NovelToon NovelToon
Aku Putri Yang Tidak Diinginkan

Aku Putri Yang Tidak Diinginkan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Identitas Tersembunyi / Keluarga
Popularitas:905
Nilai: 5
Nama Author: Isma Malia

Kehidupan Valeria Zeline Kaelani terlihat sempurna, namun ia tidak tahu bahwa ia adalah anak angkat. Rahasia ini menjadi senjata bagi Arum Anindira, kakak kandungnya yang iri dan hidup miskin. Arum mengancam akan membocorkan kebenaran kepada Valeria demi mendapatkan uang dari ibu angkatnya, Bu Diandra.

Di tengah kekacauan ini, sahabat Valeria, Aluna Kinara, tak sengaja mendengar ancaman tersebut, dan ia dihadapkan pada dilema yang berat. Kisah ini semakin rumit dengan hadirnya dua pria yang memperebutkan hati Valeria: Kian Athaya Naufal Mahendra yang mencintai dalam diam, dan Damian Mahesa yang usil namun tulus. Namun, Kedekatan mereka terancam buyar ketika mantan pacar Damian masuk ke sekolah yang sama.

Kisah ini bukan hanya tentang cinta dan persahabatan, tetapi juga tentang pengorbanan, pengkhianatan, dan perjuangan seorang putri untuk menemukan jati dirinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Malia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rencana Bisnis dan Bayangan Fara

Mereka berdua berjalan keluar sekolah, pikiran dipenuhi dengan segala hal yang harus mereka hadapi. Revan memikirkan Valeria yang kini mulai terbuka, Aluna yang berada dalam bahaya, dan Fara yang siap datang. Sementara itu, Kian tahu ia harus segera mendapatkan informasi dari ayahnya.

Damian dan Valeria berjalan keluar sekolah, Damian menjaga jarak agar Valeria tetap merasa nyaman, namun tetap berada di sisinya. Di pintu gerbang, mereka melihat Revan, Kian, dan Liam sudah menunggu.

Revan langsung menghampiri mereka. "Ayo kita ke kafe sekarang," katanya, suaranya terdengar serius. "Ada hal penting yang harus kita bicarakan."

"Valeria, kamu mau ikut ke kafe?" tanya Revan.

Valeria menggeleng pelan. "Nggak, aku nggak ikut. Mama nggak izinin aku buat ke kafe atau kumpul-kumpul. Kalian duluan aja, aku mau tunggu Pak Edi jemput."

"Yaudah, aku nggak maksa kamu," kata Revan. "Kian, lo ikut ke kafe, ya? Lo juga, Liam. Kalau lo mau ikut juga nggak apa-apa?"

"Maaf, gue nggak bisa," jawab Liam. "Harus anter ibu gue berobat."

"Sakit apa ibu lo, Liam?" tanya Kian.

"Nggak apa-apa, cuma cek aja. Ya semoga nggak kenapa-napa," kata Liam. "Dia bilang sih sakit perutnya."

"Ya udah deh, semoga cepat sembuh ibu lo," kata Revan.

"Makasih semua. Kalau begitu, gue balik duluan ya," pamit Liam.

"Val, gue tinggal nggak apa-apa? Atau mau sekalian dianter dulu pulang?" tanya Revan.

"Tapi kalau Pak Edi datang gimana?" tanya Valeria.

"Nanti gue telepon," jawab Revan.

"Yaudah," kata Valeria.

Revan menoleh ke arah Damian dan Kian.

"Gue anter Valeria pulang," ucap Revan. "Pak Edi belum jemput, jadi gue nggak bisa biarin dia nunggu sendirian."

Kian mengangguk mengerti. "Oke, Van. Gue sama Damian duluan ke kafe."

"Jagain dia, ya," kata Damian, menepuk bahu Revan. Damian tahu persis seberapa rapuhnya Valeria saat ini.

Revan mengangguk, sorot matanya serius. "Pasti."

