru mesin terdengar mendekat dengan cepat. Selina bisa melihat mobil hitam melaju ke arahnya, sorot lampunya menusuk penglihatan
Tubuhnya gemetar. Kakinya seperti membeku di tempat “Kenapa… aku nggak bisa bergerak…?”
Deg!
Jantungnya berdebar kencang, seolah menunggu detik terakhir hidupnya. Kakinya semakin lemas, tubuhnya seperti kehilangan tenaga. Ia ingin menyingkir, tapi tak bisa
Tepat saat mobil itu hanya beberapa meter darinya, suara decitan ban menggema keras di udara malam “Sreeeetttt!!” Aroma karet terbakar memenuhi hidungnya
Mobil berhenti hanya sejengkal dari tubuhnya. Seketika pandangan Selina gelap. Napasnya tercekat. Tubuhnya ambruk ke jalanan
Dua pria berbadan kekar, memakai jas hitam rapi, turun dari mobil dengan sigap. Dengan mudah mengangkat tubuh Selina yang lemas ke dalam mobil, mereka adalah Niko Navarez dan anak buahnya, Errick
•Flasback off•
Setelah pulang sekolah, suasana rumah besar itu kembali sunyi
Ketiga kembaran, Sargio, Samudra dan Sagara langsung masuk ke kamar masing masing tanpa banyak bicara. Seperti biasa, mereka memilih diam dan tenggelam dalam dunia mereka sendiri
Selina pun ikut kembali ke kamarnya. Ia melepas seragam sekolah, lalu masuk ke kamar mandi untuk menyegarkan diri. Air hangat yang menyentuh kulitnya membuat tubuhnya terasa lebih rileks setelah hari yang cukup melelahkan
Setelah mengenakan pakaian rumah yang nyaman, Selina turun ke dapur. Di sana, Mbok Sri sudah sibuk mempersiapkan bahan bahan masakan untuk makan siang. Aroma bawang putih tumis mulai menguar, memenuhi ruangan
“Mbok Selina bantu ya” ucap Selina sambil menggulung lengan bajunya
Mbok Jum menoleh, tersenyum hangat.
“Lho non Selina nggak perlu repot repot bantu. Biar Mbok saja”
“Gak papa Mbok. Aku juga pengen belajar masak, siapa tahu bisa bantu bantu. Lagian dari pada nganggur di kamar” jawab Selina sambil mengambil pisau dan mulai memotong wortel
Mbok Sri terkekeh kecil melihat semangat Selina “Ya sudah, kalau gitu non iris ini aja ya. Tapi ati ati pisaunya tajam”
Beberapa saat mereka sibuk bersama di dapur. Selina terlihat cukup cekatan, walaupun kadang potongannya tidak rata. Ia menikmati suasana seperti ini, hangat dan akrab
Sambil mengiris bahan, Selina bertanya “Mbok… makanan kesukaan mereka bertiga apa, ya? Maksudku… Sargio, Samudra dan Sagara”
Mbok Sri sempat terdiam sebentar, lalu tersenyum penuh makna “Wah… mereka itu meskipun kembar, seleranya beda beda, lho non”
“Oh iya? Ceritain dong Mbok” kata Selina penasaran