NovelToon NovelToon
CINTA DARI MASA LALU

CINTA DARI MASA LALU

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Ketos / Kehidupan di Kantor / Fantasi Wanita
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: ASEP SURYANA 1993

Email salah kirim, meeting berantakan, dan… oh ya, bos barunya ternyata mantan gebetan yang dulu menolak dia mentah-mentah.
Seolah belum cukup, datang lagi intern baru yang cerewet tapi manisnya bikin susah marah — dan entah kenapa, selalu muncul di saat yang salah.

Di tengah tumpukan laporan, deadline gila, dan gosip kantor yang tak pernah berhenti, Emma harus belajar satu hal:
Bagaimana caranya tetap profesional saat hatinya mulai berantakan?

Antara mantan yang masih bikin jantung berdebar dan anak magang yang terlalu jujur untuk dibiarkan begitu saja, Emma akhirnya sadar — cinta di tempat kerja bukan cuma drama… tapi juga risiko karier dan reputasi yang bisa meledak kapan saja.

Cinta bisa datang di mana saja.
Bahkan di ruang kerja yang penuh tawa, kopi tumpah, dan masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ASEP SURYANA 1993, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

EPISODE 15 — Proposal, Tawaran, dan Tatapan yang Tak Selesai

Tiga hari setelah pertemuan di lantai tiga, Emma kembali disibukkan oleh proyek besar — “Rebranding Vibe Media 2025.”

Liam memutuskan untuk memimpin langsung proyek itu, dan tentu saja, ia menempatkan Emma sebagai koordinator utama.

Kabar itu menyebar cepat di seluruh kantor.

“Wah, Emma dapat proyek langsung dari CEO,” bisik seseorang.

“Katanya mereka sering meeting berdua,” timpal yang lain.

Emma mencoba tak peduli, tapi setiap kalimat yang terdengar membuat hatinya makin berat.

---

Siang itu, Liam memanggil Emma ke ruang meeting kaca di lantai paling atas.

Ruangan itu luas, dengan pemandangan kota New York yang berkilau di bawah cahaya sore.

“Silakan duduk,” katanya lembut, dengan nada yang tidak lagi seformal dulu.

Emma menatapnya waspada. “Kau mau bahas apa, Liam?”

Liam menatap layar laptopnya. “Aku sedang pertimbangkan untuk menjadikan kau kepala tim kreatif permanen. Tapi ada satu syarat.”

“Syarat?” Emma menyipitkan mata.

“Kau harus pimpin kampanye bareng aku. Tanpa Miller.”

Kalimat itu seperti petir di ruangan yang hening.

Emma menegakkan badan. “Kau tahu itu tidak adil.”

Liam menatapnya dengan ekspresi campuran antara dingin dan tulus. “Aku hanya ingin pastikan kau bisa fokus. Aku tahu dia mengganggumu.”

Emma menahan napas. “Yang mengganggu bukan dia, Liam. Tapi kamu.”

Liam terdiam sesaat, lalu tersenyum kecil. “Masih sama seperti dulu. Tajam.”

“Dan kau masih sama,” balas Emma dingin. “Selalu berpikir semua orang butuh dikendalikan.”

Liam menatapnya lama, lalu menurunkan nada suaranya.

“Emma, aku tahu aku pernah salah. Tapi aku tidak ingin kehilangan kesempatan kedua.”

Emma menatapnya tajam. “Kesempatan kedua? Kau bahkan belum minta maaf.”

Hening panjang memenuhi ruangan.

Akhirnya, Liam berkata pelan, “Baik. Aku minta maaf.”

Kata-kata itu terdengar tulus — tapi di baliknya, ada nada yang aneh. Seperti seseorang yang menyesal karena kalah, bukan karena salah.

Emma menatap keluar jendela, mencoba menenangkan napasnya.

“Kalau kau benar-benar minta maaf, jangan pakai kekuasaanmu buat ngatur hidupku lagi.”

Liam mengangguk pelan. “Baik. Tapi aku tetap ingin kau di proyek ini. Aku… butuh kau di tim.”

Emma mendengarnya, tapi hatinya tak tahu apakah kata butuh itu berarti profesional… atau pribadi.

---

Sementara itu, di lantai bawah, Ryan sedang menatap email di laptopnya.

Di layar tertulis:

> Subject: Partnership Opportunity – Brightwave Digital Agency

“Kami tertarik merekrut Anda untuk posisi Creative Strategist dengan gaji awal $82,000 per tahun.”

Ryan membaca ulang baris itu beberapa kali, lalu mengembuskan napas panjang.

Monica lewat, melirik layar Ryan, lalu bersiul kecil.

“Wah. Angka yang cantik.”

Ryan tersenyum lesu. “Cantik, ya. Tapi kenapa rasanya kayak angka perpisahan?”

Monica menatapnya serius. “Kau bakal ambil tawaran itu?”

Ryan menggeleng. “Aku belum tahu. Rasanya aneh, Mon. Aku pindah divisi aja udah kayak jauh banget dari dia. Kalau aku pindah kantor…”

“Emma?” potong Monica cepat.

Ryan hanya tersenyum samar. “Dia bahkan belum tahu.”

Monica menatapnya tajam. “Kalau kau benar suka sama dia, kasih dia kesempatan tahu dulu. Jangan pergi diam-diam.”