Mereka berempat berjalan ke parkiran, lalu berpisah. Revan dan Valeria menuju mobilnya, sementara Kian dan Damian berjalan ke motor.

Di dalam mobil, suasana terasa hening. Revan menyetir, sesekali melirik Valeria yang hanya diam menatap ke luar jendela. Ia sadar, ia harus mulai berbicara.

"Val, ada sesuatu yang harus gue omongin sama lo," kata Revan.

Valeria menoleh, menatap Revan dengan tatapan bingung.

"Ini tentang Aluna," Revan memulai, suaranya pelan. "Dan Fara."

Valeria terkejut. Raut wajahnya berubah cemas. "Fara? Kenapa dia?"

Revan lalu menceritakan semua yang Aluna sampaikan padanya di taman. Ia menjelaskan tentang **rencana Fara untuk masuk ke sekolah dalam tiga hari** dan **strateginya untuk menjatuhkan Valeria**. Revan juga mengungkapkan bahwa **Aluna dipaksa** untuk menyebarkan gosip dan kini **ditinggal sendirian** oleh keluarganya. Yang paling membuat Valeria terpukul adalah fakta bahwa **Aluna dipaksa untuk tinggal bersama Fara**.

Valeria terdiam, napasnya tercekat. Hatinya hancur. Ia tidak hanya merasa takut akan ancaman Fara, tetapi juga merasa bersalah dan kasihan pada Aluna. Ia tahu, Aluna bukanlah musuh, melainkan korban yang tidak berdaya.

"Jadi... selama ini Aluna... dia dipaksa?" tanya Valeria, suaranya bergetar.

"Iya, Val. Dia takut. Dia bilang nggak mau ngelakuin itu," jawab Revan. "Makanya, kita nggak bisa biarin dia sendirian. Dan lo juga."

Revan memarkirkan mobilnya di depan rumah Valeria. "Gue nggak akan biarin Fara nyakitin lo. Gue janji."

Revan menjalankan mobilnya, pikirannya kacau. Wajah Valeria yang sedih dan mata Aluna yang penuh ketakutan terus terbayang. Ia tahu, ia tidak bisa menghadapi ini sendirian.

Ia tiba di kafe dan langsung melihat Kian dan Damian sudah duduk di meja favorit mereka. Keduanya menatap Revan dengan sorot mata khawatir, tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres.

...Hanya ilustrasi gambar....

"Gimana Valeria?" tanya Damian, begitu Revan duduk.

Revan menghela napas panjang. "Dia nggak apa-apa. Gue anterin pulang."

"Lo... lo cerita semuanya?" tanya Kian hati-hati.

"Gue cerita semua yang gue tahu," jawab Revan. "Tapi gue juga denger sesuatu yang lain."

Revan lalu menceritakan semua yang Aluna katakan, tentang **Fara yang akan datang dalam tiga hari**, rencananya untuk menjatuhkan Valeria, dan Aluna yang menjadi korban dalam situasi ini. Damian dan Kian mendengarkan dengan terkejut.

"Jadi... Aluna dipaksa?" tanya Damian. "Gue nggak percaya."

"Valeria juga nggak percaya," kata Revan. "Dia kasihan sama Aluna. Dia takut sama Fara."

"Itu belum semuanya," kata Damian, lalu ia menceritakan percakapannya dengan Valeria. Ia menceritakan tentang **rencana bisnis antara Mamanya Valeria tante Diandra dan ayah Revan**, dan bagaimana Valeria merasa terjebak. Damian juga menceritakan bagaimana Valeria menangis saat ia menyinggung tentang "anak kandung", seolah ada rahasia besar di baliknya.

Tiga sahabat itu terdiam. Mereka menyadari bahwa mereka tidak hanya menghadapi satu masalah, melainkan dua masalah besar yang saling berkaitan: rencana bisnis Diandra dan kembalinya Fara.

Di tengah keheningan yang tegang, tiba-tiba suara telepon berbunyi nyaring dari ponsel Revan. Mereka bertiga terkejut. Revan meraih ponselnya dan melihat nama yang tertera di layar.

"Bokap gue," katanya, lalu mengangkat panggilan itu.

"Halo, Pa?"

Damian dan Kian menatap Revan dengan cemas, mencoba menebak apa yang sedang terjadi.

"Iya... Kapan, Pa?" Suara Revan terdengar tegang. "Lusa? Secepat itu?"

Revan terdiam sejenak, mendengarkan ayahnya. "Oke, Pa. Makasih infonya."

Revan menutup telepon. Wajahnya terlihat semakin serius.

"Ada apa?" tanya Kian, tidak sabar.

Revan menatap kedua sahabatnya. "Tante Diandra baru aja telepon bokap gue. Dia mau pertemuan bisnis gue sama Valeria dimulai **lusa**."

Damian dan Kian terbelalak.

"Gila," desis Damian. "Jadi kita cuma punya waktu kurang dari dua hari buat bisnis itu, dan tiga hari sebelum Fara datang?"

Tiga sahabat itu saling pandang. Mereka kini terjebak di antara dua masalah besar dengan waktu yang sangat sempit. Tekanan terasa semakin berat.

Revan menghela napas, menatap kedua sahabatnya dengan tatapan serius. Ada jejak kepasrahan di wajahnya, namun sorot matanya menunjukkan tekad yang kuat.

"Yaudah lah, mau gimana lagi," ucap Revan, memecah keheningan. Ia menoleh ke arah Kian.

"Kian, tolong lo pastiin kapan bokap lo pulang. Terus, bicara dan tanya ke dia bagaimana Tante Diandra menjalankan bisnisnya, dan bisnis seperti apa yang biasanya dia mau. Biar gue bisa buat rencana bisnis yang sesuai sama kemauan dia," jelas Revan.

Ia kemudian menambahkan, "Gue juga akan nanya sama bokap gue. Tapi kan, lebih banyak referensi lebih bagus."

Kian mengangguk mantap. "Siap. Gue bakal kabarin lo secepatnya."

Damian lalu menatap Revan. "Terus gue gimana?"

"Lo," kata Revan, "tetap di sisi Valeria. Pastiin dia aman, baik dari Fara maupun dari tekanan Tante Diandra. Dan satu lagi, perhatiin gerak-gerik Aluna. Kita nggak tahu apa yang bakal Fara suruh dia lakuin."

Tiga sahabat itu saling pandang. Rencana pertama telah dibuat. Mereka punya misi masing-masing, dan waktu mereka tidak banyak.

Di kafe, Revan, Kian, dan Damian masih terdiam, mencerna semua informasi yang mereka dapatkan. Tiba-tiba, suara telepon berdering dari ponsel Kian. Ia mengeluarkannya dan melihat nama ayahnya tertera di layar.

"Bokap gue," kata Kian, lalu mengangkat panggilan itu.

"Halo, Pa? Iya, Kian."

Revan dan Damian menatap Kian dengan cemas, menunggu.

"Ke kantor Papa sekarang? Ada apa, Pa?" tanya Kian, suaranya sedikit terkejut. "Iya, siap. Kian ke sana sekarang."

Kian menutup telepon, wajahnya terlihat serius. "Papa minta gue ke kantornya sekarang. Katanya ada yang penting mau dibicarain."

Revan tersenyum penuh arti. "Ini kesempatan lo, Kian," katanya. "Cari tahu semuanya. Tentang Tante Diandra, cara dia berbisnis, dan jenis proyek yang dia mau. Semua yang kita omongin tadi."

Damian menepuk pundak Kian. "Hati-hati, bro. Jangan sampai ketahuan."

Kian mengangguk mantap. Ia bangkit dari tempat duduknya, mengambil kunci motor. "Gue cabut duluan. Nanti gue kabarin lagi."