Ryan menatap layar laptopnya. “Masalahnya, aku nggak tahu… dia mau aku tinggal, atau justru pengin aku pergi.”

---

Malam itu, Emma masih di kantor.

Ruangan sudah sepi, hanya suara hujan di luar yang terdengar.

Ia sedang mengetik ketika sebuah pesan muncul di layar:

> Ryan:

“Masih di kantor?”

Emma tersenyum kecil dan membalas cepat.

> “Ya. Kau juga?”

> Ryan:

“Aku masih di ruang partnership. Ada yang harus kutunjukkan.”

Emma menatap pesan itu beberapa detik.

> “Oke. Aku ke bawah.”

---

Ruang partnership gelap, hanya satu meja yang masih menyala lampunya.

Ryan duduk di sana, menatap layar laptopnya.

Begitu Emma masuk, ia berdiri.

“Kau kelihatan serius banget,” kata Emma. “Ada apa?”

Ryan memutar layar laptop ke arah Emma.

“Ini. Tawaran dari Brightwave.”

Emma membaca cepat.

“Agency besar,” katanya pelan. “Gaji bagus. Posisi tinggi. Ini kesempatan besar, Ryan.”

Ryan menatapnya. “Kau pikir aku harus ambil?”

Emma menelan ludah. “Aku… aku nggak bisa jawab itu.”

“Kenapa?”

“Karena aku nggak tahu apa yang terbaik buatmu.”

Ryan menatapnya lama. “Atau mungkin… kau tahu, tapi nggak mau ngomong.”

Emma menatapnya kembali. “Kau mau aku bilang apa? Jangan pergi? Kau bahkan bukan bagian dari timku lagi.”

Ryan tersenyum kecil. “Tapi masih bagian dari hidupmu, kan?”

Kalimat itu membuat udara di antara mereka menghangat — tapi juga menegang.

Emma memalingkan wajah. “Ryan, jangan mulai.”

“Aku nggak mulai. Aku cuma jujur,” kata Ryan lembut. “Aku datang ke sini tiap hari bukan karena karier, Em. Tapi karena kamu.”

Emma menggigit bibirnya. “Kau harus berhenti ngomong kayak gitu.”

“Kenapa?”

Ryan melangkah lebih dekat. “Karena kau takut aku benar, atau karena kau takut kau juga ngerasain hal yang sama?”

Emma mundur setengah langkah, tapi suaranya gemetar. “Ryan, aku… aku nggak bisa.”

Ryan menatapnya, matanya sayu tapi tetap hangat. “Kau selalu bisa, Emma. Kau cuma nggak mau.”

Hening.

Hanya suara hujan yang jatuh di luar jendela, pelan, tapi konstan.

Lalu tiba-tiba, ponsel Emma bergetar di tangannya.

Nama di layar: Liam.

> Liam: “Jangan lupa besok rapat jam 9 pagi. Aku ingin bahas pembagian posisi proyek.”

Ryan melihat nama itu, lalu tersenyum pahit. “Dia masih nelpon malam-malam, ya?”

Emma menunduk. “Dia cuma atasan, Ryan.”

“Ya, dan aku cuma teman kerja,” jawab Ryan, suaranya pelan tapi penuh makna. “Sama-sama cuma.”

Ia mengambil jaketnya. “Sudah malam. Aku antar kau pulang.”

Emma menggeleng. “Aku bisa sendiri.”

Ryan menatapnya sebentar, lalu berkata lembut, “Ya. Aku tahu. Tapi aku tetap ingin.”

---

Dalam perjalanan pulang, hujan turun makin deras.

Ryan menyalakan wiper, dan di dalam mobil, hanya suara hujan dan napas mereka berdua.

Emma menatap keluar jendela, lalu berbisik, “Kalau kau terima tawaran itu… aku harap itu bukan karena aku.”

Ryan tersenyum samar tanpa menoleh. “Dan kalau aku tolak, itu juga karena kamu.”

Emma menatapnya — kali ini lama.

Di wajah Ryan, ada ketenangan yang membuat hatinya kacau.

Mobil berhenti di depan apartemennya.

Sebelum turun, Emma berkata pelan, “Ryan…”

Ryan menatapnya. “Ya?”

Emma membuka mulut, tapi kata-katanya tak keluar.

Akhirnya, ia hanya berkata, “Jangan ambil keputusan malam ini.”

Ryan mengangguk pelan. “Baik. Tapi kalau besok aku masih merasa sama, aku akan kasih jawaban.”

Emma menatapnya dalam. “Jawaban apa?”

Ryan tersenyum kecil. “Tentang cinta… dan tentang pergi.”

---

Begitu Emma masuk ke apartemennya, ia langsung menutup pintu, bersandar di sana, dan menatap kosong ke langit-langit.

Lalu ponselnya bergetar.

Satu pesan masuk dari Liam.

> Liam:

“Aku ingin kita mulai dari awal, Emma. Aku serius.”

Emma menatap layar itu.

Tapi di pikirannya — masih terngiang suara Ryan di mobil tadi.

> “Tentang cinta… dan tentang pergi.”

Ia menutup matanya.

Dan entah kenapa, malam itu terasa terlalu panjang untuk diakhiri.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!