Setelah Kian pergi, Damian memandang Revan.

"Lo masih mau lama di sini, atau balik?" tanya Damian. "Gue sih mau balik."

Revan mengangguk pelan. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, memejamkan mata sejenak. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai rencana dan kekhawatiran.

"Balik aja, Dam," jawab Revan. "Gue butuh waktu buat mikir."

Damian mengerti. Mereka berdua membayar pesanan mereka, lalu berjalan keluar kafe. Di parkiran, mereka berpisah. Damian menuju motornya, sementara Revan kembali ke mobilnya, pikirannya masih berkelana jauh.

Revan dan Damian pulang ke rumah masing-masing.

Di kamarnya, Revan langsung menyalakan laptop. Pikirannya bekerja cepat, mencari segala informasi yang bisa ia temukan tentang perusahaan Tante Diandra. Ia tahu, ia harus selangkah lebih maju.

Sementara itu, Damian, setelah sampai di rumah, langsung meraih ponselnya dan mengirim pesan singkat kepada Valeria: *"Udah makan malam? Jangan lupa istirahat, ya."* Hatinya masih dipenuhi kekhawatiran untuk sahabatnya itu.

Di sisi lain, Kian masih terjebak di tengah jalan. Perjalanan menuju kantor ayahnya sedikit macet, membuatnya gelisah. Ia melirik jam tangannya, berharap tidak terlambat. Setelah beberapa saat, ia akhirnya berhasil melewati kemacetan dan tiba di depan gedung perkantoran yang menjulang tinggi milik ayahnya.

Di rumah, Valeria masuk ke kamarnya. Ia duduk di pinggir tempat tidur, menatap kosong ke luar jendela. Pikirannya dipenuhi dengan ucapan Revan. Fara, bisnis, ibunya, dan Aluna—semua itu terasa begitu berat.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Ia meraihnya dan melihat sebuah pesan dari **Damian**.

*"Udah makan malam? Jangan lupa istirahat, ya."*

Valeria tersenyum tipis, sebuah kehangatan kecil menjalari hatinya. Ia tahu, Damian mengkhawatirkannya. Ia merasa sangat bersyukur memiliki sahabat seperti Damian dan Revan. Ia pun mengetik balasan.

**Valeria:** *"Udah, Dam. Kamu juga jangan lupa makan dan istirahat. Makasih ya."*

Pesan itu terkirim. Untuk pertama kalinya hari itu, Valeria merasa sedikit lebih baik. Beban di pundaknya terasa sedikit terangkat, karena ia tahu, ia tidak sendirian.

Di Kantor Ayah Kian

Kian memarkir motornya dan langsung masuk ke lobi gedung perkantoran ayahnya. Suasana malam membuat lobi itu terasa sepi dan formal. Ia naik ke lantai atas dan masuk ke dalam ruangan ayahnya.

Ayah Kian, Pak Rex Adrian, sedang duduk di balik meja kerjanya, menatap serius ke layar komputer. Ia adalah seorang pengusaha yang tegas, tetapi selalu punya waktu untuk putranya.

"Pa," sapa Kian.

"Kamu telat, Kian," kata ayahnya tanpa menoleh.

"Maaf, Pa," balas Kian.

Pak Adrian menoleh, melepas kacamata bacanya, dan tersenyum. "Kian. Sini, duduk."

Kian duduk di kursi di depan meja ayahnya. "Ada apa, Pa? Kian pikir ada yang penting."

"Ada," jawab Pak Adrian, suaranya kembali serius. "Ini mengenai rencana bisnismu. Sudah sampai mana prospeknya? Apa sudah selesai dan siap diluncurkan?"

"Belum, masih 80 persen. Tinggal 20 persen lagi," kata Kian.

"Kapan akan selesai?" tanya Pak Adrian.

"Secepatnya," kata Kian.

"Secepatnya itu kapan, Kian? Kamu harus punya kepastian. Papa sudah memberikannya sudah lama, ini sudah hampir 5 tahun tapi kamu belum menyelesaikannya. Waktu kamu terbatas, sebentar lagi kamu sudah mulai ulangan, kan? Fokusmu pasti akan terpecah. Selama ini Papa tidak memaksa atau menekanmu agar kamu bisa lebih fokus dan serius, tapi bukan untuk berleha-leha," kata Pak Adrian.

"Maaf, Pa. Kian akan selesaikan secepatnya," kata Kian.

"Selesaikan sebelum waktu ulangan sekolahmu datang. Selesaikan secepatnya. Kamu juga belum memberikan laporan prospek bulananmu kepada sekretarismu, kan?" tanya Pak Adrian.

Kian mengangguk. "Akan Kian berikan."

"Bagus, secepatnya," kata Pak Adrian.

"Pa?" panggil Kian.

"Ya, ada yang mau kamu tanyakan?" tanya Pak Adrian.

"Iya, Papa tahu banyak tentang Tante Diandra?" tanya Kian hati-hati.

Pak Adrian tersenyum tipis. "Sangat banyak. Kami dulu sering bersaing. Diandra itu tipe yang selalu ingin mengambil alih. Dia selalu mencari proyek yang bisa memberinya kontrol penuh atas perusahaan lain."

Kian mendengarkan dengan saksama, otaknya bekerja keras untuk mengingat setiap detail. Ia pun mengajukan beberapa pertanyaan tentang strategi bisnis Diandra, kelemahan, dan proyek yang biasanya ia incar. Pak Adrian menjawab semua pertanyaan Kian dengan rinci, memberikan putranya semua informasi yang ia butuhkan.

Setelah percakapan panjang itu, Kian pamit pulang. Di dalam lift, ia memegang erat ponselnya, merasa lega dan tegang di saat yang sama. Ia tahu, ia baru saja mendapatkan kunci penting untuk rencana mereka.

Sesampainya di rumahnya yang besar, mewah, dan megah, Kian langsung memarkir motornya di garasi. Di dalam, rumah itu terasa sepi, hanya ada cahaya lampu yang menerangi beberapa sudut.

Kian langsung menuju kamarnya. Ia duduk di depan meja belajarnya, pikirannya masih terngiang perkataan ayahnya. Ia membuka laptopnya, menyusun laporan prospek bulan ini dengan cepat, lalu mengirimkannya ke sekretaris pribadinya. Satu tugas selesai.

Setelah itu, ia mengambil ponselnya dan membuat grup chat baru yang berisi Revan dan Damian.

**Kian:**

*Gue udah dapet infonya dari bokap.*

**Kian:**

*Tentang Diandra. Dia suka bisnis yang bisa kasih dia kontrol penuh. Dia nyari proyek yang bisa ngambil alih perusahaan lain.*

**Kian:**

*Nanti gue ceritain lebih detail. Lo berdua siap-siap. Gue rasa kita harus kumpul lagi secepatnya.*

Setelah mengirim pesan itu, Kian menyandarkan punggungnya di kursi, pikirannya masih sibuk mengolah semua informasi yang ia dapatkan. Ia tahu, dengan informasi ini, rencana mereka bisa menjadi lebih matang.

Revan sedang fokus di depan laptopnya, meneliti informasi tentang perusahaan Diandra. Tiba-tiba, ponselnya berdering, sebuah notifikasi pesan masuk.

Di saat yang sama, Damian yang sedang bersantai di kamarnya juga mendengar ponselnya berbunyi.

Mereka berdua membuka ponsel masing-masing dan melihat pesan dari grup chat baru yang dibuat Kian.

**Kian:**

*Gue udah dapet infonya dari bokap.*

**Kian:**

*Tentang Diandra. Dia suka bisnis yang bisa kasih dia kontrol penuh. Dia nyari proyek yang bisa ngambil alih perusahaan lain.*

**Kian:**

*Nanti gue ceritain lebih detail. Lo berdua siap-siap. Gue rasa kita harus kumpul lagi secepatnya.*

Revan menghela napas lega, namun raut wajahnya berubah serius. Informasi ini adalah kunci yang mereka butuhkan. Ia langsung mengetik balasan.

**Revan:**

*Oke. Gue siap. Gimana, Dam?*

Damian membalas dengan cepat.

**Damian:**

*Gue juga. Kapan kita kumpul?*

Setelah beberapa saat, Kian membalas lagi, menentukan waktu dan tempat pertemuan mereka selanjutnya.

**Kian:**

*Besok pagi, sebelum sekolah. Kita ketemu di tempat biasa.*

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Revan, Kian, dan Damian sudah berkumpul di kafe langganan mereka. Wajah mereka tegang, tidak ada canda tawa seperti biasanya.

"Jadi," Revan memulai, menatap Kian. "Apa yang bokap lo bilang?"

Kian menarik napas panjang. Ia lalu menceritakan semua detail yang ia dapat dari ayahnya. Ia menjelaskan bagaimana Diandra adalah seorang pebisnis yang agresif, selalu mencari celah untuk mengambil alih kontrol penuh dalam setiap proyek. Proyek favoritnya adalah yang terlihat menguntungkan di awal, tapi sebenarnya memiliki klausa tersembunyi yang memungkinkan perusahaannya untuk mengakuisisi mitra bisnisnya secara perlahan.

"Bokap gue bilang, kelemahannya cuma satu," kata Kian. "Dia terlalu percaya diri. Kalau dia lihat proposal yang kelihatannya menguntungkan banget buat dia, dia nggak akan curiga."

Revan tersenyum tipis. "Oke. Gue punya ide."

Revan kemudian menguraikan kerangka rencananya: membuat sebuah proposal bisnis yang sempurna di atas kertas untuk Diandra. Proposal itu akan terlihat seperti Revan dan Valeria menyerahkan kendali besar, sesuatu yang pasti akan disukai Diandra. Tapi, di dalam proposal itu, mereka akan menyisipkan "kuda Troya"—sebuah pasal yang justru akan melindungi perusahaan ayah Revan dan memberikan mereka kekuatan untuk membatalkan semuanya jika Diandra berbuat curang.

"Gila, lo yakin ini berhasil?" tanya Damian, terlihat khawatir sekaligus kagum.

"Harus berhasil," jawab Revan. "Sekarang, kita punya dua misi. Gue dan Kian fokus siapkan proposal ini buat besok. Dam, tugas lo tetap sama: jagain Valeria dan awasi Aluna. Kita nggak tahu apa yang akan Fara lakukan."

Damian mengangguk mantap. "Oke, gue setuju. Gue bakal jagain Valeria dan awasi Aluna."

Kian juga mengangguk, tapi raut wajahnya terlihat sedikit terbebani. "Gue juga setuju, Van. Gue bantu lo kumpulin semua data yang kita butuhin buat proposal itu," katanya. "Tapi, gue nggak bisa sepenuhnya fokus ke sini. Gue harus selesaiin rencana bisnis gue sendiri sebelum ulangan, seperti yang bokap gue minta."

Revan menatap Kian, terkejut. "Lo juga disuruh ngembangin bisnis?"

"Iya," jawab Kian. "Sudah lama, dan gue harus menyelesaikannya karena gue sudah dikasih tenggat waktu. Jadi, gue nggak bisa menunda-nunda lagi."

Revan menepuk pundak Kian. "Yaudah, nggak apa-apa, Ki. Kerjain aja yang lo bisa. Proposal lo juga penting. Kita saling bantu."

Rencana besar telah dibuat. Mereka punya misi masing-masing, dan waktu mereka sangat terbatas. Mereka bertiga saling pandang. Rencana besar telah dibuat. Waktu mereka hanya tinggal hari ini dan besok. Setelah menyelesaikan kopi mereka, ketiganya berangkat menuju sekolah, membawa misi mereka masing-masing.

Setibanya di sekolah, bel tanda masuk sudah berbunyi nyaring. Revan, Kian, dan Damian berjalan cepat di koridor, dengan mata yang awas mengamati sekeliling. Pagi ini terasa berbeda.

Revan melihat ke seberang lapangan. Di sana, di dekat mading, ia melihat Valeria. Wajahnya terlihat pucat, matanya sedikit bengkak, tanda ia tidak tidur nyenyak semalaman. Valeria memegang buku-bukunya erat-erat, seolah itu satu-satunya hal yang bisa memberinya kekuatan.

Tidak jauh dari Valeria, Revan juga melihat Aluna yang berdiri sendirian. Aluna terlihat gelisah, matanya terus melirik ke segala arah. Begitu pandangan mereka bertemu, Aluna buru-buru menunduk, menghindari kontak mata.

Saat Revan, Kian, dan Damian melewati mereka, Revan hanya bisa memberikan Valeria sebuah anggukan kecil, tatapan meyakinkan yang mengatakan "gue di sini." Damian juga memberikan Valeria pandangan penuh perhatian, lalu berjalan menghampirinya.

Bel kedua berbunyi, memaksa mereka semua bergegas masuk ke kelas masing-masing. Mereka berjalan terpisah — Damian dan Valeria, Revan dan Kian yang kebetulan memiliki kelas yang sama — tetapi pikiran mereka tetap satu: bagaimana cara menghentikan semua masalah ini.

Di dalam kelas, Valeria duduk di bangkunya, Damian duduk tepat di sebelahnya. Guru mata pelajaran sedang menjelaskan pelajaran di depan, tetapi Valeria tidak mendengarkan. Pikirannya melayang, kembali pada semua yang ia dengar kemarin. Wajah Fara, janji Revan, dan tatapan takut dari Aluna terus berputar-putar di kepalanya.

Damian meliriknya. Ia bisa melihat Valeria tidak fokus. Diam-diam, ia merobek secarik kertas dari buku catatannya, menulis sesuatu, lalu menyodorkannya di atas meja Valeria.

Valeria menoleh, bingung. Ia mengambil kertas itu dan membacanya.

"Lo baik-baik aja? Gue di sini."

Air mata Valeria nyaris jatuh. Ia menatap Damian dan memberikan senyum tipis, sebuah isyarat kecil yang mengatakan "terima kasih." Tanpa perlu kata-kata, ia tahu Damian mengerti. Ia tidak membalas pesan itu, tetapi ia merasakan sebuah kehangatan di hatinya. Ia tidak sendirian.

Bel istirahat berbunyi nyaring. Para siswa mulai berhamburan keluar kelas. Damian berbalik ke arah Valeria.

"Ke kantin, yuk," ajaknya. "Lo belum makan kan?"

Valeria terlihat ragu. "Aku... aku nggak lapar."

"Nggak apa-apa," kata Damian, suaranya lembut. "Nggak usah mikir macem-macem. Ada gue."

Valeria menatap Damian. Ia melihat ketulusan di mata sahabatnya itu. Akhirnya, ia mengangguk pelan. "Oke."

Mereka berdua berjalan keluar kelas, menuju kantin yang ramai. Valeria merasa gugup, tetapi genggaman erat Damian di pergelangan tangannya membuatnya sedikit lebih tenang.

Damian dan Valeria tiba di kantin. Suasana ramai dan bising. Suara obrolan dan denting piring berbaur menjadi satu, membuat Valeria semakin merasa cemas.

Damian dengan sigap mencari meja kosong. Setelah menemukannya, ia menyuruh Valeria duduk.

"Lo duduk aja di sini," kata Damian. "Biar gue yang ambil makanan dan minumannya."

Valeria hanya mengangguk pelan.

"Lo mau makan apa? Minum apa?" tanya Damian, suaranya lembut.

Valeria berpikir sejenak, menimbang-nimbang. "Nggak tahu," jawabnya, sedikit kebingungan.

"Oke, kalau gitu, gue pesenin sandwich sama air dingin aja, ya," kata Damian, sudah hafal dengan kebiasaan Valeria. "Tunggu di sini. Jangan ke mana-mana."

Valeria mengangguk. Ia duduk sendirian, menatap keramaian di sekelilingnya, sementara Damian berjalan menuju konter makanan.

Damian mengambil dua botol air mineral dan membawa semua pesanan ke meja. Ia meletakkan nampan berisi sandwich, bakso, dan dua botol air di hadapan Valeria.

"Makan dulu," katanya lembut, menyorongkan salah satu sandwich. "Gue tahu lo nggak lapar, tapi lo harus isi tenaga."

Valeria mengangguk. Ia meraih sandwich itu, menggigitnya perlahan. Damian duduk di seberangnya, mengambil mangkuk baksonya.

Sambil makan, Damian secara diam-diam meraih ponselnya di saku celana. Ia membuka grup chat mereka dan mengirim pesan singkat.

**Damian:**

*Van, gue liat Aluna di kantin. Dia sendirian, mukanya pucat banget. Kayaknya dia ketakutan.*

Damian memasukkan kembali ponselnya ke saku dan mulai makan baksonya, berusaha terlihat biasa saja. Pikirannya kini terbagi antara menjaga Valeria dan memikirkan apa yang harus mereka lakukan terhadap Aluna.

Di dalam kelas, Revan dan Kian duduk bersebelahan. Revan terlihat sedang sibuk mencatat, tetapi matanya lebih sering melihat ke arah ponselnya.

Tiba-tiba, ponsel keduanya bergetar. Mereka sama-sama membuka notifikasi dari grup chat mereka dan membaca pesan dari Damian.

**Damian:**

*Van, gue liat Aluna di kantin. Dia sendirian, mukanya pucat banget. Kayaknya dia ketakutan.*

Revan dan Kian saling pandang. Mereka tidak perlu berkata apa-apa. Pesan itu sudah cukup menjadi bukti. Damian telah mengkonfirmasi kecurigaan mereka.

Revan dengan cepat mengetik balasan.

**Revan:**

*Jangan deketin dia. Kita nggak mau Fara curiga.*

Kian mengangguk pelan, setuju dengan keputusan Revan. Revan lalu mengirim pesan lain ke grup chat.

**Revan:**

*Habis ini kita kumpul lagi. Gue udah punya rencana.*

Keduanya menutup ponsel, tetapi pikiran mereka kini terfokus pada satu hal: rencana Revan. Mereka harus bergerak cepat.

Liam, yang duduk di samping mereka, merasa bingung melihat Revan dan Kian yang tiba-tiba terlihat tegang. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan.

"Ada apa? Kok kayaknya serius banget?" tanya Liam, penasaran.

Revan dan Kian saling bertukar pandang. Mereka tahu mereka tidak bisa menceritakan semuanya pada Liam di tengah kelas.

Revan kembali menatap Liam. "Nanti aja, Li. Kita omongin nanti," jawabnya, suaranya pelan.

Liam merasa tidak puas, tapi ia mengangguk mengerti. Ia kembali ke kursinya, masih dipenuhi rasa ingin tahu.

Tidak lama setelah itu, bel berbunyi, menandakan jam istirahat telah usai.

Saat yang sama, di kantin, Damian dan Valeria sudah selesai makan. Damian baru saja mengirim pesan kepada Revan tentang Aluna, dan ia terus mencoba membuat Valeria merasa nyaman. Bel berbunyi, memaksa mereka kembali ke kelas. Mereka pun bergegas kembali.

Bersambung...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!